Pengrtian Hibah, Hukum, Rukun dan Syarat-Syarat Sahnya

Pengrtian Hibah, Hukum, Rukun dan Syarat-Syarat Sahnya

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Islam adalah agama yang diridhoi oleh Allah SWT dan sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta melalui nabi Muhammad SAW. Semasa hidup, beliau selalu berbuat baik dengan amalan sholeh seperti zakat, pemberian hadiah, hibah dan lain sebagainya. Zakat adalah sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan karena bagian dari rukun Islam, demikian pula shodaqoh karena islam menganjurkan untuk bershodaqoh dengan tujuan menolong saudara muslim yang sedang kesusahan dan untuk mendapat ridho Allah SWT.

Shodaqoh bisa berupa uang, makanan, pakaian dan benda-benda lain yang bermanfaat. Dalam pengertian luas, shodaqoh bisa berbentuk sumbangan pemikiran, pengorbanan tenaga dan jasa lainnya bahkan senyuman sekalipun.

Baca Juga : Pengertian Perilaku Menyimpang, Teori, Bentuk, Sifat, Faktor, Ciri, dan Dampak

Beberapa hal diatas adalah bagian dari tolong menolong dalam kebaikan yang diperintahkan agama islam seperti pemberian hadiah, hibah dan shodaqoh. Maka pada makalah yang singkat ini penulis akan sedikit menguraikan hal tersebut seberapa penting dalam dunia pendidikan Islam.
http://aang-zaeni.blogspot.com/2017/04/pengrtian-hibah-hukum-rukun-dan-syarat.html

PEMBAHASAN

Pengertian hibah

Secara bahasa hibah adalah pemberian (athiyah), sedangkan menurut istilah hibah yaitu
عقد يفيد التمليك بلا عوض حا ل الالحياة تطوعا
“akad yang menjadikan kepemilikan tanpa adanya pengganti ketika masih hidup dan dilakukan secara sukarela.[1]
Didalam syara' sendiri menyebutkan hibah mempunyai arti akad yang pokok persoalannya pemberian harta milik seseorang kepada orang lain diwaktu dia hidup, tanpa adanya imbalan. Apabila seseorang memberikan hartanya kepada orang lain untuk dimanfaatkan tetapi tidak diberikan kepadanya hak kepemilikan maka harta tersebut disebuti’aarah (pinjaman).[2]

Hukum hibah

Hibah disyariatkan dan dihukumi mandub (sunat) dalam Islam. Dan Ayat ayat Al quran maupun teks dalam hadist juga banyak yang menganjurkan penganutnya untuk berbuat baik dengan cara tolong menolong dan salah satu bentuk tolong menolong tersebut adalah memberikan harta kepada orang lain yang betul-betul membutuhkannya, dalam firman Allah SWT:
… dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa..( QS: Al Maidah: 2).[3]
 Adapun barang yang sudah dihibahkan tidak boleh diminta kembali kecuali hibah orang tua kepada anaknya dalam sabda Nabi :

لا يحلّ لرجل أن يعطى عطيّة أوييهب هبة فيرجع فيها الاّ الوالد فيما يعطى لولده. (رواه ابو داوود وغيره )
“Tidak halal bagi seseorang yang telah memberi sesuatu pemberian atau menghibahkan suatu hibah atau menarik kembali kecuali orang tuua yang memberi kepada anaknya.” (HR. Abu Daud)[4]
Rukun Hibah

Menurut jumhur ulama’ rukun hibah ada empat:
  1. Wahib (Pemberi). Wahib adalah pemberi hibah, yang menghibahkan barang miliknya kepada orang lain.
  2. Mauhub lah (Penerima). Penerima hibah adalah seluruh manusia dalam arti orang yang menerima hibah.
  3. Mauhub. Mauhub adalah barang yang di hibahkan.
  4. Shighat (Ijab dan Qabul). Shighat hibbah adalah segala sesuatu yang dapat dikatakan ijab dan qabul.
Syarat-syarat hibah

Hibah menghendaki adanya penghibah, orang yang diberi hibah, dan sesuatu yang dihibahkan.
  • Syarat-syarat penghibah
Disyaratkan bagi pengbhibah syarat-syarat sebagai berikut:
  1. Penghibah memiliki sesuatu untuk dihibahkan
  2. Penghibah bukan orang yang dibatasi haknya karena suatu alasan.
  3. Penghibah itu orang dewasa, sebab anak-anak kurang kemampuannya.
  4. Penghibah itu tidak dipaksa, sebab hibah itu akad yang mempersyaratkan keridhaan dalam keabsahannya.
  • Syarat-syarat bagi orang yang diberi hibah
Orang yang diberi hibah disyaratkan benar-benar ada waktu diberi hibah. Bila tidak benar-benar ada, atau diperkirakan adanya, misalnya dalam bentuk janin, maka hibah tidak sah. Apabila orang yang diberi hibah itu ada  di waktu pemberian hibah, akan tetapi dia masih atau gila, maka hibah itu diambil oleh walinya, pemeliharaannya atau orang mendidiknya sekalipun dia orang asing.
  • Syarat-syarat bagi yang dihibahkan
Disyaratkan bagi yang dihibahkan:
  1. Benar-benar ada
  2. Harta yang bernilai
  3. Dapat dimiliki dzatnya, yakni bahwa yang dihibahkan itu adalah apa yang bisa dimiliki, diterima peredarannya, dan pemilikannya dapat berpindah tangan. Maka tidak sah menghibahkan air di sungai, ikan di laut, burung di udara, masjid-masjid atau pesantren-pesantren.
  4. Tidak berhubungan dengan tempat pemilik hibah, seperti menghibahkan tanaman, pohon, atau bangunan tanpa tanahnya.
  5. Dikhususkan, yakni yang dihibahkan itu bukan untuk umum, sebab pemegangan dengan tangan itu tidak sah kecuali bila ditentukaan (dikhususkan) seperti halnya jaminan.[5]
Terdapat dua hal yang hendak dicapai oleh hibah yakni, Pertama, dengan beri memberi akan menimbulkan suasana akrab dan kasih sayang antara sesama manusia. Sedangkan mempererat hubungan silaturrahmi itu termasuk ajaran dasar agama Islam. Kedua, yang dituju oleh anjuran hibah adalah terbentuknya kerjasam dalam berbuat baik, baik dalam menanggulangi kesulitan saudaranya, maupun dalam membangun lembaga-lembaga sosial.[6]

Baca Juga : Makalah Tentang Model Penelitian Tafsir

PENUTUP

Kesimpulan
  • Hibah adalah merupakan suatu pemberian yang bersifat sukarela (tidak ada sebab dan musababnya) tnpa da kontra prestasi dari pihak penerima pemberian, dan pemberian itu dilangsungkan pada saat si pemberi masih hidup (inilah yang membedakannya dengan wasiat, yang mana wasiat diberikan setelah si pewasiat meninggal dunia).
  • Rukun hibah, yaitu : penghibah , penerima hibah, ijab dan kabul, dan benda yang dihibahkan.
  • Syarat-syarat hibah itu meliputi syarat penghibah, penerima hibah dan benda yang dihibahkan.
  • Penghibahan harta yang dilakukan oleh orang sakit hukumnya sama dengan wasiat. Menurut jumhur ulama seseorang dapat / boleh menghibahkan semua apa yang dimilikinya kepada orang lain.
PUSTAKA
  1. Al-Fauzan, Saleh, Fiqih Sehari-hari, Terj. Abdul Hayyie aal-Kattani, Jakarta: Gema Insani Press,2005
  2. Departemen AgamaRI,  Al-Qur’an dan Terjemahannya, Semarang: CV. Asyifa’ ,2001
  3. Idris, Abdul Fatah, dkk., Fikih Islam Lengkap, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004, Cet.  III
  4. M. Zein, Satria Effendi,  Problematika Hukum Keluarga Islam Konteporer, Jakarta: Kencana, 2004, Cet. I,
  5. Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah 14, Terj: Mudzakir, Bandung: PT Al ma’arif, 1987, Cet.  XX
  6. Shabir, Mushlich, Terjemah Tanbihul Ghafilin, Semarang: CV. Toha Putra,  1993
[1] Rachmat Syafei,  Fiqh Muamalah,  (Bandung: Pustaka Setia, 2001),  hlm. 242
[2] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 14, terj: Mudzakir, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1987), Cet.  XX, hlm. 174
[3] Departemen AgamaRI,  Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: CV. Asyifa’, 2001) hlm. 280
[4] H. Abdul Fatah Idris, dkk,  Fikih Islam Lengkap, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004), Cet.  III,  hlm. 197
[5] Sayyid Sabiq, 0p. Cit., hlm. 178-180
[6] H. Satria Effendi M. Zein, MA, Problematika Hukum Keluarga Islam Konteporer, (Jakarta: Kencana, 2004), Cet. I, hlm. 471-472

Subscribe to receive free email updates: