Karakteristik Paradigma Religius Yang Toleran

<Karakteristik Paradigma Religius Yang Toleran>Kita mengenal tiga agama besar di dunia, yakni  Islam, Kristen,  dan  Yahudi.  Ketiganya menegaskan bersumber dari Nabi Ibrahim as. Kesahihan  ajaran  Nabi  Ibrahim 'alaihis salam adalah beribadah kepada Allah secara ikhlas. Ikhlas  berarti  dijiwai  oleh  kesadaran tauhid, yakni  keyakinan tentang Allah Yang Maha Esa. Semua nabi mengajarkan tauhid, yakni menyembah dan meminta pertolongan hanya  kepada  Allah Ta’ala, mendirikan shalat dan menunaikan zakat.
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus dan supaya mereka mendirikan shalat danmenunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.” (Qs. Al-Bayyinah [98]: 5).
Kita sebagai muslim menghormati kemajemukan dan berperan aktif menjaga kerukunan umat beragama. Umat Islam menjadi pelopor kerukunan hidup beragama dan bekerjasama dengan semua orang, apa pun agamanya: Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu, dan lain-lain. 


Bagi umat Islam di Indonesia, dasar Ketuhanan Yang Maha Esa (YME) pada sila pertama Pancasila merupakan  terjemahan  dari  Al-Qur’an  surat  Al-Ikhlas,  surat  112,  ayat  1: “Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa”. Sekaligus juga seruan kepada semua umat beragama di Indonesia untuk mengesakan Allah secara murni, sebagaimana firman Allah:
Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukanDia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah".  Jika  mereka berpaling maka  katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah  orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)". (QS. AliImran[3]: 64).
Ajaran Islam membedakan secara tegas antara masalah ibadah dan muamalah. Dalam soal ibadah tidak boleh ada kreasi. Dalam soal ibadah dituntut dua prinsip, yakni: (1) Tidak beribadah dan meminta  pertolongan kecuali  kepada Allah, dan (2) tata  cara  peribadatan (menyembah Allah) harus berdasarkan pada apa yang telah disyariatkan-Nya  melalui teladan Rasulullah Muhammad SAW.  Dalam hal ibadah berlaku prinsip “bagimu agamamu bagiku agamaku!”.
http://aang-zaeni.blogspot.com/2017/04/karakteristik-paradigma-religius-yang.html

Katakanlah: "Hai orang-orang kafir! Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan Aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku." (Qs. Al-Kafirun[109]: 1-6).

Toleransi dan penghormatan terhadap kerukunan umat beragama dijunjung tinggi oleh Islam. Namun,  toleransi  itu  tidak boleh  terjebak pada  ‘penyeragaman  agama’  atau ‘sinkritisme  agama’. Tidak dibolehkan sembahyang atau doa bersama! Doa bersama bukanlah  bentuk toleransi beragama, melainkan ‘pengaburan’ identitas agama. Doa bersama merupakan pengingkaran  terhadap keyakinan tauhid uluhiyah. Dalam hal  ini agenda pluralisme agama dalam arti ‘penyeragaman atau penyatuan agama’ ditolak oleh para ulama. 

Pengakuan Islam terhadap ‘pluralisme agama’ bukan berarti Islam mengakui kebenaran agama lain. Meskipun, semua agama menganjurkan kepada pemeluknya untuk melaksanakan kebaikan dan menegakkan keadilan. Namun dari segi keyakinan (akidah), Islam dengan tegas dan jelas membentangkan pendirian dan menunjukkan kekeliruan paham trinitas, politheisme, pantheisme, atheisme, paganisme, praktik penyembahan terhadap roh leluhur, matahari, bulan, bintang, batu, pohon, dan seterusnya. Hal itu pengingkaran secara mendasar terhadap kemurnian paham tauhid, paham Ketuhanan Yang Maha Esa. 

Ibadah harus didasarkan  pada  kesadaran iman  dan ihtisaban (mengharap  ridha  Allah Ta’ala). Amal ibadah yang tidak didasarkan atas iman akan sia-sia, tidak berarti, musfra, bagaikan fatamorgana. Demikian juga dengan amalan yang dilakukan demi  popularitas atau  pujian manusia (riya’). Rajin shalat dan senang bersedekah dengan mengharapkan dukungan rakyat, bukan mengharapkan ridha Allah, tidak bernilai di sisi Allah. 

Amal ibadah adalah kewajiban orang-orang yang telah menyatakan diri beriman (muslim). Nonmuslim tidak wajib (bahkan dilarang) melakukan  praktik  peribadatan  berdasarkan Islam. Tidak boleh shalat di Masjid atau melaksanakan haji di Baitullah, Makkah. Demikianlah Islam sejak awal mengajarkan toleransi dan menghargai kemajemukan tanpa mengaburkan kemurnian identitas Islam. Umat Islam senantiasa merawat identitas sebagai muslim dengan baik. Komitmen religius itu dinyatakan  dengan tegas dan lugas, sebagai berikut: 
''Sesungguhnya sholatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang  yang  pertama-tama  menyerahkan diri (kepada Allah)". (Qs.  Al-An’am [6]: 162-163).
Disadari bahwa agama merupakan kekuatan moral dan etik dalam mempersatukan bangsa Indonesia yang berdasarkan  Ketuhanan Yang Maha Esa. Tidak diragukan lagi, Islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia yang tersebar di seluruh daerah adalah  perekat persatuan bangsa Indonesia. Meskipun demikian, patut diwaspadai munculnya ‘radikalisme agama’ yang eksklusif dan intoleran, yang dapat  memicu terjadinya disintegrasi bangsa. 


Toleransi dan pengakuan terhadap pluralistas agama dalam Islam diperlihatkan dengan kesediaan hidup bersama dalam bermuamalat, seperti kehidupan keluarga. Hubungan anak dan orangtua idealnya dibangun atas dasar iman tauhid. Namun ketika anak memilih untuk menganut  agama yang berbeda  dengan agama orangtua, maka anak tetap wajib melayani orangtua dengan pelayanan yang terbaik. Islam mengajarkan untuk memperlakukan orangtua, Ayah atau Ibu dengan baik, meskipun mereka berbeda keyakinan. 
''Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik)  kepada  dua  orang  ibu-bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya  dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, danikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (QS. Luqman [31]: 14-15).
Ajaran Islam menggariskan bahwa setiap manusia bersaudara. Meskipun secara sosial kita berbeda, baik jenis kelamin, warna kulit, kultur, maupun status sosial, tetapi kita semua berasal dari kakek moyang yang sama, yakni Adam as. Meskipun Islam, Kristen, Yahudi,Hindu, Budha,Konghucu dan lainnya ‘berbeda’ dalam soal prinsip keyakinan dan kepercayaan. Bahkan kita, umat Islam dapat mengatakan bahwa mereka yang nonmuslim itu kafir, dengan dalil dan argumentasi yang meyakinkan. Namun  kita  dapat  melakukan kerjasama dalam kebaikan, menegakkan keadilan dan menciptakan perdamaian. Kita harus menjaga persahabatan dan interaksi sosial dengan siapa pun secara adil dan beradab. Inilah bentuk kerukunan umat beragama yang sahih.


Dalam kehidupan bernegara, kerukunan umat beragama diperlihatkan melalui komitmen dan tanggungjawab bersama dalam mewujudkan persatuan nasional dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Tangungjawab bersama itu dibuktikan dengan kerelaan  membayar pajak (jizyah). Dalam konteks Indonesia, pajak  dan  pungutan lain yang bersifat memaksa itu diatur dengan undang-undang. Hal ini dapat kita pahami dari firman Allah berikut:  
Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalamkeadaan tunduk. (Qs. at-Taubat [9]: 29).
Nonmuslim yang rukun ditengah kaum muslimin dan membayar pajak (jizyah) secara rutin, diperlakukan seperti yatim. Mereka yang  membayar pajak  harus dilindungi  dan dijamin  keamanan dan hak-hak  kewargaan lainnya,  termasuk kebebasan  beribadah dan keadilan  hukum. Dengan kata lain, ada keharusan moral  bagi negara untuk merumuskan hukum dan perundang-undangan  dengan memperhatikan rasa keadilan rakyat, sesuai ajaran agama dan hukum adat yang hidup dalam hati sanubari masyarakat.

Umat Islam adalah pelopor penggerak semangat religiusitas yang toleran dalam masyarakat yang plural. Kewajiban moral kita bersama adalah menjaga dan menghargai kemajemukan dengan melakukan ta’aruf melalui  dialog  secara  terbuka,  termasuk  dialog menyangkut  soal  ideologi  dan agama. Dalam soal ini Islam mengajarkan agar dialog didasarkan pada hikmah dengan pendekatan kultural dan  mengedepankan moral intelektual. Firman Allah :
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang  lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”(QS. An-Nahl [16]: 125).
Hikmah adalah derajat ilmu tertinggi yang mencapai filosofi nilai, makna, wisdom, atau kebijaksanaan. Dialog bil hikmah membentangkan garis tegas antara  yang  hak  dengan yang  bathil. Kemudian  dialog  bermuara  pada  tingkat  aksiologis, yakni  seruan  bersama dalam  menegakkan amar ma’ruf nahyi munkar, melaksanakan kebaikan, mencari yang halal dan thoyyib, serta meninggalkan segala yang haram dan memicu kerusakan. 

Jika  dalam dialog  itu terjadi perdebatan alot, maka pertukaran pikiran harus didasarkan pada argumentasi dan bukti, yakni fakta, informasi  dan  data  yang  sudah  divalidasi kebenarannya secara objektif. Bukan didasarkan pada rumor, kecurigaan, atau  isu yang pada akhirnya mengarah pada fitnah. 

Kita menyadari bahwa tidak semua hal bisa dirundingkan! Terutama menyangkut masalah keyakinan, kepercayaan dan agama. Dalam soal keyakinan agama inilah, Islam menekankan pada toleransi, yakni saling menghormati perbedaan dan memberi kebebasan kepada masing-masing individu untuk beribadah sesuai  agama dan kepercayaannya. Namun, jika terjadi klaim kebenaran dalam perdebatan yang tak berujung itu–hal ini tidak disarankan dalam Islam–maka  jalan  akhir yang dapat diambil adalah bermubahalah .Biarlah Allah yang memutuskan siapa yang benar dan siapa yang salah.

Subscribe to receive free email updates: