ISLAM RAHMATAN (Paradigma Keberagamaan Inklusif, Toleran dan Damai

< ISLAM RAHMATAN (Paradigma Keberagamaan Inklusif, Toleran dan Damai > Salah satu bukti kebermukminan kita adalah berusaha meneladani baginda Nabi Muhammad SAW dengan senantiasa menebarkan rahmat dan keindahan islam kepada siapa saja dan kepada sekalian makhluk, karena ke-Rasulan beliau  adalah  rahmat  buat semesta raya dan semesta umat manusia sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an:
“dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.”(QS. 34/Saba’: 28)

Dan  ayat  lain:
“Katakanlah: "Hai manusia Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua". (QS. 7/al-A’raf: 158).
Islam rahmatan lil  alamin, sebuah istilah yang sudah tidak asing bagi kaum muslimin/mukminin sebagai firman Allah:
“Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. (QS. 21/al-Anbiya’: 107)
Kata kunci ayat di atas adalah rahmat. Dalam Lisan al-Arab makna ar-Rahmah  adalah: ar-Ruqqah waat-Ta’aththuf  yaitu “kelembutan yang terpadu dengan rasa iba (kasih sayang). Jadi diutusnya Nabi Muhammad SAW, adalah wujud kasih sayang Tuhan kepada seluruh umat manusia.
http://aang-zaeni.blogspot.com/2017/03/islam-rahmatan-paradigma-keberagamaan.html

Kata rahmat ditafsirkan secara beragam oleh ulama-ulama tafsir antara lain:
  • Tafsir Ibnul-Qoyyim al-Jauziyah seperti dikutip Prof. Nur Syam bahwa semesta  raya mendapat manfaatnya dengan diutusnya Muhammad SAW, dan orang-orang yang mengikuti beliau dapat meraih kemuliaan dunia akhirat. Oleh karena itu orang-orang munafik dan non muslim pun mendapat manfaat berupa terjaga; darahnya, hartanya, keluarga dan kehormatannya; serta memperoleh perlakuan sama dengan kaum muslimin. Jadi Islam adalah rahmat buat semua, namun buat orang beriman, akan mendapat manfaat dunia dan akhirat, sedang yang menolak atau mengingkarinya, tidak mengurangi nilai rahmat sedikitpun.
  • Dalam Fathul Qadir, Muhammad bin Ali as-Syaukany menafsirkan bahwa satu-satunya alasan Kami mengutusmu Muhammad, adalah sebagai rahmat yang luas, karena Kami mengutusmu dengan  membawa  sesuatu yang menjadi sebab kebahagiaan dunia-akhirat.
  • Muhammad bin Jarir at-Thabary; menafsirkan bahwa rahmat itu buat semua (mukmindan kafir) seperti riwayat Ibn Abbas
من امن بالِلّ واليوم الاخر كتب له الرحمة فى الدنيا والاخرة، ومن لم يؤمن بالِلّ ورسوله
، عوفى مما اصاب الامم
من الخسف والغرق
 /
والقذف
“Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, ditetapkan baginya rahmat didunia dan di akhirat. Namun siap saja yang teridak beriman, bentuk rahmat buat mereka adalah dengan tidak ditimpa musibah, sebagaimana pernah menimpa umat terdahulu berupa “ditenggelamkan atau ditimpa gelombang besar”.

Masih  terdapat  sejumlah  riwayat  lain  yang  redaksinya  sedikit  beda  tapi  sama maknanya, seperti yang dikutip oleh al-Qurthuby dalam tafsirnya, bahwa nabi bersabda:

كان محمد صلى الله عليه وسلم رحمة لجميع الناس، فمن امن به وصدق به سعد، ومن لم يؤمن به سلم مما الحق الْمم
من الخسف والغرق
“Bahwa Rasulullah Muhammad SAW, adalah rahmat bagi seluruh umat manusia, maka barang siapa yang beriman dan membenarkannya, dijamin bahagia dan barang siapa yang tidak beriman dengannya, diselamatkan (memperoleh  keselamatan) dari musibah berupa ditenggelamkan di dalam bumi dan air, seperti umat-umat terdahulu”.
As-Shabuny dalam sofwatu at-Tafasir mengutip sebuah hadits pendek yang diriwayatkan al-Bukhary ..... 
إنما أنا رحمة مهداة
......  “ bahwasanya saya adalah rahmat yang dihadiahkan”.

Untuk memperkuat pandangan-pandangan di atas, kembali mengutip pendapat Ibn.Abbas bahwa; “Allah SWT mengutus Muhammad SAW adalah rahmat bagi seluruh manusia (mukmin dan kafir). Bagi mukmin Allah memberinya petunjuk dengan sebab diutusnya Muhammad SAW, dan memasukkan mereka ke surga karena iman dan amal saleh. Sedangkan rahmat bagi si kafir berupa tidak disegerakannya bencana menimpa mereka seperti yang terjadi pada umat terdahulu yang mengingkari ajaran Allah SWT”.

IslamRahmatan:Inklusif, Humanis, dan Toleran

Sejak awal kemunculannya, Islam yang rahmatan lil 'alamin adalah Islam yang mengusung  toleransi  (sikap terbuka-inklusif-moderat). Rasulullah SAW mengajarkan kepada kita agar menghormati  orang yang berbeda keyakinannya dengan kita, bahkan dalam kondisi perang yang berkecamuk sekalipun, Rasululah SAW melarang sahabat-sahabatnya untuk merusak tempat-tempat ibadah umat agama lain. Pesan Nabi ini terus menggema di telinga para umat, para pejuang Islam sesudahnya, sebagaimana diperlihatkan oleh Sultan Shalahuddin al-Ayyubi yang meliburkan pasukan muslim pada perang Salib hanya untuk menghormati pimpinan tertinggi Kristen (Katolik) yang sedang sakit dan mendoakannya.  
 
Potongan  hadis  di  awal  tulisan  (motto)  di  atas: 
بعثَ بالحنفية السمحة
: “Aku diutus dengan (menyebarkan) agama yang toleran” menjadi dasar bahwa Islam adalah agama toleran, agama hanief yang mengajarkan sikap lapang dada. Secara geneologis, kehanifan (al-Hanafiyah) adalah agama yang dibawa oleh Nabi Ibrahim as, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an yakni sebagai agama yang lurus, toleran dan berserah diri kepada Tuhan secara total (hanifan musliman). Bahkan Nabi Ibrahim as meminta kepada Tuhan agar Ismail, Ishak dan keturunannya menjadi nabi-nabi yang mengamalkan ajaran tersebut yakni tunduk, patuh dan berserah diri kepada Tuhan (QS. 2: 128-133).

Ayat yang senada dan hampir sama maknanya cukup banyak dalam al-Qur’an, oleh karena itu tidak salah jika dikatakan bahwa al-Qur’an adalah kitab suci yang paling toleran. Walau memang tidak ada kata (istilah) toleransi-al-tasamuh secara eksplisit, tetapi jika yang dimaksud dengan toleransi adalah sikap saling menghargai, menerima serta menghormati keragaman budaya dan perbedaan berekspresi, maka al-Qur’an merupakan kitab suci yang secara nyata  memberikan  perhatian  terhadap  toleransi. Demikian ungkap Yohanan Freedmann, seorang Guru Besar Studi Islam di Universitas Hebrew, Jerussalem, sebagaimana dikutip Zuhairi Misrawi.

Contoh ayat al-Qur’an yakni surat al-Baqarah : 62 yang intinya bahwa, orang Muslim, Yahudi, Kristen dan Sabian yang beriman kepada Tuhan, hari Akhir dan beramal saleh,  akan mendapatkan imbalan yang setimpal di hari perhitungan nanti. Untuk mengetahui lebih detail mengenai tafsir ayat ini silahkan baca “Tafsir al-Azhar” Buya HAMKA.

Di lain ayat, al-Qur’an menyebut bahwa di kalangan ahlul kitab, terdapat orang-orang saleh. Terjemahan ayatnya; “Mereka itu tidak sama; di antara ahlul kitab itu ada golongan yang konsisten, mereka membaca ayat-ayat Tuhan pada beberapa waktu dimalam hari, mereka juga bersujud. Mereka beriman kepada Tuhan dan hari akhir, menyuruh kepada kebaikan, dan mencegah dari yang mungkar, dan bersegera kepada pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang saleh”. (Q.S. Ali Imran: 113-114).    

Bila dibaca secara“critical thinking”, dapat dikatakan bahwa Islam (al-Qur’an) telah memberikan simpati yang amat luar biasa terhadap ahlul kitab. Secara historis, tatkala ayat yang senada dengan ayat ini (misalnya surat 3:199) diturunkan, sudah terdapat fakta keragaman agama, sekaligus keragaman pemeluknya. Mereka hidup berbaur dengan umat Islam. Sebagian mereka diapresiasi dengan sangat mulia oleh al-Qur’an, tapi juga sebagiannya dikecam karena melakukan kezaliman. Nah terhadap kelompok yang zalim,al-Qur’an mengajarkan untuk bertindak defensif dalam rangka menjaga kehormatan (bacakembali QS. 29: 46, dan S. 3: 110).

Dari kutipan ayat-ayat di atas dapat ditarik benang merah bahwa Islam yang rahmat itu terwujud pada sikap ber-Islam  yang inklusif, humanis dan toleran, yang oleh Cak Nur (panggilan-Nurcholish Madjid) ini memberikan sebuah formula bahwa Islam merupakan agama terbuka (open  religion). Sikap ini seharusnya lebih ditonjolkan dalam menyikapi pluralisme dan kebhinnekaan seperti Indonesia, dan seharusnya pula umat Islam tampil sebagai “mediator” atau penengah, adil dan fair dalam hubungan antar kelompok yangberbeda-beda.
.
وكذلك جعلناكم امة وسطا لتكوا شهداء على الناس
 ....
البقرة
...
dan  demikian  (pula)  Kami  telah  menjadikan  kamu  (umat  Islam),  umat  yang  adil  dan
pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia ....(Al Baqarah: 143)

Oleh karena itu, sikap yang sebaliknya yakni ekslusivisme dan absolutisme secara otomatis ditolak atas nama Islam. Dengan sikap inklusif dan toleran, kita bisa memberi tempat pada pluralisme dan kebhinekaan, yang disertai ketulusan menerimanya secara positif-konstruktif sebagai rahmat Tuhan untuk memperkaya dan mendinamisasi interaksi budaya yang heterogen.

Sikap seperti ini adalah sati dari sekian opsi yang disediakan oleh Islam (meminjamistilah Gus Dur) untuk merespon persoalan. Islam merupakan agama yang “memayu hayuning bawono”. Agama  yang mampu menjadi pelindung, penyemarak gerak hidup pemeluknyatanpa harus tercabut dari  jati diri pemeluk itu sendiri.

Islam yang mengusung demokrasi, terbuka, egaliter dan kosmopolit, mampu menyerap kehidupan modern, namun tetap dalam bingkai nilai-nilai ke-Islaman. Dalam konteks keber-Indonesiaan dan keber-Pancasilaan menurut Cak Nur, Islam inklusif-toleran menerima dan menetapkan Pancasila sebagai landasan yang kukuh, bagi pengembangan toleransi beragama dan pluraisme ke-Indonesiaan. Pancasila tidak bertentangan dengan Islam, melainkan sejalan dengan prinsip-prinsip Islam (baca Piagam Madinah). Oleh karena itu, mengukuhkan Pancasila sesungguhnya adalah juga mengukuhkan Islam di bumi Indonesia. Keduanya ibarat mata uang yang memiliki dua sisi yang sama.

Islam Rahmatan dan Pesan Damai

Sebagaimana telah diutarakan di awal tulisan ini,  bahwa agama pada hakekatnya membawa  pesan damai atau misi perdamaian. Hal ini sejalan dengan salah satu makna Islam yang diambil dari istilah (salima) dan (aslama) adalah الصلح والامن (as-shulhuwal amnu) yakni damai dan toleran. Oleh karenanya tidak dibenarkan adanya tindakan anarkis atau kekerasan. Islam dalam hal ini al-Qur’an sangat menjunjung tinggi nilai-nilai tersebut  menurut  mufassir (ahli  tafsir) Muhammad Thahir bin ‘Asyar, seperti dikutip Zuhairi perlu dihadirkan kembali di tengah krisis dan pelanggaran kemanusiaan, yang terkadang dilakukan dengan dalih atas nama dan membela agama (Islam).

Segala tindak kekerasand engan dalih atas tersebut sesungguhnya, tidak dibenarkan karena bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam yang cinta damai dan menebarkan kasih sayang. Rasulullah SAW bersabda: ....
فإفشاء السلَم /
أفشوا السلَم بينكم ....
الحديث
“Sebarkan dan tebarkan (taburkan) aroma damai di antara kamu” sebagai  jalan meraih derajat yang tinggi di sisi Allah SWT.
Islam dengan cara menebarkan kedamaian tersebut telah menjadi merek atau ciri yang menonjol di masa keemasan Islam (abad 7-13 M). Umat Islam dapat hidup berdampingan dengan umat lain dalam suasana damai. Bahkan dalam beberapa periode kekuasaan dinasti Abbasiyah memiliki sejumlah pejabat setingkat Gubernur dan menteri adalah non muslim (baik Yahudi, Nasrani dan bahkan Majusi), padahal saat itu  Islam menjadi pusat peradaban dunia. Pada zaman Nabi SAW (periode Madinah), semua agama dapat hidup berdampingan dalam suasana damai dan toleransi tinggi. Hal ini dapat kita baca dari point-point PIAGAM  MADINAH yang merupakan sebuah konstitusi teulis dan tersistematis pertama kali ada di dunia. Bahkan dalam kekuasaan Islam sebagaimana Ungkap Sayidina Ali  ra, ada jaminan keselamatan, kenyamanan, perlindungan hukum terhadap harta dan jiwa mereka yang non muslim, sebagaimana kaum muslim sendiri. 

Apa  yang dikatakan oleh Sayidina Ali ra, secara eksplisit, maupun inplisit termuatdalam Khutbah Wada’ Baginda Nabi Muhammad SAW yakni menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan Universal, menghargai manusia atas dasar prinsip egalitarianisme, demokratis, partisipatif, berkeadilan dan beradab serta menebarkan perdamaian.
Dalam konteks sejarah Islam Indonesia (baca Penyebaran Islam di Nusantara) Islam dengan wataknya yang toleran, inklusif dan mengedepankan/menebarkan aroma damai, menjadikannya sebagai agama yang paling cepat berkembang dan paling cepat diterima oleh masyarakat Indonesia. Terbukti hingga kini Islam menjadi agama mayoritas masyarakat Indonesia. Walau demikian, warisan sejarah masa lalu yang terkait dengan agama selain Islam, yakni Hindu dan Budha dengan candinya yang  megah,  tetap  tegak berdiri, bahkan dijaga/ dirawat oleh umat Islam yang merupakan umat mayoritas disekitar candi-candi tersebut. Jadi dengan demikian  Islam yang damai (mengedepankan kedamaian) sudah menjadi “merek paten”. Islam Indonesia, walau belakangan ada sejumlah kasus seperti tindakan teror (terorisme) atas nama agama, yang dilakukan oleh segelintir orang, dan sudah barang tentu bukan merepresentasi muslim Indonesia. Muslim Indonesia  adalah  muslim  moderat yang diwakili oleh dua ormas Islam terbesar yaitu Muhammadiyah dan NU. Keduanya menurut Dien  Syamsuddin, laksana burung merpati dengan kedua sayapnya menerbangkan Islam dengan corak/paham Islam moderat (wasthiyah) khas Indonesia.

Oleh karenanya gagasan tentang Islam rahmatan merupakan kekuatan terbesar di Indonesia, secara terus menerus (selalu) menemukan momentum untuk  tampil di garda depan sebagai penyejuk dan penebar kedamaian, ketika bangsa ini, mengalami situasi-situasi “kritis dan krusial”. Islam rahmatan; Inklussif–Toleran dan Damai, betul-betul cocok untuk bumi Indonesia tercinta, karena telah teruji oleh dinamika sejarah.

Kesimpulan 

Islam yang dibawa baginda Nabi Muhammad SAW adalah agama Rahmatan Lil’alamin, yang makna generiknya adalah kelembutan dan kasih sayang. Sebagai sebuah system way of life yang komprehensif Islam mengajarkan perlunya mengedepankan sikap Islam yang inklusif, humanis, toleran dan damai didalam merespon “realitas kebhinekaan Indonesia sebagai sebuah “takdir sosial“ dan mengelolanya secara positif kontruktif untukkebaikan, dan kemaslahatan bersama. Islam rahmatan,  dan  muslim  moderat,  merupakan khas Indonesia dan sudah teruji oleh sejarah, dan oleh karenanya didalam berbagai situasiyang krusial, Islam dan muslim Indonesia tetap menemukan momentumnya sebagai agama yang mengedepankan sikap-sikap: inklusif, humanis, toleran dan damai.

Subscribe to receive free email updates: