Contoh Teks Khutbah Jumat Tanpa Tulisan Arab: Tugas Dakwah Seorang Muslim

<Contoh Teks Khutbah Jumat Tanpa Tulisan Arab: Tugas Dakwah Seorang Muslim> Pertama-tama dan utama, marilah dalam kesempatan ini kita bersama-sama memanjatkan puji  dan  syukur ke khadirat Allah SWT. yang mana atas izin-Nya jualah sehingga dapatlah pada siang ini kita bersama-sama menunaikan fardhu Jum’at di masjid yang mulia dan terhormat ini.

Maasyiral Muslimin Sidang Jum’at yang dirahmati Allah SWT.

Ada suatu sinyalimen yang kuat, yang menyatakan bahwa manusia itu pada umunya mengalami kerugian. Sinyalimen ini ditujukan kepada manusia pada umumnya. Kami khawatir, jangan-jangan diantara kita atau sebagian besar kita ini tergolong orang yang rugi tersebut.

Seseorang yang rugi, dalam hal perkara dagang misalnya. Mungkin lantaran kurang hati-hati, kurang perhitungan, sehingga seseorang mengalami kerugian. Namun kerugian ini akan dapat kita tutupi manakala kita melakukan kegiatan perdagangan lagi di masa-masa yang akan datang, dan mungkin saja justeru kita memperoleh keuntungan, sehingga kerugian sebelumnya dapat kita tanggulangi, karena memang, untung rugi merupakan persoalan biasa dalam jual beli.

Namun, hadirin sekalian, kerugian yang dimaksudkan di sini, yang disinyalir ini, bukan kerugian dalam hal perkara dagang dan bukan kerugian yang ada di dunia ini saja, tetapi kerugian yang akan dibawa mati, atau kerugian yang diderita seseorang sejak di dunia kini hingga di akhirat nanti, dan tidak ada kesempatan lagi untuk menebusnya.
http://aang-zaeni.blogspot.com/2017/03/contoh-teks-khutbah-jumat-tentang-tugas.html

Kaum Muslimin Rahimakumullah

Saya yakin, kita semua tidak ada yang ingin rugi, kita semua ingin untung. Apapun status, profesi dan jabatan kita, apakah kita sebagai pegawai, karyawan, pengusaha, buruh, tani, nelayan, pedagang seniman dan sebagainya, semua ingin un-tung, semuanya berusaha agar memperoleh keuntungan, baik keuntungan yang bersifat material dan atau keuntungan yang bersifat non material, keuntungan yang bersifat jasmani dan atau keuntungan yang bersifat rohani. Tetapi, kenapa sinyalimen ini menyatakan bahwa manusia itu pada umumnya mengalami kerugian, padahal tak seorangpun diantara kita yang ingin rugi, dan ini sudah merupakan tabi’at dan naluri manusia sepanjang zaman. Betapa tidak, hadirin sekalian, orang-orang yang dinyatakan oleh Allah sebagai orang-orang yang rugi itu adalah, lantaran  mereka mengandalkan dirinya, menyandarkan dirinya atau menggantungkan dirinya, kepada sesuatu yang tidak dapat diandalkan, tidak dapat diharapkan.

“Demi masa (waktu)”        وَالْعَصْرِ        

Allah bersumpah dengan masa. Allah bersumpah dengan waktu. Karena perkara waktu inilah, kadang-kadang manusia itu lalai. Karena perkara waktu inilah, terkadang manusia itu salah hitung, salah perhitungan. Betapa mudahnya kita menghabiskan waktu begitu saja. Betapa cepatnya kita dimakan oleh waktu. Namun, sayangnya banyak diantara kita yang belum menyadarinya. Umur kita yang semakin setahun semakin bertambah, pada hakikatnya justeru semakin berkurang semakin berkurang. Hitungannya memang bertambah, namun jatahnya berkurang Oleh karenanya tidaklah berlebihan jika Rasulullah SAW. memperingatkan :“Perhatikanlah lima perkara ini, sebelum datang lima perkara, yaitu : hidupmu sebelum datang ajalmu, jagalah kesehatanmu sebelum datang sakitmu, manfaatkan sebaik-baiknya kesempatanmu sebelum datang kesempitanmu, manfaatkan masa mudamu sebelum datang masa tuamu, manfaatkan kekayaanmu sebelum datang masa fakirmu”.

Hadirin Kaum Muslimin rahimakumullah

Orang-orang yang tidak mampu memanfaatkan minimal lima perkara yang diperingatkan oleh Rasulullah ini kepada hal-hal yang diridhai oleh Allah SWT maka orang-orang inilah yang dinyatakan oleh Allah sebagai orang-orang yang rugi, seperti yang dinyatakan Allah SWT: “Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian”(QS. Al-Ashr ayat2).

Ada orang yang mengandalkan dirinya atau  menggantungkan  harapannya kepada harta. Tiap pagi hingga petang, bahkan sampai malam, kesehariannya selalu disibukkan oleh usaha-usaha mencari harta. Dia sangka, hartanya itulah harapan segala-galanya. Dia berharap, dengan  hartanya ini, dapat membawa hidupnya bahagia. Dengan hartanya ini, kehormatan dirinya akan bertambah. Status sosialnya akan menjadi lebih baik. Dan seterusnya, dan seterusnya. Pada mulanya ia ingin menguasai harta, namun tanpa disadarinya ia sendiri justeru yang dikuasai oleh hartanya. Sering ia tak dapat tidur, lantaran terlalu memikirkan harta. Akal dan pikirannya hanya tercurah untuk mencari dan menumpuk-numpuk harta, sehingga tak jarang melalaikan ia untuk mengingat Allah dan melalaikan ia untuk berbuat baik terhadap sesama, bahkan melalaikan ia untuk bersilaturrahmi dengan keluarga, tentangga dan masyarakat. Waktunya nyaris tak tersisa sedikitpun, karena telah habis untuk kepentingan bisnis dan bisnis.


Muslimin Sidang jum’at Rahimakumullah.

Manusia hidup memang memerlukan harta. Bahkan harta merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan. Namun demikian, Islam mengarahkan agar harta yang kita peroleh, hendaknya kita pergunakan sebagai bekal dan sarana bagi kesempurnaan ibadah dan pengabdian kita kepada Allah semata.

Cinta kepada harta boleh saja, tetapi hati yang kelewat cinta pada harta pada gilirannya akan memperbudak dan menjajah diri kita sendiri. Kalau sudah begini keadaannya, maka tidak ayal lagi harta akan menjadi cikal bakal sumber malapetaka, tidak saja di dunia kini,  tetapi  juga sampai ke akhirat nanti. Tengoklah sekeliling kita, tidak sedikit nilai yang tinggi dan luhur dapat dikalahkan oleh nilai yang rendah dan tak terpuji, karena harta. Persaudaraan terputus, terjadi saling menyakiti, saling menganiaya, saling mendhalimi, sikut menyikut, terjadinya pertikaian perselisihan, perkelahian bahkan bunuh membunuh, disebabkan karena harta. Jika sudah demikian keadaannya, maka harta tidak lagi menjadi kebanggaan, tidak lagi menjadi tumpuan kebahagiaan, namun harta justeru akan membuat hidup sengsara, tidak aman dan tidak tenteram. 


Ada lagi sementara orang yang mengandalkan dirinya kepada pangkat dan jabatan. Dia pikir dengan pangkat dan jabatan inilah akan memberikan kesejahteraan dan menentukan nasib dirinya, sengsara atau bahagia. Dia kira dengan pangkat dan jabatan inilah yang menentukan wibawa dan kehormatan dirinya di mata orang lain. Sayang, ia lupa bahwa yang menyebabkan ia sejahtera, sengsara atau bahagia, berwibawa atau terhormat adalah bukan karena jabatannya itu, tetapi justeru terletak pada bagaimana ia menyikapi pangkat dan jabatannya itu. Sama halnya mungkin, seorang aktor sinetron, dipuja tidaknya dia oleh penggemarnya, oleh penontonnya, bukan karena perannya, tetapi justeru terletak pada bagaimana ia memainkan peran tersebut dengan baik. Walaupun ia hanya berperan sebagai si Cecep, seorang anak kampung yang logo, namun karena ia sangat bagus memerankannya, sehingga Anjasmara, orang yang memegang peran ini, mendapat sambutan dan jempolan para para penontonnya.

Ingatlah bahwa, disadari atau tidak, pangkat dan jabatan sewaktu-waktu akan meninggalkan kita. Apalah artinya sebuah pangkat atau jabatan, kalau kita tidak mampu menyikapinya dengan baik dan bijaksana, yang pada gilirannya akan mengucilkan kita di mata masyarakat. 

Berupaya untuk memperoleh suatu pangkat dan jabatan memang dianjurkan. Namun Islam memperingatkan agar jangan sampai lantaran punya pangkat dan jabatan, lalu membuat kita sombong, angkuh dan takabbur, sehingga tak kenal lagi mana yang hak mana yang bathil. Terjadilah kasus penyalahgunaan jabatan, korupsi, manipulasi, suap/sogok dan sebagainya serta hal-hal lainnya yang tidak dibenarkan oleh Islam. Jika sudah demikian maka  orang yang seperti  ini akan merugi dan merugikan.

Para Hadirin Kaum Muslimin Rahimakumullah

Banyaklah lagi contoh-contoh lain sikap dan pendirian serta prilaku orang-orang yang dinyatakan oleh Allah sebagai orang-orang yang rugi, yang kiranya tidak mungkin kita uraikan secara detil pada kesempatan ini. 

Sekarang timbullah pertanyaan kita. Jika Allah menyatakan bahwa manusia itu pada umumnya mengalami kerugian, tentu tidak semuanya kan? Ya memang, tidak semuanya manusia itu mengalami
kerugian, tentu ada kecualinya, seperti yang dinyatakan Allah selanjutnya :“Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh serta nasehat menasehati di dalam menegakkan kebenaran dan nasehat menasehati di dalam melakukan kesabaran” (QS. Al-Ashr ayat 3).
Ma’asyiral Muslimin Sidang Jum’at Rahimakumullah

Jika kita ingin terhindar dari tuduhan Allah sebagai manusia yang rugi, tentu harus mampu memenuhi minimal tiga persyaratan. Tiga persyaratan tersebut adalah :
  1. “Aamanu”,yaitu beriman kepada Allah dengan sebenar-benar iman;
  2. “Wa’amilush shaalihaati”, yaitu beramal shaleh, yakni melakukan tindakan sosial atau kemanusiaan yang kemanfaatannya dapat dirasakan oleh orang banyak;
  3. “Tawaa shaubil haqqi, wa tawaa shau bil shabri, dalam hal ini amar ma’ruf nahi munkar. Yang terakhir inilah yang dikenal dalam Islam sebagai Tugas Dakwah Seorang Muslim.
Tugas dakwah adalah tugas kita semua. Janganlah ada diantara kita yang beranggapan bahwa tugas da’wah itu hanyalah tugasnya para Da’i, para Ustadz-Ustadzah, para Ulama dan para Kiyai, tetapi tugas da’wah adalah tugas kita semua secara pribadi, tanpa terkecuali.

Rasulullah SAW. pernah bersabda :“Sampaikanlah (ilmu yang kau dapat) dariku, walau hanya satu ayat sekalipun”.

Berda’wah itu tidak saja dilakukan melalui ucapan lisan di atas mimbar misalnya, tetapi berda’wah itu mengandung arti dan pengertian yang amat luas. 

Bagi kita yang punya keterampilan melukis, maka lakukanlah da’wah melalui lukisan yang kita buat, misalnya melukis masjid, melukis kaligrafi Al-Qur’an dan membuat lukisan-lukisan lainnya yang bernuansa Islami.  Bagi  kita  yang  pandai menyanyi, maka lakukanlah da’wah melalui pesan-pesan syair lagu yang kita nyanyikan. Bagi kita yang bekerja sebagai pedagang, maka lakukanlah da’wah melalui kegiatan-kegiatan jual beli, dengan mengedepankan segi-segi kejujuran. Bagi kita yang berstatus sebagai pegawai atau karyawan, maka lakukanlah da’wah dengan menunjukkan etos kerja yang baik dan menjauhi perbuatan-perbuatan yang dilarang agama, seperti menipu, korupsi dan sebagainya. Pendeknya, apapun pekerjaan kita, apapun status dan jabatan kita, semuanya itu dapat kita manfaatkan untuk kepentingan da’wah Islamiyah. 

Sebagai seorang seniman, tunjukkanlah kepada penggemarmu, bagaimana menjadi seniman yang baik, yang menjunjung tinggi nilai-nilai Islam. Sebagai seorang pedagang, tampakkanlah kepada pembeli-pembeli anda bagaimana seorang muslim berdagang. Sebagai seorang pegawai atau karyawan, jadilah seorang pegawai/karyawan yang menjunjung tinggi nama baik instansi atau perusahaannya, juga nama baik dirinya dan keluarganya. Demikianlah seterusnya. Jadi, kegiatan da’wah itu sangat luas bidang dan jangkauannya yang meliputi da’wah bil lisan (da’wah dengan lisan/kata-kata) dan  da’wah bil hal (da’wah dengan perbuatan).

Akhirnya, marilah kita bermohon kepada Allah SWT agar diberi-Nya kekuatan dan kemampuan untuk menyampaikan risalah suci ini ke tengah-tengah ummat, sehingga kehadirannya betul-betul menjadi “rahmatan lil ‘alamin”.

Subscribe to receive free email updates: