Makna Syahadat dan Aplikasinya Dalam Kehidupan Sehari-Hari Seorang Muslim

<Makna Syahadat dan Aplikasinya Dalam Kehidupan Sehari-Hari Seorang Muslim> Islam adalah diin (keyakinan) samawi, yaitu  keyakinan yang bersumber dari wahyu Allah yang berbentuk kitab suci, seperti halnya agama Yahudi asli dan Nasrani asli. Islam bukan agama budaya atau agama yang dibentuk dari hasil pemikiran hikayat atau kebiasaan/adat yang menggunakan budaya sebagai tonggaknya. Pilar Islam sebagai agama adalah keyakinan yang benar, keyakinan yang konsisten antara pernyataan (dalam hati dan lisan) dan kenyataan (amal perbuatan). Tonggak keyakinan  adalah keyakinan  tentang adanya kebenaran yang harus diakui,  yaitu   kebenaran Allah.  Keyakinan  tersebut dituangkan dalam bentuk dua kalimah syahadat:
اَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ , وَ اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُوْلُ اللهِ
"Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan  saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah"
Dalam kalimat itu  terdapat dua kesaksian ,yaitu, tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah SWT.
http://aang-zaeni.blogspot.com/2017/03/makna-syahadat-dan-aplikasinya-dalam.html

Makna laa ilaaha illallah

Orang sering menerjemahkan kata "ilah" dalam laa ilaaha illallah dengan kata Tuhan yang memiliki makna yang kurang jelas. Allah sebagai pencipta mengenalkan diri-Nya kepada manusia bahwa di samping Allah sebagai raja (penguasa) atas alam semesta (Q.S. al-Baqarah : 4), Allah juga memperkenalkan diriNya sebagai Rabb dan Ilahnya manusia. Itulah kunci tauhidullah. Pengakuan terhadap keesaan Allah bukan hanya dalam arti keesaan dzat, namun terdapat makna lain yang lebih dalam. Dengan demikian, ulama sering membedakan pengertian tauhid menjadi beberapa jenis,  yaitu tauhid rububiyah, tauhid mulkiyatullah dan tauhid uluhiyah.

Keesaan Allah Swt. itu  yang sering disebut tauhid, meliputi tujuh segi, yaitu :
  1. Keesaan dzat-Nya : mempercayai dengan yakin bahwa zat Allah itu satu, tidak terbagi dan tidak tersusun dari beberapa materi (bahan) atau benda yang berlainan;
  2. Keesaan sifat-Nya : mempercayai dengan yakin bahwa tidak ada sesuatu yang menyamai Allah pada sifatNya dan bahwa Allah sendiri saja yang mempunyai sifat kesempurnaan;
  3. Keesaan wujud-Nya : mempercayai dengan yakin bahwa hanya Allah sendiri yang wajib wujud-Nya sedangkan yang selainNya hanyalah serba mungkin;
  4. Keesaan perbuatanNya : mempercayai dengan yakin bahwa hanya Allah sendiri yang menciptakan alam semesta dan segala isinya dan menghasilkan segala perbuatan makhlukNya;
  5. Keesaan penerimaan ibadah : mempercayai  dengan yakin bahwa Allah sendiri yang berhak menerima ibadah para hamba-Nya dan yang wajib kita ibadahi, tidak boleh kita mengibadahi yang selainNya
  6. Keesaan pemenuhan hajat : mempercayai dengan yakin bahwa hanya Allah sendiri yang dituju  langsung dalam mengemukakan suatu hajat, tidak boleh mengadakan perantara (medium,  mediator)  antara  kita  dan  Allah  dalam  mengajukan  suatu  permohonan kepadaNya;
  7. Keesaan penetapan syariah : mempercayai dengan yakin bahwa hanya Allah sendiri yang berhak menentukan hukum

Tauhid Rububiyah

Tauhid  rububiyah artinya membenarkan dengan yakin bahwa Allah itu  satu-satunya pencipta segala sesuatu di alam semesta, pemelihara dan pengaturnya, pemberi rezeki atas setiap makhluk dan penguasa atas makhluk-makhluk-Nya. Dialah yang memberi manfaat dan madharat. Dia yang mengabulkan segala doa dan hajat manusia. Dia yang memberi dan mencabut pemberianNya. Dalam Alqur'an,  Allah  menyebut  diriNya dengan kata Rabb, seperti dalam firman-Nya,
"Segalanya tunduk atas perintah-Nya, bukankah kepunyaanNya ciptaan segala urusan? Maha suci Allah, Tuhan semesta alam" (Q.S-al-A'raf; 7:54).
Tauhid  rububiyah ini menjadi dasar utama dibangunnya  tauhid-tauhid  yang  lain,  yaitu tauhid zat, tauhid sifat, dan sebagainya. Masih banyak ayat lain yang menjelaskan tentang tauhid rububiyah tersebut antara lain: Q.S. al-A'raf: 54, al-Anbiya: 33; al-Maidah: 17 & 40; ar-Rahman:1-4; al-Furqon : 2; adz-Dzariyat: 58; dan Huud : 2.

Baca Juga : Paradigma Keberagaman Inklusif Toleran dan Damai
Keyakinan terhadap tauhid rububiyah ini membuat manusia menyadari kelemahannya, diantaranya manusia tidak dapat mengatur rezekinya dan tidak dapat menentukan kematiannya. Namun, hanya dengan bekal keyakinan tersebut, belum bisa mengantarkan manusia  kepada kebenaran. Tauhid ini belum bisa membedakan antara muslim dan kafir. Orang-orang musyrik jahiliah zaman dulu sudah meyakini tauhid ini, yaitu bahwa rezeki datang dari Tuhan, urusan alam diatur Tuhan, dan pencipta alam ini adalah Allah. Namun, mereka tetap tidak beriman, sebagaimana firman Allah:
"Tanyakanlah, siapakah yang memberimu rezeki di langit dan bumi?  Atau yang  mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan yang mengeluarkan yang mati dari yang hidup? Dan siapakah yang  mengatur segala urusan (di  alam  semesta)?"Mereka (orang  jahiliyah) menjawab, Allah. Tetapi mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya?" (Q.S. Yunus, 10:31)
Mereka  yakin  bahwa  kekuatan  Allah  tak  dapat  terkalahkan  dan  siapa saja  yang  dibela Allah tak dapat terkalahkan. Mereka pun berdoa sebagaimana dalam firmanNya;
"Dan (ingatlah), ketika mereka (orang-orang musyrik) berkata: Ya Allah, jika betul (Al-Qur'an) ini adalah benar dari sisi Engkau, hujanilah kami dengan batu dari langit atau datangkanlah kepada kami adzab yang pedih." (Q.S.al-Anfal [8]:32).
Demikianlah, tidak semua yang mengikrarkan bahwa Allah itu Tuhan segala sesuatu, mau mentauhidkanNya, bahkan  sebagian  besar  manusia ini  mengingkariNya.  Dengan demikian,  untuk menjadi seorang mukmin, keyakinan ini (rububiyyah) tidaklah cukup. Namun, harus dilanjutkan pada keyakinan kedua, yaitu tauhid mulkiyatullah.
Tauhid Mulkiyah
Tauhid mulkiyah adalah membenarkan dengan yakin bahwa Allah sebagai raja penguasa {Malik) yang berhak menentukan apa saja untuk makhlukNya. Dialah yang Maha Mengetahui yang terbaik bagi makhlukNya. Sebagai Malik (yang memiliki), Allah berfungsi sebagai penguasa, yang memimpin (menuntun)  manusia  untuk  mencapai kebahagiaan. Sebagaimana firman Allah;
"Allah adalah pelindung orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari  kegelapan (keingkaran) ke cahaya iman." (Q.S. al-Baqarah; 2:257).
Pemimpin baru berfungsi sebagai pemimpin jika aturan yang dibuatnya dipatuhi dan diamalkan oleh yang dipimpinnya, apalagi pemimpin itu adalah Allah. Allah adalah Alhakim (yang menentukan aturan  hidup manusia) sebagaimana  dijelaskan  dalam  firman-Nya;
"Katakanlah, "Sesungguhnya aku (berada) di atas hujjah yang nyata (alQur'an) dari Tuhanku, sedang kamu mendustakannya. Bukanlah wewenangku (untuk menurunkan azab) yang kamu tuntut untuk disegerakan kedatangannya. Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah, Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yangpaling baik." (Q.S. al-An'am; 6: 57)
Jika ada manusia yang membuat aturan yang bertentangan dengan aturan Allah, berarti ia mengingkari keberadaan Allah sebagai pemimpin (Malik) dan Allah menyebut mereka sebagai orang kafir, orang dhalim atau  orang fasik,  seperti firmanNya, akhir ayat QS. alMaidah [5]: 44, 45, dan 47. Orang disebut kafir ketika orang membuat atau menerima hukum selain Allah (yang bertentangan dengan hukum Allah) dengan perasaan tidak berat hati, dan mereka dengan sepenuhnya menerimanya (Q.S. an-Nisa': 65).
Dengan tauhid mulkiyah ini, orang mukmin dapat dibedakan dengan orang kafir. Orang kafir menerima Allah sebagai pencipta dan pemelihara, namun menolak kepemimpinanNya dan  menolak hukum Allah. Orang mukmin meyakini Allah sebagai pencipta, pemelihara, dan sekaligus memperlakukanNya sebagai pemimpin di dunia ini. Kesempurnaan tauhid mulkiyah ini akan tercapai  jika  memang  manusia  memperlakukan  Allah  secara  penuh, sebagai tauhid uluhiyah.
Tauhid Uluhiyah
Tauhid uluhiyah yang ditekankan dalam kalimah syahadah dengan kata-kata ilah sebagai  kunci tauhid. Makna tauhid ini adalah pembenaran bahwa Allah satu-satunya Tuhan yang wajib disembah dan dimohon pertolonganNya, dicintai, dan sebagainya.

Kata "ilah" pernah digunakan oleh  Fir'aun  ketika ia bertindak sewenang-wenang dan membuat hukum sendiri untuk ditaati oleh rakyatnya. Ia menyebut dirinya sebagai Ilahnya manusia di negaranya. (Q.S. al-Qashash: 38).
Menurut  Said  Hawa,  makna Ilah dalam  Al-Qur'an  adalah  satu-satunya  yang  wajib disembah (tempat pengabdian) adalah Allah, raja atau penguasa yang harus ditaati (Q.S. al-Maidah:  120;  Q.S.  Ali  'Imran  :  32),  tempat  berhukum  (Q.S.  al-An'am  :  57;  Q.S.  Yusuf  : 40), yang diagungkan dan yang dipertuan (Q.S. al-Waqi'ah : 96; Q.S. al-An'am : 61), yang dicintai  dan  mendatangkan  ketenangan  hati  (Q.S.  Yusuf:  28;  al-Fath  :  4;  Q.S.  al-Maidah  : 24;  Q.S.  al-Baqarah  :  165).  Sekian  banyak  makna  kata "ilah" tersebut  dapat  diringkas menjadi empat pengertian, yaitu :
  1. Allah adalah satu-satunya yang berhak disembah dan dipatuhi. Allah "tempat manusia mengabdikan diri dan Dzat tertinggi yang layak dipatuhi, di mana pun dan kapan pun, hendaknya kita selalu menyembah-Nya.
  2. Allah adalah satu-satunya penguasa yang harus ditaati dan sumber dari  segala sumber hukum. Dialah  pencipta  hukum  tertinggi  dan  terbaik  bagi  manusia  sehingga  jika manusia  ingin  selamat,  tidak  ada jalan lain  kecuali menggunakan hukum Allah sebagai dasar atas setiap pengambilan keputusan.
  3. Allah adalah yang paling dicintai dan  keridhaanNya  adalah  sumber  ketenangan  kita. Dengan mengingatNya dan mendekatiNya, kita akan merasa tenang karena Allah yang paling mengetahui apa yang terbaik bagi manusia. Jika kita mencintai Allah, Allah pun pasti mencintai kita dan memberikan  yang terbaik kepada kita. Tidak seperti manusia atau  makhluk lain,  jika  kita mencintai,  mereka  belum tentu mereka akan  membalasnya dengan cinta pula;
  4. Allah adalah Dzat yang diagungkan dan dipertuan. Tanpa kehendakNya, manusia tidak akah dapat berbuat apa-apa karena Dialah yang Maha agung, lagi Mahasempurna. Tidak ada  daya dan  kekuatan  kecualiatas  izinNya. Tidak ada manusia atau makhluk yang memiliki  kekuatan lebih kecuali atas izin Allah. Karena itu, hanya kepadaNya kita layak takut dan mengagungkan, memuji, dan mempertuan. 
Dengan  ketiga  jenis  tauhid  di  atas,  jelaslah  bahwa  pernyataan syahadat  membawa konsekuensi bagi kehidupan yang mengikrarkannya.

Makna Muhammadurrasulullah 

Persaksian "laa ilaaha illallah" tidak akan dapat diwujudkan secara benar dalam "kehidupan keseharian tanpa mengikuti  petunjuk yang diberikan oleh Rasulullah Muhammad SAW. Oleh karena itu,  persaksian terhadap kerasulan Nabi Muhammad  saw. dijadikan sebagai salah satu pintu gerbang seseorang untuk memasuki agama Islam,  yakni syahadat kedua setelah syahadat laa ilaaha illallah.
Rasulullah SAW  adalah contoh teladan yang utama dalam kehidupan manusia, sebagaimana firman Allah Ta'ala;
"Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang-orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari Kiamat dan dia banyak menyebut Allah." (QS. al-Ahzab [33]:21).
Keteladan yang diberikanoleh Rasulullah saw. ini bersifat total, baik yang menyangkut hubungan transendental kepada Allah berupa ibadah mahdhah (khusus), maupun hubungan horizontal kepada sesama makhluk berupa ibadah-ibadah umum. Dalam kehidupan muslim, Rasulullah  sebagai figur panutan, satu-satunya teladan yang dicintai, ditaati, dan diikuti.
Segara garis besar syahadat yang kedua ini mengandung beberapa pengertian, yaitu : pertama, Nabi Muhammad itu adalah utusan Allah untuk seluruh manusia sampai akhir zaman; kedua, Nabi Muhammad adalah nabi/rasul yang terakhir, dan setelah beliau tidak ada rasul lagi. Karenanya Al-Qur'an adalah kitab suci terakhir yang diturunkan Allah swt., sekaligus sebagai pembenar dan penyempurna kitab-kitab suci terdahulu; ketiga, Nabi  Muhammad  harus  dijadikan  sebagai panutan hidup setiap muslim ; dan keempat, iman kepada Nabi Muhammad saw. berarti iman kepada rasul-rasul Allah,  yang berarti  iman  terhadap  kitab-kitab yang diturunkan oleh  Allah  yang  berarti juga  iman terhadap para malaikat dan sekaligus berarti juga iman kepada hari Akhir.

Subscribe to receive free email updates: