<Jaminan Islam Terhadap Non Muslim, Islam Rahmatan Lil alamin> Salah satu perkara yang sering disodorkan untuk menolak syariat Islam adalah keberadaan non muslim di dalam masyarakat Islam. Banyak orang mengira jika Islam diterapkan maka semua orang harus beralih agama, hak beragama non muslim diabaikan. Padahal, siapa pun yang memahami sejarah Nabi SAW akan menolak pandangan seperti tadi.
Negara yang dimulai sejak Rasulullah SAW di kota Yatsrib (Madînah ar-Rasul atau al-Madînah al-Munawwarah) terbukti memberlakukan hukum secara sama kepada semua warga negara, baik muslim maupun non muslim. Orang-orang non muslim yang menjadi warga negara disebut sebagai ahlu dzimmah, yakni penduduk non muslim yang menjadi warga negara yang tunduk ke pada sistem hukum (Lihat QS at-Taubah: 29).
Baca Juga>Sejarah Kerasulan Nabi Muhammad SAW Periode Mekkah
>Islam dan Peradaban Dunia
>Peranan Wahyu dalam Sains dan Teknologi
>Makalah Penyimpangan Aqidah dan Cara Penanggulanggannya
Kesamaan hukum di depan pengadilan ini tampak jelas dalam kasus baju besi Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib r.a. Diriwayatkan bahwa sekembalinya dari Perang Shiffin, Khalifah Ali merasa kehilangan baju besi (dzira’), baju perlengkapan perang, dan beliau menemukan baju miliknya itu di toko seorang Yahudi ahlu dzimmah. Ali mengatakan kepada pemilik toko Yahudi itu, “Ini baju besiku. Aku belum pernah menjualnya dan belum pernah memberikan kepada orang lain. Bagaimana bisa ada di tokomu?”
Orang Yahudi itu membantahnya. Ia mengklaim baju itu miliknya sebab ada ditokonya. Ali, penguasa yang memiliki wilayah kekuasaan yang sangat besar, tidak serta merta mengambil paksa harta miliknya. Akan tetapi, ia mengajak Yahudi itu menyelesaikan perkara tersebut di pengadilan. Qadhi Syuraih, yang mengadili perkara itu,meminta Ali menghadirkan saksi atas kepemilikan tersebut. Beliau mengemukakan Hasan,putranya, dan Qanbar pembantunya. Namun, Qadhi Syuraih menolak saksi tersebut. Ali menegaskan, “Apakah Anda menolak kesaksian Hasan yang oleh Rasul dikatakan sebagai pemuda penghulu surga?”
Meskipun demikian, Qadhi Syuraih bersikukuh dengan ketetapannya dan khalifah Ali pun menerima kalah dalam perkara tersebut. Saat itulah, orang Yahudi pemilik toko itu angkat bicara, “Wahai Ali, Amirul Mukminin, Anda berperkara denganku tentang baju besi milikmu. Namun, hakim yang engkau angkat ternyata memenangkan aku atasmu. Sungguh, aku bersaksi bahwa ini adalah kebenaran dan aku bersaksi bahwa tiada Tuhan (yang patut disembah) kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah.”(Lihat Imam as-Suyuthi, Tarikh al-Khulafa’). Sungguh, keadilan hukum Islam dan persamaan hukum seluruh warga negara di hadapan hukum Islam telah membuka hati orang Yahudi itu untuk menerima hidayah Islam. Allahu Akbar!
Di samping persamaan dalam hukum, Khilafah Islam masa lalu tidak diam terhadap kezaliman yang menimpa orang-orang nonmuslim. Diriwayatkan bahwa ada kasus kezaliman seorang anak penguasa di wilayah provinsi Mesir di masa Khalifah Umar ibn al-Khaththab r.a. Beliau segera memanggil anak Gubernur dan bapaknya (Amr bin ‘Ash r.a.). Dalam sidang yang ditegakkan keadilannya, tanpa membedakan agama warga negara, anak gubernur Mesir itu mengaku bahwa dia mencambuk anak Qibthi yang beragama Nasrani (Koptik). Sesuai hukum acara pidana Islam, Khalifah memberikan pilihan kepada korban, apakah membalas cambuk (qishash) ataukah menerima bayaran ganti rugi (diat) atas kezaliman itu. Anak Qibthi itu memilih qishash. Ia pun mencambuk anak Gubernur. Setelah pelaksanaan hukum qishash itu, Khalifah Umar mengatakan: “Hai anak Qibthi, orang itu berani mencambukmu karena dia anak Gubernur, karena itu cambuk saja Gubernur itu sekalian!”
Baca Juga>Hakikat Sekularisme dan Ancaman Bahaya Sekularisme
>Islam Adalah Agama Yang Moderat
>Hakikat Tauhid dan Konseukuensi Keislaman
>Makna Keikhlasan dalam Beribadah Kepada Allah SWT
Akan tetapi, anak Qibthi Nasrani itu menolaknya dan telah menyatakan kepuasannya dengan keadilan hukum yang diperolehnya dalam hukum qishash. Umar pun berkomentar, “Hai Amr (Gubernur Mesir di masa Khalifah Umar), sejak kapan engkau memperbudak anak manusia yang dilahirkan oleh ibunya dalam keadaan merdeka?” (Lihat Manaqib Umar).
Fakta-fakta sejarah di atas menggambarkan kepada kita bahwa konsep dan pelaksanaan hukum Islam di masa khilafah Islam itu penuh dengan keadilan. Perhatikan isi surat Nabi Muhammad SAW kepada penduduk Yaman yang sebelum masuk Islam merupakan mayoritas Yahudi dan Nasrani: “Siapa saja yang masih tetap dalam agama Yahudi dan Nasrani yang dipeluknya, dia tidak akan difitnah, dan wajib baginya membayar jizyah.”(Lihat Ahkam adz-Dzimmi, lihat pula An-Nabhani, As-Syakhsihiyyah Al-Islamiyyah, juz2/237). Begitu pula tindakan Nabi Muhammad SAW yang menerapkan hukum rajam kepada dua orang Yahudi yang berzina, sebagaimana beliau juga pernah menjatuhkan hukum rajam kepada seorang wanita muslimah dan seorang pria muslim (LihatAbdurrahman al-Maliki, Nidzam al-Uqubat).
Begitulah ajaran Islam yang telah diterapkan oleh Rasul SAW beserta para sahabatnya. Karena itu, jelas bahwa sejak awal, Islam hidup dan berhasil memimpin masyarakat ditengah pluralitas agama. Tampak betapa syariat dan nilai Islam merupakan pilihan syar’i sekaligus rasional untuk diterapkan dalam rangka mengubah kezaliman menjadi keadilan di tengah-tengah umat manusia, menyingkirkan kejahiliahan diganti oleh cahaya Islam.
Dalam ajaran Islam keberadaan warga masyarakat nonmuslim yang berada dalam lingkungan kehidupan masyarakat Islam disebut dengan istilah ahlu Dzimmah. Dzimmah memiliki pengertian perjanjian, jaminan, dan keamanan. Mereka disebut sebagai ahlu dzimmah disebabkan mereka memiliki jaminan perjanjian Allah dan RasulNya, serta jamaah kaum muslimin untuk hidup dengan aman dan tentram di bawah perlindungan Islam dan sistemnya. Jadi mereka berada dalam jaminan keamanan kaum muslimin berdasarkan pada aqad dzimmah. Orang-orang nonmuslim memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara lain yang beragama Islam, tanpa ada perbedaan sedikitpun.A qad dzimmah ini berlaku selamanya, yang mengandung arti membolehkan orang-orang nonmuslim tetap memeluk agama mereka sekaligus menikmati hak-hak merekasebagai warga negara.
Adapun hak-hak nonmuslim yang dijamin Allah dan RasulNya, antara lain:
1). Hak (Jaminan) Perlindungan. Hak ini meliputi perlindungan dari serangan eksternal maupun kezaliman internal sehingga mereka merasa aman dan tentram. Berkaitan dengan hal ini Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang bertindak dzalim terhadap seseorang yang terikat perjanjian keamanan dengan kaum muslimin atau membebaninya lebih dari batas kemampuannya, atau mengambil sesuatu dengan tanpa keridlaannya, maka akulah yang akan menjadi lawan si dzalim itu pada hari Qiamat”(HR. Abu Daud dan Baihaqi dalam Sunan Al Kubra,juz V:205).
Imam Qarafiy AlMalikiy dalam kitab AlFuruq, juz III:14-15) menyatakan bahwa: “...Apabila orang kafir datang ke negeri kita hendak mengganggu orang-orang yang berada dalam perlindungan aqad dzimmah maka wajib atas kita menghadang dan memerangi mereka dengan segala kekuatan dan senjata, bahkan kita harus siap matiuntuk itu demi menjaga keselamatan orang yang berada dalam dzimmah Allah dan dzimmah rasulNya”.
Khalifah Umar bin Khatthab sebagaimana dijelaskan dalam kitab Tarikh Thabariy, juz IV: 218, selalu bertanya kepada orang-orang yang datang dari daerah-daerah tentang keadaan ahlu dzimmah, karena beliau khawatir ada diantara kaum muslimin yang menimbulkan gangguan terhadap mereka. Lalu orang-orang yang datang itu menjawab: “Tidak ada sesuatu yang kami ketahui melainkan perjanjian itu dijalankan sebaik-baiknya oleh (penguasa daerah) kaum muslimin”.
2). Perlindungan (Jaminan) nyawa dan badan. Nyawa atau darah para ahlu dzimmah dipelihara dan dijamin keselamatannya. Oleh sebab itu, pembunuhan atas nonmuslim diharamkan dalam Islam. Berkaitan dengan ini Rasulullah SAW. bersabda:
“Barang siapa membunuh seorang mu’ahid (orang yang terikat perjanjian dengan masyarakat kaum muslimin) maka ia tidak akan mencium harumnya surga, sedangkan harum surga itu dapat tercium dari jarak perjalanan 40 tahun” (HR. Bukhari, Ahmad,dan Ibnu Majah).
Diriwayatkan pula bahwa Khalifah Ali bin Abi Thalib ra. pernah memerintahkan seorang muslim untuk dihukum qishash (dihukum bunuh) karena ia membunuh non-muslim (ahlu dzimmah). Namun sebelum hal itu terlaksana, datang keluarga korban memaafkannya. Lalu Ali ra. bertanya: “Jangan-jangan ada orang yang mengancam atau menakut-nakuti engkau”. Mereka menjawab, “ Tidak, namun aku fikir pembunuhanitu tidak akan menghidupkan kembali saudaraku, maka berilah saja aku tebusan (diyat) dan aku rela sepenuhnya”. Ali pun lalu berkata: “Engkau lebih tahu, barang siapa terikat dzimmah kami, maka darahnya sama seperti darah kami (kaum muslimin) dan diyatnya seperti diyat kami ”. (HR. Thabrani & Baihaqi,Sunan al Kubra, juz VIII: 34).
3). Perlindungan (Jaminan) terhadap harta benda. Imam Abu Yusuf dalam kitabnya Al Kharaj: 72 menukil riwayat mengenai perjanjian Nabi SAW dengan orang-orang Nasrani Najran: “Bagi orang-orang Najran dan para pengikut mereka diberikan jaminan Allah dan dzimmah Muhammad, Nabi dan RasulNya atas harta benda mereka, tempat peribadatan serta apa saja yang berada dibawah kekuasaan mereka, baik sedikit maupun banyak”.
4). Perlindungan (Jaminan) atas kehormatan Islam menjamin mereka atas kehormatan dan harga diri. Siapapun tidak boleh mencaci maki seorang dzimmi atau mengajukan tuduhan palsu, menjelek-jelekkannya, menggunjingkan dengan ucapan yang tidak disukainya, dan lain-lain. Imam Qarafiy dalam kitabAl Furuuq, juz III: 14, menyatakan:
“Aqad dzimmah mewajibkan berbagai hak untuk mereka, sebab mereka ada dalam lindungan kita, penjagaan kita, dzimmah kita, dzimmah Allah dan RasulNya, serta agama Islam. Maka barang siapa melakukan pelanggaran atas mereka meski satu kata busuk atau gunjingan maka ia berarti menyia-nyiakan dzimmah Allah, RasulNya, serta dzimmah Islam”.
5). Jaminan hari tua dan terbebas kemiskinan (Jaminan Ekonomi). Orang-orang nonmuslim dalam masyarakat Islam berhak atas jaminan hidup, apalagi jika mereka dalam keadaan fakir dan miskin. Sebab, seorang kepala negara merupakan pemimpin atas seluruh rakyatnya dan ia kelak akan dimintai pertanggungjawabannya atas perbuatannya terhadap rakyatnya. Rasulullah bersabda: “Seorang imam (kepala negara) itu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya” (HR. Muslim).
Berkenaan dengan hal ini Umar bin Khatthab ra. pernah menjumpai seorang Yahudi tua yang tengah mengemis. Ketika ditanyakan padanya, ternyata usia dan kebutuhan hidup mendesaknya untuk berbuat itu. Maka Umar segera membawanya pada bendahara Baitul maal (kas negara) dan memerintahkan agar ditetapkan bagi orang tua itu dan orang-orang seperti dia uang dari baitul mal (kas negara) yang mencukupi hidup mereka. Lalu Umar berkata: “Kita telah bertindak zalim terhadapnya, menerima pembayaran jizyah ketika ia masih muda, kemudian menelantarkannya dikala telahlanjut usia” (Perhatikan kitab Al Kharaj: 26).
Dalam aspek ekonomi (perdagangan) warga nonmuslim diberikan keleluasaan untuk berusaha dan beraktivitas sebagaimana yang terdapat bagi kaum muslimin. Hanya saja, melakukan perbuatan riba, suap, KKN, dumping, menimbun, curang dan menipu dalam transaksi yang terjadi diharamkan untuk dilakukan bagi mereka sebagaimana hal itu juga berlaku bagi kaum muslimin. Perkara ini dapat kita perhatikan bagaimana Rasulullah SAW. ketika menulis surat kepada orang-orang majusi Hijr:
“... Hendaklah kalian meninggalkan riba atau jika tidak besiap-siaplah untuk menerima pernyataan perang dari Allah dan RasulNya”.
Merekapun dapat menjadi pegawai negeri dalam jabatan-jabatan yang terkait dengan sains-teknologi, manajemen dll.
6). Jaminan kebebasan beragama Kebebasan beragama dan beribadah bagi orang-orang nonmuslim adalah wajib, sebagaimana firman Allah SWT: “Maka apakah kamu hendak memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang beriman semuanya ?”(QS. Yunus:99).
Pada saat Umar bin Khaththab ra. memasuki kota AlQuds (Yerusalem/Illiya), beliau membuat perjanjian dengan orang-orang Nasrani di kota itu. Adapun bunyi sebagian teksnya adalah:“Inilah janji perlindungan keamanan yang diberikan oleh hamba Allah, Umar Amirul Mukminin kepada penduduk Iliya, yaitu keamanan bagi mereka harta benda, gereja-gereja, salib-salib, serta segala kepeluan peribadatan. Bangunan gereja mereka tidak akan diduduki, dirobohkan, ataupun dikurangi luasnya, diambil salib salib-salibnya, atau apapun dari harta mereka. Tidak pula mereka akan dipaksa meninggalkan agama mereka atau diganggu dengan suatu gangguan dan tidak akan dobolehkan seorangpun dari kaum Yahudi bertempat tinggal di Iliya bersama mereka (Nasrani) ” (perhatikan Tarikh Thabariy, juz III: 609).
Satu-satunya yang diminta Islam adalah mereka mampu menenggang perasaan dan ibadah kaum muslimin dan menjaga kesucian Islam
Berdasarkan pada prinsip-prinsip di atas, maka dalam hukum Islam terdapat kaidah hukum yang berlaku atas seluruh warga negara, baik muslim maupun nonmuslim, yaitu:“Atas mereka(nonmuslim) hak-hak mereka sama seperti hak-hak kita (kaum muslim) miliki, begitu pula kewajiban-kewajiban mereka sama seperti kewajiban yang kita miliki”.
Oleh sebab itu, selama sebuah masyarakat tidak memiliki sistem perundang-undangan yang mengatur secara adil dan benar interaksi dan mekanisme antara anggota masyarakat, terutama yang berbeda agama/keyakinan, ras, golongan, suku, maka selama itu pula potensi konflik akan terakumulasi menunggu kondisi matang dan meledak. Dengan memahami gambaran Islam dan perlakuan Islam terhadap orang yang beragama/berkeyakinan berbeda, maka paling tidak citraan negatif dan keliru yang selama ini dipaksakan dapat dihilangkan. Lebih dari itu, umat Islampun mengerti bagaimana hukum agama mereka mengatur sebuh kehidupan masyarakat dan diharapkan tentu umat Islam tidak menjadi Islamophobia.