<Hakekat Tauhid dan Konsekuensi Keislaman, Fenomena Kemusyrikan, dan Kedudukannya> Istilah iman merupakan salah satu istilah yang sangat luas dan sangat penting pengertiannya dalam agama. Secara sempurna pengertiannya adalah membenarkan (mempercayai) Allah Yang Maha Esa dan segala apa yang datang dari-Nya sebagai wahyu melalui rasul-rasul-Nya dengan kalbu, mengikrarkan dengan lisan, dan mengerjakan dengan anggota badan. Perhatikan firman Allah berikut,
Beriman kepada yang gaib berarti mempercayai Allah itu Maha Mengetahui segala yang gaib, dan kita cukup meyakini hal-hal gaib, yang diberitahukan (diwahyukan) oleh Allah melalui rasul-Nya. Di samping alam gaib, ada alam syahadah, yaitu alam nyata, yang dapat diindra lalu dicerna dengan akal dan dapat direnungkan wujudnya. Alam gaib tidak dapat dicapai dengan penglihatan mata dan pendengaran telinga, tidak tersentuh kulit, tidak terkecap lidah, tak berbau, hidung. Namun, tidak mungkin akal menolak perkara tentang adanya hal tersebut. Seringkali akal, pikiran, dan perasaan mendapati hal-hal yang tidak melalui perantaraan panca indera. Allah menjelaskan beberapa perkara yang gaib dalam Al-Qur'an, seperti malaikat, kisah nabi-nabi, hari Kiamat, taman Firdaus, api jahanam, dan Iain-lain.
"Orang-orangArab Badui itu berkata, "Kami telah beriman. "Katakanlah (kepada mereka), "Kama belum beriman, tetapi katakanlah kami telah tunduk karena iman itu belum masuk kedalam hatimu dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tiada akan mengurangi sedikitpun (pahala) amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Q. S. al-Hujurat; 49:14).Adapun istilah iman kepada Allah mempunyai pengertian khusus, yaitu membenarkan adanya Allah, ke-Esaan-Nya dan segala sifat kesempurnaan-Nya; Mahasuci Allah dari segala sifat kekurangan dan dari menyerupai makhluk-Nya.
Beriman kepada yang gaib berarti mempercayai Allah itu Maha Mengetahui segala yang gaib, dan kita cukup meyakini hal-hal gaib, yang diberitahukan (diwahyukan) oleh Allah melalui rasul-Nya. Di samping alam gaib, ada alam syahadah, yaitu alam nyata, yang dapat diindra lalu dicerna dengan akal dan dapat direnungkan wujudnya. Alam gaib tidak dapat dicapai dengan penglihatan mata dan pendengaran telinga, tidak tersentuh kulit, tidak terkecap lidah, tak berbau, hidung. Namun, tidak mungkin akal menolak perkara tentang adanya hal tersebut. Seringkali akal, pikiran, dan perasaan mendapati hal-hal yang tidak melalui perantaraan panca indera. Allah menjelaskan beberapa perkara yang gaib dalam Al-Qur'an, seperti malaikat, kisah nabi-nabi, hari Kiamat, taman Firdaus, api jahanam, dan Iain-lain.
Hanya Allah sendiri yang mengetahui dengan persis segala hal gaib itu (QS. an-Naml: 65). Naluri (fitrah) ketuhanan yang ada dalam diri manusia secara samar-samar dapat merasakan adanya hal-hal gaib itu. Akan tetapi, ia tidak akan mencapai ilmu yang yakin kecuali jika ada keterangan dari wahyu Ilahi yang dibawa oleh rasul-rasul. Kita harus sangat berhati-hati dengan naluri kegaiban yang ada dalam diri kita masing-masing. Indera kita sebenarnya sangat naif untuk mengetahui hakikat gaib dengan seksama karena pada saat itu juga ada iblis yang selalu siap untuk menyesatkan kita secara halus, berangsur-angsur dan bertahap sehingga tidak terasa.
Dalam hal ini cukuplah dengan apa yang datang dari Allah dan rasul-Nya saja; adapun yang selebihnya serahkan sajalah kepada Allah. Kalau kita tidak berhati-hati berpegang kepada wahyu Illahi, ada bahaya bahwa kita menjurus kepada animisme dan dinamisme, yang akhirnya dapat terjerumus pada perbuatan menyekutukan Allah (syirik).
Syirik ialah menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya atau berkepercayaan bahwa yang selain Allah dapat memberikan efek (manfaat atau madharat). Syirik itu bersifat kontradiktif terhadap tauhid sehingga merusak dan menggugurkan nilai-nilai kebajikan yang kita kerjakan. Seperti firman Allah :
"Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan sesuatu dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barang siapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya."(Q.S.an-Nisa'; 4:116)
Apabila dikaji ayat-ayat Al-Qur'an yang ditujukan untuk pembinaan iman, akan jelas terbukti bahwa Allah menghendaki agar iman itu tidak hanya diperoleh atas dasar naluri dan perasaan saja, tetapi juga dimantapkan dengan wahyu Illahi dan kemudian menjadi bertambah kokoh dan berkembang melalui kerja rasio dan tingkah laku (amal). Banyak ayat Al-Qur'an yang menghendaki agar setiap muslim memiliki suatu budi ingin tahu(inquistivermind)dan suatu sikap berpikir kritis, teratur dan tuntas (exhaustive) terhadap fenomena-fenomena di alam semesta dan di dalam diri manusia, yang akhirnya akan mengantarkan kepada iman yang makin kuat melalui pengakuan akan kebesaran Allah dan kesempurnaan hikmat-Nya dalam-menciptakan, memelihara dan membimbing alam semesta. Perhatikan surat al-Baqarah ayat 164; dan perhatikan pula firman Allah berikut:
"Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan dalam diri mereka sendiri sehingga nyata bagi mereka bahwa Al-Qur'an itu benar, dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu".(Q.S.Fusshilat;41:53).
Dapat disimpulkan bahwa iman yang mantap dan sempurna itu didapatkan sebagai produk dari pada fitrah, wahyu Illahi, rasa dan rasio serta akal manusia, dalam menghayati dan memakrifati kebenaran. Kelima faktor itu harus diaktifkan secara optimal dan simultan seberapa sanggup sebab masing-masing saling berhubungan, saling memperkuat, dan saling memerlukan satu sama lain dalam menghasilkan kesempurnaan iman.
Kalau iman itu diperoleh hanya dari naluri (fitrah) dan afektifitas (emosi, rasa) saja, sedangkan wahyu Allah belum dipelajari (difahami) serta rasio belum merenungkan sifat-sifat Allah SWT. melalui fenomena-fenomena alam, dan amal pun belum berarti, iman sepertiitu masih tercampur syirik seperti imannya orang-orang primitif / jahiliah. Tingkatan iman terendah ini kita dapat fahami dari firman Allah;
Kalau iman itu diperoleh hanya dari naluri (fitrah) dan afektifitas (emosi, rasa) saja, sedangkan wahyu Allah belum dipelajari (difahami) serta rasio belum merenungkan sifat-sifat Allah SWT. melalui fenomena-fenomena alam, dan amal pun belum berarti, iman sepertiitu masih tercampur syirik seperti imannya orang-orang primitif / jahiliah. Tingkatan iman terendah ini kita dapat fahami dari firman Allah;
"Dan sebagian besar mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan musyrik (menyekutukanAllah)".(Q.S. Yusuf; 12:106).Tingkatan berikutnya yang lebih tinggi akan dicapai jika di samping naluri dan rasa mulai berperan secara positif wahyu Illahi dan rasio, kemudian berusaha sungguh-sungguh memperbanyak amal saleh sambil melawan hawa nafsunya. Dalam tingkatan ini, orang yang beriman itu mungkin sekali terjatuh berbuat dosa, tetapi ia akan tetap berjihad, bangkit lagi beristigfar mohon ampun dan bertobat. Tingkatan ini dapat dipahami dari firman Allah;
"Carilah pertolongan dengan jalan sabar dan shalat, dan sesungguhnya yang demikian itu berat, kecuali bagi orang-orang yang khusuk. Yaitu orang-orang yang meyakini bahwa mereka itu akan menemui Tubannya, serta babwa mereka akan kembali kepada-Nya.: (Q.S. al-Baqarah; 2:45-46).Adapun tingkatan iman yang sempurna adalah tingkatan yang dicapai oleh nabi-nabi dan syahid serta orang-orang saleh. Pada tingkatan yang tertinggi ini, iman sudah tidak bercampur lagi dengan keraguan sedikitpun, hidupnya penuh dengan amal saleh. Kita tidak tidak lagi merasa berat dalam beramal saleh itu, bahkan kita betul-betul merasakan kenikmatan dan manisnya iman sambil beramal. Tingkatan ini dapat difahami dari firman Allah;
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yangberiman kepada Allah dan rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah; mereka itulah orang-orang yang benar." (Q.S. al-Hujurat;49-15)