<Apa Makna Keikhlasan dalam Beribadah Kepada Allah SWT >Berbagai perilaku antagonis yang saat ini kita saksikan, diidap oleh hampir seluruh lapisan masyarakat di Indonesia, cukup membingungkan kita. Rajin beribadah namun rajin juga korupsi. Mengaku orang terpelajar, namun senang juga tawuran. Jika ada aspirasi yang tidak dikabulkan, maka akan merusak lingkungan sekitar yang tidak ada hubungannya dengan aspirasi tersebut.
Banyak sekali tesis yang membahas perihal Makna Beribadah ini, ada yang mengatakan mereka tidak sensitive, tidak memiliki sensitiveness. Menurut saya, pangkal dari permasalahan ini adalah tauhid. Tidak memiliki tauhid yang kuat. Pemahaman tauhid yang tidak benar, akibatnya niatnya pun tidak ikhlas. Para ulama berpendapat bahwa sesungguhnya kerak-kerak hati yang menempel dalam hati Manusia yang perlu dibersihkan. Kerak-kerak hati yang menempel dalam hati manusia membuatnya mengaburkan makna-makna ketauhidan. Dalam hati mengaku beriman bahwa segala kekuasaan hanya milik Allah, segala kekuatan bertumpu pada Allah, namun dalam kenyataanya seringkali berbeda. Yang dikerjakan masih bertentangan dengan yang diucapkan. Masih banyak dari kita yang ketika yang ketika menginginkan sesuatu malah pergi ke dukun. Masih banyak yang ketika ditimpa musibah, malah melem parsajen ke laut.
Lawan dari tauhid adalah syirik, yaitu membuat sekutu bagi Allah. Dalam hati meyakini bahwa ada kekuatan-kekuatan lain yang sama atau sebanding dengan kekuatan Allah, sehingga seringkali kita meminta dan berharap kepadanya. Sangat sulit dideteksi apakah kita mengidap syirik ini atau tidak. Ali ra. mengatakan, syirik itu seperti semut hitam kecil yang merayap diatas batu hitam pada malam hari. Sangat sulit sekali dideteksi. Ada saja syirik itu dalam hati, dan inilah yang harus dihapus dan dibakar.
Akibat dari tauhid yang tidak benar adalah niat menjadi tidak lurus dan tidak ikhlas. Niat yang tidak ikhlas inilah yang membuat aktivitas yang dilakukan menjadi semau gue. Tidak ada sesuatu yang bisa mendeteksinya. Orang lain melihat dia baik-baik saja, namun sesungguhnya ada hidden agenda yang dia inginkan dan tidak diungkapkan, tidak diketahui oleh orang lain. Padahal pada dasarnya, tujuan utamanya adalah sesuatu yang hidden tadi. Ini yang terjadi jika tauhid tidak benar, dan inilah yang harus diperbaiki.
Semestinya dalam setiap beribadah harus ikhlas dan hanya ditujukan untuk Allah. Puasa misalnya, kian menahan, mengendalikan diri dari sesuatu yang tidak diizinkan oleh Allah untuk kita lakukan. Secara sengaja bersedia membuat diri kita “menderita ” tidak melakukan hal-hal yang kita sukai. Tidak makan dan minum, menahan syahwat, perkataan kita kendalikan, artinya kita memasuki suatu zona uncomfort. Secara sadar kita memilih untuk melakukannya, kalau bukan karena Allah yang menghendaki dan memerintahkan, maka kita tidak akan melakukan itu. Dengan kata lain, kita secara sadar mengambil challenge untuk menaklukan musuh yang baru dan harus kita taklukkan. Challange dibutuhkan oleh manusia dalam hidup. Jika kita tidak memiliki challenge maka hidupnya akan monotone, hambar dan tidak bergerak kemana-mana. Jika challenge tersebut bisa ditaklukkan maka akan berbuah kebahagiaan yang diperoleh.
Allah telah memberikan challenge yang mesti kita taklukan yaitu diri kita sendiri. Ia adalah nafsu dalam diri kita sendiri. Berbeda dengan kompetisi yang sering dilakukan, seperti bulu tangkis atau sepak bola. Hasilnya ada yang menang dan ada yang kalah, atau sering disebut zero sum game.T api challange menaklukkan nafsu dalam diri kita, hasilnya bukan kalah dan menang. Seringkali kita terbiasa dengan kompetisi kalah menang dalam hidup kita, sehingga kita lupa bahwa tak selamanya kompetisi harus seperti itu dalam hidup kita. Terbiasa dengan paradigma tersebut melahirkan scarecity mentality, mentalitas berkekurangan. Dia merasa bumi, dunia, dan rizki yang Allah sediakan tidak cukup untuk semua orang, sehingga ia harus cepat mengambilnya, berlomba-lomba mengambilnya agar tidak keduluan orang lain dan ia tidak akan mendapatkan apa-apa. Main sikut kanan kiri, main tendang depan belang, itu yang biasa dikerjakan. Dalam segala aspek kehidupan, itu yang dilakukan. Yang tertinggi adalah korupsi, mengambil yang bukan haknya.
Padahal dalam Al-Quran Allah mengatakan tidak demikian. Allah SWT yang akan menganggung segala kebutuhan makhluknya. Jika kita mengimani dan berpedoman pada ayat tersebut, maka kita akan memiliki mentalias yang berlawanan dengan mental sebelumnya. Mentalitas tersebut adalah abundantmentality, mentalitas keberlimpahan. Mentalitas yang menganggap bahwa segala yang Allah ciptakan di muka bumi ini cukup bahkan berlebih untuk semua makhluk-Nya. Maka yang diperlukan adalah kreativitas kita untuk mengambil dan memperoleh mana yang kita butuhkan. Scarecity mentalty hanya akan melahirkan hasil yang tidak ada manfaatnya sama sekali, compatitve dissadvantages. Sedangkan abundant mentality akan melahirkan kreativiatas yang tinggi creative excellange dan itulah yang sebetulnya diharapkan dari ibadah-ibadah yang kita lakukan.
Syarat beribadah adalah keimanan dan ihtishaba. Ihtishaba berarti penuh perhitungan. Perhitungan yang penuh dalam melakukan sesuatu hanya bisa dilakukan jika kita memiliki ilmu yang cukup. Oleh karena itu aspek yang harus kita miliki dalam menjalankan ibadah adalah kita harus memahami dengan benar apa yang akan kita kerjakan. Jadi tidak boleh hanya sekedar ikut-ikutan saja. Itulah yang membedakan ajaran islam dengan ajaran lain, bahwa islam tidak menghendaki pemeluknya untuk melakukan ibadah dengan diwakilkan pada pihak lain. Karena pada akhirnya perjumpaan kita di akhirat dengan Allah adalah pribadi kita dengan Allah, bukan melalui kyai, dosen, atau guru kita atau siapapun. Sepenuhnya adalah pribadi masing-masing yang bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya.
Oleh itu, kegiatan yang dilakukan harus mengetahui dasar-dasar mengapa kita melakukan itu, tidak hanya sekeredar berkegiatan saja, terutama dalam hal ibadah. Dalam Al-Qur’an surat Al-Isra Allah mengatakan “Wa latakuunu laisa laka bihi ‘ilmu innassam’a wal bashara wal fuaada kullu ulaaika kaana anhuma subula.” “Janganlah kamu melakukan sesuatu yang kamu tidak mengetahui pemahaman atasnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati nuranimu akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang telah kamu lakukan”. Kita tidak bisa mewakilkan pada seseorang atau institusi tertentu atas ibadah kita, Barangkali penyebab utama kita kurang bersemangat dan kurang gereget dalam mendalami ajaran agama kita sehingga bisa menjalankan perintah agama dengan baik adalah karena ketidak pahaman akan soal ini.
Karena itu, mari kita memperbaiki motivasi kita dalam menjalankan perintah agama ini agar sesuai dengan yang diperintahkan Allah sesuai dengan apa yang dicontohkan Rasul. Takwa sebagai wujud akhir paling ideal dalam pelaksanaan ibadah adalah sesuatu yang gapaiannya jauh diatas. Tak ada seorangpun yang mampu dan boleh mengklaim dirinya telah mencapai derajat itu. Sengaja Allah membuat demikian, agar kita senantiasa berjuang dan bergerak. Tidak berhenti beribadah dan beramal sampai kita dipanggil oleh Allah. Namun tentu kita ingin bertanya, dari tahun ke tahun kita melakukan ibadah, sudah sampai tingkatan keberapakah derajat takwa kita? Masih kurang dimana? Apa yang harus diperbaiki? Sehingga di tahun selanjutnya bisa kita perbaiki lagi dengan lebih fokus dan lebih mudah. Semuanya berpulang pada kita diri masing-masing. Dan kita sebagai manusia yang diberi kemampuan oleh Allah untuk bertanya dan berpikir, tentu mampumengevaluasi atas apa yang telah kita lakukan. Dan kita akan memperbaiki semua yang kita lakukan, agar ia sampai pada tujuannya. Tidak mengantung di tengah-tengah. Jangan sampai kita melakukan sesuatu itu sebagai aktivitas yang tidak berarti apa-apa.
Betapa banyaknya orang yang beribadah tetapi tidak mendapat apa-apa. Semoga kita tidak termasuk kedalam golongan tadi dan semoga Allah memberikan kekuatan pada kita semua agar ibadah ini bisa kita laksanakan dengan baik, lebih baik dari tahun sebelumnya. Dan secara sosial, kita berharap semoga ibadah yang kita lakukan secara berjamaan ini, bisa memperbaiki kualitas bangsa menjadi lebih baik. Agar negeri kita yang kelihatannya baik-baik saja, padahal sebetulnya memiliki turbulensi masalah yang banyak, bisa menemukan solusinya, sedikit demi sedikit menjadi lebih baik sehingga Allah mengizinkan Indonesia ini menjadi negeri yang baldatun thayibatun wa rabbuun ghafur. Amin ya Rabbal ‘alamin.