Ilmu kalam adalah suatu ilmu yang membahas perkara tauhid dengan metodologi filsafat. Hukum mempelajari ilmu kalam ini haram karena berimplikasi kepada superioritas akal dan kesombongan intelektual. Dengan kata lain akal lebih dikedepankan daripada Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam memahami keberadaan Allah, perbuatan-Nya, nama-nama-Nya serta sifat-sifat-Nya yang Mahasempurna dan tidak serupa dengan-Nya sesuatupun.
Allah ta’ala berfirman:
يا أيها الذين آمنوا لا تقدموا بين يدي الله ورسوله واتقوا الله إن الله سميع عليم
“Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian mendahului Allah dan Rasul-Nya, bertaqwalah kalian kepada Allah, karena sesungguhnya Dia Mahamendengar lagi Mahamengetahui.” [Al-Hujurat: 1]
Dalam konteks spesifikasi, ilmu kalam ataupun ilmu filsafat tidak mungkin diintegrasikan dengan ilmu agama, apalagi sampai dijadikan acuan dalam beragama. Berhubung metodologinya berbeda antara satu dengan yang lainnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam meletakkan satu prinsip dalam metodologi pemikiran ilmu-ilmu agama, sebagaimana sabda beliau:
و ما امرتكم به فأتوا منه مااستطعتم
“Apa yang aku perintahkan kepada kalian tentang suatu perkara, maka tunaikanlah dengan semampu kalian.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]
من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو رد
Beliau juga bersabda, “Barangsiapa yang beramal dengan satu amalan yang bukan dari ajaran kami, maka tertolak.” [Muttafaqun ‘alaihi – Al-Bukhari 2697 dan Muslim 3243]
Maka segala sesuatu yang tidak diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam dalam perkara agama ini hukumnya tertolak, sesat dan batil. Lebih tegas lagi sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam:
“Barangsiapa yang menafsrikan Al-Qur’an dengan akal pikirannya semata, meskipun hasilnya kebetulan mencocoki kebenaran, maka dia tetap dikatakan salah (berdosa).” [HR. At-Tirmidzi]
Dikatakan berdosa karena metodologi atau cara pemahamannya yang salah, meskipun secara kebetulan hasilnya mencocoki kebenaran. Namun tidak berarti Islam datang untuk mengkarantinakan akal, akan tetapi meletakkan akal pada tempatnya sehingga dapat berfungsi secara proporsional.
Maka pantas jika para Ulama Salaf melarang kaum Muslimin mempelajari ilmu kalam karena dapat merusakkan akal dan agama seseorang. Di antaranya adalah Al-Imam As-Syaafi’i rahimahullah, beliau menyatakan:
“Sungguh seandainya salah seorang itu ditimpa dengan berbagai amalan yang dilarang oleh Allah selain dosa syirik, lebih baik baginya daripada ia mempelajari ilmu kalam.”
[HR. Abu Nu'aim Al-Asfahaani dalam Hilyatul Awliyaa' 9/111]
Beliau juga menyatakan, ‘Seandainya manusia itu mengerti bahaya yang ada pada Ilmu Kalam dan hawa nafsu, niscaya ia akan lari daripadanya seperti lari dari singa.”
[1]
Imam Muslim telah meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu: bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
هَلَكَ الْمُتَنَطِّعُونَ، ثَلَاثَ مَرَّاتٍ
“Celakalah orang-orang yang berdalam-dalam.” (tiga kali)
Imam Al-Khoththobi -salah seorang ulama madzhab syafii- menerangkan hadits ini:
المتنطع المتعمق في الشيء المتكلف للبحث عنه على مذاهب أهل الكلام الداخلين فيما لا يعنيهم الخائضين فيما لا تبلغه عقولهم
“Al-Mutanaththu’ adalah orang yang berdalam-dalam dalam sesuatu, membebani diri untuk membahasnya menurut madzhab ahli kalam yang masuk kepada perkara yang tidak penting bagi mereka, membicarakan perkara yang tidak dicapai akal mereka.” [Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abu Dawud]
Asalnya tanaththu’ adalah berdalam-dalam dalam pembicaraan untuk menampakkan kefasihan. Ini asal makna tanaththu’ secara etimologi. Dan tanaththu’ itu ada beberapa macam: dalam pembicaraan, dalam istidlal, dan dalam ibadah.
[2]
.
ASAL-MUASAL TERSEBARNYA ILMU KALAM
Ilmu kalam yang mengandalkan logika daripada Al-Qur’an dan As-Sunnah itu berasal dari luar Islam. Kemudian masuk tersebar ke kalangan kaum muslimin dengan perantaraan masuknya terjemahan buku-buku filsafat Yunani pada masa Al-Ma’mun dari Pulau Ciprus yang berada di bawah kekuasaan Romawi Timur waktu itu. Sehingga dari itu tersebarlah ilmu kalam, apalagi ilmu kalam dipegang sebagai madzhab negara sejak masa Kholifah Al-Ma’mun sampai Al-Watsiq, bahkan orang-orang dipaksa dengan hal itu. Bila tidak mereka dibunuh atau dipenjara atau dihukum dengan hukuman lainnya.
Imam Adz-Dzahabi Asy-Syafii tentang Penyebaran Ilmu Kalam
Beliau berkata di dalam As-Siyar (11/236):
كان الناس أمة واحدة، ودينهم قائما في خلافة أبي بكر وعمر.
فلما استشهد قفل باب الفتنة عمر رضي الله عنه، وانكسر الباب، قام رؤوس الشر على الشهيد عثمان حتى ذبح صبرا.
وتفرقت الكلمة وتمت وقعة الجمل، ثم وقعة صفين.
فظهرت الخوارج، وكفرت سادة الصحابة، ثم ظهرت الروافض والنواصب.
وفي آخر زمن الصحابة ظهرت القدرية، ثم ظهرت المعتزلة بالبصرة، والجهمية والمجسمة بخراسان في أثناء عصر التابعين مع ظهور السنة وأهلها إلى بعد المئتين، فظهر المأمون الخليفة – وكان ذكيا متكلما، له نظر في المعقول – فاستجلب كتب الاوائل، وعرب حكمة اليونان، وقام في ذلك وقعد، وخب ووضع، ورفعت الجهمية والمعتزلة رؤوسها، بل والشيعة، فإنه كان كذلك.
وآل به الحال إلى أن حمل الامة على القول بخلق القرآن، وامتحن العلماء، فلم يمهل.
وهلك لعامه، وخلى بعده شرا وبلاء في الدين.
فإن الامة ما زالت على أن القرآن العظيم كلام الله تعالى ووحيه وتنزيله، لا يعرفون غير ذلك، حتى نبغ لهم القول بأنه كلام الله مخلوق مجعول، وأنه إنما يضاف إلى الله تعالى إضافة تشريف، كبيت الله، وناقة الله.
فأنكر ذلك العلماء.
ولم تكن الجمهية يظهرون في دولة المهدي والرشيد والامين فلما ولي المأمون، كان منهم، وأظهر المقالة.
روى أحمد بن إبراهيم الدورقي، عن محمد بن نوح: أن الرشيد، قال: بلغني أن بشر بن غياث المريسي، يقول: القرآن مخلوق، فلله علي إن أظفرني به، لاقتلنه.
قال الدورقي: وكان متواريا أيام الرشيد فلما مات الرشيد، ظهر، ودعا إلى الضلالة.
“Dulu kaum muslimin satu padu, agama mereka tegak di masa kekhalifahan Abu Bakr dan Umar. Namun ketika Umar meninggal secara syahid (karena dibunuh), terbukalah pintu fitnah setelahnya. Bangkitlah para tokoh kejelekan yang memberontak kepada Utsman bin Affan sampai membunuh beliau tanpa perlawanan.
Kemudian terpecah-belah persatuan kaum muslimin, dan terjadi Perang Al-Jamal dan Perang Shiffin. Muncullah Khowarij yang mengkafirkan para tokoh shohabat. Kemudian muncullah Syiah Rofidhoh dan Nashibah.
Pada akhir masa shohabat muncullah Al-Qodariyyah, kemudian muncullah Al-Mu’tazilah di Bashroh, dan Al-Jahmiyyah serta Al-Mujassimah di Khurosan pada pertengahan masa tabiin. Meskipun begitu, sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang yang memegangnya tetap nampak jelas sampai setelah tahun 200-an. Kemudian muncul Kholifah Al-Makmun. Dia dulunya adalah orang yang cerdas dan ahli kalam. Dia mempunyai perhatian dengan masalah logika. Kemudian dia mendatangkan buku-buku orang-orang dulu dan menerjemahkan filsafat manthiq Yunani. Dia semakin tenggelam dan larut dalam hal itu, sehingga Al-Jahmiyyah dan Al-Mu’tazilah menampakkan kepalanya, bahkan syiah juga demikian.
Bahkan keadaannya berubah, sampai Al-Makmun memaksa ummat Islam untuk berpendapat bahwa Al-Qur’an itu makhluk. Dia juga menguji para ulama dan tidak memberi tenggang.
Kemudian Al-Makmun meninggal pada tahun itu, tetapi dia meninggalkan kepada orang yang setelahnya kejelekan dan musibah dalam perkara agama. Karena dulunya ummat Islam senantiasa di atas prinsip bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah, wahyu-Nya dan diturunkan oleh Allah. Mereka tidak mengetahui selain hal itu, hingga Al-Makmun menyebarkan kepada mereka pendapat bahwa Al-Qur’an adalah makhluk yang dibuat dan mengatakan bahwa penisbatan Al-Qur’an sebagai kalam (ucapan) Allah itu hanyalah sebagai bentuk pemuliaan makhluk, seperti baitullah (Rumah Allah) dan untanya Allah (unta mukjizat Nabi Sholih ‘alaihis salam). Kemudian para ulama mengingkari hal itu.
Padahal sebelumnya firqoh Al-Jahmiyyah tidak nampak di masa kekuasaan Al-Mahdi, Harun Ar-Rosyid dan Al-Amin. Namun ketika Al-Makmun berkuasa, dia menjadi golongan mereka dan menampakkan pendapat Al-Jahmiyyah.
Bahkan Ahmad bin Ibrohim Ad-Dauroqi meriwayatkan dari Muhammad bin Nuh: bahwa Harun Ar-Rosyid berkata: “Telah sampai berita kepadaku bahwa Bisyr bin Ghoyats Al-Marisi (tokoh jahmiyyah) berkata bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Demi Allah, wajib aku jika bisa menangkapnya untuk membunuhnya.”
Ad-Dauroqi berkata: Bisyr Al-Marisi ini sembunyi-sembunyi pada masa kekuasaan Harun Ar-Rosyid, ketika Harun Ar-Rosyid meninggal, dia muncul dan menyerukan kesesatannya.”
[3]
.
SIKAP IMAM ASY-SYAFI’I TERHADAP ILMU KALAM
Imam Asy-Syafii rohimahulloh berkata:
حُكْمِي فِي أَهْلِ الْكَلَامِ أَنْ يُضْرَبُوا بِالْجَرِيدِ وَيُحْمَلُوا عَلَى الْإِبِلِ وَيُطَافَ بِهِمْ فِي الْقَبَائِل وَالْعَشَائِر ، وَيُنَادَى عَلَيْهِمْ هَذَا جَزَاءُ مَنْ تَرَكَ الْكِتَابَ وَالسُّنَّة وَأَقْبَلَ عَلَى الْكَلَامِ
“Hukumku pada ahlil kalam, mereka dipukul dengan pelepah kurma, dan dinaikkan ke unta, kemudian diarak berkeliling di kabilah-kabilah dan suku-suku, kemudian diserukan tentang mereka ‘Ini balasan orang yang meninggalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah dan menghadap diri kepada Ilmu Kalam’.” [Manaqib Asy-Syafii karya Al-Baihaqi 1/462, cet, Dar At-Turots]
Ilmu Kalam diada-adakan para mutakallimun (ahli kalam) dalam masalah ushuluddin (pokok-pokok agama), dalam menetapkan aqidah (keyakinan) dengan cara-cara yang mereka ciptaan. Mereka berpaling dari yang dibawa Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Demikianlah peringatan Imam Asy-Syafii tentang ilmu kalam dan ahli kalam, karena hal itu akan menghantarkan kepada syubhat (kesamaran) dan keraguan-keraguan.
Mereka (para ahli kalam) memang berhak mendapatkan apa yang dikatakan Imam Asy-Syafii dari sisi agar mereka bertaubat kepada Allah dan memperingatkan yang lainnya agar tidak mengikuti mereka. Jika kita melihat kepada mereka dari sisi yang lain: mereka telah dikuasai kebingungan dan dikuasai setan. Sehingga kemudian kita mengasihi mereka dan kita berlemah lembut kepada mereka. Dan kita memuji Allah yang telah menyelamatkan kita dari fitnah/ujian yang ditimpakan Allah kepada mereka.
Kita memandang kepada para ahli kalam dengan dua pandangan:
1. Pandangan dari sisi syariat: kita memberikan didikan kepada mereka dan melarang mereka dari menyebarkan madzhab mereka.
2. Pandangan dari sisi taqdir: kita menyayangi mereka dan meminta kepada Allah agar mereka diberi al-afiyah (keselamatan) dari kesesatan, dan kita memuji Allah yang telah menyelamatkan kita dari keadaan mereka yang menyimpang.
Kebanyakan orang yang dikawatirkan tersesat adalah orang-orang yang masuk dalam ilmu kalam, namun tidak sampai pada puncak ilmu kalam. Maksudnya: orang yang tidak masuk ke dalam ilmu kalam berada dalam keselamatan. Sedangkan orang yang telah sampai kepada puncak ilmu kalam, menjadi jelas bagi dirinya tentang kerusakan ilmu kalam, dan dia kembali kepada Al-Kitab dan As-Sunnah sebagaimana yang terjadi pada sebagian tokoh ilmu kalam.
Sehingga masih tersisa kekawatiran atas orang yang keluar dari jalan Ash-Shiroth Al-Mustaqim dan tidak mengetahui hakekat perkara ilmu kalam.
Kita merasa cukup dengan Al-Qur’an, As-Sunnah dan atsar dari salaf dari semua ilmu kalam. Namun kebanyakan orang menisbatkan dirinya kepada sebagian kelompok ahli kalam dan berbaik prasangka kepada mereka, tidak pada yang lainnya. Karena mereka menyangka bahwa ahli kalam itu telah meneliti dalam masalah keyakinan yang tidak dilakukan oleh orang lain. Sampai kalau didatangkan satu ayat, dia tidak akan mengikutinya, kecuali jika dibawakan perkataan dari sebagian ahli kalam.
Imam Asy-Syafii juga berkata:
لَأَنْ يَلْقَى اللَّهُ الْعَبْدَ بِكُلِّ ذَنْبٍ مَا خَلَا الشِّرْكَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَلْقَاهُ بِشَيْءٍ مِن الْكَلَامِ
“Kalau seandainya Allah menemui seorang hamba dengan membawa dosa selain kesyirikan, itu lebih baik daripada menemuinya dengan sesuatu dari ilmu kalam.” [Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab]
Kemudian Imam An-Nawawi berkata mengomentari ucapan Imam Asy-Syafii tersebut:
وَقَدْ بَالَغَ إمَامُنَا الشَّافِعِيُّ رحمه الله تعالى:فِي تَحْرِيمِ الِاشْتِغَالِ بِعِلْمِ الْكَلَامِ أَشَدَّ مُبَالَغَةٍ، وَأَطْنَبَ فِي تَحْرِيمِهِ، وَتَغْلِيظِ الْعُقُوبَةِ لِمُتَعَاطِيهِ، وَتَقْبِيحِ فِعْلِهِ، وَتَعْظِيمِ الْإِثْمِ فِيهِ فَقَالَ: ” لَأَنْ يَلْقَى اللَّهُ الْعَبْدَ بِكُلِّ ذَنْبٍ مَا خَلَا الشِّرْكَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَلْقَاهُ بِشَيْءٍ مِنْ الْكَلَامِ “، وَأَلْفَاظُهُ بِهَذَا الْمَعْنَى كَثِيرَةٌ مَشْهُورَةٌ
“Imam kita Asy-Syafii telah sangat keras mengharamkan menyibukkan diri dengan ilmu kalam. Beliau sangat tegas dalam mengharamkannya, mengeraskan hukuman bagi orang yang simpati kepadanya, memperjelek perbuatannya, serta menyebutkan besar dosanya. Makanya beliau berkata: ‘Kalau seandainya Allah menemui seorang hamba dengan membawa dosa selain kesyirikan, itu lebih baik daripada menemuinya dengan sesuatu dari ilmu kalam’. Dan ungkapan-ungkapan beliau yang semakna dengan ini sangat banyak dan masyhur.” [Al-Majmu Syarh Al-Muhadzdzab]
[4]
.
SIKAP PARA IMAM MADZHAB TERHADAP ILMU KALAM
Kita telah mengetahui sebagian pendapat Imam Syafii tentang hukuman bagi ahli kalam. Untuk lebih meyakinkan kita tentang bahayanya ilmu kalam, akan dibawakan perkataan para imam yang lainnya tentang ilmu kalam.
Telah banyak ungkapan para salaf, seperti Imam Syafii, Imam Ahmad dan lainnya yang memperingatkan dari ilmu kalam dan ahli kalam. Dan sebagaimana yang telah lalu bahwa ilmu kalam akan menghantarkan kepada syubhat (kesamaran) dan keraguan-keraguan.
I. Perkataan-perkataan Imam Asy-Syafii tentang ilmu kalam
1. Imam Ahmad berkata:
كَانَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إذَا ثَبَتَ عِنْدَهُ خَبَرٌ قَلَّدَهُ وَخَيْرُ خَصْلَة فِيهِ أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ يَشْتَهِي الْكَلَام إنَّمَا كَانَتْ هِمَّتُهُ الْفِقْهَ
“Dulu Imam Asy-Syafii jika telah dipastikan di sisinya ada satu khobar (hadits), beliau mengikutinya. Dan sebaik-baik sifat Imam Syafii adalah tidak menginginkan ilmu kalam. Beliau hanya antusias dengan ilmu fiqih.”
2. Imam Ahmad meriwayatkan tentang Imam Asy-Syafi’i:
وَكَتَبَ إلَيْهِ رَجُلٌ يَسْأَلهُ عَنْ مُنَاظَرَة أَهْلِ الْكَلَامِ ، وَالْجُلُوس مَعَهُمْ، قَالَ: وَاَلَّذِي كُنَّا نَسْمَع وَأَدْرَكْنَا عَلَيْهِ مَنْ أَدْرَكْنَا مِنْ سَلَفِنَا مِنْ أَهْل الْعِلْم أَنَّهُمْ كَانُوا يَكْرَهُونَ الْكَلَامَ وَالْخَوْضَ مَعَ أَهْل الزَّيْغ وَإِنَّمَا الْأَمْر فِي التَّسْلِيم وَالِانْتِهَاء إلَى مَا فِي كِتَابِ اللَّه عَزَّ وَجَلَّ وَسُنَّةِ رَسُوله لَا تَعَدَّى ذَلِكَ
“Seseorang menulis surat kepada Imam Asy-Syafii menanyainya tentang berdebat dengan ahli kalam dan duduk-duduk bersama mereka. Imam Syafii berkata: “Yang kami dengar dan kami dapati dari salaf (pendahulu) kami dari para ulama, bahwa mereka membenci ilmu kalam dan berdebat dengan orang-orang menyimpang. Agama itu hanyalah dalam tunduk dan berhenti kepada apa yang ada di Al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak melampuinya.”
3. Ar-Robi’ berkata: Aku mendengar Imam Asy-Syafii berkata:
لَأَنْ يَبْتَلِيَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ الْعَبْدَ بِكُلِّ ذَنْبٍ مَا خَلَا الشِّرْكَ بِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ الْأَهْوَاءِ .
“Kalau Allah menguji seorang hamba dengan semua dosa selain menyekutukan-Nya, itu lebih baik baginya daripada al-ahwa (bid’ah, ilmu kalam).”
4. Ibnu ‘Abdil Hakam berkata Imam Asy-Syafii:
لَوْ عَلِمَ النَّاسُ مَا فِي الْأَهْوَاءِ مِنْ الْكَلَامِ لَفَرُّوا مِنْهُ كَمَا يَفِرُّونَ مِنْ الْأَسَدِ .
“Kalau seorang mengetahui apa yang ada pada al-ahwa (bid’ah) dari ilmu kalam, sungguh mereka akan lari darinya sebagaimana lari dari singa.”
5. Imam Asy-Syafii juga berkata:
مَا أَحَدٌ ارْتَدَى بِالْكَلَامِ فَأَفْلَحَ ،
“Tidak ada seorang pun jatuh dalam ilmu kalam, kemudian dia bisa beruntung.”
6. Al-Muzani bertanya kepada Imam Asy-Syafii tentang satu masalah dari ilmu kalam.
Kemudian beliau (Asy-Sayfi’i) balik bertanya: “Sedang dimana engkau?” Al-Muzani menjawab: “Di Masjid Jami di Fusthoth.” Kemudian Imam Ay-Syafii berkata: “Engkau sedang berada di Taron.” Taron adalah satu tempat di Laut Al-Qulzum, dimana hampir tidak ada satu perahu yang selamat di sana. Kemudian Imam Asy-Syafii memberikan satu masalah fiqih kepadanya. Kemudian dia menjawabnya. Kemudian beliau memasukkan kepada Al-Muzani sesuatu yang merusak jawabannya. Kemudian Al-Muzani menjawab dengan selain itu. Kemudian beliau memasukkan sesuatu yang merusak jawabanku. Setiap kali Al-Muzani menjawab, beliau mendatangkan sesuatu yang merusak jawaban itu. Kemudian Imam Asy-Syafii berkata:
هَذَا الْفِقْه الَّذِي فِيهِ الْكِتَابُ وَالسُّنَّة وَأَقَاوِيلُ النَّاسِ يَدْخُلهُ مِثْل هَذَا فَكَيْفَ الْكَلَامُ فِي رَبِّ الْعَالَمِينَ الَّذِي الْجِدَال فِيهِ كُفْرٌ ؟ فَتَرَكْتُ الْكَلَامَ وَأَقْبَلْتُ عَلَى الْفِقْه
“Ini fiqih yang tentangnya ada penjelasan dari Al-Qur’an dan As-Sunnah serta pendapat-pendapat ahul ilmi, memasukinya seperti ini, maka bagaimana dengan ilmu kalam tentang Allah, yang berdebat tentangnya kafir?”
Kemudian Al-Muzani meninggalkan ilmu kalam dan menghadap kepada ilmu fiqih.
7. Imam Asy-Syafii berkata:
لَوْ أَنَّ رَجُلًا أَوْصَى بِكُتُبِهِ مِنْ الْعِلْمِ لِآخَرَ ، وَكَانَ فِيهَا كُتُبُ الْكَلَامِ لَمْ تَدْخُلْ فِي الْوَصِيَّةِ ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ مِنْ الْعِلْمِ .
“Kalau seseorang berwasiat dengan kitab-kitabnya kepada orang lain, dan di dalamnya ada kitab-kitab ilmu kalam, maka kitab-kitab ilmu kalam itu tidak termasuk dalam wasiat, karena itu bukanlah ilmu (yang bermanfaat.”
II. Perkataan Imam Abu Hanifah rahimahullah
Nuh Al-Jami’ berkata; Aku bertanya kepada Abu Hanifah tentang ilmu kalam seperti al-a’radh dan al-ajsam yang diadakan oleh orang-orang, maka dia menjawab:
مَقَالَاتُ الْفَلَاسِفَةِ ، عَلَيْكَ بِطَرِيقِ السَّلَفِ وَإِيَّاكَ وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ .
“Perkataan-perkataan filsafat, wajib engkau menempuh jalan salaf, dan hati-hati engkau dari setiap perkara yang baru.”
III. Perkataan Imam Ahmad rahimahullah
1. Imam Ahmad rahimahullah berkata:
لاَ يُفْلِحُ صَاحِبُ كَلاَمٍ أَبَدًا
“Ahli kalam tidak akan beruntung selama-lamanya.”
2. Imam Ahmad rahimahullah juga telah melarang melihat dan membaca kitab-kitab ahli kalam dan ahli bid’ah yang menyesatkan.
Beliau berkata dalam riwayat Al-Marrudzi:
لَسْت بِصَاحِبِ كَلَامٍ، فَلَا أَرَى الْكَلَام فِي شَيْء إلَّا مَا كَانَ فِي كِتَابِ اللَّهِ أَوْ حَدِيثٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابِهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ أَوْ عَنْ التَّابِعِينَ، فَأَمَّا غَيْر ذَلِكَ فَالْكَلَام فِيهِ غَيْرُ مَحْمُود
“Bukanlah aku termasuk ahli kalam. Aku tidak memandang ilmu kalam sedikitpun melainkan apa yang ada di dalam Al-Qur’an, atau hadits Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam, para shohabatnya rodhiyallahu ‘anhum atau dari tabiin. Adapun yang selain dari itu maka berbicara tentangnya tidak terpuji.” (Diriwayatkan oleh Al-Khollal)
3. Beliau berkata kepada seseorang dalam riwayat Ahmad bin Ash-rom:
إيَّاكَ وَمُجَالَسَةَ أَصْحَاب الْخُصُومَاتِ وَالْكَلَامِ
“Hati-hatilah dari duduk-duduk dengan orang yang suka berdebat dan dengan ahli kalam.” (Diriwayatkan Abu Nashr As-Sajzi)
4. Dalam riwayat Ahmad bin Ashrom: Imam Ahmad rahimahullah juga berkata kepada seseorang:
لَا يَنْبَغِي الْجِدَالُ، اتَّقِ اللَّهَ، وَلَا يَنْبَغِي أَنْ تُنَصِّبَ نَفْسَكَ، وَتَشْتَهِر بِالْكَلَامِ، لَوْ كَانَ هَذَا خَيْرًا لَتَقَدَّمَنَا فِيهِ أَصْحَابُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إنْ جَاءَك مُسْتَرْشِد فَأَرْشِدْهُ .
“Tidak sepantasnya untuk berjidal (debat kusir), bertakwalah kepada Allah. Tidak sepantasnya engkau mendudukan dirimu dan engkau terkenal dengan ilmu kalam. Kalau hal ini baik, sungguh kita akan didahului oleh para shohabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah itu. Namun jika datang seseorang meminta bimbingan kepadamu, maka berilah bimbingan.” (Diriwayatkan Abu Nashr As-Sajzi)
5. Beliau berkata dalam satu riwayat Hanbal:
عَلَيْكُمْ بِالسُّنَّةِ وَالْحَدِيث وَمَا يَنْفَعكُمْ ، وَإِيَّاكُمْ وَالْخَوْضَ وَالْمِرَاءَ فَإِنَّهُ لَا يُفْلِح مَنْ أَحَبَّ الْكَلَام
“Wajib kamu berpegang dengan sunnah, hadits dan yang memberi manfaat kepadamu. Dan hati-hatilah kamu dari berdebat, jidal, sesungguhnya tidak akan beruntung orang yang menyukai ilmu kalam.”
6. Beliau (Imam Ahmad) juga berkata:
لَا تُجَالِسْهُمْ وَلَا تُكَلِّمْ أَحَدًا مِنْهُمْ
“Jangan engkau duduk-duduk dengan ahli kalam, dan jangan kamu mengajak bicara kepada seorang pun dari mereka.”
7. Beliau juga menyebutkan ahli bid’ah dan berkata:
لَا أُحِبُّ لِأَحَدٍ أَنْ يُجَالِسَهُمْ وَلَا يُخَالِطَهُمْ وَلَا يَأْنَسَ بِهِمْ، وَكُلُّ مَنْ أَحَبَّ الْكَلَام لَمْ يَكُنْ آخِرُ أَمْرِهِ إلَّا إلَى بِدْعَة لِأَنَّ الْكَلَام لَا يَدْعُو إلَى خَيْر، عَلَيْكُمْ بِالسُّنَنِ وَالْفِقْه الَّذِي تَنْتَفِعُونَ بِهِ وَدَعُوا الْجِدَالَ وَكَلَامَ أَهْلِ الْبِدَع وَالْمِرَاءِ ، أَدْرَكْنَا النَّاسَ وَمَا يَعْرِفُونَ هَذَا وَيُجَانِبُونَ أَهْلَ الْكَلَامِ
“Aku tidak suka seseorang untuk duduk-duduk dengan mereka dan bergaul dengan mereka, dan beramah-tamah dengan mereka. Setiap orang yang menyukai ilmu kalam, akhir urusannya tidak lain kecuali kepada bid’ah, karena ilmu kalam tidak mengajak kepada kebaikan. Wajib kalian memegang sunnah-sunnah dan fikih yang kalian bisa mendapat manfaat dengannya. Tinggalkan jidal, ucapan ahli bid’ah dan orang yang suka berdebat. Kita telah mendapati para pendahulu, mereka tidak mengenal hal ini dan menjauhi ahli kalam.”
8. Imam Ahmad berkata dalam risalahnya kepada Musaddad, dia berkata:
وَلَا تُشَاوِرْ أَحَدًا مِنْ أَهْلِ الْبِدَعِ فِي دِينِك، وَلَا تُرَافِقْهُ فِي سَفَرِك .
“Jangan engkau bermusyawarah dengan seorang pun dari ahli bid’ah dalam agamamu. Jangan temani dia dalam safar.”
9. Imam At-Tirmidzi berkata: Aku mendengar Abu Abdillah (Imam Ahmad) berkata:
مَنْ تَعَاطَى الْكَلَامَ لَا يُفْلِحُ، وَمَنْ تَعَاطَى الْكَلَامَ لَمْ يَخْلُ مِنْ أَنْ يَتَجَهَّمَ .
“Orang yang mengambil ilmu kalam tidak akan beruntung. Dan barangsiapa mengambil ilmu kalam, tidak bisa lepas dari menjadi jahmiyah.”
[5]
IV. Perkataan Imam Malik rahimahullah
1. Imam Ibn ‘Abdil Bar meriwayatkan dari Mush’ab bin Abdullah bin az-Zubairi, katanya, Imam Malik pernah berkata:
“Saya tidak menyukai Ilmu Kalam dalam masalah agama, warga negeri ini juga tidak menyukainya, dan melarangnya, seperti membicarakan pendapat Jahm bin Shafwan, masalah qadar dan sebagainya. Mereka tidak menyukai Kalam kecuali di dalam terkandung amal. Adapun Kalam di dalam agama, bagi saya lebih baik diam saja. karena hal-hal di atas. [Jami' Bayan al-'Ilm wa Al-Fadhilah, hal. 415]
2. Imam Abu Nu’aim juga meriwayatkan dari Abdullah bin Nafi, katanya, saya mendengar Imam Malik berkata:
“Seandainya ada orang melakukan dosa besar seluruhnya kecuali menjadi musyrik. kemudian dia melepaskan diri dari bid’ah-bid’ah Ilmu Kalam ini, dia akan masuk surga.” [Al-Hilyah, VI/325]
3. Imam al-Harawi meriwayatkan dari Ishaq bin Isa, katanya, Imam Malik berkata:
“Barangsiapa yang mencari agama lewat Ilmu Kalam ia akan menjadi kafir zindiq, siapa yang mencari harta lewat Kimia, ia akan bangkrut, dan siapa yang mencari bahasa-bahasa yang langka dalam Hadits (gharib al-Hadits) ia akan bohong.” [Dzamm Al-Kalam, lembar 173-B]
4. Imam al-Katib al-Baghdadi meriwayatkan dari Ishaq bin Isa, katanya, saya mende-ngar Imam Malik berkata:
“Berdebat dalam agama itu aib (cacat).” Beliau juga berkata: “Setiap ada orang datang kepada kita, ia ingin berdebat. Apakah ia bermaksud agar kita ini menolak apa yang telah dibawa oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam?” [Syaraf ASh-hab Al-Hadits, hal. 5]
5. Imam al-Harawi meriwayatkan dari Abdur Rahman bin Mahdi, katanya, saya masuk ke rumah Imam Malik, dan di situ ada seorang yang sedang ditanya oleh Imam Malik:
“Barangkali kamu murid dari ‘Amir bin ‘Ubaid. Mudah-mudahan Allah melaknat ‘Amr bin ‘Ubaid karena dialah yang membuat bid’ah Ilmu Kalam. Seandainya kalam itu merupakan Ilmu, tentulah para Sahabat dan Tabi’in sudah membicarakannya, sebagaimana mereka juga berbicara masalah hukum (fiqih) dan syari’ah.” [Dzan Al-Kalam, lembar 173-B]
6. Imam al-Harawi meriwayatkan dari ‘Aisyah bin Abdul Aziz, katanya, saya mendengar Imam Malaik berkata:
“Hindarilah bid’ah”. Kemudian ada orang yang bertanya, “Apakah bid’ah itu, wahai Abu Abdillah?”. Imam Malik menjawab: “Penganut bid’ah itu adalah orang-orang yang membicarakan masalah nama-nama Allah, sifat-sifat Allah, kalam Allah, ilmu Allah, dan qudrah Allah. Mereka tidak mau bersikap diam (tidak memperdebatkan) hal-hal yang justru para Sahabat dan Tabi’in tidak membicarakannya.” [Ibid, lembar 173]
7. Imam Abu Nu’aim meriwayatkan dari Imam Syafi’i, katanya, Imam Malik bin Anas, apabila kedatangan orang yang dalam agama mengikuti seleranya saja, beliau berkata:
“Tentang diri saya sendiri, saya sudah mendapatkan kejelasan tentang agama dari Tuhanku. Sementara anda memilih ragu-ragu. Pergilah saja kepada orang-orang yang masih ragu-ragu, dan debatlah dia.” [Al-Hilyah, VI/324]
8. Imam Ibn ‘Abdil Bar meriwayatkan dari Muhammad bin Ahmad al-Mishri al-Maliki, di mana ia berkata dalam bab al-Ijarat dalam kitab al-Khilaf, Imam Malik berkata:
“Tidak boleh menyebarkan kitab-kitab yang ditulis oleh orang-orang yang dalam beragama hanya mengikuti selera, bid’ah dan klenik; dan kitab-kitab itu adalah kitab-kitab penganut kalam, seperti kelompok Mu’tazilah dan sebagainya.” [Jami' Bayan al-'Ilm wa Al-Fadhilah, hal. 416-417]
[6]
.
KEBINGUNGAN DAN PENYESALAN PARA TOKOH AHLI KALAM
Aqidah ahlussunnah dibangun di atas dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah dan prinsip yang dipegang oleh para shohabat yang mulia, semoga Allah meridhai mereka semua. Aqidah yang bersih dan sangat jelas, tidak susah dipahami dan rumit.
Beda dengan lainnya yang bersandar kepada logika akal dan menakwil dalil-dalil naql (wahyu). Dimana mereka membangun aqidah keyakinan mereka di atas ilmu kalam. Itupun akhirnya para ahli kalam menjelaskan bahaya yang ada dalam ilmu kalam. Mereka menyesal karena habis waktu mereka dengan ilmu kalam, namun tidak sampai kepada kebenaran. Ujung kesudahan mereka adalah kebingungan dan penyesalan. Di antara mereka ada yang diberi taufik untuk meninggalkan ilmu kalam dan mengikuti jalan salaf. Mereka juga mencela ilmu kalam.
Abu Hamid Al-Ghozali rahimahullah termasuk dari orang-orang yang mapan menguasai ilmu kalam. Namun bersamaan dengan itu dia mencela ilmu kalam, bahkan sangat keras celaannya. Dia menjelaskan bahaya ilmu kalam, dia mengatakan dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin hal 91-92:
“أمَّا مضرَّته، فإثارةُ الشبهات وتحريك العقائد، وإزالتها عن الجزم والتصميم، فذلك مِمَّا يحصل في الابتداء، ورجوعُها بالدليل مشكوك فيه، ويختلف فيه الأشخاص، فهذا ضررُه في الاعتقاد الحقِّ، وله ضررٌ آخر في تأكيد اعتقاد المبتدعة للبدعة، وتثبيته في صدورهم، بحيث تنبعث دواعيهم، ويشتدُّ حرصُهم على الإصرار عليه، ولكن هذا الضرر بواسطة التعصُّب الذي يثور من الجدل”.
“Adapun bahaya ilmu kalam manthiq, yaitu akan memberikan kerancuan dan menggoyangkan aqidah, dan menghilangkan penetapan aqidah. Itulah diantara bahaya pada permulaannya. Dan kembalinya dengan dalil diragukan. Dalam hal ini orang berbeda-beda. Ini bahayanya dalam keyakinan yang benar. Dan ilmu kalam mantiq punya bahaya yang lain dalam mengokohkan keyakinan ahli bid’ah pada bid’ah dan mengokohkan keyakinan itu dalam dada-dada mereka, dimana faktor-faktor pendorongnya akan bangkit dan bertambah kuat semangat mereka di atas ilmu kalam. Namun bahaya ini dengan perantaraan fanatik yang muncul dari jidal (debat).”
Sampai dia (Al-Ghozaliy) mengatakan:
“وأمَّا منفعتُه، فقد يُظنُّ أنَّ فائدَتَه كشفُ الحقائق ومعرفتُها على ما هي عليه، وهيهات؛ فليس في الكلام وفاء بهذا المطلب الشريف، ولعلَّ التخبيط والتضليل فيه أكثر من الكشف والتعريف، وهذا إذا سمعته من محدِّث أو حشوي ربَّما خطر ببالك أنَّ الناسَ أعداءُ ما جهلوا، فاسمع هذا مِمَّن خَبَر الكلامَ ثم قلاه بعد حقيقة الخبرة وبعد التغلغل فيه إلى منتهى درجة المتكلِّمين، وجاوز ذلك إلى التعمُّق في علوم أخر تناسبُ نوع الكلام، وتحقق أنَّ الطريقَ إلى حقائق المعرفة من هذا الوجه مسدود، ولعمري لا ينفكُّ الكلام عن كشف وتعريف وإيضاح لبعض الأمور، ولكن على الندور في أمور جليَّة تكاد تفهم قبل التعمُّق في صنعة الكلام”.
“Adapun manfaat ilmu kalam, disangka bahwa faedahnya adalah menyingkap dan mengetahui hakekat sebenar-benarnya. Jauh, jauh sekali persangkaan itu. Dalam ilmu kalam tidak ada yang memenuhi tujuan yang mulia ini. Bahkan pengacauan dan penyesatan dalam ilmu kalam itu lebih banyak daripada penyingkapan dan pengenalan hakekat. Ini jika engkau mendengarnya dari seorang muhaddits atau hasyawi. Kadang terbetik di benakmu bahwa manusia adalah musuh selama mereka tidak mengetahui. Dengarkan ini dari orang yang telah mendalami ilmu kalam, kemudian membencinya setelah mengetahui dengan sebenarnya dan sampai dengan susah payah kepada puncak derajat ahli kalam, lalu melewati hal itu menuju ilmu-ilmu yang lain yang sesuai dengan jenis ilmu kalam, kemudian yakin bahwa jalan menuju hakekat ma’rifat (pengenalan) dari sisi ini tertutup. Sungguh, ilmu kalam itu tidak memberi manfaat kepadamu untuk menyingkap, mengenalkan dan memperjelas sebagian perkara. Namun kadang-kadang dalam perkara yang jelas, hampir engkau paham sebelum engkau mendalami ilmu kalam.”
Ibnu Rusyd Al-Hafid -beliau juga termasuk orang yang paling tahu dengan madzhab dan pendapat ahli filsafat, di kitabnya Tahafut At-Tahafut berkata:
(ومَن الذي قال في الإلَهيات شيئاً يعتدُّ به؟)،
“Siapakah orangnya yang berkata sesuatu tentang ilahiyah, kemudian dianggap pendapatnya?”
Demikian juga Al-Amidi -orang termulia di masanya- dia diam berhenti bingung dalam permasalahan yang besar.
Demikian juga Abu ‘Abdillah Muhammad bin Umar Ar-Rozi berkata dalam kitabnya tentang macam-macam dzat:
نِهايةُ إقدام العقول عِقالُ … وغايةُ سعي العالمين ضلالُ
وأرواحنا في وحشة من جسومنا … وحاصلُ دنيانا أذَى ووبالُ
ولم نستفد من بحثنا طول عمرنا … سوى أن جمعنا فيه: قيل وقالوا
فكم قد رأينا من رجال ودولةٍ … فبادوا جميعاً مسرعين وزالوا
وكم من جبال قد عَلَت شُرُفاتِها … رجالٌ فزالوا والجبالُ جبالُ
لقد تأمَّلتُ تلك الطرق الكلامية والمناهج الفلسفية، فما رأيتُها تشفي عليلاً، ولا تُروي غليلاً، ورأيتُ أقربَ الطرق طريق القرآن، اقرأ في الإثبات {الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى}، {إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ}، واقرأ في النفي {لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ}، {وَلا يُحِيطُونَ بِهِ عِلْماً}، ثم قال: “ومَن جرَّب مثلَ تجربَتِي، عرف مثل معرفتِي”.
“Akhir dari mendahuluan akal adalah belenggu…Dan puncak usaha orang-orang yang tahu adalah kesesatan
Ruh-ruh kita liar dalam jasad-jasad kita…Dan hasil dunia kita adalah kesusahan dan bencana
Kita tak memperoleh dari pembahasan kita sepanjang umur kita…Selain kita mengumpulkan: katanya dan katanya
Betapa banyak kita melihat para tokoh dan negara…Kemudian mereka semua binasa dan musnah
Betapa banyak gunung (ilmu kalam) yang telah didaki puncaknya…Oleh orang-orang, kemudian mereka binasa, sedang gunung itu tetap gunung
Aku telah memperhatikan berbagai metode ilmu kalam dan manhaj-manhaj ahli filsafat, namun aku memandang ia tidak bisa menyebuhkan dan memuaskan. Aku memandang jalan yang paling dekat adalah metode Al-Qur’an. Dan bacalah dalam penetapan sifat mulia untuk Allah: “Allah Yang Maha Penyayang istiwa di atas ‘Arsy”, “Dan kepada-Nya lah naik ucapan-ucapan yang baik”. Dan bacalah dalam peniadaan: “Tiada sesuatupun yang semisal dengan-Nya”, “Dan ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya.” … Barangsiapa yang mengalami seperti aku, dia akan tahu seperti aku.” [Lihat Tobaqot Asy-Syafiiyah 8/96 karya As-Subki]
Demikian Asy-Syaikh Abu Abdillah bin Abdil Karim Asy-Syihristani, dia tidak mendapati di sisi ahli filsafat dan ahli kalam selain kebingungan dan penyesalan, Dia berkata:
لعمري لقد طُفت المعاهد كلها … وسَيَّرتُ طرفي بين تلك المعالم
فلم أر إلاَّ واضعاً كفَّ حائر … على ذقن أو قارعاً سنَّ نادم
“Demi umurku, sungguh aku telah mendatangi ma’had-ma’had semua…dan aku jalankan kedua mataku antara petunjuk-petunjuk itu
Namun aku tak melihat kecuali dengan meletakkan tangan orang yang bingung…Di dagu, atau menggertakkan gigi orang yang menyesal.”
Demikian juga Abul Ma’ali Al-Juwaini rahimahullah dia berkata:
يَا أَصْحَابَنَا لَا تَشْتَغِلُوا بِالْكَلَامِ فَلَوْ عَرَفْت أَنَّ الْكَلَامَ يَبْلُغُ بِي إلَى مَا بَلَغَ مَا اشْتَغَلْت بِهِ.
“Wahai para shababat kami, janganlah kalian sibuk dengan ilmu kalam. Kalau aku dulu tahu bahwa ilmu kalam itu akan menyampaikan kepada batas yang telah aku sampai sekarang, tentu aku tidak akan menyibukkan dengannya.”
Beliau (Abul Ma’ali Al-Juwaini) juga berkata ketika mau meninggalnya:
“لقد خضتُ البحرَ الخِضَمَّ… وخلَّيتُ أهل الإسلام وعلومَهم،
ودخلتُ في الذي نَهونِي عنه…والآن فإن لم يتداركنِي ربِّي برحمته،
فالويل لابن الجوينِي…وها أنا ذا أموت على عقيدة أمِّي،
أو قال: على عقيدة عجائز نيسابور”،
“Aku telah menyelami lautan besar (ilmu kalam)…Aku juga meninggalkan kaum muslimin dan ilmu-ilmu mereka.
Aku masuk dalam perkara yang mereka larang. Dan sekarang…jika Rabbku tidak memberikan rohmat-Nya kepadaku
Maka celakalah Ibnul Juwaini…Inilah aku yang meninggal di atas keyakinan (aqidah) ibuku,
Atau dia berkata: di atas aqidah orang tua-orang tua Naisabur.”
Demikian juga banyak lagi para tokoh ahli kalam yang bingung dan menyesal dengan ilmu kalam. Seperti Syamsuddin Al-Khosrusyahi –salah satu murid Fakhrur Rozi, Al-Khounji, dan lainnya.
Engkau dapati sebagian mereka ketika meninggalnya kembali kepada aqidah orang-orang tua biasa, dan menetapkan apa yang mereka tetapkan. Di antara ahli kalam tadi ada yang bingung dan goncang dalam masalah sifat Allah, kemudian kembali ke madzhab salaf.
Seperti Abu Hamid Al-Ghozali yang mempunyai i’tiqod menurut jalan para ahli kalam (mutakallimin). Sebagian ulama telah menukilkan perkataannya yang menunjukkan bahwa dia rujuk. Ini sebagaimana yang disebutkan Ibnu Abi Al-Izzi Al-Hanafi pensyarah Al-Aqidah Ath-Thahawiyyah ketika membicarakan sekumpulan para ahli kalam dan kebingungan mereka:
“وكذلك الغزالي رحمه الله انتهى آخرُ أمرِه إلى الوقف والحيرة في المسائل الكلاميَّة، ثمَّ أعرَضَ عن تلك الطُّرُق، وأقبَل على أحاديث الرَّسول صلى الله عليه وسلم ، فمات و(البخاري) على صدره”.
“Demikian juga Al-Ghozali rahimahullah, akhir hidupnya berakhir pada sikap diam dan kebingungan dari permasalahan-permasalahan ilmu kalam. Kemudian dia berpaling dari jalan-jalan ilmu kalam itu dan menghadap kepada hadits-hasits Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian meninggal dalam keadaan Shahih Al-Bukhari ada di dadanya.”
Dan di dalam kitabnya Iljam Al-‘Awam ‘An ‘Ilm Al-Kalam, Al-Ghozali memperingatkan agar tidak sibuk dengan ilmu kalam dan mendorong untuk sibuk dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah dan jalan yang ditempuh para salaf sholeh. [Ar-Rodd ‘Ala Ar-Rifai hal 99]
Di dalam Lisan Al-Mizan (4/427) dibawakan biografi Ar-Rozi (dia termasuk tokoh ahli kalam):
“وكان مع تبحُّره في الأصول يقول: من التزم دينَ العجائز فهو الفائز
“Dia bersamaan dengan luasnya cakrawala /wawasan pengetahuan dia dalam ilmu ushul, dia mengatakan: ‘Barangsiapa yang memegang teguh agamanya orang-orang tua, maka dia beruntung.”
Ja’far bin Burqon, dia berkata: seseorang datang kepada Umar bin Abdil Aziz, kemudian menanyainya tentang sesuatu dari pemikiran bid’ah, maka dia menjawab:
الزَم دينَ الصبِيِّ في الكُتَّاب والأعرابيِّ، والْهُ عمَّا سوى ذلك
“Pegangilah agama anak-anak kecil dalam madrasah dan orang-orang pedusunan. Dan abaikan yang selain itu.” [HR. Ibnu Sa’ad dalam Ath-Thobaqot 5/374 dengan sanad shohih menurut imam Muslim, sebagaimana dikatakan Imam An-Nawawi dalam Tahdzib Al-Asma wal Lughot 2/22]
[7]
.
PELAJARAN DARI IMAM SUYUTHI
(Imam Suyuthi & ilmu kalam manthiq)
Al-Imam As-Suyuthi berkata dalam Husnul Muhadhoroh 1/339:
وقد كنت في مبادئ الطلب قرأت شيئًا في المنطق، ثم ألقى الله كراهته في قلبي، وسمعت ابن الصلاح أفتى بتحريمه فتركته لذلك فعوضني الله تعالى عنه علم الحديث الذي هو أشرف العلوم.
“Dulu pada awal menuntut ilmu, aku mempelajari sedikit ilmu manthiq, kemudian Allah menaruh kebencian terhadapnya di dalam hatiku dan aku mendengar Ibnush Sholah berfatwa tentang haromnya ilmu kalam, oleh karena itu Allah memberikan ganti untukku dengan ilmu hadits yang merupakan ilmu yang paling utama.”
Pelajaran:
1. Ini nasehat dan pelajaran bagi kita untuk meninggalkan dan menjauhi ilmu kalam mantiq.
2. Imam As-Suyuthi mengakui bahwa ilmu hadits adalah ilmu yang paling utama. Dan inilah ciri ahlussunnah -ahlul hadits- sangat memuliakan hadits-hadits Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
3. Abu Amr Ibnu Sholah sebagaimana Imam Syafii dan Imam An-Nawawi mengharamkan ilmu kalam.
4. Dalam perkataan ini, ada teladan dari Imam As-Suyuthi untuk menjalankan fatwa para ulama yang dikenal dengan kesholihan mereka dan dekat kepada ketaqwaan, tidak mengikuti orang-orang bodoh yang tidak jelas landasan hukumnya dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
5. Memahami Islam yang benar itu berdasar dengan al-qur’an, sunnah (hadits) dengan pemahaman generasi yang diturunkan wahyu padanya, yaitu generasi shohabat, lalu generasi yang mengambil ilmu dari mereka yaitu tabiin, dan generasi setelahnya yang dikenal dengan tabiut-tabiin. Dan kemudian setelahnya para ulama ahlussunnah yang dikenal mengikuti tiga generasi terbaik ini dengan baik, yang disebut salaf.
6. Tidak memahami Islam dengan perasaan dan zhon orang-orang sufi, takwilan orang-orang bodoh dalam agama, dan tidak pula dengan ilmu kalam dan pendapat akal orang-orang rasionalis, seperti di Indonesia ada kelompok sempalan Islam Liberal yang tidak beragama dengan dasar Al-Qur’an dan As-Sunnah. Wallahu a’lam.
[8]