Dia tidak saja menyebut nama dan di mana saya sekarang bekerja, tetapi juga masih hafal nama semua teman seangkatan kuliah dulu, bekerja apa dan di mana pula sekarang mereka berada. Dia juga masih bisa bercerita peristiwa-peristiwa unik yang terjadi di masa perkuliahan, dan siapa saja pelakunya dan di mana. Saya manggut-manggut keheranan. Pokoknya dia memiliki memori hebat sekali. Saya sangat salut memiliki kawan seperti dia.
Yang mengherankan lagi dia juga masih ingat ketika di suatu hari saya dilarang masuk kelas oleh salah seorang ibu dosen, karena saya dianggap terlambat. Padahal, saya sebenarnya tidak terlambat, tetapi saya berjalan di belakang dosen senior itu ketika menuju ruang perkuliahan. Karena itu, saya dilarang masuk. Pintu pun ditutup rapat, tetapi tidak dikunci. Dasar saya agak nakal ketika kuliah, ketika Ibu dosen itu menghadap papan tulis dan mulai menulis, saya pelan-pelan membuka pintu kelas dan berjalan perlahan berhasil masuk ruang kuliah. Ketika saya sudah berhasil masuk kelas, semua teman sekelas tertawa ngakak. Dan, Ibu dosen itu segera berpaling sambil marah karena merasa tidak ada yang lucu di kelas itu kok tiba-tiba semua tertawa. Ibu dosen itu sempat tersinggung dan mengira beliau yang ditertawakan. Saya masih ingat ketika itu saya akhirnya duduk di kursi paling belakang sambil cengar-cengir untuk menghindar pantauan Ibu dosen saya itu. Saya yakin andai Ibu dosen itu tahu saya masuk kelas, saya pasti dikeluarkan dari kelas. Peristiwa itu dia ceritakan dengan lengkap oleh kawan lama saya itu, malah saya sudah lupa beberapa hal.
Ketika sedang asyiknya kami bernostalgia, tiba-tiba ada pengumuman bahwa pesawat sudah siap berangkat dan penumpang diminta segera masuk pesawat dari arah yang sudah ditentukan. Kami berpisah dan berharap bisa ketemu kembali di waktu yang akan datang. Kami saling mencatat nomor HP untuk bisa berkomunikasi dengan lebih intensif dan menjaga silaturrahim. Bagi saya momen itu – walau tidak lama--- cukup menghibur , sehingga tidak begitu risau walau terjadi penundaan penerbangan hampir satu jam. Saya membayangkan andai saja tidak bertemu teman lama saya itu, penundaan penerbangan itu terasa sangat menyiksa. Karena itu, peristiwa itu saya syukuri.
Beberapa saat kemudian saya sudah berada di dalam pesawat menempati tempat duduk sesuai nomor yang ada dalam boarding pass. Sambil menikmati penerbangan Jakarta-Malang, saya merenungkan peristiwa yang baru saja terjadi. Pertama, betapa saya senang bertemu teman baik yang pernah duduk di satu kelas. Kedua, pikiran saya terpusat pada bagaimana dia bisa mengenang peristiwa yang terjadi sekian puluh tahun yang lalu dengan begitu lengkap . Ketiga, bagaimana pula dia kok punya data lengkap mengenai teman-teman sekelas dulu. Padahal, dia juga begitu sibuk bekerja sebagai karyawan senior di sebuah perusahaan nasional. Pikiran saya mulai bergeser tidak lagi tentang teman lama itu, tetapi tentang memori manusia. Bagaimana memori manusia, seperti yang dimiliki teman saya itu, begitu kuat, sehingga peristiwa yang terjadi sekian lama masih bisa diceritakian ulang ibarat memutar sebuah kaset.
Tiba-tiba saya teringat bahwa saya pernah membaca sebuah buku berjudl “TRADISI LISAN SEBAGAI SEJARAH”, yang dikarang oleh Jan Vansia, guru besar emeritus di University of Wisconsin, Madison, USA, dan dialihbahasakan oleh Astrid Reza dkk, diterbitkan oleh Penerbit Ombak, Yogyakarta. Saya masih menyimpan buku itu di almari buku di rumah. Bagi saya buku itu menarik, karena menjelaskan betapa ingatan atau memori manusia itu anugerah yang luar biasa bagi manusia. Sebab, dari ingatan manusia bisa mengulang atau menceritakan kembali peristiwa yang terjadi sekian puluh tahun silam, sebagaimana dialami kawan lama saya itu tadi. Dengan memorinya, dia bisa berceritera secara lengkap peristiwa yang terjadi puluhan tahun silam.
Berkat memori itu pula, manusia bisa mengingat sesuatu yang sudah tidak ada lagi, tentang tempat di mana sebuah peristiwa terjadi, siapa saja yang terlibat dalam peristiwa tersebut, termasuk bagaimana kejadiannya. Sayangnya, tidak semua ingatan itu bisa diceritakan karena keterbatasan kata dalam bahasa, lebih-lebih bahasa tulis. Polanyi, seorang filosof kenamaan berkebangsaan Hongaria, pernah mengatakan bahwa dalam hidupnya manusia bergelimang pengetahuan dan pengalaman (surplus of knowledge), tetapi sangat sedikit yang bisa diceritakan. Mengapa begitu? Karena manusia memiliki keterbatasan kata-kata untuk mengungkapkannya. Bahasa apapun, sebut saja bahasa-bahasa yang memiliki kosa kata sangat banyak seperti bahasa Inggris, Arab, Cina, dan lain-lain tetap tidak sanggup mengungkap semua realitas. Realitas, menurut Polanyi, jauh lebih kompleks daripada yang bisa diungkap...... we know much more than we can say.
Dari memori, pengalaman diungkapkan secara turun temurun dan berkesinambungan hingga akhirnya berkembang menjadi tradisi lisan dalam masyarakat. Sebagian mengatakan bahwa tradisi lisan merupakan warisan masyarakat primitif dan suara bagi mereka yang belum mengenal tradisi tulis. Memang tidak salah, tetapi bagaimanapun tradisi lisan telah mengawali sejarah peradaban dan berlangsung hampir sepanjang sejarah umur manusia. Selain itu, tanpa ada tradsi lisan tidak akan pernah ada tradisi tulis menulis. Tulisan hakikatnya merupakan bahasa lisan yang diungkap dalam kata yang ditulis. Tetapi tradisi tulis menulis/tulis baru hadir kemudian. Namun demikian, kehadiran tradisi tulis telah mengubah peradaban manusia demikian pesat sebagaimana yang kita saksikan hari ini.
Seorang pakar bernama Peter Russel pernah menyatakan karena manusia telah berhasil mengembangkan sistem bahasa tulis, laju dan percepatan pertumbuhan ilmu dan teknologi sangat mengejutkan. Menurutnya, andai kita membiji satu satuan pengetahuan kolektif manusia untuk Tahun 1 Masehi, itu dicapai manusia selama 50.000 tahun. Menjelang tahun 1500, karena manusia telah berhasil mengembangkan sistem bahasa tulis, volume pengetahuan mengalami penggandaan, menjadi dua kali lebih besar daripada sebelumnya. Penggandaan berikutnya terjadi tahun 1750. Hingga awal 1900-an, jumlah pengetahuan kolektif manusia sudah mencapai 8 (delapan) satuan. Itu artinya, akibat manusia menemukan sistem lambang yang tertulis ilmu pengetahuan berkembang demikian pesat , dan karena itu pula peradaban manusia juga berkembang.
Tanpa kita sadari tiap saat memori kita bekerja di sudut-sudut kehidupan kita. Karena itu, jika memori sudah tidak bekerja saat itu pula sejatinya kehidupan manusia telah berakhir. Memang diakui bahwa kekuatan dan kualitas memori dari satu orang ke orang lain tidak sama. Tapi yang pasti adalah lewat memori kisah-kisah lama tentang manusia agung, seperti para Nabi dan Rasul, manusia sukses dan manusia yang celaka, manusia alim dan durhaka semua dapat diungkap. Semua bisa menjadi pelajaran sejarah untuk merekonstruksi masa depan. Sejarah memang belajar tentang masa lalu, tetapi hadir untuk dipelajari agar kita mampu memprediksi apa yang akan terjadi di masa depan.
Masa depan pun kelak akan menjadi masa silam yang akan tetap diungkap oleh memori manusia dari satu generasi ke generasi berikutnya Memori merupakan aungerah Tuhan yang hanya diberikan kepada manusia dan bernilai tiada tara. Tak salah jika Jan Vansina menuturkan bahwa memori merupakan sebuah keajaiban alami dunia. Sayangnya, sebagai manusia kita sering tidak sadar bahwa diri kita dilengkapi oleh Tuhan sebuah anugerah yang demikian hebat. Karena memori, kita tidak saja berbeda dengan makhluk-makhluk lain ciptaan Tuhan, tetapi menjadi makhluk yang bermartabat dan sempurna.