Kontroversi Ghazwul-fikr
Sesungguhnya
seluruh aspek kehidupan kaum muslimin saat ini sedang berada dalam
kondisi terpuruk akibat rendahnya taraf berpikir mereka Hal ini
terutama terjadi sejak berlangsungnya perang pemikiran dan perang
kebudayaan (ghazwul-fikr dan ghazwuts-tsaqafi) yang gencar dilancarkan
Barat dan kafir musta’mir lain sebagai pengganti perang fisik yang
sebelumnya tidak menghasilkan kemenangan apapun buat mereka. Dalam hal
ini, pemikiran-pemikiran Islam yang sebelumnya menuntun kaum muslimin
dan membuat mereka mampu membangun sebuah peradaban yang gemilang dalam
kurun yang sangat panjang, seolah telah terkubur oleh
pemikiran-pemikiran asing yang merasuk ke dalam benak mereka dan
kemudian mengungkung sistem kehidupan mereka. Seolah-olah,
pemikiran-pemikiran Islam hanyalah sebuah masa lalu yang tidak lagi
layak untuk membangun masa depan peradaban ummat manusia ditengah-tengah
fakta pluralitas (kemajemukan) dan universalitas (globalisasi)
kehidupan manusia modern.
Salah satu cara yang mereka gunakan
dalam perang pemikiran tadi adalah dengan melontarkan berbagai gagasan,
baik yang menohok Islam secara langsung, yakni dengan cara menampilkan
wajah buruk pemikiran-pemikiran Islam, maupun yang bersifat halus dan
kompromistis untuk mengaburkan ide-ide Islam dan membentuk image bahwa
Islam sangat elastis dan terbuka. Dan euphoria demokratisasi yang saat
ini sedang hangat-hangatnya dinikmati oleh kaum muslimin di sebagian
besar negeri Islam telah memberikan suasana yang kondusif bagi
penyebaran gagasan-gagasan tersebut di tengah-tengah mereka, sehingga
benar-benar menjadi bahan polemik, yang sebenarnya merupakan manifestasi
dari fenomena ghazwul-fikr dan ghazwuts-tsaqafi seperti yang
dikehendaki para perancangnya. Tujuannya tidak lain adalah menjauhkan
kaum muslimin dari pemahaman Islam yang murni, karena mereka menyadari,
bahwa inti kekuatan kaum muslimin sebagai musuh utama mereka
sesungguhnya terletak pada kekuatan dan kejernihan
pemikiran-pemikirannya, baik dari sisi aqidah sebagai pemikiran
pokoknya, maupun dari sisi syari’ah sebagai pemikiran cabangnya.
Kondisi
ini kemudian diperburuk oleh ungkapan-ungkapan sebagian pemikir Islam
kontemporer, baik yang jelas-jelas bertindak sebagai agen para penjajah,
maupun mereka yang ‘ikhlas’ dan bersikap ‘husnudzan’ terhadap pihak
Barat/asing. Mereka menyatakan, bahwa apa yang oleh sebagian kalangan
disebut dengan fenomena ghazwul-fikr tadi, sesungguhnya bukan merupakan
kenyataan yang harus disikapi secara negatif, melainkan seharusnya
menjadi sarana pendewasaan serta pengentalan ghirah dan persepsi
keagamaan ummat. Karena dalam kacamata mereka, selama ini semangat dan
persepsi keagamaan mayoritas ummat Islam lebih didasari oleh sentimen
dan berbagai mitos, sehingga terkesan sangat kaku, letterlijk, simbolik
dan bahkan khayali. Akibatnya (menurut mereka) Islam dan kaum Muslimin
seolah menjadi sebuah ajaran dan komunitas yang sangat eksklusif dan
anti perubahan, sekaligus anti pencerahan dan modernisasi, sehingga
dianggap layak menyandang berbagai sebutan, seperti kelompok Islam
konservatif, skriptualis dan bahkan fundamentalis jika sudah mengarah
kepada upaya mewujudkan Islam sebagai sebuah sistem.
Dengan
kerangka pikir seperti itulah, mereka lantas mempertanyakan tentang
keabsahan konsep universalisme Islam yang tersirat dalam konsep Islam
sebagai rahmatan lil ‘alamin. Karena dengan fakta demikian, mereka
melihat (berupaya memperlihatkan), bahwa seolah-olah ada ketidak
sinkronan antara konsep disatu sisi dan fakta di sisi lain, yakni jika
Islam dipahami dan direalisasikan “apa adanya”, secara pasti Islam akan
kehilangan keuniversalannya dan kemudian termarjinalisasikan sebagaimana
filsafat usang yang ditinggalkan banyak orang. Dan hal ini menurut
mereka, tentu sangat kontraproduktif bagi masa depan Islam dan kaum
Muslimin, sehingga adanya rekonstruksi paradigma berpikir dalam beragama
menjadi satu keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar. Dalam hal ini,
mereka kemudian menyebut gagasannya tersebut dengan istilah tajdid.
Kekaburan Konsep Tajdid
Semangat
pembaharuan (tajdid) dalam perspektif Islam seperti ini, sebenarnya
telah berlangsung sejak lama, yakni sejalan dengan perkembangan sejarah
Islam itu sendiri. Akan tetapi pembaharuan yang dikembangkan oleh
ulama salaf di masa lalu dan sebagian ulama khalaf (kontemporer) yang
lurus, justru lebih mengarah pada upaya “memurnikan” ajaran Islam dan
mengembalikannya ke perspektif Islam “apa adanya”, setelah dianggap
bahwa Islam telah tersusupi pandangan-pandangan dan ajaran-ajaran baru
(bid’ah) atau bahkan sesat, yang diyakini tidak relevan dengan kehendak
wahyu (tasyri’). Sementara, sebagian pemikir Islam “kontemporer”
lainnya, yang sering juga disebut kelompok Islam esensialis justru
lantang menyerukan upaya pembaharuan yang mengarah kepada keharusan
untuk “membaca” wahyu dalam konteks kekinian melalui seruan-seruan untuk
melakukan upaya reinterpretasi, reaktualisasi atau bahkan rekonstruksi
teks-teks nash syara. Untuk itu, mereka intens juga menyerukan
penggunaan berbagai pendekatan di luar konteks kaidah ushul fiqih yang
selama ini dikenal (ijtihad syar’i) seperti melalui pendekatan ilmiah
melalui sudut pandang antropologi historis, sosiologis dan psikologis
dalam memahami konsep-konsep ajaran Islam. Tujuannya adalah demi
membangun kembali citra Islam yang kadung dicap miring oleh Barat dengan
berbagai stereotipe, seperti kuno, sadis, penuh kekerasan, menghinakan
wanita dan sebagainya, menjadi nampak lebih ramah, humanis dan modern.
Inilah
rupanya yang menjadi obsesi para pemikir Islam kontemporer-esensialis :
“membebaskan Islam dari kekeliruan konsep dan persepsi Barat tentang
Islam”. Caranya adalah dengan membuka diri terhadap berbagai diskursus
dan polemik tentang pemikiran Islam, demi dan atas nama kebebasan
berpikir, pencerahan dan kepentingan ilmiah. Sehingga berbagai wacana
dikembangkan, bahkan terkadang seolah tanpa batas, karena sampai
menyentuh hal-hal yang sangat mutlak dan mendasar (tataran aqidah) yang
nantinya akan sangat berpengaruh pada tataran syari’ah. Di antara
konsep-konsep yang menjadi polemik hangat dan intens dilontarkan adalah
konsep tentang relativisme beragama, pluralisme,
universalisme/kosmopolitanisme dan humanisme, dan sekularisme. Dan
sekalipun konsep-konsep tersebut sangat filsafatis, akan tetapi justru
menjadi dasar dan penguat bagi pemikiran-pemikiran asing yang saat ini
digembar-gemborkan musuh-musuh Islam untuk meracuni pemikiran kaum
muslimin, seperti ide kebebasan, demokrasi, HAM, dialog antar agama dan
lain-lain. Di Indonesia sendiri, pemikir-pemikir yang intens terlibat
langsung dalam diskursus tersebut, antara lain Nurcholis Madjid,
Abdurrahman Wahid, Azyumardi Azra, Quraisy Shihab, Alwi Shihab, Masdar
F. Mas’udi, dan lain-lain Sedangkan pemikir Islam “luar” yang menjadi
referensi antara lain adalah Mohammed Arkoun (Paris, Perancis),
Fazlurrahman (AS) dll. Berikut pemikiran-pemikiran tersebut akan
dibahas satu persatu, Insya Allah dari sisi fakta, kerangka berpikir,
implikasi serta mengenai bagaimana pandangan Islam. Hal ini,
semata-mata agar kita mengetahui kerancuan pemikiran dan bahayanya bagi
Islam dan kaum muslimin, terutama selain karena ide-ide tersebut
ditampilkan sebagai ‘pemikiran Islam’, juga karena akan menjauhkan jarak
di antara mereka dengan cita-cita kebangkitan dan kembalinya Islam
dalam realitas kehidupan. Dan justru inilah yang menjadi obsesi
musuh-musuh Islam, karena mereka memandang bahwa saat ini Islam adalah
satu-satunya ancaman bagi hegemoni (kapitalisasi) mereka atas dunia
setelah sosialime yang menjadi tandingannya hancur dengan runtuhnya
kekuasaan Sovyet beberapa waktu lalu.
a. Relativisme Beragama
Secara
umum, konsep relativisme menerangkan bahwa apa yang dianggap baik atau
buruk, benar atau salah, adalah relatif, tergantung kepada pendapat tiap
individu, keadaan setempat, institusi sosial dan agama. Oleh karena
itu, konsep yang berawal pada abad kelima sebelum masehi ini, tidak
mengenal kebenaran absolut atau kebenaran abadi.
Cak Nur dalam
bukunya Pintu-Pintu Menuju Tuhan (p. 242) menulis mengenai relativisme
beragama seperti ini : Pandangan seseorang tentang pemahamannya mengenai
suatu agama tentu diakui oleh yang bersangkutan sebagai yang paling
tepat dan paling benar mengenai agama itu. Tetapi, sebagai entitas
mengenai entitas yang lain, maka adalah tak masuk akal (absurd) untuk
melihat kedua-duanya sebagai identik dan bisa saling tukar
(interchangeable). Jadi, pemahaman seseorang atau kelompok tentang
suatu agama bukanlah dengan sendirinya senilai dengan agama itu sendiri.
Ini lebih-lebih lagi benar jika suatu agama diyakini hanya datang dari
Tuhan (wahyu, agama samawi) dan bukannya hasil akhir suatu proses
historis dan sosiologis (dengan istilah “agama wahyu” atau “agama
samawi” maka wewenangmenetapkan agama atau tasyri’ seharusnya hanya ada
pada Tuhan atau berasal “dari langit”, sementara yang datang dari
manusia atau dari arah bumi juga seharusnya dipandang sebagai relatif
belaka).
Dengan tulisan tersebut nampaknya Cak Nur ingin
mengatakan, bahwa tidak boleh bagi seseorang atau suatu kelompok untuk
mengklaim bahwa kebenaran adalah milik diri dan kelompoknya saja, karena
ternyata hakekat kebenaran dalam pandangan manusia sangatlah relatif,
serelatif persepsi manusia terhadap sesuatu yang dianggap benar tadi.
Dengan kata lain, benar bagi seseorang, belum tentu benar bagi yang
lain, sehingga, apa yang dianggap benar tadi bukanlah kebenaran itu
sendiri, melainkan hanyalah persepsi seseorang tentang kebenaran yang
sifatnya ternyata sangat relatif. Dan hal ini, menurutnya, merupakan
fakta yang tidak terbantah, tak terkecuali dalam konteks kebenaran agama
dalam pandangan manusia. Apalagi jika mengingat, bahwa agama-agama
besar seperti Yahudi, Nasrani dan Islam dianggap sama-sama merupakan
agama wahyu yang berasal dari Tuhan sebagai pemilik mutlak kebenaran.
Sejalan
dengan itu, menurut Alwi Shihab (sekalipun dia kurang setuju dengan
relativisme mutlak), doktrin agama harus dinyatakan benar dan sama,
karena kebenaran agama-agama, walaupun berbeda-beda dan bertentangan
satu dengan lainnya, tetap harus diterima. Untuk itu seorang relativis
tidak akan mengenal, apalagi menerima suatu kebenaran yang berlaku untuk
semua dan sepanjang masa, karena inti dari paham ini adalah menolak
absolutisme dan monopoli kebenaran serta pemaksaan kebenaran tersebut
kepada pihak lain. Hal ini mengingat, pemutlakan kebenaran agama yang
diistilahkan Arkoun sebagai tirani kepercayaan dan tirani pikiran,
dianggap hanya akan memunculkan ketidakpercayaan dan perselisihan yang
berkepanjangan. Hal ini pulalah yang diduga kuat oleh Alwi Shihab
sebagai pemicu perselisihan panjang hubungan Muslim Kristen di Indonesia
dan di negeri manapun hingga sekarang. Bahkan beliau menggambarkan,
bahwa agama seolah telah menjadi elemen utama dalam mesin penghancuran
manusia, dimana tidak ada alat komunikasi lain bagi antar agama tadi
kecuali senjata (Baca : Islam Inklusif). Oleh karena itulah kemudian
para pemikir Islam modern menganjurkan dilakukannya upaya-upaya
menginteraksikan berbagai pemikiran agama secara terus-menerus agar
tercapai keterbukaan, saling pengertian dan toleransi (inklusivisme)
melalui berbagai format seperti Dialog Antar Agama. Dengan demikian,
jelas bahwa ide relativisme beragama secara otomatis akan menuntut
keharusan untuk menerima konsep pluralisme.
b. Pluralisme
Sesungguhnya,
inti dari pluralisme adalah penerimaan dan apresiasi terhadap
kemajemukan yang ada di dalam masyarakat. Bagi penganut ide ini,
pluralitas (kepelbagaian/kemajemukan) masyarakat adalah merupakan suatu
fakta, dan bahwa pluralitas tidak mungkin dihilangkan juga merupakan
fakta, sehingga adanya kesadaran akan pluralitas tadi merupakan satu
keharusan.
Tentang pluralisme agama sendiri, Alwi Shihab
menyatakan, bahwa pada dasarnya lahir dilatarbelakangi oleh serangkaian
pertanyaan yang cukup mendasar. Pertanyaan-pertanyaan tersebut antara
lain : apabila Tuhan itu Esa, tidakkah sebaiknya agama itu tunggal saja?
Dan apabila pluralisme agama tidak dapat dielakkan, maka yang mana di
antara agama-agama ini yang benar, ataukah semuanya sesat ? Lalu,
mengapa kita memeluk satu agama dan tidak ikut agama yang lain? Dan
mungkinkah terdapat persamaan doktrin atau kesamaan tujuan di antara
aneka macam agama yang ada?. Pertanyaan-pertanyaan tersebut tentu
memunculkan kontroversi, mengingat setiap agama mengajarkan, bahwa
doktrinnyalah yang paling benar, unik, ekslusif dan superior. Oleh
karena itu, menurutnya perlu ada upaya menjembatani kesenjangan yang
ada diantara agama-agama tadi.
Setiap Pluralis (termasuk Alwi)
meyakini, bahwa jawaban tuntas terhadap semua pertanyaan diatas tidak
lain adalah penerimaan terhadap ide pluralisme yang direalisasikan
dalam bentuk kesiapan untuk saling membuka diri dan berdialog dalam
rangka mencari persamaan-persamaan yang dapat dijadikan landasan hidup
rukun dalam suatu masyarakat. Dan dalam tataran praktisnya, Alwi
menekankan peran penting Islam sebagai agama mayoritas dan kaya dengan
sekte untuk mempelopori upaya-upaya tersebut. Apalagi, menurutnya pula
sebagai agama formal, Islam memang mengajarkan kebebasan beragama, yang
dalam pandangan Cak Nur, itu merupakan pintu pluralisme dan kemanusiaan.
Dengan memahami konsep di atas,
maka jelas ada keterkaitan yang erat antara pluralisme dengan
relativisme, sekalipun sekali lagi, Alwi tidak sepakat jika keduanya
dipersamakan. Keterkaitan dimaksud adalah, bahwa dalam pluralisme pun
terkandung unsur relativisme, yakni ketidakbolehan mengklaim pemilikan
tunggal atas satu kebenaran. Selain itu, pada dasarnya relativisme dan
pluralisme sama-sama mengarah pada penyatuan manusia dalam kepelbagaian
kepercayaan dan kepelbagaian identitas di masa modern, dimana tentang
identitas ini, Gus Dur (dalam sebuah kesempatan) dan Azyumardi Azra
(dalam Konteks Berteologi di Indonesia, p. ?) pernah menyatakan, bahwa
modernisasi suatu masyarakat mensyaratkan penerimaan terhadap
pluralisme, baik paham ajaran agama, budaya, politik dan sebagainya.
Lepas
dari pernyataan tersebut, inilah pluralisme murni. Sedangkan
pluralisme yang dikembangkan Alwi Shihab di Indonesia, (katanya) adalah
pluralisme agama yang menolak sinkretisme dan bersyarat, yaitu keharusan
adanya komitmen yang kokoh terhadap agama masing-masing, yang
disandarkan pada Al-Qur’an Surat Saba’ (34) ayat 24-26. Namun, kemudian
muncul pertanyaan mengenai sejauhmana batasan “commited” yang beliau
maksud, mengingat faktanya Islam bukan sekedar agama ritual seperti
halnya agama lain, melainkan merupakan “ad-din” (sistem hidup) yang
diantaranya mengatur tentang pola hubungan yang jelas antara Islam-non
Islam, Muslim dan non-Muslim di dalam masyarakat Islam.
c. Universalisme/kosmopolitanisme dan Humanisme
Mohammed
Arkoun adalah seorang pemikir yang intens menyebarkan ide
universalisme. Menurutnya tidak ada yang dapat disebut pinggiran atau
pusat, tidak ada kelompok yang terpinggirkan atau yang dominan, tidak
ada kepercayaan yang dapat dikatagorikan sebagai rendah maupun agung,
karena pikiranlah yang menciptakan kebenaran. Dalam hal ini, secara
sinis dan retoris dia mempertanyakan hal (yang menurut penulis)
berbahaya, sekalipun boleh jadi dalam kacamata “ilmiah” adalah sah-sah
saja, seperti pertanyaan: dapatkan identitas umat Islam yang beragam
disatukan, baik antara sesama umat Islam maupun dengan masyarakat non
Islam? Apakah pemaksaan “identitas kultural” selama ini berarti bahwa
dunia ini perlu dibagi antara Syi’ah dan Sunni, mistik dan
tradisionalis, Islam, Kristen dan Yahudi, Arab dan Eropa? Dan
sebagainya.
Sesungguhnya dalam tataran inilah universalisme
menekankan idealismenya, yakni bagaimana menghilangkan berbagai
identitas kultural (termasuk perbedaan agama) yang dianggap sebagai
tirani bagi kemanusiaan. Karena menurut penganutnya, sejarah dunia ini
pada dasarnya satu, dan sejarah kepercayaan (agama)-pun pada dasarnya
satu. Kalaupun kemudian terjadi partikularisasi (pembagian/pengkotakkan)
dalam bentuk berbagai identitas, itu hanyalah merupakan hasil sejarah
manusia yang dipengaruhi aspek politis, tradisi dan sebagainya.
Sehingga, Arkoun misalnya, mengatakan, bahwa sesungguhnya sejarah
masyarakat Islam sangat berkaitan dengan sejarah Barat. Dan bahwa tidak
ada dikotomi antara pemikiran Barat dan pemikiran Islam, karena
keduanya telah saling menyatu, sehingga keduanyapun harus dihargai
sekaligus dievaluasi, serta harus dipandang dalam konteks satu sejarah
mengenai “kelompok ahli-ahli kitab” (yaitu masyarakat dengan tradisi
Yahudi, Nasrani dan Islam). Dan bahwa berbagai kekuatan yang dominan
masa kini harus dihindari, termasuk nasionalisme, separatisme dan
islamisme.
Tentang hal ini misalnya, Arkoun mencoba berhujjah,
bahwa kata ‘Islam’ bisa berarti banyak hal bagi banyak orang pada epos
yang berbeda, seperti yang tersirat didalam salah satu bab bukunya
bertajuk “Islam dan Muslim” (Rethinking Islam, p. 17). Disitu dia
menulis, bahwa ketika Al-Qur’an mengatakan, bahwa Ibrahim adalah
seorang Muslim, maka hal tersebut jelas tidak menunjuk kepada Islam
sebagaimana yang didefinisikan oleh para teolog dan juris (ahli
hukum/fiqih) dalam penafsiran mereka terhadap Al-Qur’an dan
ajaran-ajaran Muhammad. Dalam konteks ini, menurutnya, “Muslim” lebih
menunjukkan sebuah “sikap religius” yang ideal seperti yang disimbolkan
oleh perilaku Ibrahim dan kemudian menjadi landasan bangunan ritual bagi
ketiga agama monoteis.
Berbeda dengan Arkoun yang mengangkat
secara kasar universalisme Islam ke arah sinkretisme agama-agama, Gus
Dur mencoba mengangkat visi ini dengan bahasan yang lebih halus. Beliau
mengatakan, bahwa universalisme Islam menampakkan diri dalam
ajaran-ajarannya, yang memiliki kepedulian sangat besar kepada
unsur-unsur utama kemanusiaan (humanisme Islam), seperti halnya prinsip
keadilan sosial. Hanya saja, beliau menekankan kemustahilan
mengaktualisasikan universalitas ajaran Islam dalam tataran praktis jika
tidak didukung oleh apa yang beliau sebut dengan kosmopolitanisme
peradaban Islam, yakni kearifan peradilan dunia Islam yang muncul dari
proses saling pengaruh-mempengaruhi dengan peradaban lain. Menurutnya,
kosmopolitanisme peradaban Islam ini telah muncul dalam sejumlah unsur
dominan (yang wataknya telah nampak sejak awal perkembangan), seperti
hilangnya batasan etnis, kuatnya pluralitas budaya dan heterogenitas
politik, serta jaminan akan kehidupan beragama yang eklektik (kesiapan
Islam untuk menyerap hal-hal yang baik dari luar) dan dialektik
(dialogis dan bahkan penuh perdebatan sengit) selama berabad-abad.
Dalam
pandangannya, pada saat kaum Muslimin tidak lagi memiliki keseimbangan
antara kecenderungan normatif (keyakinan agama dan formalisasi ajaran
agama, pen.) dan kebebasan berfikir (termasuk mengakui kebebasan
berpikir pada non-muslim) seperti sekarang, yakni kaum muslimin mulai
terjebak pada ekslusivisme, maka pada saat itu hilanglah sifat
kosmopolitanisme Islam. Sehingga menurutnya, yang seharusnya menjadi
agenda untuk dikembangkan ke depan adalah bagaimana meningkatkan kembali
universalisme dan kosmopolitanisme peradaan Islam ini di masa datang
agar Islam bisa mengambil bagian dalam membangun peradaban manusia.
Dalam bahasa lain Arkoun mengatakan, bahwa Islam tidak boleh terpuruk
dalam “kekhususan”, partikularisme dan singularisme. Bahkan menurutnya,
pemikiran sekular yang terbuka yang dipahami sebagai pencarian akan
bentuk ekspresi yang paling tidak ideologis dan paling netral serta
lahir dari rasa hormat terhadap kebebasan kehendak orang lain adalah
merupakan kemajuan pemikiran yang penting.
d. Sekularisme
Jika
dicermati, sesungguhnya ide-ide sebelumnya akan berakhir pada muara
yang sama, yaitu sekularisme. Dalam hal ini, sekalipun Cak Nur misalnya
menolak menyamakan ide sekularisasi -yang secara istiqomah
diperjuangkannya hingga sekarang- dengan sekularisme (yang menurutnya
berujung pada penghapusan kepercayaan kepada Tuhan), namun ternyata
intinya tetap sama, yakni meniadakan peran Al-Khalik dalam mengatur
kehidupan dunia, yakni sekularisme itu sendiri. Sebab sekularisasi
yang beliau maksud tersebut didefinisikan sebagai suatu proses sejarah
dimana masyarakat dan kebudayaan dibebaskan dari kung-kungan atau
asuhan keagamaan dan pandangan dunia metafisis yang tertutup. Artinya
sekularisasipun pada akhirnya tidak meniscayakan peran agama dalam
kehidupan, sebagaimana sekularisme.
Terlepas dari masalah
terminologi, Cak Nur memiliki keyakinan besar akan kemampuan rasio untuk
memecahkan persoalan-persoalan keduniawian, dengan dalih bahwa justru
karena faktor rasionalitas inilah Tuhan memilih manusia sebagai
khalifah-Nya. Sehingga menurutnya, sekularisasi adalah niscaya, dan
sekularisasi dengan rasionalisasi jelas memiliki konsistensi (Islam
Kemoderenan dan Keindonesiaan, p. 229). Dalam hal ini beliau
mengemukakan beberapa hujjah, antara lain konsep Islam tentang
(pemilahan) “hari dunia” dan “hari agama”, “ar-Rahman” dan
“ar-Rahim”,”hablum minallah” dan “hablum minannas” dan sebagainya, yang
beliau anggap sebagai dasar penetapan pembagian wilayah otoritatif Tuhan
(agama) dengan otoritas manusia (dunia).
Selain pada pemikiran
Cak Nur, sekularisme juga ditemukan pada pemikir yang lain. Gus Dur
misalnya dengan tegas menolak menyamakan agama (termasuk Islam) dengan
Ideologi. Menurutnya, agama merupakan sets of belief/spiritual belief,
sedangkan ideologi merupakan wordly belief (Zaman Baru Islam Indonesia,
p.86). Artinya, bagi beliau mungkin agama dan dunia merupakan dua sisi
mata uang yang berbeda; satu, tapi tidak dapat disatukan pada sisi yang
sama. Sementara itu, sekularisme dalam pemikiran Arkoun nampak ketika
dia mengatakan, bahwa hakekatnya “muslim” yang lebih menunjukkan sikap
hidup, adalah berbeda dengan Islam (sebagai konsep) dan bahwa fakta
Quran (sebagai firman Tuhan) berbeda dengan fakta Islam (sebagai
sejarah). Menurutnya Quran memiliki perspektif religius. Lalu ketika
bercampur dengan kepentingan profan (duniawiyah), pemikiran Islam
akhirnya mengklaim bahwa jaringan religius, profan dan politik (din,
dunya dan daulah) merupakan karakteristik Islam dan sekaligus menjadi
fakta Islam, dan bukan Islam itu sendiri. Karena itu katanya,
masyarakat muslim harus melakukan kajian kritis dan ilmiah terhadap
dirinya, sehingga Islam sebagai agama akan dibebaskan dari problem dan
tanggungjawab yang merupakan wilayah khusus para pelaku sosial, bukan
tuhan. (Rethinking Islam, p. 20).
Bukan Sekedar Masalah Terminologi
Sesungguhnya,
sekalipun sampai saat ini ide-ide tersebut lebih dianggap sebagai
sebuah wacana ilmiah, namun ternyata cukup memberikan implikasi yang
mendasar bagi pembentukan kerangka berpikir ummat dalam beragama dan
sekaligus akan menentukan langkah-langkahnya dalam kehidupan. Sehingga
kemunculan ide-ide tersebut tidak boleh dipandang sekedar sebagai
masalah terminologi, mengingat di balik ide-ide tersebut tersembunyi
kerangka pandang tertentu mengenai kehidupan (hadlarah). Artinya, tak
ada yang bebas nilai di sini, sehingga hal tersebut tentu membutuhkan
perhatian dan kajian agar kita dapat menentukan satu sikap terhadapnya,
yakni apakah akan menerima atau menolak. Dan tentu, sebagai seorang
muslim/ah selayaknyalah kita hanya menggunakan Islam sebagai satunya
landasan berpikir (qa’idah fikriyyah) yang menjadi tolok ukur terhadap
segala bentuk pemikiran dan di atasnya kita bangun seluruh pemikiran
cabang tentang kehidupan, sekaligus sebagai tuntunan berpikir (qiyadah
fikriyah) yang menuntun manusia dalam menghadapi segala problema
kehidupannya
Jika kita cermati, semua ide tersebut ternyata
memiliki kesamaan ciri, yakni sangat kental dengan pola pikir filsafatis
yang biasa menonjolkan sisi rasionalitas (logika/silogisme/mantik) dan
sekaligus menjadikannya sebagai asas berpikir mereka dalam proses
penarikan kesimpulan Ketika mengungkapkan ide relativisme misalnya,
Cak Nur berangkat dari beberapa pemikiran (yang dijadikannya sebagai
premis), seperti : Karena Tuhan adalah kebenaran mutlak dan agama
samawi adalah wahyu Tuhan, maka agama samawi (Yahudi, Nasrani dan Islam)
adalah kebenaran mutlak.
Sampai disini tentu tidak ada masalah
sejauh konklusi tadi diletakkan dalam konteks masa berlakunya
masing-masing agama tersebut. Namun ketika beliau hubungkan dengan
formulasi lain, bahwa pandangan manusia adalah relatif dan beragama
hanya merupakan persepsi manusia mengenai suatu kebenaran sehingga
kebenaran dalam pandangan manusia menjadi relatif juga, tentu kesimpulan
ini perlu dikaji lebih lanjut. Karena ini berarti, bahwa saat ini mau
tidak mau manusia harus menerima beberapa kenyataan, bahwa apa yang
diyakininya belum tentu benar, atau sama benar seperti yang diyakini
orang lain atau bahkan sama-sama salah, sehingga dia tidak boleh
mengklaim kebenaran sebagai milik (agama)-nya semata.
Dengan
logika yang sama sebagian pemikir membangun konsep universalisme, yakni
dengan menambah premis, bahwa karena seluruh agama samawi berasal dari
satu Tuhan, maka manusia harus membangun kesadaran berdasarkan prinsip
universalitas. Sedangkan mengenai universalisme yang dikembangkan Gus
Dur (universalisme Islam) saya kira lebih dekat kepada silogisme dalam
konsep relativisme yang menolak klaim kebenaran (absolutisme), sehingga
Islam harus dipahami dari prinsip-prinsipnya yang bersifat universal,
terutama dari aspek humanismenya saja.
Adapun silogisme dalam ide
pluralisme nampak dalam pernyataan, bahwa pluralitas masyarakat
merupakan suatu fakta dan sekaligus kehendak Tuhan. Dan karena Tuhan
adalah kebenaran mutlak, maka pluralitas masyarakat juga merupakan
kebenaran yang harus diterima. Sehingga oleh karenanya, penolakan
terhadap pluralisme dianggap sebagai penolakan terhadap kenyataan dan
rasio.
Yang lebih parah lagi, ialah bahwa konsep-konsep tersebut
jelas saling memiliki keterkaitan, bahkan saling kukuh mengkukuhkan,
karena berpangkal pada kerangka berpikir yang sama, yakni filsafat
kebenaran dan berujung pada konsep yang sama pula, yakni sekularisme.
Sebagaimana diketahui, dalam filsafat, definisi dan ukuran “kebenaran”
merupakan salah satu topik kajian yang cukup banyak memunculkan polemik
yang kemudian memunculkan banyak madzhab. Misalnya, dari sisi ukuran
kebenaran, para penganut skeptisisme mengatakan, bahwa sesungguhnya
tidak ada satupun ukuran tentang kebenaran, sedangkan penganut
dogmatisme berpendirian sama gigihnya dengan mengatakan, bahwa ukuran
yang dipunyainya merupakan ukuran yang dapat dipercaya secara mutlak.
Adapun penganut idealisme dan realisme mengambil sikap kompromistis,
bahwa ukuran yang mereka punyai, meskipun tidak selalu merupakan ukuran
terakhir serta penutup, namun ukuran tersebut memberikan kesaksian yang
dapat dipercaya mengenai kemungkinan benar-sesatnya suatu pernyataan.
Sedangkan mengenai definisi kebenaran, maka paham empiris misalnya
menjadikan kenyataan empirik (pengalaman indrawi) seseorang sebagai
dasar pendefinisian kebenaran. Artinya sesuatu dianggap benar jika
seseorang dapat membuktikannya secara indra, sehingga kebenaran menjadi
pengertian yang sangat subyektif. Sementara itu, paham koherensi
menyatakan, bahwa sesuatu dianggap benar jika semua kenyataan dalam
keadaan saling berhubungan. Dan paham pragmatisme, menyatakan, bahwa
kebenaran merupakan gagasan yang berguna atau dapat dilaksanakan dalam
suatu situasi. Artinya, karena kebenaran itu merupakan gagasan, maka
sesungguhnya kebenaran itu tidak nyata dan sangat subyektif, mengingat
bisa jadi sesuatu berguna bagi seseorang, tetapi tidak bagi yang lain.
Sebagai
konsekuensi dari keragaman –atau lebih tepat dikatakan sebagai
pertentangan- pendapat mengenai definisi dan ukuran kebenaran tersebut
adalah menjadikan “kebenaran” itu sendiri menjadi sesuatu yang sangat
relatif. Hal ini dimungkinkan karena filsafat sendiri melandaskan
pemikirannya kepada rasionalitas manusia yang pasti sangat relatif pula,
termasuk dalam mendefinisikan dan menetapkan ukuran suatu kebenaran.
Sehingga dalam kerangka berpikir filsafatis, sampai kapanpun klaim
kebenaran akan tetap dianggap sebagai sesuatu yang sangat absurd (tidak
masuk akal). Dan pemikiran inilah rupanya yang mempengaruhi
produk-produk gagasan para pemikir Islam kontemporer, yang demi
mempertahankan idealismenya tersebut, mereka tak segan-segan menjadikan
nash-nash syara’ plus penafsirannya (atau justru lebih tepat disebut
‘penakwilan’?) sebagai asas legalitas. Ayat-ayat yang biasa digunakan,
antara lain :
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang
Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di
antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian,
dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan. Tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka, dan tiada pula mereka bersedih hati” (QS.
2 : 62, 5:69)
“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-Qur’an dengan
membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab
(yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang
lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah
turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan
meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap
ummat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.
Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat
(saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya
kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebaikan. Hanya kepada
Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa
yang telah kamu perselisihkan itu”. (QS. 5 : 48)
“Kalau saja
Allah menginginkan, niscaya Dia akan menciptakan manusia satu bangsa
yang monolitik. Tapi mereka senantiasa menunjukkan perbedaan” (QS. 11 :
118) ====> Tafsir “pluralisme” versi Alwi Shihab (Islam Inklusif,
p. 56)
Kemudian tentang universalitas, misalnya Alwi
mengungkapkan, bahwa Islam juga (sebagaimana Kristen dalam Perjanjian
Baru) menyatakan suatu pandangan universal tentang kebenaran yang
berasal dari wahyu Tuhan. Al-Qur’an menegaskan bahwa tak satu kelompok
kaumpun yang lepas dari seorang pembawa peringatan, yaitu nabi. Lebih
jauh Al-Qur’an juga membela kebajikan Ilahiyah akan perbedaan-perbedaan
kebudayaan, agama dan bahasa. Tujuan dari perbedaan ini bagi manusia
adalah untuk saling bekerjasama dalam sebuah kehidupan yang baik, karena
kebaikan tidak dapat dinilai oleh identitas kesukuan atau keagamaan,
melainkan sebagaimana Al-Qur’an menegaskan, Sesungguhnya yang paling
mulia di antara kamu di depan Tuhan adalah siapa saja yang berlaku lurus
(QS. 49 : 13)” (Islam Inklusif, p. 97).
Adapun terhadap
ayat-ayat yang ditengarai sering dijadikan hujjah untuk mengklaim
kebenaran absolut hanya pada Islam, yakni oleh kelompok Islam
eksklusif/skriptualis (begitu mereka menyebut), seperti ayat-ayat :
“Barangsiapa yang mencari agama selain Islam maka sekali-kali tidak akan
diterima, dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang merugi “. (QS 3 :
85), dan Surat Ali Imran : 19 yang berbunyi : “Sesungguhnya agama (yang
diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam”, mereka sengaja membawa
ayat-ayat tersebut ke dalam wilayah kontroversi penafsiran (yang padahal
tidak boleh), baik di antara pandangan tafsir klasik dan modern yang
memiliki semangat ekslusivisme, seperti tafsir Ibnu Abbas r.a yang
dirujuk oleh (al) Ibnu Katsir dan Sayyid Quthb, maupun pandangan
klasik dan modern yang “berbau” inklusif, seperti tafsir Syaikh Muhammad
Abduh, Al-Zamakhsari dan Rasyid Ridha. Bahkan Alwi Shihab sendiri,
seperti halnya Cak Nur dan Arkoun, dengan berani berusaha menakwilkan
kata “Islam” hanya sekedar sebagai suatu sikap penyerahan diri di
hadapan kehendak Tuhan yang tidak hanya ditujukan bagi Muslim saja,
tetapi bagi segenap mereka yang percaya kepada Tuhan sepanjang sejarah
umat manusia (Islam Inklusif, p. 103; Pintu-Pintu Menuju Tuhan, p. 2;
dan Rethinking Islam, p. 18)
Adapun bahwa semua kerangka berpikir
dari ide-ide tadi berujung pada konsep yang sama, yakni sekularisme,
maka ini nampak ketika para penggagasnya berusaha mengebiri ajaran Islam
yang purna (sistemik) ke tataran ajaran ritual plus nilai-nilai etika
dan moral saja. Dalam hal ini mereka jelas-jelas telah mensejajarkan
Islam dengan agama-agama lain, dengan penekanan fungsi yang sama, yakni
sekedar sebagai jalan pendekatan diri menuju Tuhan (qurbah). Bahkan
dalam bukunya, Cak Nur menyatakan, bahwa pemaksaan pemikiran bahwa Islam
adalah ad-Din yang berarti bukan agama semata-mata, melainkan meliputi
seluruh aspek kehidupan, dan akhirnya melahirkan apresiasi
ideologis-politis totaliter, itu hanya merupakan ungkapan apologetis
(pembelaan diri) yang muncul sebagai kompensasi dari rasa rendah diri
ummat Islam di hadapan ideologi-ideologi Barat (modern) yang secara
faktual memang mendominasi mereka. Padahal menurutnya, Islam adalah
agama, sebagaimana agama-agama yang lain yang juga disebut dengan
ad-din. Sehingga tatkala sikap apologetis tadi diapresiasikan dalam
tuntutan legalisasi fiqhiyyah, misalnya dalam bentuk tuntutan “negara
Islam”, maka itupun beliau anggap sebagai pikiran apologetis yang sudah
kehilangan relevansinya dengan pola kehidupan jaman sekarang, mengingat
legalisme menurutnya merupakan kelanjutan dari fiqihisme yang terus
berkembang mengikuti perubahan realitas zaman. Bahkan beliau
menyamakan tuntutan legalisme fikih dalam bentuk negara sebagai tindakan
yang mengarah pada ke kekuasaan ruhani (rabbaniyyah) yang tidak
dibenarkan Islam, karena berarti merupakan tindakan menyaingi Tuhan
(musyrik!!!!).
Pernyataan Cak Nur tersebut juga merefleksikan
gagasan-gagasan pemikir Islam kontemporer lain yang saat ini intens
disuarakan untuk membendung ghirah sebagian kaum muslimin yang ikhlas
untuk kembali ke pangkuan Islam dengan menghidupkan sistem Islam
sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah saw dan generasi terbaik
sesudahnya. Dan kenyataannya, apa yang mereka dengungkan cukup memberi
pengaruh dalam memperburuk kondisi kaum muslimin, tidak hanya dalam
pemahaman mereka tentang aqidah, tapi juga syari’ah. Dalam tataran
aqidah, misalnya gagasan mereka telah mereduksi keyakinan bahwa Allah
bukan hanya sebagai Khaliq tapi juga sebagai al-Mudabbir (Yang Maha
Pengatur) –yang seharusnya berimplikasi pada keyakinan bahwa apa yang
diwahyukan (Al-Qur’an dan As-Sunnah) sudah lebih dari cukup untuk
menjadi pedoman hidup manusia hingga akhir jaman; Juga mereduksi
keyakinan, bahwa Allah sesungguhnya Maha Adil dan Maha Mengetahui,
sehingga apapun ketetapan Allah yang disyari’atkan kepada manusia akan
sesuai dengan fitrah manusia dengan menjamin rasa keadilan bagi
siapapun, dimanapun dan kapanpun. Dengan kata lain, mereka telah
mereduksi aqidah Islam yang sesungguhnya merupakan aqidah ruhiyah dan
sekaligus merupakan aqidah siyasiyah menjadi sekedar aqidah ruhiyyah
semata. Padahal, banyak nash yang secara jelas menetapkan keharusan
untuk merealisasikan keimanan dalam bentuk amal shaleh, yaitu amal-amal
yang sesuai dengan ketetapan-ketetapan syara’ yang kesempurnaannya telah
diproklamirkan sendiri oleh Allah SWT dalam QS. Al-Maidah ayat 3. Dan
jelas, bahwa amal shaleh disini tidak hanya menyangkut masalah ritual
dan akhlaqiyyah (humanisme) saja, karena Islam juga mengatur aspek
kehidupan lain tanpa kecuali, seperti aspek politik, ekonomi, sosial dan
lain-lain, yang penerapannya tidak boleh secara parsial, seperti yang
diperingatkan Allah Azza wa Jalla dalam QS. Al-Baqarah : 208 dan QS.
Al-Hasyr :7.
Namun, mengingat gagasan-gagasan mereka sudah rusak
dari akarnya, maka secara pasti kita pun akan menemukan kerusakan yang
sama dalam masalah cabangnya. Artinya kalau pemahaman tentang
aqidahnya sudah rusak, maka dalam tataran syari’ah yang hakekatnya
merupakan pancaran dari aqidah tadi akan rusak juga. Dalam hal ini,
jelas mereka menafikan tentang kesempurnaan aturan-aturan Islam, dengan
membatasi peran-peran/otoritas agama hanya dalam persoalan ritual dan
moral semata. Adapun dalam mengatur kehidupan dunia (poleksosbud) maka
mereka mengharuskan untuk menyerahkannya kepada manusia berdasarkan asas
rasionalitas, yakni dengan mengikuti perkembangan jaman dan tempat.
Padahal
dengan logika sederhanapun, pemikiran-pemikiran tadi sangat mudah
dibantah. Misalnya, sekiranya semua agama hanya mengandung aspek-aspek
aqidah ruhiyah dan aturan moral saja, dimana mereka mengakui bahwa semua
agama samawi mengajarkan aqidah tauhid dan bahwa aturan-aturan moral
bersifat universal, maka dimana relevansinya dengan alasan kenapa Allah
mengutus Rasul-Rasul dengan ajaran yang berbeda ? dan dimana letak
kesempurnaan dan keistimewaan Islam sebagai din yang terakhir, jika
Islam pada akhirnya disejajarkan dengan agama lain dalam hal tauhid dan
moral saja ?
Disinilah nampak kedangkalan cara berpikir mereka,
yang muncul akibat kekaguman berlebihan (bahkan penuhanan) akan
kemampuan akal, dan disertai dengan sikap ‘ikhlas’ untuk menerima pola
pikir Barat yang sesungguhnya berkehendak untuk merusak Islam dan
menghalangi jalan kebangkitan Islam dibalik slogan-slogan kebebasan
berpendapat dan beraqidah (demokrasi dan HAM), pencerahan dan
kepentingan ilmiah yang gencar mereka serukan ke negeri-negeri Islam
melalui berbagai cara. Mengenai hal ini, Syaikh Abdul Majid Abdussalam
al-Muhtasib dalam bukunya Visi dan Paradigma Tafsir Al-Qur’an
Kontemporer memaparkan, bahwa Islam masa kini telah berjalan melalui
fase-fase sebagaimana masa-masa awalnya, yakni :
1. Fase dimana Islam dianggap sebagai pihak tertuduh yang harus dibela, yakni ketika Islam dituduh
dalam keterkungkungan, lalu dibela dengan menyatakan, bahwa Islam tidak menolak kemajuan dan
juga tidak bertentangan dengan sains dan logika.
2.
Fase dimana Islam telah disejajarkan dengan standar-standar lain dan
dinilai dengan nilai-nilai lainseraya berusaha menggali nilai-nilai
Islam dengan nilai-nilai yang kita pinjam dari aliran-aliran tersebut.
Misalnya dengan mengatakan, bahwa Islam layak survive dan abadi, karena
dia dibangun berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi yang dinamis.
3.
Fase independensi Islam, dimana Islam kembali berdiri di atas
paradigma-paradigmanya sendiri, yang diyakini akan menjadi fase Islam
pada kurun mendatang, Insya Allah !
Dengan kerangka demikian,
maka melalui perenungan yang mendalam dan dilandasi kejujuran serta
sikap hanif, kita sendiri akan bisa menjawab, siapa yang sesungguhnya
berpikir apologetik ?
Jawaban Islam
Sesungguhnya,
sekalipun Islam mengharuskan keimanan seseorang disandarkan pada akal
yang dikaitkan dengan naluri beragama yang merupakan fitrah (thariqah
aqliyah), namun hal ini berbeda jauh dengan apa yang dimaksudkan oleh
para pemikir tadi sebagai ‘asas rasionalitas’. Karena rasionalitas yang
mereka maksud ternyata adalah penggunaan logika (mantik/silogisme) dan
pola pikir ilmiah (sains) sebagai asas berpikirnya. Padahal ‘logika’
dan ‘sains’ tidak bisa dijadikan sebagai asas berpikir, karena
sesungguhnya dia hanya merupakan cabang dari pola berpikir aqli
(thariqah aqliyah). Sehingga jika tidak dikembalikan pada pola pikir
aqli sebagai dasarnya, memungkinkan untuk terjadinya penyimpangan yang
sangat jauh dari hakekat kebenaran. Sedangkan thariqah aqliyah sendiri,
sesungguhnya merupakan satu-satunya metoda yang alami dalam diri
manusia untuk memahami segala sesuatu, dimana jika berkaitan dengan
persoalan mengenai ‘ada-tidaknya’ sesuatu maka hasilnya pasti benar,
sedangkan bila berkaitan dengan ‘hakekat’ sesuatu, maka benar tidaknya
akan tergantung pada informasi (memori dalam benak) yang dijadikannya
sebagai salah satu perangkat perpkir. Oleh karena itu, dalam tataran
aqidah, yang salah satunya berkaitan dengan pembuktian tentang
eksistensi Al-Khaliq bersama sifat-Nya, maka thariqah ini akan
menghasilkan kesimpulan yang benar (yakni sampai pada kebenaran mutlak
aqidah Islam), sedangkan bila berkaitan dengan tataran syari’at, yakni
yang berkaitan dengan hakekat aturan yang akan mampu memecahkan seluruh
permasalahan kehidupan, maka penggunaan thariqah ini mensyaratkan
penggunaan informasi-informasi yang sumbernya telah dibuktikan secara
akal sebagai benar-benar wahyu Allah (sebagai sumber penetapan hukum),
yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Adapun Ijma’ Sahabat dan Qiyas dapat
juga dijadikan sebagai sumber dalil, karena keabsahannya telah
ditetapkan oleh nash-nash yang qath’i.
Dengan kata lain, dalam
hal ini Islam telah membatasi peran akal pada fungsi untuk memahami
saja, dan bukan sebagai pemutus suatu hukum syara. Hal ini mengingat,
akal manusia memiliki keterbatasan dalam memahami hakekat segala
sesuatu, termasuk dalam menyelesaikan seluruh permasalahan kehidupan
yang muncul dari potensi hidup yang ada dalam dirinya, sehingga
mengharuskan bagi dia untuk menyerahkan penetapan aturan kehidupannya
pada Allah SWT yang telah menciptakan kehidupan ini seluruhnya.
Lebih
dari itu, keberadaan Islam sebagai risalah terakhir, tentu
mengharuskannya memiliki kelebihan-kelebihan di bandingkan dengan
agama-agama samawi yang turun sebelumnya, termasuk dalam bentuk jaminan
kesempurnaan dan keuniversalan ajaran-ajarannya. Sehingga upaya-upaya
sebagian pemikir Islam kontemporer untuk mensejajarkan agama-agama tadi,
hanya dengan mensandarkan pada sisi keberadaannya sebagai sama-sama
agama wahyu, justru merupakan bentuk penolakan terhadap kenyataan dan
akal. Demikian pula ketika mereka berusaha memformulasikan kesejajaran
tersebut dalam bentuk gagasan seperti relativisme, pluralisme,
universalisme dan sekularisme, pada akhirnya justru makin menjauhkan
Islam dari pemikiran-pemikiran aslinya yang purna dan paripurna. Hal ini
mengingat, gagasan-gagasan tersebut jelas-jelas tidak berasal dari
Islam dan tidak pula dibangun berdasarkan kerangka berpikir Islam,
sekalipun penerapannya dipaksakan atas Islam.
Tentang relativisme
misalnya, Islam jelas menolak konsep ini secara tegas, karena baik
dalam tataran aqidah maupun syari’ah, kebenaran itu hanya satu, yakni
pada Islam, sebagai dinullah semata. Dan kebenaran ini akan
diketemukan oleh siapapun, selama dia mensandarkan pencariannya kepada
akal (melalui cara berpikir cemerlang) yang sekaligus akan menuntun
naluri beragama yang secara fitrah dia miliki ke arah pemenuhan yang
hakiki/sahih pula, yaitu Islam. Selain itu, sebagai din yang terbukti
secara akal berasal dari Allah SWT, maka secara pasti syari’at yang
terkandung di dalamnya merupakan syari’at yang adil dan sempurna, serta
dipastikan akan mampu memecahkan seluruh problema kehidupan manusia
sejak diturunkannya hingga akhir jaman. Dengan bersandarkan pada
syari’at yang lahir dari aqidah aqliyah inilah, maka manusia akan
memiliki standar yang sama dalam menilai kebaikan dan keburukan, benar
dan salah mengenai segala sesuatu. Sehingga corak kehidupan yang
terbentukpun akan khas selama standar tersebut digunakan dalam
masyarakatnya, yakni dalam bentuk sebuah masyarakat Islam.
Demikian
pula dengan ide pluralisme, universalisme dan kosmopolitanisme. Islam
jelas-jelas menentang ide-ide tersebut, karena selain lahir dari pola
berpikir yang salah (menjadikan fakta sebagai sumber berpikir), juga
karena sangat menyalahi prinsip-prinsip ajaran Islam berkenaan dengan
kesempurnaan syariat dan keuniversalannya dalam konteks bahwa Islam
berlaku bagi setiap tempat dan jaman. Selain itu, keberadaan ide-ide
tersebut, termasuk juga konsep relativisme, justru memustahilkan
penerapan sistem Islam dalam kehidupan, sehingga masyarakat Islam akan
menjadi masyarakat yang unik dan mulia. Padahal, disamping memang
merupakan kewajiban, penerapan Islam dalam kehidupan bukanlah hal yang
asing, karena sejarah telah membuktikan kecemerlangan peradaban
masyarakat Islam ketika mereka hidup dalam naungan sistem Islam selama
belasan abad. Bahkan, kondisi ini tidak saja dinikmati oleh kaum
muslimin saja, akan tetapi juga dinikmati oleh orang-orang non muslim
yang hidup di dalam naungan sistem Islam tadi sebagai ahludz-dzimmah.
Sehingga wajar jika penerapan Islam secara nyata ini justru mendorong
mereka secara alami berbondong-bondong masuk ke dalam Islam. Dan
umat-umat lainpun secara sukarela menyerahkan pengaturan urusan
kehidupan mereka kepada pemerintahan Islam, sebagaimana yang terjadi
pada masa Umar bin Khathab ra dan masa-masa sesudahnya. (Maha Benar
Allah dengan firman-Nya dalam QS. An-Nashr). Dan justru umat ini
berubah menjadi hina di tengah-tengah umat lain tatkala mereka
meninggalkan penerapan syari’at Islam dalam seluruh aspek kehidupannya,
seperti yang faktanya sedang kita alami saat ini.
Dengan
demikian, ide sekularisasi yang kemudian menjadi muara dari
gagasan-gagasan tadi jelas sangat berbahaya, baik dilihat dari sisi
aqidah yang menafikan otoritas Allah SWT sebagai Pengatur kehidupan,
maupun dilihat dari tataran syari’ah, yakni dengan adanya upaya untuk
menjadikan akal manusia yang terbatas sebagai sumber penetapan aturan
kehidupan. Dalam hal ini, sebagian dari mereka menganggap, bahwa
mereka berhak untuk memiliki pendapat tersendiri mengenai hukum Allah,
dengan alasan bahwa Islam memberikan berbagai aturan dalam bentuk yang
sangat umum (global) sehingga dengan demikian Islam juga memberikan
keleluasaan untuk melakukan berbagai ijtihad (rekayasa fiqhiyyah)
sebagai salah satu bentuk upaya pembaharuan (tajdid). Padahal,
sekalipun pendapat tersebut benar, namun mereka memahami secara keliru
(dan bahkan terkesan emosional) mengenai konsep tajdid, sehingga mereka
memutlakan proses ijtihad tersebut tanpa batasan yang jelas.
Mengenai
hal ini, sesungguhnya Islam telah memberikan rambu-rambu yang sangat
pasti; yakni bahwa tajdid merupakan upaya untuk mengembalikan pemahaman
ummat pada ajaran Islam yang sesungguhnya, setelah ternyata, bahwa Islam
dipahami secara menyimpang. Dengan demikian, tajdid tidak boleh
dipahami sebagai upaya menyesuaikan Islam dengan jaman dan tempat,
karena aturan Islam harus diyakini bersifat tetap dan baku, mengingat
keberadaannya berfungsi sebagai pemecahan bagi seluruh problema
kehidupan manusia yang terlahir dari potensi kehidupan mereka, yakni
naluri dan kebutuhan fisik, yang bersifat tetap dan baku pula. Adapun
berkenaan dengan proses ijtihad yang memang dimungkinkan dalam Islam,
maka Islam \pun telah membatasi wilayah ijtihad ini hanya berkisar pada
hal-hal yang memang mengandung unsur ketidakpastian (dzanni). Adapun
pada ajaran yang sudah pasti (qath’I), maka mujtahid manapun tidak
berhak untuk menjamahnya.
Lebih dari itu, untuk bisa melakukan
proses ijtihad ini, maka seseorang diharuskan memenuhi kriteria-kriteria
tertentu yang cukup berat, baik dari sisi aqliyah (penguasaan atas
fakta, nash syara dan perangkat ilmu alat)-nya maupun nafsiyah
(keterikatan terhadap hukum syara dalam perilaku)-nya, mengingat seluruh
hasil ijtihadnya akan menjadi ketetapan hukum syara’ yang berlaku bagi
dirinya maupun bagi orang lain. Sehingga merupakan suatu keberanian
terhadap Allah dan RasulNya manakala seseorang berupaya untuk
‘menterjemahkan’ kehendak Allah SWT sesuai dengan kehendak hawa
nafsunya. Karena Allah SWT telah menyeru seluruh kaum mu’minin dengan
firman-Nya :
“Maka putuskanlah perkara menurut apa yang
Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan
meninggalkan kebenaran yang telah datang padamu”. (QS. Al-Maidah : 48)
“Maka
hendaknya kamu memutuskan hukum di antara mereka menurut apa yang
diturunkan Allah. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan
berhati-hatilah kamu terhadap (tipu daya) mereka, supaya mereka tidak
memalingkan kamu dari sebagian apa yang diturunkan Allah SWT kepadamu
….. (QS. Al-Maidah : 49)
Kemudian di ayat lain, Allah SWT berfirman :
“Maka
demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu (Rasul) sebagai pemutus terhadap perkara yang mereka
perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka
terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima sepenuhnya” (QS.
An-Nissaa’ :65)
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki,
dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi
orang-orang yang yakin ?” (QS. Al-Maidah :50).
Khotimah
Dengan
memahami berbagai fakta berkenaan dengan gagasan-gagasan yang
dilontarkan oleh para pemikir Islam kontemporer beserta bahaya-bahaya
yang akan ditimbulkannya, maka kaum muslimin tidak akan mudah terkecoh
untuk menerima ide-ide yang dilontarkan, sekalipun dikemas dalam bentuk
yang ‘seolah-olah’ Islami dan diungkapkan oleh orang-orang yang dianggap
sebagai ‘pemikir Islam’. Karena penerimaan terhadap ide-ide tersebut
hanya akan menjauhkan umat Islam dari pemikiran-pemikiran Islam yang
bersih dan tinggi sekaligus ‘amaliyan (praktis). Padahal hanya dengan
pemikiran-pemikiran Islam yang seperti inilah mereka akan bangkit dengan
kebangkitan yang hakiki.
Adapun upaya-upaya yang bisa dilakukan
untuk membendung penyebaran ide-ide seperti ini di tengah-tengah kaum
muslimin, tidak lain adalah dengan melalui aktivitas shiraul-fikr
(pergolakan pemikiran) dengan jalan membongkar kebusukan dan bahaya
pemikiran-pemikiran asing tersebut, agar kaum muslimin menyadari apa
yang diingini musuh Islam terhadap mereka serta menyadari berbagai tipu
daya terhadap mereka. Selain itu, harus juga dilakukan upaya-upaya
untuk meningkatkan taraf berpikir ummat yakni dengan membina aqliyah
mereka dan mengisinya dengan ide-ide Islam saja, serta membina nafsiyah
mereka melalui proses da’wah terstruktur yang mengikuti pola da’wah
Rasulullah saw. Sehingga mereka memiliki pemahaman, bahwa hanya
pemikiran-pemikiran Islam-lah yang benar, dan bahwa hanya dengan Islam
mereka akan mampu menyelesaikan seluruh problema kehidupan yang
dihadapi. Sehingga dengan demikian, mereka akan memiliki kesadaran
politik yang mumpuni, yang mengarah pada satu tujuan dan pengharapan,
yakni terwujudnya Islam dalam kehidupan mereka. Kesadaran politik ini
pulalah yang sekaligus akan menjadi barier bagi masuknya ide-ide sejenis
ke tengah-tengah kaum muslimin dimanapun mereka berada.
“Sesungguhnya
orang-orang kafir itu, menafkahkan harta mereka untuk menghalangi
(orang) dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian
menjadi sesalan bagi mereka, dan mereka akan dikalahkan. Dan ke dalam
neraka jahannamlah orang-orang kafir itu dikumpulkan” (QS. Al Anfal :
36)
Wallahu a’lam bish-shawab.
_____________________________________________________________________________________
Rujukan fakta :
- Islam Inklusif, Dr. Alwi Shihab, Mizan, Cet. III, 1998.
- Islam Kemoderenan dan Keindonesiaan, Nurcholis Madjid, Mizan, 1987.
- Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, Cak Nur, Gusdur, dkk, Paramadina, 1994.
- Rethinking Islam, Dr. Mohammed Arkoun, Pustaka Pelajar, 1996.
- Pengantar Filsafat, Louis O. Kattsoff, Tiara Wacana, Cet. VII, 1996.
- Pintu-Pintu Menuju Tuhan, Nurcholis Madjid, Paramadina, Cet. III, 1995.
- Zaman Baru Islam Indonesia Pemikiran dan Aksi Politik, Gus Dur, dkk, Zaman Wacana Mulia, 1997.
- Kamus Istilah Filsafat, A. Kuswari, Alva Gracia, 1987.
- Visi dan Paradigma Tafsir Al-Qur’an Kontemporer, Dr. Abdul Majid Abdussalam al-Mihtasib, Al-Izzah, 1997.
- Konteks Berteologi di Indonesia, Pengalaman Islam (Resensi), Azyumardi Azra, Paramadina, 1999.