Tanpa disadari, semenjak kelahirannya “nafas kehidupan” manusia berkait kelindan dengan pengolahan kata, rasa dan makna. Entah dari mana insting kebahasaan tersebut?. Ada yang berujar kelihaian manusia untuk saling bertukar hasrat melalui “dialektika” merupakan ilham dari sang Maha Kuasa. Namun ada pula yang berucap kecakapan tersebut merupakan hasil olah cipta, rasa dan karsa manusia sendiri. Sebab mau tidak mau, manusia diharuskan untuk melegalkan sebuah konsensus bersama, yang berupa standar komunikasi yang dapat menjadi “kaca benggala” bagi kelangsungan hidupnya. Di Sisi lain Bersepakat dalam pembakuan kebahasaan merupakan pola defensif dan ofensif mahluk hidup terhadap sesamanya. Titik tolak tersebut lah yang mungkin memberikan nafas kelangsungan sebuah komunitas. Tanpa kesatuan bahasa dalam sebuah komunitas tertentu; eksistensinya pun akan tercabik-cabik dan tercerai-beraikan oleh seleksi alam. Bolehlah ego dan individualisme mendominasi pribadi seseorang, namun apabila gejolak menyendiri dan menyepi mengkristal menjadi sebuah absolutisme, niscaya ia pun akan lenyap dan musnah dengan sendirinya. Menegasikan komunitas tak ubahnya sebuah tindakan bunuh diri yang berlangsung tanpa kesadaran. Dengan kata lain mengharmonisasikan bahasa dan komunitas merupakan sikap dan tindakan kompetisi manusia dalam menyambung riwayat hidupnya.
Problematika kebahasaan dianulir Abdullah al-Urwie sebagai penyebab keterbelakangan manusia dalam berbudaya dan berperadaban. Bahasa merupakan senjata pamungkas manusia untuk menggapai titik tertinggi kemanusiaan. Apabila bahasa sebuah komunitas mengungkung gerak-gerik manusia bak katak dalam tempurung niscaya ketimpangan kebahasaan tersebut akan menjerumuskannya dalam kekerdilan dan ketidakarifan dalam menyikapi sebuah problematika kehidupan. Sebab keterbatasan sebuah bahasa komunitas tertentu perlu disempurnakan dengan bahasa komunitas lain, walaupun esensi keberagaman makna juga perlu ditelisik dan difahami secara tepat oleh kedua belah pihak yang berkomunikasi. Kesalahfahaman dalam menangkap esensi ketepatan makna akan berakibat fatal terhadap kelanjutan komunikasi
Sebelum menggali akar dan perkembangan kebahasaan dalam ranah keberagamaan (baca; Islam), perlu dipetakan beberapa terma yang terkadang menyebabkan ambigu dalam memahami sebuah teks keagamaan via nalar arab. Pertama Istilah Lughah dan Lisan yang acapkali diterjemahkan sebagai “bahasa”. Lisan merupakan sebuah pembakuan bahasa yang mandul dan terbatas dalam kotak-kotak fonetik, gramatikal, morfologi maupun definisi kamuistik. Sedangkan Lughah merupakan untaian kata yang terangkai dalam susunan kalimat, tercerabut dari satu akar kata atau hanya merupakan metafora dari pelbagai akar kata. Kedua Kalim yang diartikan sebagai kalimat dan Lahjah yang diartikan sebagai logat. Lahjah merupakan susunan kalimat yang bersumber dari komunitas tertentu yang berbeda dalam pengucapan, arti kata dan strukturnya, sedangkan Kalim dalam berujar dengan lahjah tertentu. Ketiga Ramz yang acapkali diartikan sebagai simbol; yang sangat berkaitan dengan rasa dan rasio.
Babakan-bakan sejarah telah dengan fasih mengikat bahasa dan pola pikir—yang dalam deskripsi Arkoun—dilambangkan dengan lingkaran utuh; tiga serangkai yang tak dapat dipisahkan dalam membentuk tradisi, budaya dan peradaban tempo dulu yang acapkali mengungkung modernisasi dan kontekstualisasi masa kini. Walaupun potret deskripsi sejarah hanya tinggal cerita dan telah mengalami the end of history, tapi pengaruhnya terhadap nilai-nilai yang berkembang dewasa ini dan masa depan cukup signifikan. Oleh sebab itu, penyelidikan terhadap sejarah bukanlah omong kosong dan berbual-bual belaka, melainkan pada realitanya sejarah—dalam terminologi Abid al-Jabiri—merupakan benda mati yang hidup diantara kita. Menelisik pembentukan, perkembangan, rancang bangun serta mengkritisinya merupakan kebutuhan primer menuju kearah reaktualisasi maupun renovasi terhadap bangunan-bangunan lama yang telah lapuk dan keropos.
Akar-akar; Kodifikasi dan Pembakuan Bahasa Arab
Proses pembentukan bahasa secara lisan maupun tulisan belum dapat dideteksi secara pasti asal-usulnya. Dalam sudut pandang sejarah kebahasaan yang mulai digali pada abad ke 18 M oleh Orientalis Jerman Shelotzer (1775-1809M) menyatakan; para pakar bahasa menarik garis “start” kajian asal-usul bahasa, pada masa setelah banjir besar jagad raya ; terjadi pada masa Nabi Nuh A.S yang mewariskan tiga keturunan; Sam, Ham dan Yafiz. Terlepas dari akurat atau tidaknya statmen tersebut, paling tidak kita pun dapat memulai dari titik yang tak jauh berbeda. Para pakar lingusitik modern sepakat bahwa ketiga-tiganya lah yang paling berpengaruh terhadap peninggalan sisa-sisa bahasa di dunia saat ini. Dari Sam-lah mungkin kita dapat berkonsentrasi untuk mengkaji cikal-bakal budaya dan peradaban Arab. Para Orientalis menegaskan anak cucu Sam-lah yang selanjutnya dikenal sebagai bangsa Semit, yang dalam kesimpulan—Wilfinson; seorang Orientalis berkebangsaan Israel—disebut sebagai titik pusat bahasa Arab, Iram, Finiqi, Ibrani, Asyiria, Babilon, Suryani dan Yaman. Pernyataan tersebut dipertegas oleh DR. Hasan Dhadha melalui pendekatan geologis. Dengan kata lain bahasa arab merupakan manivestasi utama bahasa bangsa Semit. Dalam perjalanannya, keturunan Sam kedua yang bernama Abir dinisbatkan sebagai penamaan terhadap klasifikasi bahasa di Timur tengah. Falij sebagai anak Abir merupakan silsilah yang mengantarkan kepada Nabi Ibrahim A.S., yang pada gilirannya disebut-sebut sebagai cikal bakal bahasa Arab Musta’rabah. Sedangkan Qudha’ah ( baca; dalam versi Ibnu Hazm) dan Yaqhtan (Qahthan) dinisbatkan terhadap penamaan bahasa Arab al-Aribah yang disinyalir mengalami zaman keemasan pada masa dinasti Saba’ yang dipimpin oleh seorang ratu cantik jelita, Bilqis. Lagi-lagi versi Ibnu Hazm; Jurhum, A’d dan Tsamud tidak dikategorikan sebagai pengguna “ Al-Aribah”.
Tak ayal lagi dari Nabi Isma’il yang notabene anak Nabi Ibrahim, penamaan “bahasa arab Fusha” dilekatkan. Sebab keturunan Nabi Isma’il yang beranama Adnan kelak dijadikan patokan nasab-nasab mulia—yang dikategorikan oleh Husain Marwah—dalam dua priode Jahiliyah. Pertikaian sengit antar sesama Klan Adnan yang mengerucut pada Klan Bani Hasyim vis a vis Klan Bani Umayah Bin Abdi Syams telah terjadi sebelum masa jahiliyah kedua. Serta perebutan lahjah dan Lisan pun mengkotak-kotakan bangsa arab dalam nuansa rasialis yang rawan pertikaian. Pergulatan tersebutlah yang mendorong Malik Bin Nabi untuk menyimpulkan tidak adanya perkembangan secara runut dalam bahasa arab, namun hanya sebuah ledakan revolusi kata-kata untuk mematahkan pihak lain. Sebab pada dasarnya bahasa bukan akar sebuah komunitas, melainkan produk budaya dan peradaban. Problematika tersebut lah yang menghantarkan keberadaan bahasa sebagai sesuatu yang pantas untuk dicurigai dan dipertanyakan. Realitas diatas mengakibatkan gesekan dahsyat antar sesama klan Adnan yang tidak mungkin dapat dihindari, tapi mungkin untuk diikat dan dibakukan. Namun pembakuan tersebut bukanlah ketentuan mutlak dan final, melainkan hanya sebuah sarana untuk menyematkan kesepahaman. Untaian kata yang akan bermakna bila tertata dan dapat mengalami pergeseran serta perluasan makna yang tak terbatas. Dalam hal ini ketepatan makna harus “dikorek” secara esensial tanpa harus mengabaikan kata sebagai kurirnya. Menggantungkan diri terhadap kata tanpa menangkap substansinya akan menyebabkan kepicikan seseorang dalam menangkap pesan sebuah teks, baik verbal atau non verbal. Semakin sinkron—dalam terminologi Abdul al-Qahir al-Jurjani—antara daya imajinasi dan pelaku komunikasi berarti semakin mendekati keberhasilan komunikatif.
Dari sini lah, standarisasi mutlak diperlukan sebagai wahana untuk meminimalisir kaburnya sebuah makna. Diantara klan-klan Adnan yang berada di Hijaz dan Nejed pada saat itu ada beberapa kabilah yang acapkali “mencemburui” standarisasi pihak lain. Seperti Suku Quraisy, Bani Tamim, Kabilah Hijaz, Bani Hudzail, Bani Kinanah, dst. Pergulatan standar tersebut mau tidak mau sering dimenangkan oleh pihak Suku Quraisy. Hal ini disebabkan oleh faktor geografis, kekuatan dan “sikap gaul” yang mudah membaur dengan kabilah manapun. Keberadaan Suku Quraisy yang bertempat tinggal di dekat ka’bah merupakan keuntungan tersendiri. Sebab tidak sedikit komunitas luar Quraisy bahkan luar semenanjung arab berbondong-bondong untuk mengunjungi “ka’bah” sebagai pusat “ritual” agama Nabi Ibrahim pada saat itu. Dari segi politis kekuatan suku Quraisy pun tidak dapat diremehkan. Karena para “Tetua” mereka memegang secara turun-temurun kunci utama tempat “ritual” tersebut, disamping kekuatan fisik, finansial dan kharisma yang mereka miliki. Walau demikian mereka masih sanggup untuk berbaur dengan suku ataupun bangsa lain. Sayangnya standarisasi tersebut hanya terbatas pada sastra gurun yang terlahir dalam bentuk Sya’ir atau cerita-cerita mitos yang monoton. Bagi mereka ( baca; suku Quraisy ), suasana gurun merupakan kesempatan emas untuk menghayal, berpesta pora dan mengekspresikan perasaan mereka sedalam-dalamnya. Gairah intlektual mereka pun “mandul” dan mengalami “impotensi” yang luar biasa.
Kedatangan Islam membangunkan mereka dari tidur lelap. Melalui bahasa al-qur’an Islam menyatukan standarisi kebahasaan yang lebih obyektif dan temporal. Mengikis habis kepicikan nalar gurun yang terninabobokkan dengan euforia dan kamoflase sesaat. Kehadiran al-Qur’an meracik, mendorong dan membentuk sebuah peradaban baru. Standarisasinya yang memikat seolah-olah menyatukan manusia dalam sebuah tangga nada ala para musikus. Standarisasi sebelumnya yang hanya memihak sekelompok golongan, kini dibakukan dalam bentuk teks rasional dan universal. Walaupun nilai-nilai dan pesan-pesanya hanya terangkum dalam beberapa kata, namun kedalaman maknanya luar biasa memukau dan melemahkan ( biasa disebut dengan “I’jaz’). Ke–obyektif—an al-Quran dari sudut pandang terminologis dan sosio-historis mengantarkan bangsa Arab kedepan pintu gerbang peradaban. Ibarat tembaga bangsa arab telah disepuh dengan emas permata. Pendekatan kebahasaan al-Qur’an pun mengakomodir emosional, rasional dan spiritual. Pendekatan tersebutlah yang menjadikan al-Quran hadir sebagai solusi atas problematika kehidupan. Bahasanya yang temporal berdialog dengan komunitas Makkah dan Madinah dengan retorika yang berbeda. Saking “dialogis”nya, al-Qur’an pun meralat nilai-nilainya secara bertahap dan transparan; atau biasa disebut dengan terma Nasikh dan Mansukh. Walau demikian kondisi sosio-historisnya (baca; asbab al-nuzul) pun harus cermati. Sebab kecerobohan mitologis terhadap asbab al-Nuzul mengakibatkan pesan-pesan al-Quran pun kabur dan malah kembali kepada realitas sebelumnya. Padahal mengandai-andai kejayaan masa lalu dan bertindak stagnan merupakan manipulasi semangat dan substansi makna al-Qur’an. Dengan kata lain pembacaan terhadap teks al-Qur’an secara hermeneutis (takwil) mutlak diperlukan, tapi keharmonisan emosional, rasional dan spiritual tidak bisa diabaikan begitu saja. Sebab men-takwil al-Quran ibarat menggunakan pedang naga puspa yang tidak boleh “digunakan” oleh sembarang orang; kalau memang tidak menginginkan al-qur’an ber-metamorfosis menjadi bumerang. Hal ini bukan berarti meng-ortodoksik-an al-Quran, tapi hanya untuk menghindari upaya kecerobohan dan manipulasi. Sehingga al-Qur’an pun bergeser dari “standarisasi” menjadi teks interpretatif yang membingungkan. Sebab teks suci berada di atas bahasa manusia bukan sebaliknya.
Hal inilah yang dikuatirkan oleh Sayyidina Umar dan mengusulkan kepada Khalifah Abu Bakar untuk membakukan teksnya. Dengan semangat qur’ani tersebut Sayyidina Umar—dalam pandangan al-Urwie—telah melakukan sebuah reformasi bahasa yang mengungkung menuju bahasa pembebasan. Seolah-olah Sayyidina Umar membiarkan teks agar meliuk-liuk dan menari-nari dalam realitasnya. Walaupun banyak kalangan yang membacanya sebagai—pembangkangan (mukhalafah)—terhadap teks, sebagaimana sikap yang beliau tempuh dalam masa paceklik dan pembagian ghanimah. Tindakan tersebut diikuti secara serta merta oleh Sayyidina Usman bin Affan dengan membagi-bagikan standar “Mushaf Usmani” ke negeri sekitar. Lagi-lagi standarisasi al-Qur’an bukanlah kodifikasi bahasa, tapi hanyalah pembakuan yang bersifat defensif dari manipulasi. Ruang lingkup bahasa al-Quran tidak memotong gerak bahasa arab. Sebab bahasa hanyalah pengantar dalam mendekati al-Quran, dan al-Quran pun membebaskan bahasa dari keterkungkungan. Kenyataan diatas agak sedikit berbeda pada masa Khalifah Ali, sebab akulturasi budaya telah menelusup dan menggerogoti keotentikan teks. Tak heran bila kemudian Khalifah Ali menginstruksikan kepada Abul Aswad al-Dualli untuk memberikan pungtuasi dan memproduksi disiplin ilmu baru dalam mendekati teks. Seringkali terjadi tumpang tindih dalam memahami upaya ini, karena disiplin ilmu tersebut hanyalah merupakan wasilah bukan ghayah dalam menelusuri dan menangkap pesan-pesan teks. Sehingga pada masa dinasti Umawiyah ketimpangan tersebut semakin membatu dan menjadikan problematika berfikir dalam terminologi al-Jabiri. Keluasan bahasa yang harus dikaji dan diteliti dari para pemiliknya ternyata terbakukan secara sempit dalam literatur kamuistik, morfologi, gramatikal, etimologi, prosa, dan sastra. Sebagaimana yang diprakarsai oleh Abu Amr Ibn al-Ala’ (154H) , Mufaddhal al-Dhabi dan Hammad al-Rawiyah (155H) ; sosok yang sering dituding sebagai pemalsu sastra Jahili. Memang standar tersebut bisa dikategorikan sebagai pembaharuan, sayangnya—dalam analisa Abi Said al-Sairafi al-Nahwi—menyalahi kesepakatan para pemilik bahasa. Ketimpangan tersebut coba dihalau oleh Abdul Malik bin Marwan, namun mengalami hasil yang kurang memuaskan. Perkembangannya pun menjadi mandul, sebagaimana yang dilanjutkan pada masa transisi antara akhir dinasti Umawiyah dan awal dinasti Abbasiyah I oleh Khalil bin Ahmad al-Farahidi (170H) dan Sibawaih. Keduanya mengkodisifikasi bahasa dalam bentuk yang simpel dan mudah dicerna. Tindakan positif di satu sisi, namun berdampak negatif di sisi lain. Sebab keberadaan bahasa bukan lagi diserap dari pemiliknya melainkan malah ditentukan dengan akumulasi dan analogi.
Kemandegan perkembangan bahasa terlihat mencolok pada akhir bani Umayah dan awal dinasti Abbasiyah I (132-232H). Walaupun dalam kacamata Ahmad Amin ketimpangan tersebut tidak bisa digeneralisir. Sebab eksistensi bahasa arab pada saat itu, dapat ditilik dari dua sudut yang berbeda. Bila di tinjau dari ketimpangan pembakuan sebagaimana termaktub diatas; disebut Ahmad Amin sebagai bahasa kampungan atau biasa disebut dengan Baduwi (A’rabi). Kedua jika ditinjau dari pengaruh Persi yang menggiurkan umat Islam untuk berbondong-bondong meninggalkan negeri arab; Ahmad Amin menyebutnya sebagai “bahasa arab” yang sudah berperadaban. Sebagaimana yang ditempuh oleh Ibnu Muqaffa’ dalam karya monumentalnya al-Adab al-Shagir dan al-Adab al-Kabir, serta terjemahannya dari sastra India, “Kalilah Wa Daminah”. Disisi lain Kubu Kuffah yang tersohor dengan metodologi menelisik bahasa dari pemiliknya terpasung oleh Kubu Bashrah yang mendogmatisasi gramatikal menjadi “Mantiq” versi Arab. Sehingga hingga abad ke 4 H, bahkan sampai sekarang,; realitas kebebasan bahasa kian terbelenggu oleh Gramatikal. Tentu saja, hal ini sangat mempengaruhi umat islam dalam berpikir dan mengambil tindakan.
Memang boleh dikata, pada periode ini disiplin ilmu sebagai pengantar dalam menjamah keperawanan bahasa arab telah tersedia. Namun persediaan tersebut tidak diimbangi dengan pengembangan kebutuhan bahasa yang berujung pada pembentukan mental dan pola pikir bangsa arab. Sehingga dalam sudut pandang al-Jabiri nuansa yang hanya menajamkan perasaan; terkontaminasi dengan realitas sosial yang menuntut rasionalisasi. Artinya; tuntutan untuk merasionalkan bahasa telah mengalami penyempitan.
Kodifikasi disiplin ilmu tersebut dimulai pada tahun 143 H dan mungkin tidak akan pernah berakhir hingga sekarang, dengan semakin banyaknya Syrh dan Hasiyah gramatikal. Kegemaran untuk mengutak-atik bahasa inilah yang mungkin juga akan bertentangan dengan standarisasi bahasa ala al-Qur’an. Ironinya, apabila kejanggalan kebahasaan tersebut terjadi, para pakar linguistik tradisionalis-Baduwis tersebut, tidak segan-segan untuk melakukan tindakan takwil ala linguistik.
Melacak nilai-nilai progresifitas linguistik
Walau demikian progresifitas yang terjadi pada akhir masa umawiyah dan awal Abbasiayah I tidak dapat diremehkan. “Ghazal al-Udzri” menjadi ciri khas sastra Umawi pada saat itu dalam mengekspresikan sebuah cinta sejati. Memang mungkin bagi anda yang hidup memandang sebelah mata “cinta”, niscaya anda pun akan antipati terhadapnya. Namun ekspresi cinta pada masa ini adalah sebuah Ungkapan yang terinspirasi oleh spirit al-Qur’an, yang senantiasa menampik kepalsuan yang terselubung oleh keinginan dan kepentingan sesaat. Progresifitas dalam mengejawantahkan kebebasan berekspresi tersebut dinilai oleh Ghanimi Hilal sebagai ilham dari Jihad al-nafs, peralihan pusat kekuasaan di Damaskus, dan pusat pemerintahan. Ketiga kondisi tersebut mengubah pola gesekan bangsa arab menjadi lebih dinamis dan variatif; pertikaian ideologis, matrealis, dan nasionalisme bangsa arab pun mulai terusik. Semangat konservatif yang dulu hanya terjadi antar suku, kini meluas menjadi perang antar negara. Dominasi bangsa arab pun mulai melemah; diganti dengan nalar-nalar Persia yang lebih rasional. Bahkan Abu Manshur al-Shaffah lebih mempercayai Mawali Persia daripada orang arab sendiri. Krisis kepercayaan tersebut terkadang berdampak positif bagi ujian terhadap identitas arab. Kenyataan yang mengakibatkan bangsa arab yang fanatik terhadap rasialisme malah mendekam di pedalaman dan meracik “Ghazal Udzri”; sedangkan mayoritas bangsa arab silau terhadap kemewahan yang mulai beranjak dari suasana gurun dan kesenangan sesaat. Hasan Basri pun tampil menampik realitas tersebut dengan membuka diskusi terbuka keagamaan; ingin menyelamatkan standart bahasa al-qur’an dari sentuhan-sentuhan politis yang mengkontaminasi orisinalitasnya.
Krisis nilai-nilai etika tersebutlah yang mendorong para ilmuwan, penyair dan rakyat biasa untuk berbondong-bondong menjilat penguasa. Refleksi kebahasaan merekapun menjadi sebuah karya pesanan status Quo. Walaupun sebenarnya keterpurukan tersebut juga dipengaruhi oleh kondisi politik mulai pada masa Sayyidina Ali yang ditengarai oleh Abdul Malik bin Marwan. Nuansa luka lama antara klan Bani Hasyim dan Bani Umayah pun kian kronis. Mungkin hanya masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz-lah gejala tersebut mereda untuk beberapa saat, namun setelahnya justru posisi klan Bani Hasyim kian terpojok dan hanya dijadikan umpan oleh pihak lain. Nama besar Bani Hasyim yang dulu dijadikan pijakan bahasa, sekarang malah dicampakkan begitu saja. Tak heran bila Imam Syafi’i pun harus mengunjungi kabilah Hudzail di pedalaman Yaman untuk menggali kembali orisinalitas bahasa arab. Di sisi lain partai Khawarij yang notabene kelompok oposisi yang menuntut demokratisasi dalam islam; ikut serta mengebiri Klan Bani Hasyim. Kebencian mereka memuncak dengan mendengungkan “sastra jihad” yang disinyalir oleh Ahmad Amin sebagai gerakan fundamentalis kontemporer, yang dipelopori oleh Kaum puritan dibawah komando Muhammad bin Abdul Wahab. Sebuah gerakan Irasional yang memperkosa gerak bahasa arab menjadi bahasa perang dan kematian. Penampakan seperti inilah yang mengganggu stabilitas pertumbuhan bahasa menjadi picik dan ditarik kedalam jantung agama.
Keterpurukan dalam mencari bentuk bahasa yang ideal memang terjadi pada masa awal dinasti Abbasiyah I, walaupun kondisi umat Islam diwarnai kaum mayoritas arab dan Persia; yang berkutat pada materi, ideologi dan kebangsaan yang bisa dikatakan searah dengan masa pertengahan dan akhir dinasti Abbasiyah I, namun pada masa pertengahan dan akhir dinasti Abbasiyah I; umat Islam memiliki tiga Icon pembaharu dalam kebahasaan; Basyr Bin Bard, Abi Nuwas (136-1195H), dan Abu Atahiyah(130-213). Ketiga-tiganya memiliki tipologi yang jauh berbeda dalam membentuk bahasa, walaupun hidup pada masa yang hampir bersamaan. Basyr bin Bard menegasikan pengaruh ideologi dalam standart kebahasaan. Bahkan dengan sangat keterlaluan, ia pun mencaci para nabi dan membela Iblis. Meruntuhkan nalar arab dengan menggungat ortodoksi bangsa arab yang terbelenggu oleh teks-teks verbal. Ia juga menjadi aktivis diskusi yang digelar oleh Mu’tazilah. Meski dilempar dengan tuduhan Zindiq dan dibunuh secara kejam; karena dituduh menyebarkan sarkasme, Si buta Basyr juga tak ketinggalan meluluhlantakkan rasialisme arab. Berbeda dengan Abu Nuwas yang mencoba menghantam nalar arab dengan anekdot. Sampai saat ini kecerdikan Abu Nuwas dalam mengolah kata-kata belum tertandingi. Rasionalitas yang dipadukan dengan rasa dan sindiran merupakan upaya yang ditempuh Abu Nawas untuk membebaskan kata-kata dari keterkungkungan realitas namun tidak melanggar nilai-nilai estetika kebahasaan. Pribadinya yang identik dengan pemuja cawan-cawan anggur mengajarkan bertutur dengan diksi yang tepat dan elegan. Sedangkan Abu Atahiyah mengaktualisasikan bahasa melalui penyadaran terhadap “kebejatan” yang merajalela. Meski dia adalah seorang penjilat, namun upayanya untuk meng-hibridasi antara nalar arab dan nalar persia memberikan dampak yang positif dalam pembentukan model sastra baru. Tiga tokoh utama tersebut, tanpa mengesampingkan yang lain, seperti al-Bukhturi, Ali Ibn al-Jahm, dst; disinyalir sebagai motivator cikal bakal pembaharuan bahasa pada masa keemasan Islam, Dinasti Abbasiyah II.
Akulturasi budaya antara arab dan persi betul-betul memberikan sumbangsih nyata bagi perkembangan linguistik dan kesusastraan arab. Terbukti pada masa pemerintahan Abbasiyah II—yang di sebut oleh Syauqi Dhaif—sebagai ” Asr al-Duwailat wa al-Imarat ” ; masa kerajaan-kerajaan kecil, namun memberikan gebrakan yang sangat bombastik. Di Mesir terdapat Daulah Ikhsyidiyah, Fathimiyah dan Ayyubiyah. Di Tanah Halb dan Mosul berdiri dinasti Hamdaniyah, Sementara di Khurasan dan Ma wara’ al-Nahar terdapat Daulah al-Samaniyah. Tak ketinggalan Persi-pun menjelma menjadi Daulah Buwaihiyah. Bahkan di India dan Afghanistan juga berdiri kerajaan Ghaznawiyah. Cuman diantara kerajaan-kerajaan kecil tersebut yang paling menonjol adalah Buwaihiyah dan Hamdaniyah.
Kegilaan Dinasti Buwaihiyah mampu mengecoh pengaruh Turki di Persia. Dengan memusatkan ibukota di Baghdad, Buwaihiyah dicatat dengan tinta emas oleh peradaban dunia sebagai masa keemasan Islam. Hingga pada tahun 447 H Tuhgrul Bek memporak-porandakannya. Atas kekejian tersebut, Turki Saljuk pun berkuasa hingga kedatangan Tartar yang dikomandoi oleh Holako 656 H mengikis literatur keilmuwan Islam.
Di bawah kekuasaan Bani Buwaih yang sangat menggandrungi keilmuwan lahirlah para ilmuwan yang mampu mengkawinkan antara filsafat dengan liguistik, nalar dengan naluri, dan peradaban arab pun melebur dengan keagugan peradaban Persia. Kelahiran mereka mampu mencairkan suasana yang hanya bertumpu pada imajinatif menjadi inovatif dan progresif. Kegemilangan yang dalam bahasa Arkoun disebut sebagai para Filsuf yang berkesusastraan atau para sastrawan yang brfilsafat yang sangat intens terhadap nunasa humanistik, seperti Miskawih dan Al-Tauhidi. Di sisi lain tampak pula Ikhwan al-Shafa yang intens liberalisasi kebahasaannya, al-Tsa’alabi yang mulai menyentuh linguistik dengan nalar-nlar filosofisnya, dan Ibnu Faris seorang pendobrak fiqh al-Lughah. Keberadaan bahasa pun mulai ditilik keabsahannya melalui metodologi periwayatan sebagaimana dalam disiplin ilmu hadis oleh Abu al-Faraj al-Ashfahani. Di akhir kekuasaan dinasti Bani Buwaih lahirlah sang Maestro Balaghah Abdul Qahir al-Jurjani yang mampu menggebrak bahasa manusia dengan senjata ampuh al-Qur’an. Sebuah kajian Balaghah yang mampu menjodohkan pertikaian-pertikaian sebelumnya seputar kata dan makna dengan bumbu-bumbu keindahan dan rasionalitas.
Begitu juga yang terjadi di tengah mahligai istana Hamdaniyah; Icon-Icon pembaharuan lahir dalam personifikasi penyair dan pakar lingustik yang cenderung membebaskan kata dari kungkungan gramatikal. Mempersonisifikasikan “rasa” dalam liuk-liuk kata yang menggugah naluri untuk mendongkrak peradaban Romawi. Bahasa dikuasai dan diaktifkan seolah-olah sebagai “nuklir penghancur” kebiadaban penjajah. Kedahsyatan tersebut dipelopori oleh penyair kesohor, Mutanabbi. Walaupun ledakan pembaharuan tersebut dicounter secara filosofis oleh Abi Firash dan Ibnu Jinni; anak didik Abu Ali al-Farisi, kolaborasi guru dan murid yang disebut-sebut sebagai sosok yang mempengaruhi kajian linguistik modern. Disisi lain tampil al-Farabi, seorang filsuf ternama yang menguntai hikmah-hikmahnya melalui iringan musik. Serta Abu Ala’ al-Ma’arri yang mempelopori harmonisasi bahasa kematian dan kehidupan ; inspirator penulisan sastra arab modern melalui karya monumentalnya, “Risalah al-Ghufran”. Pelbagai Kegemilangan merubah Baghdad menjadi kiblat peradaban keilmuwan dunia. Namun kegemilangan tersebut hanya menjadi “kisah masa lalu” yang hanya diulang-ulang pada masa Turki Saljuk berkuasa dan Dinasti Mamalik di Mesir. Walaupun dalam kacamata al-Urwie sempat terbersit usaha serius Dinasti Mamalik yang meraba kawasan Mesir dan Syiria untuk menghadirkan suasana reformasi linguistik, namun realitanya tidak terealisasi. Tidak lain karena pengaruh perang salib yang menyibukkan umat islam untuk bersikap defensif, kondisi ekonomi yang terpuruk pada masa Dinasti Mamalik, serta pengaruh para Faqih dan Teolog terhadap para pakar linguistik yang hanya menginventarisir sisa-sisa masa lalu.
Tinjauan sosio-historis diatas jauh berbeda dengan realitas yang terjadi di Andalusia. Kerajaan-kerajaan Islam yang melakukan sepak terjang di Andalusia memiliki ciri khas yang tetap tampil dengan tidak kehilangan peradaban arab, namun mampu mencerahkan bangsa latin. Mulai dari masa Wulat ( berakhir 138H/755M), Dinasti Umawiyah II ( berakhir 422H/1031M), Muluk al-Thawa’if ( berakhir 484H/1091M), Murabithin ( berakhir 540H1145M), Muwahhidin (berakhir 620H/1323M), hingga Bani Akhmar (berakhir 897H/1492M) mampu memberikan nuansa arab ala Andalusia. Walaupun realitas tersebut dibantah oleh Nicholson, Dozy dan Gomez ; yang mengklaim peradaban Andalusia sebagai warisan peradaban akulturatif yang pluralis. Padahal realitanya bahasa adalah materi; yang akan bertutur dimana bumi dipijak dan langit dijunjung. Memang tidak ada sesuatu yang “baru” di kolong langit dan hubungan simbiosis mutualistik ( baca; al-ta’tsir wa al-ta’atsur) antar peradaban pun tak dapt dihindari, namun peradaban Andalusia mendeskripsikan “arabisasi yang rasional”. Nuansa ketimuran yang dibumbui dengan budaya barat yang rasionalis. Fenomena tersebut dapat kita telisik dalam karya-karya sastra yang bernuansa progresif, seperti Ibn Abd Rabbih dengan “al-Aqd al-Farid ” yang mendeskripsikan sejarah melalui sastra, prosa, dan kritik satra yang objektif; mengusung wacana yang tidak dipasung dengan nuansa ideologis. Ibnu Tufail meracik gnostik, rasio dan naluri sastra dalam proyek filosofisnya; Hay Bin Yaqdhan yang dalam pandangan Gomez memberikan inspirasi luar biasa terhadap Jane Jack Rosso dalam teori kontrak sosialnya. Ibnu Hazm menyajikan cinta dengan nuansa filosofis yang tidak mungkin dikaji secara ideologi hitam di atas putih; ekspresi perasaan anak manusia yang tidak dipilah-pilah menjadi barat dan timur. Abdul Malik Ibnu Syahid (426H) yang mencoba menempuh alam khayal ; dunia kedua, dunia Jin yang penuh dengan intrik dan teka-teki melalui ” al-Tawabi’ wa al-Zawabi’ “. Serta pelbagai naturalisasi kebahasaan yang sangat mempengaruhi parameter “bahagia” dan ” Sedih” yang sangat nisbi. Masyarakat yang toleran, panorama yang menyejukkan hati dan jauh dari nuansa tandus lah yang disinyalir mempengaruhi tutur kata “Arab” ala Andalusia yang elok, lembut dan rasional. Melalui fenomena tersebut, terinspirasilah peradaban barat pada akhir abad ke 18 dengan lahirnya aliran romantisme.
Pergulatan antara Kata Versus Makna
Sebuah sorotan epistemologis yang sangat menarik dalam perjalanan ilmu linguistik, tatkala terjadi gesekan kata versus makna. Dalam Pandangan Aristoteles kalimat merupakan kunci dan sarana pembentukan makna; sarana untuk mendeskripsikan sebuah permasalahan. Perlu dipilah mana kalimat mantiqi yang mengandung kejujuran ataupun kebohongan dan kalimat insya’i yang menyentuh prosa dan sya’ir yang tidak perlu dibenarkan atau dipersalahkan. Terdapat pesan yang jauh berbeda antara bahasa yang mengusung keindahan dan bahasa yang mengusung rasionalitas. Sebuah kata yang mengartikan kebobrokan akan mengartikan kebobrokan, bila didukung dengan uangkapan yang mendukungnya, dan akan tersatir kebobrokannya bila ditutup dengan kalimat lain. Kalimat merupakan materi yang berbentuk metaforis yang berjibaku diantara keindahan dan kebobrokan. Ia menyimpulkan kata merupakan petanda makna. Namun tatkala dirangkai dalam struktur akan melahirkan interpretasi yang pluralis, yang mengindikasikan sebenarnya kata tidak selalu melayani maknanya sendiri, terkadang harus rela ditumpangi dengan makna lain yang bersekutu dengan struktur kalimat. Sehingga kalimat majazi dituntut selalu menyentuh panca indera bahkan indera ke enam dalam ungkapannya. Sehingga esensi keindahan tidak hanya ditentukan oleh kata belaka; melainkan harus didukung dengan kalimat yang mengikatnya dalam kesatuan makna yang interpretatif. Aristoteles menyimpulkan kata dan makna tidak dapat dijustifikasi keunggulannya dibanding yang lain; sebab harus ditilik bagaimana kata atau makna tersebut melekat dalam susunan kecemerlangan kata-kata. Namun kesimpulan tersebut ditampik oleh Abi Amr al-Syaibani. Menurutnya makna dengan sendirinya memperkuat susunan kata. Pandangan tersebut mengkategorikan statmen Aristoteles sebagai sudut pandang kaum Sophis Bryzon yang tidak mampu mengklasifikasi indah dan tidaknya bahasa. Pendapat tersebut dipertegas oleh Abi Tamam, Mutanabbi dan Ibnu Rumi yang hanya menjunjung tinggi urgensi makna, walau dalam ekspresi bahasa yang keras dan kasar. Pernyataan tersebut dimentahkan oleh al-Amidi yang berpandangan bahwa kata bagaikan ” busana sutra kencana” bagi si cantik. Sebab keindahan makna harus didukung dengan keindahan kalimat ; sebagaimana si cantik yang akan bertambah anggun dan molek bila dilapisi dengan pakain kebesaran yang sesuai dengannya. Walaupun realitasnya kelompok yang mendukung al-Amidi acapkali hanya terpusat pada urgensi kata belaka.
Di sisi lain Al-Jahiz mencoba mengalihbahasakan sentuhan Aristoteles. Sentuhan tersebut ditransfer dan disempitkan menjadi pendahuluan keindahan kata daripada makna. Ia pun memberikan ilustrasi yang sangat menarik; keindahan sya’ir terletak pada kata-kata yang menguntainya. Ibarat lukisan dan tenun makna yang tersurat akan nampak dalam keindahan goresan tinta dan untaian benang tersebut. Sedangkan Ibnu Khaldun dengan sangat radikal menambahkan; makna “mengamini” kata dengan sendirinya. Sebab kata adalah standarisasi terhadap makna; ibarat gayung yang mengangkut air yang tak akan berubah. Makna dalam pandangan Ibnu Khaldun seolah-olah telah menjadi konsensus bersama; sedangkan diksi dalam penyusunan kalimat harus diracik agar memberikan makna selaras dengan kalimat. Di sisi lain Basyar Bin Mu’tamar al-Mu’tazili dan Ibnu Qutaibah dengan memberikan ukuran proporsional terhadap keduanya; “kait kelindan” dalam sudat pandang para penyair Andalusia.
Sebenarnya antara pihak yang mengedepankan peran kata atas makna, tidak jauh berbeda dengan yang memberikan standar yang sama. Sebab pihak yang hanya mengedepankan kata belaka kurang mampu menyibak idenstitas dan kesatuan kata. Mereka hanya terbatas pada tataran bentuk yang sangat kaku dan tidak fleksibel; padahal makna jauh melebihi bentuk kata dan struktur kalimat yang mengikatnya. Passing over yang diperankan makna mampu menembus ruang dan waktu dalam arti yang sangat berlebihan. Makna mungkin mampu ditangkap oleh siapapun,baik kamunitas yang berperadaban atau belum tanpa terkecuali. Sedangkan kata hanya akan “mandeg” dalam permukaan bentuk lahiriah belaka ; terbatas atas realitas. Oleh sebab itu dalam pandangan Ghanimi Hilal kefasihan dalam berucap tidak begitu urgen; sebab yang lebih urgen adalah menyampaikan esesnsi kalimat dengan tanpa batas terhadap pihak kedua yang harus siapa menerima.
Dus, makna seolah-olah berada dalam pelbagai strata. Pihak kedua akan menangkap “ucapan” pihak pertama secara tepat sesuai dengan komunitasnya. Dari sini dapat kita tarik; majaz dan haqiqah berada dalam kedudukan yang relatif; cantik dan buruk berada dalam status nisbi.
Pelbagai pergulatan di atas direvisi, didobrak dan disempurnakan oleh al-Jurjani melalui standar al-qur’an; yang menyatakan disatu sisi ia sependapat dengan al-Jahiz, namun disisi lain ia menegaskan bahwa “I’jaz al-Qur’an” bukan disentuh dari kosakata belaka, melainkan Nudhum-lah ( baca; untaian kata) yang akan mengekspresikan dilalah yang berbeda-beda dalam tempat yang berbeda pula. Al-Jurjani mencoba untuk mengkritisi pihak yang hanya terpaku dengan kata-kata. Yang menyatakan bahwa kata-kata hanyalah bentuk dan gambaran . Nah, bila emas dan perak dibentuk menjadi cincin niscaya nilai intrinsik emas dan peraklah yang akan mempermahal bentuk tersebut. Di sisi lain al-Jurjani juga mengggugat pihak yang hanya membatasi “urgensi” makna. Sebab teks akan kehilangan bentuk keagungannya bila dibahasakan dengan rancu dan acak. “I’jaz al-Qur’an” senantiasa mengusung kosakata baku yang masuk dalam kategori fasih dan baligh, dalam untaiakan kata yang sangat menarik, namun memberikan nuansa dialogis yang rasional yang senantiasa mencipta dan merunut makna-makna baru yang aktual. Kata-kata hanyalah pengantar makna yang tidak terbatas dalam bentuk yang menarik dan menyejukkan pendengaran. Namun juga mengusung makna yang konprehensif dan universal. Memang. Makna dalam al-Qur’an tidak akan pernah bertambah namun struktur dan dilalahnya terkadang memberikan analisa dan nuansa progresif yang mungkin hanya akan dipahami dalam masa-masa mendatang. Korelasi antar kata terkadang malah memberikan kesalahpahaman bagi yang menangkapnya. Oleh sebab itu, al-Jurjani menekankan urgensi menangkap pesan korelatif yang tersirat dan tersurat dalam untaian kata-kata. Bahkan sinonim yang kita jumpai atau susunan yang dibolak-balik ( baca; diawalkan atau diakhirkan) akan memberikan jembatan yang lebih tepat dalam menagkap esensi makna.
Al-Jurjani juga mengangkat urgenitas sintaksis yang tidak hanya terbatas pada pungtuasi, subyek, obyek dan predikat. Tapi al-Fashl wa al-washl, al-Ta’rif w aal-Tankir, al-Idhahar wa al-Idhmar serta pelbagai pembahasan ilmu ma’ani merupakan sarana untuk mendekati substansi makna yang telah diemban oleh kata. Jadi menganalisa dan mendobrak kata, makna dan struktur kalimat dengan pelbagai pendekatan merupakan kebutuhan dan problematika yang harus dipecahkan.
Pengaruh Penerjemahan dan Nalar Bayani terhadap Epistema Nalar Arab
Stagnasi dan perkembangan bahasa arab merupakan refleksi budaya dan peradaban yang membentuk nalar arab; yang tak luput dari pengaruh dua hal; penerjemahan dan nalar bayani yang menghegemoninya. Bangsa Arab-Islam tidak pernah melakukan upaya serius penerjemahan merujuk rujukan utama peradaban lain, kecuali setelah masa Abbasiyah I. Pada masa khalifah al-Manshur yang gandrung terhadap “nujum” ala helenistik Yunani, proses penerjemahan dimulai. Sebenarnya karya ilmiyah tersebut diilhami oleh bangsa Sasaniyah dan kaum Zoroaster yang sangat terkontaminasi dengan peradaban Yunani kuno. Kegemaran al-Manshur dalam merealisasikan “karya ilmiyah” tersebut diyakini olehnya, akan sangat berpengaruh terhadap laju politik Dinasti Abbasiyah. Sebab “nujum” memberikan pemetaan dan wangsit terhadap bentuk pemerintahan ke depan. Bersama Naubakhty dan Ibrahim al-Fazari al-Manshur mencoba memetakan politik Abbasiayh kedepan dengan pendektan “nujum”, astrologi dan astronomi. Tentunya keberhasilan proyek tersebut tidak dapat berhasil bila tidak didukung dengan disiplin ilmu yang lain dan dari pelbagai peradaban yang berbeda. Tak heran bila selanjutnya proyek al–Manshur dilengkapi dengan penerjemahan Sanhand, Kalilah Wa daminah Buku pedoman Bangsa India, Majiesty, karya Bahtlemus, Iqlidis dan Aritmatika karya Nicomacus, Karya Aristoteles yang berbau logika dan pelbagai buku-buku yang sangat berpengaruh terhadap kejayaan Yunani kuno, Romawi, Persia dan juga Suryani. Sebuah terobosan yang luar biasa, yang mampu membuka cakrawala bangsa arab dari ketertutupan menuju keterbukaan untuk mengilhami peradaban orang lain. Hugh Kennedy menyebutnya sebagai upaya yang sangat brilian. Kebutuhan tersebut semakin diperlukan tatkala pusat pemerintahan dipindah ke Baghdad yang sudah merambah tanah persia. Begitu juga terhadap tekanan Syi’ah yang merasa ikut berjasa dalam mendirikan Dinasti Abbasiyah ; yang harus dihalau dengan kode percaturan politik yang jitu, tak heran bila kemudian al-Manshur pun memberikan embel-embel gelar kehormatan al-Manshur pada dirinya. Agar kecemburuan Syi’ah pun menurun dan seolah-olah ia merasa untuk berterima kasih. Keinginan al-Manshur untuk membentuk negara yang solid benar-benar dijangkau dari pelbagai penjru.
Wasiat yang ia tinggalkan kepada sang buah hati pun demikian; al-Mahdi mencoba mengikuti jejak sang ayah dengan menerjemahkan karya aristoteles “Topics” kedalam bahasa arab. Keluasan wawasan al-Mahdi inilah yang mendorong kecemerlanganya dalam menyelesaikan pelbagai konflik politik; mulai dari pemberontakan hingga dialog terbuka dengan pelbagai aliran, termasuk umat kristiani. Fenomena tersebutlah yang menginspirasi para Faqih dan ahli logika untuk memperluas cakrawala mereka. Perdebatan antar agama seputar teologi yang menuntut al-Mahdi untuk melegalakan dialog teologis antar agama melalui pisau analisa rasio. Kegigihan al-Mahdi pun semakin menggebu-gebu untuk memperbanyak literatur terjemahan Yunani ke dalam bahasa arab, termasuk “phisic” karya Aristoteles. Ide-ide al-Mahdi dilanjutkan oleh al-Rasyid dalam membentuk sebuah “komunitas ilmiyah” Bait al-Hikmah yang dilhami oleh Bangsa Sasaniyah. Keberadaan Bait al-Hikmah pun kian menajamkan nunasa kritis bangsa arab yang mulai berbaur dengan bangsa Persia. Bahkan pada masa al-Makmun berkuasa; ia memberikan kebebasan dan keterbukaan berpikir bagi rakyat seluas-luasnya. Ia memiliki pandangan; “agama ditentukan oleh sudut pandang individu”, walaupun realitanya ia kerap mencuci otak orang lain. Walaupun a historis dalam berpandangan, namun al-Makmun dinilai sebagai pendobrak “rasionalitas” dunia islam dengan merobohkan hegemoni teks dan tradisi; disubtitusi dengan nuansa argumentatif ala Zoroaster dan Sasaniyah. Seolah-olah al-Makmun ingin memetik buah kebebasan berpendapat dari peradaban lain. Keseriusan al-Makmun tersebut disokong oleh al-Jahiz yang juga memiliki presepsi yang tidak jauh berbeda. Di sisi lain, al-Makmun juga ingin menyerang golongan lain; seperi Kristen , Yahudi serta Byzantium yang pada waktu itu menjadi negara super power dengan menjatuhkan tuduhan kepada mereka tidak rasionalis dan argumentatif. Dengan maraknya penerjemahan tersebut, lahirlah al-Kindi ( bapak filsafat Islam), yang mulai memproklamirkan etos penerjemahan. Ia beranggapan bahwa nenek moyang bangsa Yunani merupakan saudara Qahthan, seseorang yang dinisbatkan kepada penaman bangs arab ( al-Aribah). Proses penerjemahan tersebutlah yang di satu sisi menyebabkan kegemilangan rasionalitas dan disisi lain meninggalkan ciri khas “bayani” sebagai peradaban arab. Sehingga pemaknaan bayan yang dijunjung tinggi oleh bangsa arab-islam yang selama ini dijadikan titik tolak digerus begitu saja. Dalam presepsi Imam Syafi’i sebagai representasi pengusung pemaknaan bayan versi arab menyatakan; ” bayan merupakan asal yang bercabang-cabang; sebuah undang-undang atau kaidah untuk menginterpretasi sebuah teks”. Keberadaan bayan sebagai ciri khas bahasa arab digunakan oleh bangsa arab sebagai interpretasi terhadap diskursus yang terbentuk dari asal dan cabang tersebut. Sedangkan al-Jahiz menganggap “bayan” sebagai syarat mutlak untuk memproduksi sebuah diskursus baru. Keberadaannya diperluas tidak hanya sebagai sarana untuk menyingkap teks belaka, tapi juga seni dalam menyampaikan sebuah gagasan. Tak heran bila kemudian al-Jahiz memiliki karya Bayan wa al-Tabyin; sebuah perluasan makna bayan. Jadi dalam prespektif al-Jahiz bayan harus disertai dengan kelancaran lisan (fasih), diksi, dan menyingkap makna. Kedua aliran bayan tersebut yang selanjutnya tidak dapat di baca secara cerdas oleh generasi sesudahnya.
Sehingga di satu sisi keberadaan bayan memang perlu ditempatkan sebagai mana mestinya; baik sebagai alat penafsir teks atau menjadi inspirasi rasio untuk memproduksi sebuah diskursus baru. Keberpihakan yang tidak proporsional justru akan mengakibatkan ketimpangan; baik dalam mengembalikan bayan sebagaimana identitasnya atau membebaskannya menuju proses produksi. Ketimpangan tersebut akan menyebabkan “kebingungan” dalam pencarian bentuk bahasa yang ideal. Sebab apabila hanya bertahan dengan bayan dalam sudut pandang bangsa arab, tentu proses produksi bahasa arab akan mengalami stagnasi. Namun jika hnaya terpaku dalam menghasilkan proses produksi maka akan kehilangan jatidirinya. Sebuah problematika dilematis yang harus dicarikan solusinay; menuju formulasi baru bahasa yang modern. Kemandulan seperti itulah yang sebenarnya telah mengkaburkan bentuk bahasa bagi perkembangan pelbagai disiplin ilmu yang sangat berkaitan dengan bayan tersebut.
Walaupun dalam analisa Toha Husain, metamorfosis sastra menjadi filsafat merupakan pengaruh nalar helenistik yang mengalami keberhasilan dalam memberikan ilham kepada Mu’tazilah. Bahkan setelah al-Jahiz mendobrak seolah-olah fungsi bayan berubah menjadi tolak ukur rasionalitas. Sebagaimana kegigihan al-Jurjani untuk mengusung bendera “I’jaz’ yang mungkin hanya dipahami sebagai representasi filsuf yang mengupas tentang bayan. Kedudukan al-Jurjani dipandang hanya sebagai penerus al-Jahiz. Pedagogig bayani yang merambah daerah rasio justru malah melemahkan analisa terhadap sebuah teks. Sebab esensi teks justru akan diperkosa kedalam ruangan rasional. Sebuah Pendekatan filosofis yang merubah Fiqh, Teologi, bahkan gramatikal kedalam arena rasional. Padahal dua hal yang memiliki ciri khas yang berbeda. Disiplin ilmu tertentu, malah berubah menjadi sebuah alat berpikir. Di sisi lain disiplin lmu tersebut telah terkontaminasi dengan nalar bayani. Kerancuan tersebut sebenarnya dapat dicarikan titik tengah dengan menarik kembali antara filsafat dan sastra; Burhani dan Bayani; rasio dan rasa dalam titik tolak masing-masing. Selanjutnya keduanya dimaksimalkan agar bermuara di akhir yang sama.Begitulah al-Sakaki melakukan sebuah terobosan baru, dalam Miftah al-ulum dengan dua poin; pertama memaksimalkan rasional melalui filsafat dan memaksimalkan rasa melalui bayan; sebuah sarana untuk menganalisa dan memproduksi teks yang bermuara pada akhir yang sama.
Al-sakaki tidak rela bila ubun-ubun bahasa arab dialihkan dalam karakteristik Yunani kuno. Sampai-sampai pendapatnya yang kedua menolak secara mentah-mentah majaz aqli yang didengungkan Mu’tazilah. Sebab majaz aqli tersebut hanya menarik sebuah kesimpulan rasionalitas yang kurang sinkron dengan budaya dan peradaban arab; retorika linguistik yang menafikan bahasa arab dari identitasnya.
Sebuah problematika yang sebenarnya harus dipecaakan adalah dengan mempersempit ruang gerak karakteristik bahasa arab. Terutama tatkala dikorelasikan dengan hukum islam yang direpresentasikan dengan fiqh, muhkam dan mutasyabih, I’jaz, Sir al-Balaghah, dan nudhum yang erat kaitannya dengan koridor rasio dalam ilmu balaghah. Problematika tersebut lah yang hendaknya menjadikan para Faqih, Teolog, Pakar gramatikal untuk saling asah, asih dan asuh dalam mencari solusi bersama. Sehingga kesepakatan yang akan dicapai pun adalah memisahkan antara bahasa dan pemikiran. Keterkaitan yang sudah kaprah tersebutlah yang menghambat laju gerak bahasa arab. Sebab bahasa yang luas pada dasarnya harus dipersempit menjadi bahasa gramatikal, bahasa fiqh, bahasa kalam dll. Sehingga untuk memprioritaskan cara berpikir dari pada ta’bir akan menemui sebuah kejanggalan. Sebab harus dibatasi dengan terma yang telah ada. Atau dalam tawaran al-Jabiri dengan menyelami maqashid al-Lughah yang terkandung di dalamnya. Mugkin upaya tersebut bisa ditempuh dalam bidang gramatikal, teologi dsb, namun akan mengalami kemandegan dalam bidang balaghah. Sebab balaghah hanya akan bergerak jika masih bertumpu pada rumusan-rumusan pendahulunya. Dari sinilah diperlukan upaya baru untuk mendobrak nalar bayani yang sangat menghegemoni.
intinya problematika bayani memiliki tiga asal; pertama titik tolak asal bayani, kedua orientasi bayani atau kembali ke asal. Kesemua problematika tersebut merupakan kejanggalan yang ditempuh tatkala manusia memaksimalkan rasionya dalam kubangan bayani. Sehingga qiyas (analogi) yang dibayang-bayangi nalar bayani akan berbeda dengan berargummen (Istidlal) yang menggunakan analogi sebagai metodologi. Dengan kata lain apabila qiyas termasuk asal al-tasyri’ yang dibayang-bayangi nalar bayani; berarti ia juga asal-muasal metodologi. Pada akhirnya, kita pun kan senantiasa berkutat dengan pertanyaan, al-Qur’an memang diturunkan dengan bahasa arab versi jahiliyah, namun akankah kita selalu merujuk kepada kebudayaan dan peradaban jahiliyah, ataukah kita malah meninggalkannya. Fenomena tersebutlah yang mendorong kita untuk menjadikan “ta’wil” atau tindakan hermeunetik menjadi sebuah kebutuhan. Dengan membedakan lahir dan batin yang terkandung dalam teks, melalui menyelam ramz yang tentunya harus dibarengi dengan nalar Irfani sebagai pengganti bayani. Namun nalar Irfani yang tentunya dibarengi dengan nuansa rasional yang tidak hanya terbatas pada alam yang berdasarkan pada mitologi semata.
Sebab standarisasi al-Qur’an bukanlah teks yang bersifat mitologis yang mendahulukan atau mengesampingkan rasio. Melainkan teks yang dapat diterima manusia sebagai sebuah “kalamullah” yang qadim (peka ruang dan waktu) ; dan digali secara esensial sebagai sebuah “Qoul Rosulullah” yang hadis ( berupa suara dan susunan kata), melemahkan siapa saja tanpa terkecuali. Menggali teks al-Qur’an bukanlah mengotak-atik peradaban Jahiliyah. Tapi mendongkrak al-Qur’an memerlukan ahli al-Qur’an yang memang mampu memberikan warna baru korpus terbuka dan kadang kala menyentuh korpus tertutup. Sebab apabila bahasa Tuhan hanya didekati oleh bahasa manusia, niscaya kita pun hanya akan berhenti pada titik perabaan. Tapi apabila usaha menyentuh dan mendobrak qur’an ditempuh, tentu keberadaannya pun tidak usang dan kembali mengalami penyegaran tanpa harus menafikan dan merubah keotentikan dan kesuciaanya.
Pola pikir bangsa-arab Islam jika hanya berkutat pada pengaruh nalar bayani yang menghegemoninya dan peradaban lain yang mewarnainya; akan mensejajarkan islam dengan sinkretisme. Tapi, bila keberadaannya mampu tetap mengusung nilai-nilai universal yang telah distandarkan oleh al-Qur’an, niscaya proses renovasi dan reformasi standar serta pembakuan bahasa akan mengalami perkembangan yang lebih aktual, pesat dan progresif.
Penutup
Menelisik bahasa arab versi baduwi sebagai “bahasa Islami” dan “bahasa surga”, dalam pandangan sekelompok orang; memang bisa dilakukan oleh siapa saja. Namun bahasa al-Qur’an adalah kecanggihan teks ilahiyah yang bukan berada dibawah otoritas manusia, melainkan dibawah genggaman hak preogatif Tuhan. Mengotak-atik al-Qur’an melalui bahasa merupakan tindakan konyol. Sedangkan membebaskan al-Qur’an dari belenggu bahasa merupakan upaya progresif yang akan semakin meninggikan ketinggian bahasanya. Upaya tersebut bukanlah untuk membatukan otoritas teks, melainkan untuk memberikan warna baru bahasa arab agar tidak hanya terkungkung dengan nostalgia abad 14 saja, tapi mampu ber-evolusi menuju bahasa yang mengubah pola pikir dan kepekaan para pemiliknya serta mengubah haluan kelompok yang masih mensakralkannya.