Secara personal,sekalipun saya tidak pernah masuk jaringan JIL,sebutan itu melekat pada saya. Bahkan pernah muncul rumor,karena dianggap liberal,saat saya mau sungkem,Kiai Gontor tidak sudi dan menarik tangannya. Padahal, saya belum sekalipun sowan,menghadap para kiai. Tidak pernah ke Gontor sejak lulus pada 1996. Adakah model berfikir rasional atau logis dalam memahami ayat dalam sejarah Islam?... Bolehkah beralih dari yang tersurat kepada tersirat atau dari makna luar ke esensi atau substansi ayat? ... Bolehkah kita berpaling dari perintah harfiah dan mengambil pesan etis teks dalam islam? .. Itulah polemik menarik berkepanjangan dalam diri umat. Secara historis,pasca Nabi wafat,kisah kebijakan Khalifah Umar dijadikan rujukan otentik berpikir rasional dan logis ketika berhadapan dengan perintah tekks dalam Islam.
Dalam al-qur an (al anfaal 41) dan tradisi Nabi,hasil pampasan perang didistribusikan kepada para prajurit yang ikut berperang mendapat empat perlima dari jarahan (ghanimah),sedangkan yang seperlima masuk kas negara untuk kemaslahatan umat. Praktik itu dilakukan oleh Nabi dan Abu Bakar .Khususnya pada tanah khaibar. Tetapi saat umar menjabat,kebijakan itu berubah. Saat itu tentara Islam berhasil merebut tanah pertanian yang membentang dari Suriah,Irak,Persia,hingga Mesir. Dalam logika Umar,bila ia mengikuti harfiah ayat diatas,kemashlahatan umat justru terancam. Mengapa ?... Sebab tanah-tanah pertanian akan habis dikapling-kapling dan dimiliki secara personal oleh para prajurit dan diturunkan turun temurun. Kebijakan Umar ; tanah tidak dibagi-bagi,tapi tetap digarap oleh pemilik asli dengan syarat membayar kharaj (pajak). Tanah-tanah luas itu dikuasai olleh negara. Langkah Umar ini tentu saja menimbulkan prahara dan polemik keras dalam masyarakat Muslim Madinah. Beberapa sahabat Nabi seperti Bilal,Abdurrahman bin Auf,dan Zubair bin Awwam menentangnya. Umar dituduh melanggar Alqur an dan tradisi Nabi. Umar dituduh pengikut liberalisme. Menurut kisah, bukan hanya dalam perkara tanah pampasan perang Umar meninggalkan makna luar teks. Beliau juga tidak menjjatuhkan hukum potong tangan dan tidak memberi donasi kepada para kaum muallaf. Padahal dalam Almaidah 38 sangat jelas. Apa logika dan alasan rasinal hingga Umar berani meninggalkan ayat dan hadits nabi ?..
Bagaimana memahami polemik dan penjelasan aliran keislaman dalam masalah teks-teks diatas?.. Penting kita memahami ulasan Ahmad Sahal,seorang perintis JIL yang kini sedang menyelsaikan studi doktor tentang posisi teks dalam Islam. Menurut dia, Pertama,tidak ada ruang untuk membantah dan meninggalkan teks Islam.sebab kiya harus tunduk sepenuhya pada teks. Alqur an itu bersifat ta'abbudi (harus ditaati begitu saja) Ia kalam Allah. Untuk memahaminya,kita harus memakai pendekatan yang literal,atau berdasarkan hadits Nabi,yang merupakan bagian dari teks Islam. Pemahaman dan penafsiran rasional yang menyimpang dari bunyi harfiah niscaya tidak diterima disini.
Kedua, teks bersifat abadi,tunggal dan mengatasi sejarah,ruang dan waktu. Karena itu,tidak mungkin ada banyak Islam meskipun umat Islam hidup dalam beragam konteks. Yang lebih parah,latar belakang dunia arab yang merupakan konteks Nabi hidup dianggap sama abadi dan universalnya dengan Islam. Akibatnya kemurnian Islam disamakan dengan ekspresi Arab dalam Islam. Unsur lokal non Arab yang mewarnai Islam akan mudah dituding sebagai penyimpangan. Itulah mengapa simbol kearaban,jenggot,jubah ala Arab,bahasa Arab dan siwak diidentikkan dengan Islam. Wahabisme dianggap wakil Islam dan pemurnisn agama ini harus diarahkan pada Arabisasi.
Tekstualisme semacam itulah yang diklaim sebagai satu-satunya wajah Islam.Sebagaimana diatas, dalam kisah Umar,kita bisa melihat bahwa kembali kepada Alqur an dan Assunnah,ternyata tidak otomatis identik dengan tekstualisme yang literal. Kita bisa melihat tekstualisme ala Bilal,yang cenderung harfiah dan kulit luar teks.Namun,kita bisa juga menampilkan wajah lain Islam,yakni pendekatan model Umar. Beliau tidak tekstualis dan harfiah. Nah,gelombang pembaharuan pemikiran dalam Islam memang mengambil Ijtihad dan logika Umar sebagai model utama dan batu pijak metodologi. Dalam kajian pemikiran Islam,selain Umar,kita mengenal pakar fiqih knalsik Imam Abu Hanifah yaitu pendiri madzhab hanafi sebagai model kaum rasionalis.Tokoh lain pengembang aliran rasional atau ahl alra'yi adalah filosof Ibnu Rusydi. Dalam salah satu karyanya beliau menandaskan bahwa akal itu sejalan dan cocok (kompatible) dengan teks.Bahkan tokoh pembaharu seperti Muhammad Abduh mengatakan dalam risalah At tauhid,"jika wahyu kelihatannya bertentangan dengan akal,wajib bagi akal meyakini bahwa yang dimaksud bukanllah harti harfiah." Tokoh-tokoh diatas merupakan model pendekatan rasional dan logis dalam memahami teks atau nash dalam Islam.
Bagaimana logika kaum rasional ini dalam menghadapi teks?..... Bagi kaum rasional,teks adalah sesuatu yang ta'aqquli (mesti didekati dengan akal).Ia dibutuhkan karena tidak semua ranah dan ladang kehidupan sudah diatur oleh teks Islam. Dalam ruang-ruang kosong teks ini,kita diminta berpikir logis dan rasional untuk membedakan mana yang merupakan ketentuan yang terkait dengan situasi historis tertentu dana mana yang merupakan prinsip moralitas universal. Aliran ini berpijak pada pronsip universal ajaran Islam. Keadilan,persamaan dan kemaslahatan,yang merupakan spirit dan tujuan kehadiran Islam itu sendiri.Moralitas universal ini dikenal dengan terma tujuan syariah (maqaashid alsyari'ah).
Berdasarkan prinsip moral universal ini kaum pembaharu,belakangan banyak disuarakan oleh JIL ,memijjakan logika dan metodologi pemahaman atas teks gencar dilakukan. Aada tiga hal pokok yang penting untuk difahami logika kerja yang ditampilkan. Pertama, teks tidak mengatur kehidupan secara total karena yang terpenting bukanlah ketentuan teknis dalam bunyai harfiah nash yang mencakup seluruh kehidupan,melainkan prinsip moralitas universal yang menjadi maqaashid alsyar'iahnya. Rincian teknis adalah sesuatu yang situasional,sementara moralitas universal berlaku abadi. Kedua, pandangan logis,rasional dan bijak akan menempatkan akal untuk menerima dan menghargai kemajemukan manusia dengan latar belakang agama,budaya dan tradisinya. Pemahaman atas konteks waktu dan tempat menjadi penting.
Bagi kelompok ini keAraban,yang merupakn konteks lokal Nabi,tidak diletakkan dalam posisi yang bisa melintasi ruang dan waktu. Itulah mengapa Imam Abu Hanifah sebagai orang persia,dalam ijtihad fikihnya membolehkan orang shalat membaca fatihah dalam bahasa persia atau bahasa lokal lainnya. Ketiga, teks selalu memberi ruang tafsir. Dan tafsirnya sebanyak kapasitas dan kualitas ilmu dan wawasan sang penafsir. Harus diakui bahwa pemahaman harfiah pun salah satu bentuk tafsir. Dan tafsir selalu bersifat relatif. Kita tidak biisa mengklaim bahwa makna yang kita petik dari teks yang mutlak dengan sendirinya bernilai mutlak juga. Bagaimanapun ia merupakan produk logika atau akal manusia yang relatif. ekita bisa memutlakkannya?,.. Dengan demikian kita tidak bisa mengklaim hanya Islam kita yang benar karena yang kita yakini sebagai islam tidak lain adalah tafsir kita tentang Islam.
Dan berhubung tafsir itu sendiri beragam,mau tidak mau Islam juga akan beragam.
Memahami hal-hal diatas akan mengantarkan kita pada wacana keislaman kontemporer yang mau tidak mau harus kita pahami. Misalnya,mengapa sebagian kaum pembaharu lebih memilih negara sekuler demokratis dan pluralistis dan menganggap wacana negara syariah tidak menarik. Pandangan ini muncul bukan sebagai karbon kopi dari faham barat,melainkan berllandaskan suatu keyakinan bahwa negara sekuler yang demokratis dan pluralistis akan lebih akan menjamin maqaashid alsyar'iah pada zaman ini ketimbang negara syariah.
Dalam konteks Indonesia,pasti kita akan terus mendukung negara pancasila dan Bhineka Tunggal Ika sebagai hal final dan jangan pernah berfikir menjadikan negara Indonesia negara Islam. Terakhir,karena itu harus disadari bahwa kaum pembaharu ,juga Islam Liberal punya genealogi yang kokoh dan otentik dalam Islam. Mereka jelas memiliki basis metodologi Islam,misalnya dari Umar bin Khattab,Imam Hanafi dan Ibnu Rusyd yang jelas bersumber dari sejarah Islam sendiri. Dan harus diakui kedua aliran ini sama-sama otentik dalam islam. Islam literal yang mendekati teks secara harfiah juga punya pijakan yang sama kokohnya.
Model Umar absah dan model Bilal eksis dalam sejarah. Aliran literal ataupun liberal sama-sama anak kandung yang sah dari Islam. Yang jadi masalah berat mengapa Islam harfiah dan tidak rasional dari kelompok literal mengklaim diri sebagai satu-satunya wajah Islam.? Apalagi aliran inilah yang meumpulkan pisau ijtihad dan merontokan potensi akal hingga umat islam dan kita kini terbelakang,membeo,tidak produktif,tidak punya spirit kreatif dan inovasi. Umat Islam tertinggal dan terbelakang dalam ilmu pengetahuan,teknilogi,dan peradaban. Masihkah kita berasik ria dengan pendekatan harfiah dan mengagung-agungkan pendekatan literalis?.. Pilihan menu terhidang luas bagi kita.