SUATU TINJAUAN SEJARAH
(Dr. Achadiati Ikram)
Pengantar
Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir ini penelitian sastra lama di Indonesia telah dirasakan sebagai sesuatu yang mendesak dan semakin diusahakan dengan sungguh-sungguh. Untuk menentukan sikap dalam menghadapi masalah-masalah di bidang ini perlulah kita memiliki wawasan tentang perkembangan studi filologi serta metode-metode yang dipakai dalam penyuntingan naskah di masa lampau. Tulisan ini dimaksudkan untuk memberi sumbangan sekedarnya ke arah itu.
Jika kita menelaah kegiatan filologi di kawasan Indonesia, maka kita lihat bahwa aktifitas ini sudah dimulai sejak abad ke-19. Walaupun dalam telaah itu kita membatasi diri pada karya-karya dalam bahasa-bahasa yang memiliki sastra tertulis dalam wilayah Indonesia, jelaslah bahwa bahan yang dapat dibicarakan amat luas dan tak mungkin tercakup dalam beberapa halaman ini. Oleh sebab itu, ruang lingkup uraian ini perlu dipersempit.
Batas`pertama yang kami ambil ialah bahwa kegiatan filologi di bidang karya-karya sejarah serta sastra lisan tidak akan dibicarakan di sini. Akan tetapi, kita akan melihat juga betapa relatifnya batas`yang ditetapkan itu. Kami akan terpaksa juga melangkahi batas itu dan melantur ke dalam daerah sejarah karena penelitian sejarah pun dimulai dengan pengenalan melalui penggarapan filologi. Batasan kedua dipaksakan oleh tempat serta materinya. Studi-studi filologi mengenai sastra-sastra se-Nusantara dilakukan secara tidak merata; misalanya, pada sastra Jawa Kuna terdapat edisi ilmiah dalam jumlah terbanyak, sedangkan naskah-naskah Minang umpamanya sangat jarang dijamah oleh tangan-tangan yang berminat. Dalam uraian ini kami berusaha mengemukakan yang penting dan menonjol saja, walaupun sering juga dibatasi lagi oleh ada atau tidaknya bahan yang tersimpan dalam perpustakaan-perpustakaan yang terjangkau. Dengan demikian, kelengkapan tidak mungkin merupakan tujuan yang hendak dicapai. Suatu wawasan umumlah yang mudah-mudahan dapat kami berikan dalam tulisan ini. Daftar-daftar yang lebih sempurna dapat ditemukan dalam pustaka sumber yang menyertai uraian kami.
Untuk memberikan fokus yang lebih jelas kepada pembicaraan kami, perlu dikemukakan bahwa titik tolak kami ialah edisi bahan-bahan tertulis yang telah digarap selama kurang lebih satu setengah abad yang terakhir. Dengan melihat segi-segi penggarapannya kami harapa akan diperoleh suatu wawasan tentang perkembangan penelitian filologi serta artinya bagi ilmu-ilmu lain, khususnya bahasa dan sastra.
Hubungan filologi dengan ilmu-ilmu lain di sini tidak mungkin kita abaikan atau kita lewati begitu saja, mengingat bahwa banyak edisi teks antara lain dilaksanakan dengan maksud menciptakan bahan untuk mempelajari bahasa yang bersangkutan. Kalau kita membaca tulisan J.L. Swellengrebel In Leydeckers Voetspoor, kita dapat melihat bahwa studi bahasa berdasarkan naskah-naskah dilancarkan untuk kepentingan penyebaran agama Kristen, khususnya terjemahan kitab suci. Di lain pihak, pada bahasa yang hanya dikenal dalam bentuk tulisan seperti Jawa Kuna, penggarapan teks adalah benar-benar dimaksud sebagai pembuka jalan untuk memahami ilmu-ilmu lain, baik yang ada hubungannya dengan bahasa maupun yang tidak.
Dalam hubungan ini perlu pula dikemukakan pentingnya pekerjaan-pekerjaan seperti penyusunan katalog, pembuatan deskripsi, serta penyusunan daftar isi yang memudahkan peneliti memanfaatkan suatu koleksi naskah. Di Indonesia koleksi-koleksi yang ada belum didaftar secara sempurna. Demi kemajuan ilmu filologi kekosongan ini harus ditanggulangi pada masa mendatang.
Dari keterangan di atas ini tergambar bahwa kami tidak akan membicarakan kegiatan filologi dalam arti kritik teks saja karena ada kaitannya yang erat dengan perkembangan di bidang sastra dan bahasa yang lain. Oleh karena itu, terpaksa juga kami ulas di sini segi-segi yang lain itu.
Penelitian-Penelitian di Kurun Awal (Sebelum Perang Dunia I)
Orang pertama yang menaruh perhatian secara ilmiah terhadap bahasa Jawa antara lain adalah Raffles dan Crawfurd, keduanya meminati baik sastra maupun bahasanya. Tidak lama setelah itu W. von Humboldt menerbitkan bukunya yang terkenal Uber die Kawisprache auf der Insel Java (1836-1839), suatu studi berdasarkan bahan-bahan yang dikumpulkan Crawfurd, yang menghasilkan kesimpulan bahwa menurut strukturnya bahasa Jawa Kuna adalah suatu jenis bahasa Indonesia. Sebelumnya para peneliti antara lain Raffles, Crawfurd, dan Bopp menyangka lain karena luasnya kosakata Sanskerta yang terdapat di dalamnya.
Di antara penelitian yang dilakukan selama abad ke-19 dapatlah kita kemukakan karya-karya Freidrich yang berjudul Wrettasanjaya (1849), Arjuna Wiwaha (1850), dan Bomakawja (1852) dan Cohen Stuart, dengan edisi Brata-Yuda (1860). Kedua sarjana ini menggarap sejumlah naskah lain pula. Dengan edsisi-edisi ini teks-teks penting terbuka dan diketahui pula beberapa hal yang elementer. Sejak 1894-1912 Van der Tuuk menggarap kamusnya berdasarkan naskah-naskah baik edisi orang lain maupun studinya sendiri dan Kern membuat deskripsi bahasa Jawa Kuna pada tahun 1889 setelah ada edisi teks dalam jumlah yang memadai. Kedua peneliti ini sengaja kami tulis untuk mengemukakan hubungan timbal balik antara edisi teks dengan ilmu bahasa, bahkan tidak dapat dipisahkan, khususnya dalam taraf-taraf awal.
Dalam edisi-edisi awal ini kita lihat bahwa kebanyakan teks diterbitkan dalam aksara aslinya seperti juga halnya dengan edisi Ramayana (1900) kakawin hasil penggarapan Kent yang terkenal itu. Hal ini tidak kita lihat lagi dalam edisi-edisi mutakhir. Keadaan ini berlaku juga untuk teks Melayu yang terbit sekitar waktu itu, misalnya Syair Bidasari (1843) terbitan W.R. van Hoevell, dan De Geschiedenis van Sri Rama, (1843) terbitan Roorda van Eysinga. Pada tahun 1881 Gunning menerbitkan suatu primbon yang berasal dari abad ke-16 dengan menggunakan edisi diplomatik juga. Adapun segi-segi yang diutamakan pada umumnya adalah sejarah kesusastraannya, asal-usul serta kejadian ceritanya, motif-motif yang menarik perhatian, kemungkinan saduran atau terjemahan dari sastra lain. Dalam Brata-Yuda edisi Cohen Stuart misalnya, di samping perbandingan naskah dan aparat kritik, banyak tempat diberikan kepada uraian tentang sejarah keluarga Pandawa sebagai pengantar untuk pemahaman ceritanya.
Sementara itu Friedrich dan Cohen Stuart, seperti juga Van der Tuuk, Holde, dan Humme, bergerak pula di bidang epigrafi dengan mengusahakan transliterasi, terjemahan, dan anotasi sejumlah prasasti. Tidak boleh juga kita lupakan bahwa Brandes menaruh perhatian pada kedua bidang yang saling melengkapi ini. Kiranya tak perlu dikemukakan bahwa epigrafi memberi sumbangan yang besar kepada leksikologi yang sebaliknya menunjang lagi pemahaman teks-teks.
Daftar awal ini belum lengkap tanpa mencatat karya Juynboll di bidang sastra, yaitu Mahabrata (1893). Karya itu berupa edisi yang mencakup sebagaian besar parwa yang bisa digarap. Di bidang telaah banding sastra ia mengemukakan persamaan dan perbedaan antara cerita-cerita Rama di Asia Tenggara.
Di bidang bahasa Minang sudah ada juga perhatian yang diberikan kepada sastranya. Van der Toorn, penyusun kamus yang terkenal itu sempat menggarap Tjindoer Mato (1886), sedangkan J.V. van Eerde memberi ulasan tentang jenis sastra kaba dalam karangannya Minangkabausche poezie (1897). Karya di bidang ini ternyata langka, baru pada tahun 1914 Ph.S. van Ronkel mempublikasikan Het Verhaal van den Ondankbare suatu cerita yang dicatat dari lisan dan disertai suatu terjemahan. Cerita ini lebih kita kenal dengan nama Sabai nan Aluih. Di antara kedua peristiwa itu C.A. van Ophuysen membuat suatu studi perbandingan mengenai suatu fabel dalam bahasa-bahasa Mandailing, Batak Karo, Minagkabau, Lampung, dan Nias. Karangannya berjudul Het Verhaal van de Vis en het Eenkhoorntje en Zijne Verspreiding op Sumatra (1912).
Studi Sunda mula-mula terhambat oleh perkiraan bahwa bahasa Sunda tidak lebih daripada sejenis mountain-javanese seperti yang dikutip oleh Uhlenbeck. Akan tetapi, kemudian dirasakan juga keperluan akan pengetahuan mengenai bahasa ini, hal itu dimungkinkan dengan terbitnya sebuah kamus yang disusun oleh J. Rigg (1862). Sementara itu, studi prasasti Sunda telah dimulai oleh Friedrich (1853) dengan usaha interpretasi prasasti Batu Tulis. Sesudahnya Holle (1869-1882), Pleyte (1911), dan juga Djayadiningrat (1913) mempelajari inskripsi yang sama. Penelitian tentang sastra Sunda diwakili oleh edisi cerita-cerita Raden Mundinglajadikoesoema, Wawatjan Soelandjana, dan Njai Soemoer bandoeng yang diusahakan oleh C.M. Pleyte, walau dalam edisi yang tidak kritikal (1907). Suatu karya yang penting terutama juga dalam hubungannya dengan penelitian sejarah ialah disertasi Hoesein Djajadiningrat yaitu Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten yang memberi wawasan baru mengenai jenis sastra ini.
Peminat-peminat bahasa Melayu sudah ada sejak abad ke-17, bahkan kita sudah mengenal daftar kata-kata yang berasal dari abad ke-16. Dalam abad ke-19 di antara orang-orang Inggris, Marsden, Raffles, dan Crawfurd banyak memberi dorongan kepada perkembangan studi ini. Awal tahun 1821 John Leyden menerbitkan suatu terjemahan Sejarah Melayu ke dalam bahasa Inggris. Marsden dalam tata bahasanya (1812), memberi contoh-contoh kutipan naskah-naskah Melayu, di antaranya Hikayat Sri Rama. Salah satu edisi Hikajat Pelandok Djinaka dikerjakan oleh Klinkert (1893) setelah pada tahun 1885 menerbitkan cerita kancil berdasarkan teks lain. Brandes membicarakan kompleks cerita Pancatantra dalam sejumlah karangan (1893-1894).
Di atas sudah kami kemukakan Hikayat Sri Rama edisi Roorda van Eysinga yang dikemudian hari banyak digunakan sebagai bahan untuk telaah banding, di antaranya adalah Stutterheim dan Zieseniss. Salah satu edisi berdasarkan versi lain dilakukan oleh Shellabear (1915). Pada tahun 1898 ia juga menerbitkan beberapa surat yang berasal dari kira-kira tahun 1600 dan pada tahun 1900 membicarakan ejaan Melayu dan perkembangannya. Deskripsi cirri-ciri naskah Melayu tertua diberikan oleh Van Ronkel (1896-1908) dan amat bermanfaat untuk penelitian bidang ini.
Sementara itu di Semenanjung Malaka dan di Inggris banyak sekali naskah Melayu diterbitkan secara non-kritikal dengan tujuan memenuhi kebutuhan akan bahan pelajaran seperti dikatakan oleh Shellabear dalam prakatanya pada edisi Sejarah Melayu dalam huruf Jawi (1896). Kami mengacu pada daftar buku yang tercantum dalam buku Winstedt, yang merupakan buku sumber bagi kami juga.
Akhirnya sastra Madura juga terwakili dalam zaman ini oleh suatu edisi diplomatik Tjarita Brakaj yang diusahakan oleh Vreede (1878), yang puluhan tahun kemudian diterjemahkan oleh Teeuw.
Sebagai kesimpulan tentang zaman awal ini dapat dikatakan bahwa dasar-dasar terpenting telah diletakkan dalam periode ini. Katalog koleksi-koleksi yang utama telah disusun, demikian pula kamus-kamus yang terpenting. Sementara itu edisi-edisi naskah telah pula memungkinkan lahirnya telaah sejarah kesusastraan dan berbagai segi bahasa. Kalau edisi-edisi yang beraksara asli hanya bisa dimanfaatkan oleh para ahli, maka terjemahan yang hampir selalu menyertainya telah membuka teks-teks ini untuk khalayak yang agak luas juga. Melalui kajian banding seperti yang dilakukan oleh Yuynboll Ph.S van Ronkel dengan tesisnya De Roman van Amir Hamza (1895), dan van der Tuuk dengan perbandingannya antara sastra wayang Melayu dan Jawa (1875, 1879-1881), terbayang betapa luasnya hubungan sastra-sastra Nusantara dengan sastra lain di luar kawasan Indonesia, dan terlukis juga jalur-jalur perjalanan motif dan tema cerita sebelum menemukan bentuknya yang kita kenal sekarang.