Dalam
Islamic Studies atau Dirasat Islamiyah, ilmu kalam
(`ilm al-kalâm) termasuk kajian yang pokok dan
sentral. Ilmu ini termasuk rumpun ilmu ushuluddin
(dasar-dasar atau sumber-sumber pokok agama). Begitu
sentralnya kedudukan ilmu kalam dalam Dirasat Islamiyah
sehingga ia menawari, mengarahkan sampai batas-batas
tertentu "mendominasi" arah, corak, muatan
materi dan metodologi kajian-kajian keislaman yang
lain, seperti fikih, (al-ahwal al-syakhsyiyah, perbandingan
mazdhab, jinayah-siyasah), ushul fiqh, filsafah (Islam),
ulum al-tafsir, ulum al-hadist, teori dan praktik
dakwah dan pendidikan Islam, bahkan sampai merembet
pada persoalan-persoalan yang terkait dengan pemikiran
ekonomi dan politik Islam. Lima fakultas di lingkungan
IAIN1 (Adab, Dakwah, Syari'ah, Tarbiyah
dan Ushuluddin) seluruhnya mengajarkan ilmu kalam
dalam Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU). Sedemikian kokohnya
kedudukan ilmu kalam dalam studi-studi keislaman sehingga
nyaris terlupakan sisi historisitas bangunan pola
pikir, logika, metodologi dan sisitematika keilmuam
kalam itu sendiri, yang pada gilirannya terlupakan
pula agenda pengembangannya. Bagaimana sejarah perkembangan
"teori-teori" ilmu kalam, model/tipe logika
apa yang biasa digunakan oleh para penggunanya, faktor
apa saja yang mendorong menguatnya pengaruh pendekatan
kalam dalam keberagamaan Islam? Mengapa kemudian muncul
ke permukaan pendekatan tasawuf menjadi counter terhadap
model dan corak pendekatan kalam? Kritik terhadap
model pendekatan kalam oleh ulama klasik begitu gencar,
tetapi mengapa ia tetap bertahan kokoh seperti sediakala,
bahkan belakangan terkesan "diproteksi"
oleh berbagai kepentingan sosial-politik yang selalu
mengelilinginya?
Pada
era globalisasi agama dan budaya, umat Islam di seantero
dunia secara alamiah harus bersentuhan dan bergaul
dengan budaya dan agama orang lain. Sering kali dijumpai
bahwa umat Islam, baik sebagai individu dan lebih-lebih
sebagai kelompok, mengalami kesulitan keagamaan -untuk
tidak mengatakan tidak siap-ketika harus berhadapan
dengan arus dan gelombang budaya baru ini. Bangunan
keilmuan kalam klasik rupanya tidak cukup kokoh menyediakan
seperangkat teori dan metodologi yang banyak menjelaskan
bagaiamana seorang agamawan yang baik harus berhadapan,
bergaul, bersentuhan, berhubungan dengan penganut
agama-agama yang lain dalam alam praksis sosial, budaya,
ekonomi, dan politik.
Adanya
jarak yang terlalu lebar antara "teori"
dan "praksis" dalam kajian kalam, antara
"idealitas" dan "relitas", antara
"teks" dan "konteks", mendorong
munculnya pertanyaan yang bersifat akademis: bagaimana
hal demikian dapat dijelaskan? Mengapa materi ilmu
kalam, lebih-lebih aspek metodologinya, tidak dapat
dikembangkan sedemikian rupa --tidak seperti halnya
yang terjadi pada disiplin-disiplin ilmu yang lain-sehingga
diharapkan dapat memberi bekal yang cukup bagi konsumennya
untuk mengarungi samudra kehidupan era baru era industri
dan post industri? Mengapa seringkali timbul dalam
diri umat Islam bahwa mereka adalah selalu minoritas,
padahal dalam statistik mereka adalah mayoritas? Mengapa
umat Islam mengalami disartikulasi politik meskipun
mereka mayoritas? Adakah andil yang diduga dapat disumbangkan
oleh ilmu kalam dalam konfliks etnik, ras, suku, dan
agama?
Menurut
pengamatan dalam penelitian Fazlur Rahman, salah satu
penyebab tidak berkembangnya disiplin keilmuan kalam
khususnya atau studi-studi keislaman pada umumnya,
lebih dari segi materi maupun metodologi, adalah dipisahkannya
dan dihindarinya pendekatan dan pemahaman filosofis
dalam batang tubuh kerangka keilmuan kalam. Menurutnya,
disiplin ilmu filsafat dan pendekatan filosofis pada
umumnya sangat membantu untuk menerobos kemacetan,
bahkan jalan buntu yang dihadapi oleh ilmu-ilmu apapun.
Lebih lanjut dikatakan bahwa: "philosophy is,
however, a perennial intellectual need and has to
be allowed to flourish both for its own sake of other
disciplines, since it inculcates a much-needed analytical-critical
spirit and generates mew ideas that become important
intellectual tools for other sciences not least for
religion and theology. Therefore a people that deprives
itself of philosophy necessarily exposes itself to
starvation in terms of fresh ideas - in fact it commits
intellectual suicide". Terjemahan ke dalam bahasa
Indonesia kurang lebih sebagai berikut: "Bagaiamanapun
juga filsafat adalah merupakan alat intelektual yang
terus menerus diperlukan. Untuk itu, ia harus boleh
berkembang secara alamiah, baik untuk pengembangan
filsafat itu sendiri maupun untuk pengembangan disiplin-disiplin
keilmuan yang lain. Hal demikian dapat dipahami, karena
filsafat menanamkan kebiasaan dan melatih akal-pikiran
untuk bersifat kritis-analitis dan mampu melahirkan
ide-ide segar yang sangat dibutuhkan, sehingga dengan
demikian ia menjadi alat intelektual yang sangat penting
untuk ilmu-ilmu yang lain, tidak terkecuali agama
dan teologi (kalam). Oleh karenanya, orang yang menjauhi
filsafat dapat dipastikan akan mengalami kekurangan
energi dan kelesuan darah -dalam arti kekurangan ide-ide
segar-dan lebih dari itu, ia telah melakukan bunuh
diri intelektual."2
Kelesuan
berpikir dan berijtihad dalam bidang ilmu kalam bukannya
hanya datang belakangan ini. Menurut penelitian Muhammad
Abid al-Jabiri, hampir selama 400 tahun lebih, yakni
dari tahun 150 sampai dengan 550 Hijriyyah, seluruh
khazanah intelektual Muslim yang tertulis dalam bahasa
Arab (kitab kuning), khususnya yang berbasis pada
pemikiran kalam selalu menyerang dan memojokkan filsafat,
baik sebagai pendekatan, metodologi maupun disiplin.3
Akibatnya dapat diduga, pendekatan dan pemahaman filosofis
terhadap realitas keberagamaan pada umumnya, dan realitas
keberagamaan Islam khusunya kurang begitu dikenal
dan begitu berkembang dalam alam pikiran Muslim era
kontemporer.
Pertanyaan
Epistemologis
Dengan
mencamkan dan mempertimbangkan temuan Fazlur Rahman
dan Muhammad Abid al-Jabiri, beberapa pertanyaan pendahuluan
perlu dikemukakan terlebih dahulu sebelum penulis
mengeksplorasi lebih lanjut tema tulisan ini. Apakah
mungkin mengawinkan atau setidaknya mendialogkan disiplin
dan metodologi "filsafat" dan "kalam"
dalam pemikiran Islam kontemporer, yang selama berabad-diupayakan
namun selalu gagal? Jika memang begitu kenyataannya,
apakah disiplin ilmu kalam, sebagai body of knowledge,
yang disusun oleh ulama dan kaum cerdik cendekia terdahulu,
dapat begitu saja terlepas dari pengaruh dan campur
tangan dimensi ruang dan waktu ketika ia dirumuskan
baik dahulu, sekarang maupun yang akan datang? Apakah
akidah Islamiyah, khususnya yang dirumuskan dan diteorisasikan
oleh ulama kalam klasik, tengah dan modern tidak boleh
diubah sistematika, metodologi dan konteknya sesuai
dengan pergumulan dan perubahan zaman serta perkembangan
metodologi keilmuan yang mengitarinya? Bolehkah rumusan
dan adagium-adagium ilmu kalam disusun ulang sesuai
dengan tuntutan dan tantangan sosial-keagamaan serta
perkembangan ilmu pengetahuan yang mengitarinya? Dapatkah
dominasi pendekatan tekstual dan kontektual bergulir
ke arah kontektual dan praksis sosial yang aktual
dalam kehidupan kongkrit sehari-hari? Puncak pertanyaannya,
barangkali, adalah sebagai berikut: bolehkah apa yang
biasa dan selama ini disebut-sebut sebagai "doktrin",
"dogma" atau "akidah" digagas
sebagai teori" keilmuan kalam, karena adanya
unsur campur tangan dan intervensi manusia Muslim
(nabi, sahabat, ulama, fuqaha, mutakallimun, usuliyyun,
cerdik cendekia) dalam merumuskan dan mensistematisasikannya?
Pertanyaan-pertanyaan
mendasar yang lebih bersifat metodologis-epistemologis
tersebut perlu dijawab terlebih dahulu, sebelum penulis
melangkah lebih lanjut. Perlu ditegaskan bahwa pertanyaan-pertanyaan
yang lebih bersifat filosofis-epistemologis, dan bukannya
pertanyaan-pertanyaan yang bersifat doktrinal-apologis.
Jangan berharap diskursus ini dapat dilanjutkan dan
berhasil guna, jika saja semua jawaban terhadap semua
pertanyaan tersebut di atas bersifat "negatif".
Jika kita mengunci rapat (menutup pintu ijtihad) dan
memustahilkan perlunya telaah ulang terhadap rumusan-rumusan
argumen ilmu kalam klasik, maka sama halnya kita mensakralkan
suatu produk rumusan pemikiran yang sesungguhnya tidak
perlu disakralkan. Dengan demikian telah terjadi proses
pembakuan dan sekaligus pembekuan keilmuan. Pengembangan
metodologi keilmuan tidak mungkin dan terjadilah dengan
sendirinya penyempitan horizon cara pandang terhadap
realitas keberagaman manusia. Sebuah proses yang mungkin
saja terjadi dalam disiplin ilmu-ilmu keagamaan, lebih-lebih
ilmu kalam, lantaran lengketnya "kepentingan"
politik di dalamnya, namun secara epistemologis amat
dipertanyakan validitas dan keabsahannya.
Perkawinan
ilmu kalam (teologi) dan falsafah --lebih-lebih dengan
mempertimbangkan masukan yang diberikan oleh metodologi
keilmuan yang dikembangkan para ilmuwan dan cerdik-cendekia
abad 18 hingga sekarang, yakni setelah ditemukan dan
dikembangkannya ilmu homaniora, ilmu alam, dan ilmu
agama (religious studies) --dirasakan amat mustahil
jika para peneliti dan pengkaji ilmu keislaman belum-belum
sudah beranggapan bahwa akidah Islamiyah yang mengejawantah
dan terbungkus dalam konsepsi keilmuan kalam klasik
--yang kemudian pada gilirannya membentuk dan mewarnai
corak bangunan materi dan metodologi keilmuan keislaman
yang lain-terlepas sama sekali dari campur tangan
manusia dalam menyusun dan men-sistematis-kannya.4
Padahal sejarah dan sosiologi ilmu pengetahuan menggarisbawahi
adanya campur tangan "kepentingan" manusia
dalam setiap bangunan keilmuan.5
Tidak terkecuali ilmu kalam dan ilmu-ilmu keagamaan
yang lain.
Dimensi
historis-epistemologis dari ilmu-ilmu keislaman klasik
amat terabaikan dalam pemahaman pemikiran keislaman
kontemporer.6 Bisa dianggap sebagai
terlalu bersemangat mempertahankan rumusan-rumusan
baku keilmuan agama Islam, jika harus sampai dikatakan
bahwa seluruh hal yang terkait dengan akidah, apalagi
yang terkonsepsikan dan terumuskan dalam ilmu kalam,
yakni yang disusun dan dirancang oleh para ahli ilmu
kalam klasik, adalah wadl'iy (disusun dan diturunkan
begitu saja adanya dari langit) dengan serta-merta
melupakan dan mengabaikan dimensi historisitas bangunan
keilmuan kalam itu sendiri. Namun justru pengabaian
aspek historisitas keilmuan kalam inilah yang menjadi
ciri umum sekaligus kekuatan dan unggulan diskursus
pemikiran keislaman yang secara luas dianut dengan
kokoh oleh para konsumen dan pengguna jasa ilmu-ilmu
keislaman, baik di pesantren, Institut Agama Islam
Negeri (IAIN), Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN),
Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (PTAIS), dan pemikiran
keagamaan Islam pada Perguruan Tinggi Umum (PTU),
majlis-majlis ta'lim maupun tokoh-tokoh masyarakat
lainnya.
Untuk
mencari kemungkinan-kemungkinan baru, dalam tulisan
ini akan ditelah tiga aspek yang terkait dengan akidah,
khususnya yang telah tersistematisasikan dan terformulasikan
melalui ilmu kalam: (1) Struktur fundamental pola
pikir atau logika akidah; (2) teks atau nash-nash
keagamaan yang terbatas, dan (3) masa depan pendekatan
pengkajian ilmu kalam: kerjasama antarmetodologi keilmuan.
Struktur
Fundamental Pola Pikir Akidah
Mula
pertama perlu dikemukakan asumsi dasar penulis yang
terbuka untuk dipertanyakan ulang. Kaum agamawan pada
umumnya berpendapat bahwa "rumusan" belief,
îmân, credo, kepercayaan, atau akidah
(`aqîdah) harus dipercayai begitu saja adanya
oleh para pemeluknya. Penulis sepakat dengan anggapan
dasar yang demikian karena memang itulah fundamental
structure dari apa yang disebut sebagai "agama".
Yang menjadi perhatian utama tulisan ini adalah kata
"rumusan" tentang `aqîdah, belief,
îmân, kepercayaan, atau credo. Jika semuanya
ini tidak dapat dilepaskan sama sekali dari "rumusan"
bahasa manusia, maka di sinilah letak bahan perbincangan
keilmuan yang menarik, karena rumusan, definisi, ta`rîf,
dalîl dan istidlâl serta batasan-batasan
yang lain mengandaikan adanya pola pikir dan logika
yang menyertainya. Umumnya, pola pikir atau logika
yang digunakan oleh sistem berpikir akidah, doktrin
atau dogma adalah pola pikir deduktif (deductive).
Pola pikir yang sangat tergantung pada teks atau nash-nash
kitab suci adalah pola pikir yang bersifat deduktif.
Abid al-Jabiri menyebut pola pikir seperti itu sebagai
pola pikir "bayaniyyun" dan bukan `irfaniyyun,
dan juga bukan burhaniyyun.7 Perlu
dicatat bahwa pola pikir deduktif hanyalah salah satu
dari sekian banyak pola pikir yang ada. Selain itu
masih ada pola pikir lain seperti yang menggunakan
cara pendekatan induktif (inductive) atau abduktif
abductive).
Pola
logika pemikiran kalam yang bersifat deduktif adalah
mirip-mirip pola berpikir deduktif Plato.8
Plato pernah berpendapat bahwa segala sesuatu yang
dapat diketahui manusia berasal dari "idea",
yaitu ide-ide yang tertanam dan melekat pada diri
manusia secara kodrati sejak awal mulanya. Ide "kebaikan"
atau "keadilan" misalnya, menurut Plato,
tidaklah diketahui melalui pengalaman historis-empiris-induktif,
tetapi diperoleh dari ide bawaan yang dibawa manusia
sejak "sebelum" lahir. Manusia tinggal mengingat
kembali (recollection) tentang ide-ide bawaan yang
telah melekat begitu rupa dalam keberadaannya.9
Plato
tidak menyetujui pendapat bahwa ilmu pengetahuan dapat
diperoleh manusia melalui pengetahuan dan pemeriksaan
secara cermat dan seksama terhadap realitas alam dan
realitas sosial sekitar melalui pengamatan dan pengalaman
inderawi. Lantaran sifatnya yang berubah-ubah, maka
realitas semacam itu dianggap ilusi dan tidak meyakinkan.
Pemikiran keislaman pada umumnya, dan pemikiran kalam
khususnya, juga bersifat deduktif. Hanya saja fungsi
ide-ide bawaan dalam pola pikir Plato tersebut diganti
-untuk tidak menyatakan diislamkan-oleh ayat-ayat
al-Qur'an dan teks-teks al-Hadist. Bahkan seringkali
melebar sampai ke Ijma' dan Qias. Perhatikan perlunya
"dalil" dan "istidlal" sebagai
landasan pola pikir dan pola bertindak dalam hidup
keseharian umat Islam. Pola pikir ini dengan mudah
menggiring seseorang dan kelompok ke arah model berpikir
yang bersifat justifikatif (justificative) terhadap
teks-teks yang sudah tersedia.
Sebagai
pola, pemikiran deduktif disanggah dan dikritik oleh
pola pemikiran induktif. Menurut pola pemikiran ini,
ilmu pengetahuan bersumber dari realitas empiris-historis.
Realitas empiris-historis yang berubah-ubah, yang
dapat ditangkap oleh indera dan dirasakan oleh pengalaman
ini kemudian diabtraksikan (abstraction) menjadi konsep-konsep,
rumus-rumus, ide-ide, gagasan-gagasan, dalil-dalil
yang disusun sendiri oleh akal pikiran. Oleh karena
itu harus dibedakan antara istilah "recollection"
dan "abstraction".
Ilmu
pengetahuan manusia adalah hasil kerjasama antara
pengalaman historis-empiris (panca indera dan alat-alat
pembantunya) dan kekuatan abstraksi (akal pikiran
dalam merumuskan dan membahasakannya). Maka bagi pola
pikir induktif, tidak ada sesuatu apapun yang disebut
ilusif. Semua yang dikenal oleh manusia dalam alam
historis-empiris dapat dijadikan bahan dasar ilmu
pengetahuan10 .
Dalam
analisis sejarah perkembangan ilmu pengetahuan (history
of science), pola pemikiran deduktif dan induktif
dianggap tidak lagi cukup memadai untuk dapat menjelaskan
secara cermat tata kerja diperolehnya ilmu pengetahuan
yang sesungguhnya. Perkembangan ilmu pengetahuan abad
20 memunculkan kategori baru dalam pola pikir keilmuan,
yaitu pola pikir abduktif. Pola pikir ini lebih menekankan
the logic of discovery dan bukannya the logic of justification.
Logika abduktif lebih menekankan pada unsur hipotesis,
interpretasi, proses pengujian di lapangan terhadap
rumus-rumus, konsep-konsep, dalil-dalil, gagasan-gagasan
yang dihasilkan dari kombinasi pola pikir deduktif
dan induktif.11 Pengujian secara
kritis terhadap apa saja yang dapat disebut sebagai
bangunan keilmuan, termasuk di dalamnya rumusan manusia
tentang keilmuan agama atau rumusan akidah, dapat
dikaji kembali validitas dan kebenarannya melalui
pengalaman-pengalaman yang terus-menerus berkembang
dalam kehidupan aktual.
Dari
tiga corak pola logika berpikir tersebut, pemikiran
kalam ternyata lebih dekat pola pikir deduktif. Hanya
saja, ada perbedaan tajam antara keduanya. Jika pola
pikir logika deduktif model Plato dapat dikritik dan
dipertanyakan ulang oleh pola pikir manusia yang datang
belakangan, tanpa rasa takut dan segan, maka pola
pikir logika deduktif keagamaan --yang dalam hal ini
adalah pemikiran kalam-- nyaris tidak boleh dipertanyakan
ulang, dikritik, ditinjau dan ditelaah ulang. Hal
demikian semata-mata karena bahan dasar deduksi yang
digunakan oleh akidah dan kalam adalah ayat-ayat al-Qur'an
dan hadist-hadist Nabi. Dengan demikian, produk pemikiran
kalam dan pola pikir akidah pada umumnya telah dikunci
rapat, tertutup, ghayru qabilin li al-taghyir.12
Jika
memang demikian gambaran pola kerjanya, maka dari
sudut kajian linguistik kontemporer dapat dijelaskan
bahwa pemikiran kalam dan pola pikir akidah pada umumnya
lebih menganut aliran monistik, dan bukan menganut
aliran dualistik maupun pluralistik. Seperti diketahui,
dalam hubungan antara makna dan lafal atau bentuk
teks, terdapat tiga aliran, yakni:
1.
Aliran monisme berpendapat bahwa antara isi (makna)
dengan lafal atau bentuk teks merupakan satu kesatuan
yang tak terpisahkan. Dengan kata lain, tidak ada
kemungkinan perbedaan pendapat dalam memahami teks
karena antara teks dengan maknanya adalah sesuatu
yang manunggal, satu kesatuan.
2.
Aliran dualisme mengatakan bahwa antara isi (makna)
dengan lafal atau bentuk teks dapat dipisahkan. Dengan
kata lain bahwa masing-masing mempunyai eksistensi,
meskipun ada hubungan tetapi hubungan tersebut tidaklah
begitu kompleks.
3.
Aliran pluralisme yang mengatakan bahwa hubungan antara
isi (makna) dengan lafal atau bentuk teks amatlah
kompleks. Sebuah teks menurut aliran ini merupakan
konstruksi metafungsional yang terdiri dari makna
ideasional, interpersonal dan tektual yang kompleks.
Dengan kata lain, bukan hanya masing-masing makna
dan bentuk teks mempunyai eksistensi tersendiri, tapi
hubungan antara keduanya bersifat amat kompleks13
.
Pengalaman
mengajar di IAIN baik dalam program strata satu maupun
strata dua dan tiga menunjukkan bahwa sangat sulit
menjelaskan pada pengguna jasa keilmuan pemikiran
Islam dan pemikiran kalam bahwa pola pikir yang digunakan
al-Qur'an sesungguhnya adalah induktif dan sekali
waktu bahkan abduktif. Istilah "asbab al-nuzul"
yang sering disebut-sebut oleh ulama tafsir dan "asbab
al-wurud" yang disebut-sebut oleh ulama Hadist,
tidak lain dan tidak bukan adalah pola pikir induktif
dan bukan deduktif.
Menurut
pengamat penulis, ada kekhawatiran yang sungguh mendalam
dalam diri umat Islam, jika asbab al-nuzul sampai
dimaknai melalui pola pikir yang bersifat induktif,
yaitu pola pikir yang didasarkan pada peristiwa-peristiwa
sejarah sosial-kemasyarakatan dan sejarah sosial-keagamaan
yang terjadi saat "diturunkannya" ayat-ayat
tersebut. Cara memahami ayat-ayat al-Qur'an melalui
pendekatan induktif-historis dianggap terlalu mendesakralisasikan
makna dan peran ketuhanan. Dalam arti bahwa Tuhan
tidak perlu dan kurang begitu pantas untuk terlalu
turut campur tangan dalam urusan-urusan kecil sejarah
kemanusiaan di dunia. Bukankah telah terjadi doktrin
ilmu kalam bahwa Tuhan itu harus terbebas dari peristiwa
keseharian alam semesta dan umat manusia agar terjaga
kesucian-Nya. Bahasa teknis yang biasanya digunakan
oleh ilmu kalam adalah "tanzîh".
Dengan
lain ungkapan, corak dan pola pemikiran induktif-historis
yang tercermin dalam istilah asbab al-nuzul pada akhirnya
menipis dan menghilang dari wawasan dan kesadaran
individu maupun kolektif umat Islam dan diganti dengan
pola pemikiran deduktif yang ternyata lebih bersifat
tekstualistik-skriptualistik. Jika memang demikian
kenyataannya, maka pendekatan linguistik perlu juga
diikutsertakan dalam pengkajian ilmu kalam kontemporer.
Pendekatan linguistik atau kebahasaan dapat mempertanyakan
sejauhmana fungsi majâz, yakni ungkapan yang
bersifat metaforis, dalam diskursus ulum al-Qur'an
dapat diangkat ke permukaan untuk membantu memecahkan
kesulitan yang dihadapi oleh pendekatan tekstualistik-skriptualistik
yang cenderung mengambil pola pemaknaan monistik dalam
pemikiran keagamaan Islam.
Dalam
perkembangan ilmu linguistik, diskursus tantang majâz
dalam studi ilmu-ilmu al-Qur'an perlu dicermati kembali.
Para peneliti pemikiran keislaman kontemporer seperti
Muhammad Arkoun mengatakan bahwa pemikiran keislaman
sampai sekarang belum memiliki teori yang komprehensif
mengenai majâz.
"The
role of metaphor and metonimy in religious language
has not yet been fully considered up to now &ldots;
Orthodox exegesis has been limited by the traditional
definition of metaphor as a simple rhetorical divice
used to embelish style"14
Tampaknya
keprihatinan Arkoun muncul karena pemahaman terhadap
ungkapan majâzî dalam kajian studi Islam
(balaghah) masih sangat sederhana, yakni lebih ditekankan
pada masalah estetiknya saja, yakni sebagai pemoles
bahasa supaya kedengaran indah. Tidaklah aneh jika
banyak dijumpai ungkapan seperti "apabila tidak
ada majâz dalam al-Qur'an, maka akan hilanglah
sebagian keindahan dan kemu'jizatannya" dan para
ahli balaghah sepakat bahwa ungkapan majâz itu
lebih baligh (lebih indah) dari pada ungkapan haqîqî.
Kajian majâz yang berkembang dalam bidang balaghah
umumnya masih terbatas pada persoalan makna yang berskala
mikro menyangkut arti kata perkata atau arti penyandaran,
apakah dalam arti yang sebenarnya atau bukan sebenarnya.
Jika bukan dalam arti sebenarnya (arti majâz),
maka bagaimana hubungan arti baru ini dengan arti
asalnya. Apakah ia merupakan perserupaan (musyâbahah),
yang lantas disebut isti'ârah; ataukah bukan
merupakan perserupaan (ghayr musyâbahah), yang
kemudian disebut majâz mursal? Adapun persoalan
makna berskala mikro yang memandang majâz sebagai
sarana untuk menyampaikan sesuatu yang bersifat konseptual
dengan cara yang lebih mudah dipahami oleh berbagai
kalangan, belum banyak --untuk tidak menyatakan belum
ada-dibahas dalam kajian balaghah. Sudah barang tentu,
temuan-temuan keilmuan linguistik yang baru seperti
ini besar pengaruhnya dalam pengkajian ilmu kalam
kontemporer, agar ia dapat dikembangkan seiring dengan
derap perkembangan ilmu-ilmu yang lain.
Salah
satu konsekuensi dari pola dan tata pikir deduktif-tekstualistik-skriptualistik
adalah kurang tajamnya seseorang atau kelompok dalam
melihat dan mencermati fenomena alam, budaya dan sosial
kemasyarakatan yang selalu berubah dan berkembang
sedemikian dahsyatnya.15 Akibat selanjutnya,
kesadaran akan adanya dimensi historisitas sebuah
konsep, ide dan gagasan (history of ideas) --apalagi
jika gagasan, ide, dogma atau akidah-sulit dipahami
oleh pemikiran umumnya dan pemikiran Islam pada khususnya.
Orang
lupa bahwa konsep "dosa besar" dalam pemikiran
kalam sesungguhnya bermula dari peristiwa historis-politik,
yaitu konflik antara Amr ibn 'Ash, Ali bin Ali Talib
dan Mu'awiyah. Lebih-lebih masalah "al-jabr"
dan "al-ikhtiyâr". Masalah ini adalah
masalah politik murni. Penguasa, dalam hal ini Mu'awiyah,
sangat berkepentingan dengan konsep ini untuk meredam
suara rakyat yang mempertanyakan kebijakan-kebijakan
politiknya.16 Orang juga lupa bahwa
al-Qur'an dalam bentuknya yang mushhâfî
seperti yang ada sekarang ini adalah jasa khalifah
Usman ibn Affan yang berhasil menyatukan cara membaca
al-Qur'an yang saat itu ada beberapa macam bacaan
dan naskah yang tersebar di berbagai wilayah. Perbedaan
antara Sunnî dan Syi'î, yang semarak hingga
sekarang, sebetulnya tidak lain dan tidak bukan adalah
perbedaan penafsiran terhadap berbagai kekuasaan politik,
antara ahl al-bayt dan bukan ahl al-bayt. Kita juga
sering lupa jika pemikiran hukum fikih hanyalah hasil
ijtihad para ulama fikih klasik, baik Hanafi, Syafi'i,
Maliki mupun Hambali dan yang lain-lain. Begitu pula
dalam hadist (konsep hadits mutawâtir, ahad,
shahîh, dha'îf, hasan, mursal, dan seterusnya),
tafsif (model tahlîlî, maudhû'î,
muqâran, ijmâlî, bi al-ma'tsûr,
bi al-ra'y, dan seterusnya), tasawuf (salâfî,
'amalî) dan begitu juga seterusnya. Semua ilmu-ilmu
keislaman tersebut mengaku merujuk kepada teks al-Qur'an
sebagai dasar pola pijakannya.
Menipisnya--untuk
tidak mengatakan menghilangnya-kesadaran historisitas
pemikiran keislaman menyulitkan para pemikir Muslim
kapanpun dan dimanapun mereka berada untuk berijtihad
secara mandiri. Syarat-syarat ijtihad terlalu rumit
untuk diikuti, sehingga orang lebih suka diam dan
tidak bersuara daripada menyampaikan pendapat yang
dipandang keluar dari patokan-patokan berpikir "baku"
yang telah dirumuskan dan ditentukan oleh generasi
keilmuan keislaman terdahulu yang usianya sudah hampir
seribu tahun.17
Menghilangnya
nuansa historisitas (salah satu problem historisitas
adalah perbedaan letak geografis, iklim, musim, juga
budaya dan tradisi antara satu wilayah dan lainnya)
menyebabkan orang-orang Muslim imigran di Eropa harus
berpuasa dengan tempo lebih lama dari waktu umumnya
yang dijadikan patokan orang berpuasa di wilayah Timur
Tengah dan daerah ekuator atau katulistiwa pada umumnya.
Mereka tidak berani berijtihad sendiri untuk memecahkan
persoalan ini. Akibatnya, dalam menjalani ibadah puasa
anak-anak lebih mengalami kesulitan dibandingkan orang
tua. Warga Muslim minoritas keturunan Turki, Maroko,
Pakistan dan negara berpenduduk mayoritas Muslim yang
lain di Timur Tengah yang tinggal di Eropa --meskipun
mereka telah bekerja, berkeluarga dan sudah turun-temurun
sampai pada generasi ketiga-masih saja merasa hidup
dalam wilayah dâr al-harb. Oleh karena bersikap
demikian, anak keturunan mereka yang sudah berbudaya
dan berpendidikan Eropa juga mengalami kesulitan jika
hendak berkeluarga. Mereka harus kawin atau memilih
gadis pasangannya dari daerah pedalaman Turki, Maroko,
Pakistan yang oleh orang tuanya diyakini masih dalam
wilayah dâr al-Islâm yang murni. Perkawinan
model ini umumnya tidak berusia panjang karena perbedaan
budaya dan tradisi serta tingkat dan model pendidikan
yang diperoleh kedua mempelai.18 Sempitnya
wilayah ijtihad--lantaran generasi Muslim sekarang
masih harus terpaku pada cara, metodologi, bahkan
hasil berpikir dan berijtihad pada era klasik-skolastik-menumbuhkan
sebuah generasi Muslim imigran yang mengalami split
personality (keterpecahan kepribadian).
Tidak
harus sampai ke Eropa, di wilayah Tanah Air pun sering
terjadi perasaan kikuk karena harus bertetangga dengan
orang yang kebetulan menganut agama lain. Sebagaimana
umat Islam merasa tidak berbuat kebajikan dan beramal
soleh, ketika mereka menolong tetangga yang kebetulan
tidak seagama.19 Jika demikian fakta
empiris yang biasa dijumpai dalam kehidupan aktual
bertetangga sehari-hari, dapat dibayangkan betapa
kerasnya reaksi sebagian umat Islam jika ada kelompok
umat Islam tertentu yang mengajak "kerjasama"
dan bergabung dengan kelompok penganut agama lain
dalam satu kekuatan pollitik. Demikian gambaran singkat
betapa sekat-sekat teologis, sekat-sekat akidah, sekat-sekat
kalam yang dikonsepsikan dan dirumuskan era klasik-skolastik
terus menerus dipelihara oleh umat beragama dewasa
ini. Umat beragama pada umumnya kurang senang dan
tidak begitu nyaman melihat fenomena sosial keagamaan
yang bersifat plural, padahal fenomena plural tersebut
terus menerus berkembang dalam dunia praksis sosial
keagamaan.
Contoh
yang tak seberapa di atas, lagi-lagi hanya menandaskan
bahwa pola berpikir deduktif-tekstual-skripturalis
yang biasa mewarnai pola pikir kalam mengalami kesulitan
yang luar biasa ketika harus menatap realitas kehidupan
aktual dan keharusan untuk melakukan ijtihad baru
untuk menyelesaikan persoalan-persoalan baru yang
muncul karena perkembangan dan perubahan zaman. Dalam
200 tahun terakhir, perkembangan dan keberhasilan
ilmu dan teknologi telah mengubah seluruh tatanan
kehidupan era klasik, era skolastik, juga tidak terkecuali
era salaf, era sahabat, dan era tabi'in. Perubahan
itu terjadi dalam cara berpikir, mentalitas dan perilaku
budaya yang menyertai penemuan ilmu dan teknologi
tersebut. Keberhasilan dalam pemenuan teknologi baru
dalam bidang kedokteran, bioteknologi, teknologi ruang
angkasa--yang memicu timbulnya revolusi informasi
dalam gelombang ketiga, (setelah revolusi hijau and
revolusi industri), seperti teknologi bayi tabung,
kloning, rekayasa genetika, satelit komunikasi dan
begitu seterusnya--sulit diterangkan melalui model
pola hubungan antara Tuhan, alam dan manusia era klasik-skolastik-prascientific.
Model
konsepsi ketuhanan dan doktrin-doktrin keagamaan era
klasik-skolastik membutuhkan uluran keberanian dari
para pemikir keagamaan untuk merumuskan ulang konsepsi-konsepsi
yang telah ada. Realitas keberhasilan bioteknologi
dan rekayasa genetika menggambarkan betapa kerjasama
antara manusia, alam dan Tuhan semakin nyata. Konsepsi
ketuhanan dalam agama-agama yang memposisikan Tuhan
terlalu jauh dari jangkauan umat manusia (tanzîh),
sehingga hanya cocok untuk dikaji sebagai obyek peribadatan
semata, akan sulit menerangkan bagaimana percobaan-percobaan
rekayasa genetika dan bioteknologi yang dilakukan
oleh umat manusia dapat berhasil sedemikian rupa,
jika apa yang diupayakan oleh manusia tidak didukung
oleh campur tangan Tuhan di dalamnya. Keberhasilan
rekayasa bioleknologi hanya dapat diapahami, jika
Tuhan ikut bekerjasama membantu manusia menciptakan
makhluk baru dari hasil jerih payah kecerdasan manusia
dalam meneliti dan memahami perilaku dan keajegan-keajegan
alam.
Dari
uraian sekilas di atas dapat dipahami, ternyata teks-teks,
ayat-ayat, dalil-dalil kitab suci (al-Qur'an, Bibel,
Taurat, Weda, dan begitu seterusnya) memang "terbatas".
Oleh karena itu, batas pemahamannya pun jangan sampai
terlalu menekankan pada yang tertulis atau tersurat.
Perlu pemahaman sisi makna terdalam, maghza, semangat,
spirit, dari ayat-ayat atau nash-nash kitab suci tersebut.
Perlu sedikit pergeseran dari titik tekan yang dulunya
hanya aspek "dalalah" kepada "maghza".20
Agar teks-teks, nash-nash dan dalil-dalil tersebut
mempunyai umur panjang, baik dari segi waktu maupun
tempat (salihun li kulli zaman wa makan), maka ia
harus dipahami secara komprehensif melalui pemahaman
yang mendalam dan interdisipliner. Makna kebahasaan
secara konvensional saja tidak lagi cukup dapat menjangkau
sisi terdalam dari makna ayat-ayat tersebut. Perkembangan
situasi sosial, budaya, politik, ilmu pengetahuan,
revolusi informasi, turut memberi andil bagaimana
memaknai kembali teks-teks keagaman.
Menghindari
Eksklusivisme Disiplin Kelimuan
Ketika
manusia Muslim menatap masa depan peradabannya dengan
cara mempertautkan teks-teks, nash-nash al-Qur'an
dan al-Hadist21 yang selama ini hanya
biasa dipahami secara deduktif-normatif dengan realitas
kehidupan yang aktual yang terus-menerus berubah dan
berkembang dan hanya dapat dipahami secara induktif-historis,
dengan dibarengi sikap kritis-abduktif, maka sesungguhnya
mereka telah mengaktualkan metodologi keilmuan filsafat
dalam persoalan-persoalan kalam dan akidah Islamiyah.
Langkah-langkah demikian itulah yang sedang dilakukan
oleh generasi pemikir Muslim kontemporer seperti Fazlur
Rahman, Muhammad Arkoun, Hassan Hanafi, Nasr Hamid
Abu Zaid, Farid Esack, Abdullahi Ahmed an-Na'im, Muhammad
Syahrur, Muhammad Abid al-Jabiri dan lain-lain.22
Untuk
menutup tulisan ini penulis akan menyorot serba sekilas
bagaimana metodologi filsafat dapat membantu memperbaiki
citra dan wibawa keilmuan kalam dan kajian-kajian
keislaman lainnya dalam menghadapi persoalan-persoalan
masa depan kemanusiaan yang mencakup dua masalah:
pertama, yang berkaitan dengan upaya mentransformasikan
norma-norma agama dalam bingkai keilmuan sebagai kekuatan
budaya (cultural force) dan bukannya sekadar sebagai
kekuatan moral atau spiritual (moral, spiritual force)
seperti yang biasa terdengar dalam bahasa dakwah,
dan kedua adalah soal pluralitas agama-agama dalam
hubungannya dengan Dialog Antar Umat Beragama.
Pertama,
norma agama sebagai kekuatan budaya. Tidak ada orang
meragukan betapa kuat dan kokohnya kepercayaan umat
Islam terhadap keberadaan dan keagungan Allah SWT.
Namun kekuatan keimanan ini belum dihadapkan pada
prsoalan-persoalan aktual, persoalan-persoalan kongkrit,
yang dihadapi umat manusia dalam kehidupan sehari-hari
sehingga tampak kurang dimanfaatkan sebagai cultural
force. Istilah "iman dan taqwa" (Imtaq)
yang biasa disitir oleh siapa pun di Tanah Air, khususnya
para pejabat dan para juru dakwah dan penceramah keagamaan,
menunjukkan hal itu. Praktik Imtaq dalam praksis sosial
sangatlah lemah. Ia lebih merupakan slogan dalam berpidato
di atas podium namun tidak terlaksana dalam praktik.
Hal itu terbukti dengan telah membudayanya korupsi,
kolusi dan nepotisme (KKN) dalam hampir seluruh lini
kehidupan di Tanah Air. Ketika umat Islam Indonesia
dihadapkan pada isu aktual dan kongkrit seperti KKN
ternyata kebanyakan mereka justru kurang peka terhadap
isu tersebut. Jangankan memberi solusi yang aplikabel
dalam kehidupan masyarakat luas, mereka sendiri justru
baru sadar bahwa ternyata di luar pagar sistem peribadatan
murni (mahdlah) terdapat kekuatan yang lebih dasyat
yang dapat memporak-porandakan sendi-sendi moral-keagamaan
perorangan, keluarga, masyarakat maupun bangsa. Sekarang
mereka baru sadar bahwa penyakit KKN tidak dapat diobati
melalui himbauan dan ajakan retorika keagamaan di
atas podium. Ternyata KKN mempunyai logika dan mekanisme
kerja tersendiri, yang terlepas dan luput dari pengamatan
dan telaah sistem peribadatan pribadi umat Islam (al-ahwal
al-syakhsiyyah) yang biasa mereka kaji dan tekuni
dalam forum-forum kajian keislaman di Perguruan Tinggi,
pesantren dan majlis-majlis taklim dan forum pengajian-pengajian
lain.
Dalam
telaah teoritik ilmu-ilmu sosial, KKN termasuk dalam
wilayah public morality (kesalehan publik), bukan
semata-mata dalam wilayah individual morality (kesalehan
pribadi). Wilayah individual-morality barangkali memang
cukup dibekali dan diselesaikan melalui pendekatan
al-ahwal al-syakhsiyah, sedangkan persoalan public
morality mempersyaratkan dikuasainya seperangkat keilmuan
critical social sciences yang diharapkan dapat menciptakan
sistem kontrol sosial yang handal. Kepedulian terhadap
isu-isu aktual, isu-isu publik, kepentingan-kepentingan
umum agaknya kurang begitu diperhatikan oleh dogma-dogma
agama dan ilmu kalam pada umumnya di IAIN, STAIN dan
PTAIS.
Tidak
bisa tidak, jika ilmu kalam dan akidah Islam hendak
diperankan dalam memecahkan problem kehidupan sosial
kekinian, problem kehidupan sosial yang aktual dan
kongkrit, ia harus bersedia menjalin kerjasama dengan
pendekatan critical social sciences dan humaniora
pada umumnya. Jika tidak, maka ilmu kalam, akidah
atau dogma hanya akan bermakna secara esoteris-metafisis
tetapi kurang begitu peduli, apalagi sampai terlihat
dalam pergumulan isu-isu sosial-eksoterik yang sedang
digelisahkan oleh umat manusia sekarang ini.
Kedua,
tentang Pluralitas Agama dan Dialog Antar Umat Beragama.
Dua konsep ini merupakan persoalan baru yang dihadapi
oleh umat Islam khususnya dan umat beragama pada umumnya.
Dalam al-Qur'an memang ada prinsip "lakum dinukum
wa lii al-dien" (bagimu adalah agamamu dan bagiku
adalah agamaku), namun konsep tersebut, menurut hemat
penulis, lebih terkait dengan konsep Kebebasan Beragama
dan bukan Dialog Antar Umat Beragama. Konsep Dialog
Antar Umat Beragama muncul ke permukaan sebagai pengganti
atau counter terhadap hak kebebasan beragama yang
telah dideklarasikan oleh PBB. Tidak semua teolog,
kyai, pastur, pendeta, bhikhu, cerdik-cendekia di
Perguruan Tinggi maupun orang awam menyetujui konsep
baru ini. Sama seperti ketika mereka merespon Hak
Kebebasan Beragama 50 tahun yang lalu (1948). Lebih-lebih
karena cara berpikir, sikap mental dan agenda yang
muncul dari kedua konsep tersebut memang sangatlah
berbeda. Jika konsep Kebebasan Beragama, dalam praktik
di lapangan, sedikit lebih banyak mencerminkan sifat
kecemburuan dan agresivitas dalam memandang dan berhubungan
dengan penganut agama lain, maka konsep Dialog Antar
Umat Beragama lebih mencerminkan sikap, cara berpikir
dan bertindak yang lebih santun, toleran, menahan
diri, dan arif terhadap realitas kemajemukan umat
beragama. Kebebasan Beragama lebih mencerminkan worldview
atau pandangan hidup pelaku dan mentalitas having
a religion, sedangkan Dialog Antar Umat Beragama lebih
mencerminkan sikap, perilaku dan mentalitas being
religious.
Dialog
Antar Umat Beragama beranggapan dan bahkan berkeyakinan
bahwa "keselamatan" --apapun bentuk, model
dan coraknya-sudah ada dalam setiap agama-agama besar
dan kecil. Ibaratnya, sebagai orang luar yang tidak
seagama hanya ingin memahami bagaimana sesungguhnya
model keselamatan yang dipahami, ditawarkan, diyakini
dan dipraktikkan oleh pengikut agama-agama lain. Tidak
ada sedikitpun keinginan atau niatan untuk secara
agresif menyerang, mengolok-olok, mencemooh, memandang
rendah apalagi sampai merebut atau memindah pemeluk
agama yang satu ke yang lain. Kalaupun terdapat apa
yang disebut-sebut sebagai conversi (pindah agama),
hal itu semata-mata karena didorong oleh kesadaran
paling dalam dari seseorang dan bukan karena tekanan,
ajakan atau bujukan dari pihak luar. Religious truth
claim (monopoli kebenaran Agama) tidak terlalu diperlukan
di sini. Yang lebih diperlukan adalah proses reduksi
yang dilakukan oleh masing-masing kelompok agama bagi
para pengikutnya masing-masing untuk meningkatkan
kualitas kemanusiaan dan integritas sesorang.
Dialog
Antar Umat Beragama lebih menitikberatkan pada keinginan
dan kebutuhan untuk saling memahami dan saling tukar
menukar pengalaman keagamaan yang telah dimiliki oleh
masing-masing tradisi pengikut agama-agama.23
Tidak terbersit sedaikitpun usaha-usaha untuk secara
sepihak "menyalahkan", "meng-kafirkan",
"mengolok-olok", "menganggap tidak
selamat" sistem kepercayaan dan keimanan yang
dimiliki oleh orang dan kelompok lain. Jika dalam
konsep "Kebebasan Beragama" masih dimungkinkan
munculnya keinginan untuk "menyalahkan",
"tidak menyukai" dan "menganggap tidak
selamat" penganut agama lain sehingga harus diselamatkan
ulang atau diagamakan kembali, maka dalam konsep Dialog
Antar Umat Beragama justru sebaliknya. Janji dan harapan
adanya keselamatan diangggap sudah ada dalam masing-masing
agama. Hanya saja cara, model, sistem ajaran, syari'ah
dan konsepsinya berbeda dari yang biasa dimiliki oleh
masing-masing pemeluk. Maka hujat-menghujat, salah-menyalahkan,
kafir-mengkafirkan tidak diperlukan lagi dalam era
Dialog Antar Umat Beragama. Kita menerima keberadaan
orang lain sepertia apa adanya, tanpa keinginan untuk
merubah keyakinan agamanya supaya sama dengan keyakinan
yang kita miliki. Yang diperlukan hanyalah proses
saling mengenal dan saling memahami eksistensi dan
hak masing-masing agama.
Jika
fundamental structure dan implikasi yang ditimbulkan
dari masing-masing konsep demikian adanya, maka Kebebasan
Beragama yang mengandaikan perlunya dikembangkan teologi
"kerukunan" antar umat beragama, harus dikembangkan
selangkah lebih lanjut menjadi Dialog Antar Umat Beragama
yang mempersyaratkan perlunya kerjasama antarumat
beragama. Dengan ungkapan lain, kerukunan antarumat
beragama sudah built-in dalam konsep "kerjasama",
sebaliknya dalam konsep "kerukunan" belum
tentu demikian adanya.
Dalam
menghadapi nestapa manusia era modern dan modern tingkat
lanjut seperti saat sekarang ini, agama diharapkan
dapat menyumbangkan sesuatu yang menyejukkan, menentramkan,
bukan malah menjadi sumber keruwetan dan menambah
tambahan beban ekstra berat yang perlu dipecahkan
oleh umat-umat beragama. Tampaknya, harapan demikian
akan tinggal menjadi harapan, jika umat manusia dan
umat beragama tidak bersedia memahami ulang secara
lebih subtansial dan berani mengubah konsepsi mereka
tentang "apakah hakekat atau esensi agama tersebut"?
Menurut hemat penulis, yang menjadi akar persoalan
bukanlah "agama", "dîn"
atau "religion" itu sendiri--yang notabene
acapkali dianggap absolut atau mutlak oleh para pengikutnya--tetapi
lebih pada cara berpikir, mentalitas dan perilaku
budaya masing-masing pengikut agama-agama. Pola pemikiran
keagamaan, mentalitas dan perilaku budaya yang bersifat
"absolut", "tertutup", "eksklusif"dan
"rigid" perlu digeser ke arah corak pemikiran
keagamaan yang lebih bersifat "terbuka",
luwes", "inklusif" dan "arif".
Namun, fakta historis-sosiologisnya justru menunjukkan
adanya pemisahan yang bersifat diametral antara dua
macam sikap dan cara berpikir keagamaan, yang secara
terus-menerus ingin dipelihara dan dilestarikan para
penganut agama-agama era sekarang, serta mewarisi
pola pikir dan mentalitas keagamaan era skolastik.
Sekali
waktu, umat beragama perlu juga memahami bahwa fenomena
agama, selain melibatkan "wahyu," ia juga
lengket dengan fenomena kultural, tradisi, bahasa,
adat-istiadat, habit of mind dan seterusnya. Untuk
itu pada level aktual-historis-empiris, adalah realistik
dan bertanggung jawab rasanya untuk lebih memperbincangkan,
memahami dan menyadari adanya warna-warna keagamaan
yang hitam, putih, kuning, biru, hijau, merah dan
begitu seterusnya daripada terjebak pada logical fallacy
"buta warna-warna" keagamaan. Konsep klasik
tentang Kebebasan Beragama, yang dibarengi cara berpikir
yang absolut, rigid dan tertutup, lebih mengutamakan
agenda dan prioritas yang berusaha agar seluruh warna-warna
keagamaan tersebut di atas dihapus dan diganti oleh
satu warna yang paling unggul (superoritas keagamaan
atau religious truth claim). Sementara itu, konsep
Dialog Antar Umat Beragama lebih mencerminkan mentalitas,
cara berpikir, bertindak dari perilaku keagamaan yang
lebih santun dan rendah hati. Ia dengan tulus, sepenuh
dan rendah hati mengakui eksistensi warna-warna keagamaan
tersebut, tetapi sekaligus memustahilkan keberhasilan
usaha yang dilakukan oleh siapapun untuk menyatuwarnakan
seluruh warna-warna keagamaan yang ada. Untuk itu,
dihadapkan pada pilihan tersebut, kerjasama antarberbagai
umat beragama dalam praksis kehidupan, dengan tetap
mengakui otonomi dan eksistensi metafisis warna keagamaan
masing-masing, lebih menjanjikan dan memberi harapan
baru.
Dari
situ konsep Kebebasan Beragama --yang lebih berpadanan
dengan konsep al-Qur'an dalam surat al-Kafirun-yang
dideklarasikan 50 tahun yang lalu oleh anggota PBB
terasa kehilangan relevansinya dan perlu dipertanyakan
ulang nilai manfaatnya oleh banyak kalangan. Setelah
mencermati watak dasar dan implikasi dari kedua konsep
tersebut, maka upaya untuk menggantikan dengan konsep
Dialog Antar Umat Beragama --yang lebih perpadanan
dengan konsep al-Qur'an dalam surat al-Hujarat-rasanya
memang lebih plausible dan viable untuk masa-masa
yang akan datang.
Dengan
demikian pengajaran dan kajian kalam kontemporer tidak
lagi cukup hanya mempelajari pola-pola keimanan yang
dianut dan dimiliki oleh kalangan sendiri. Dalam era
globalisasi agama dan budaya seperti saat ini, perlu
juga dikenalkan bagaiaman pola-pola keimanan yang
dimiliki oleh orang lain, di luar yang biasa diyakini.
Kajian perbandingan dalam pengajaran kalam dalam Dunia
Islam (Mu'tazilah, Asy'ariyah, Maturidiyah di satu
pihak, atau Sunnî versus Syi'î di lain
pihak), sudah saatnya dan semestinya dikaitkan juga
dengan pola-pola dan aliran-aliran teologi yang dimiliki
oleh kelompok-kelompok di luar Islam (Katolik, Protestan,
Yahudi, Budha, Hindu, Kong Hu Cu). Dengan demikian,
dalam pengkajian kalam kontemporer lebih diperlukan
untuk mengedepankan pentingnya metodologi, fundamental
theories, basic, current, living atau actual issues
serta comparative perspective (perspektif perbandingan)
dalam persoalan-persoalan keagamaan dalam hidup sehari-hari
daripada hanya sekadar menyentuh aspek sejarah dan
perkembangan ilmu kalam dalam dirinya sendiri, apalagi
kalau hanya terbatas pada pembahasan dan pengulangan
konsep-konsep yang abstrak yang tidak menyentuh persoalan
hidup keseharian manusia baik sebagai individu maupun
kelompok.
Penutup
Jika
yang dimaksud "filsafat" seperti yang diungkapkan
Fazlur Rahman dalam awal tulisan ini adalah "isme-isme"
atau aliran-arilan filsafat yang biasanya dikenal
sekarang ini, maka aktualisasi filsafat dalam pengajaran
dan pengkajian kalam sangatlan tidak mungkin. Ideologi-idelogi
besar dunia justru menjadi lawan dari ideologi Islam.
Hubungan antarkeduanya adalah ibarat minyak dan air.
Dalam tulisan ini, apa yang disebut-sebut sebagai
"filsafat" adalah "metodologi berpikir".
Berpikir kritis-analisis dan sistematis. Ia lebih
memcerminkan "proses" berpikir, dan bukan
sekadar "produk" berpikir.
Dalam
"proses" berpikir itulah metodologi filsafat
dapat diaktualisasikan dalam pemikiran kalam. Tanpa
dibarengi sentuhan filsafat, agama dan kekuatan spiritual
yang lain dalam era globalisasi budaya akan semakin
sulit memerankan jati dirinya. Kerjasama antarberbagai
metodologi keilmuan --dan bukannya eksklusivisme disiplin
keilmuan-adalah merupakan conditio sine qua non bagi
pengembangan keilmuan kalam dalam menatap realitas
sosial keagamaan di masa depan.