Banyak hal yang menarik untuk diketahui dan dikaji pemikiran-pemikiran Thaha Husein dalam berbagai bidang, seperti pemikirannya di bidang kebudayaan, pendidikan, politik dan sastra Jahili, kisah-kisah dalam al-Qur’an dan juga pemikirannya di bidang titik temu agama-agama.
Hampir seluruh pemikirannya mendapatkan tantangan dari para ulama al-Azhar yang berada di garis konservatif, dan mereka tidak segan-segan mengatakan bahwa Thaha Husein adalah seorang tokoh yang sekuler karena gagasan-gagasannya sangat kontroversial dan sangat sekularistik.
Di antara pemikir yang melancarkan kritik terhadap gagasan-gagasan Thaha Husein dalam berbagai bidang tersebut adalah Muhammad al-Khudar Husein, Musthafa Shidiq ar-Rafi’i, Muhammad Farid Wajdy, Rasyid Rida, Anwar Jundy dan Maryam Jamelah. Kritik tersebut setidaknya dapat dibaca dalam buku Anwar Jundy, T{a>ha> H{usayn, H{aya>tuhu> wa fikruhu> fi> Mi>za>n al-Isla>m dan Maryam Jamelah, Islam and Modernism atau pada as-Sira’ bayna al-Fikrah al-Islami>yah wa al-Fikrah al-Gharbi>yah Fi> al-Aqta>r al-Islami>yah Karya Abu> al-H{asan ‘Ali> al-H{usni an-Nadawi>.
Setelah Thaha Husein meninggal (1973) banyak tokoh bersimpati terhadap gagasan-gagasannya, karena Thaha Husein tenyata telah berbuat sesuatu yang terbaik untuk kemajuan negeri Mesir. Terhadap gagasan-gagasan Thaha Husein tersebut, Harun Nasution mengatakan “untuk masa puluhan tahun yag lalu ide-ide Thaha Husein itu terlalu baru dan payah dapat diterima. Untuk masa kini (1975) ide-ide itu tidak terlalu baru lagi dan sudah dapat diterima dalam kalangan umat Islam”.
Tulisan ini akan mengetengahkan kontroversial pemikiran Thaha Husein dan langkah-langkah konkrit, selama menjadi birokrat (menteri), dalam menggagas pemikirannya, khususnya dalam bidang pendidikan.Sekilas Tentang Thaha Husein.
Thaha Husein lahir pada tanggal 14 Nopember 1889 di sebuah kota kecil bernama Maghargha dari keluarga petani. Pendidikannya diawali di Kuttab, sebuah lembaga pendidikan dasar tradisional. Kemudian melanjutkan studinya di al-Azhar (1902). Setelah ia belajar kira-kira sepuluh tahun lamanya ia meninggalkan al-Azhar karena tidak menyukai dan tidak disukai. Thaha Husein tidak menyukai karena kecewa dengan sistem pengajaran al-Azhar yang dogmatis dan sempit serta materi pelajarannya yang amat tradisional dan menjemukan, disamping itu sikap kebanyakan para gurunya yang tidak simpatik. Dua orang yang disukainya adalah Muhammad Abduh (1849-1905) dan Sayyid al-Marshafy. Dari Muhammad Abduh ia belajar tentang studi keagamaan, dan dari al-Marshafy ia belajar sastra dan studi literatur bersama Zayyat dan Muhammad Hasan Zanati.
Thaha Husein dan para mahasiswa lainnya Hasan Zayyat dan Hasan Zanati sering mengkritik dan menolak Syuyuh al-Azhar, sebagai balasannya mereka diskors dari perguruan al-Azhar. Hasan Zayyat dan Hasan Zanati kemudian terjun ke dunia kewartawanan sedang Thaha Husein masuk ke Universitas Cairo.
Pada tahun 1908 Thaha Husein mendaftarkan diri sebagai mahasiswa Unviersitas Cairo. Di sinilah ia berkenalan dengan metode Barat Modern, setelah berkenalan dengan tokoh-tokoh (Orientalis) semisal Profesor Carlo Nallino (1872-1934), orientalis bangsa Italia, pengajar Sejarah Sastra dan Puisi Zaman Bani Umayyah, Profesor Santillana, pengajar sejarah Filsafat Islami dan khusus sejarah penterjemahan, Profesor Miloni pengajar Mesir purba dan Profesor Littman pengajar tentang bahasa-bahasa Smit serta perbandingannya dengan bahasa Arab.
Pada tanggal 5 Mei 1914 Thaha Husein mempertahankan disertasinya yang berjudul “Dhikra> Abi> al-‘Ala>’ al-Ma‘ari>” di hadapan guru besar universitas Cairo dan behasil dengan judisium jayyid jiddan (baik sekali). Pada tahun yang sama (1914) Thaha Husein di kirim ke Perancis, tepatnya di Universitas Sarbonne sebagai anggota misi pendidikan Universitas Cairo. Tiga tahun kemudian (1917) ia meraih gelar doktor (untuk yang kedua kalinya) melalui disertasinya yang berjudul “Etude Analatique Et Critique De La Philosophie Sosiale Ibnu Khaldun” dan memperoleh Judisium Cumlaude.
Di Universitas Sarbonne, Thaha Husein bertemu dengan sederetan sarjana ternama semisal Profesor Emile Durkheim (1858-1917) dalam disiplin ilmu sosiologi. Profesor Gustaf Block dalam disiplin ilmu sejarah (ahli sejarah Romawi), Profesor Casanova dalam ilmu tafsir dan Profesor Pierre Jenet dalam Ilmu Psikologi. Perkenalan dengan sederetan sarjana yang berbeda disiplin ilmu itulah yang kelak akan sangat mewarnai intelektualitas Thaha Husein (terutama dalam penelitian) hingga menghasilkan gagasan-gagasan yang sangat kontroversi pada zamannya.
Merasa mendapatkan kemajuan intelektualitas diri di Paris itu, Thaha Husein lantas berucap: Paris is the capital of the modern world even as Athens was the capital of the ancient world, with difference that in knowledge, in philosophy, in freedom and in civilization, Paris has all the immense superiority over Athen. Sekembalinya dari Perancis (1921), Thaha Husein diangkat menjadi guru besar untuk sejarah Romawi dan Yunani Kuno pada Universitas Cairo. Pada tahun 1928 Thaha Husein diangkat menjadi Dekan Fakultas Sastra. Tahun 1930 ia diangkat menjadi Dekan pada Fakultas yang sama. Tahun 1942 Thaha Husein berperan sebagai Penasehat Kementerian partai Wafd, kemudian diangkat menjadi Rektor pada Universitas Alexanderia yang baru didirikan dan pada bulan Januari 1950-1952 Thaha Husein diangkat menjadi Menteri Pendidikan. Ketika menjabat itulah Thaha Husein dapat mewujudkan keinginannya dalam memajukan pendidikan di Mesir (seperti yang akan dikemukakan nanti)
Beberapa karya Thaha Husein yang populer adalah yang berjudul Fi> al-Syi‘ri al-Ja>hili>, ditulis pada tahun 1926 saat ia dipercaya menjadi dosen sejarah sastra Arab pada Fakultas Sastra al-Ayyam, dan Fi> al-Ab al-Ja>hili> (1927) dan Mustaqbal al-Saqafah fi> Mis}r (1938). Pada tahun 1973, Thaha Husein mendapatkan nobel dalam bidang sastra, meskipun ia sudah meninggal lebih dahulu pada tanggal 28 Oktober 1973 dalam usia sekitar 84 tahun.
Kondisi Obyektif Tingkat Pendidikan di Mesir
Melihat kondisi obyektif tingkat pendidikan umat Islam dan terutama Mesir di masa hidupnya Thaha Husein penting sekali. Tanpa mengetahui kondisi obyektif tersebut sulit kiranya memahami gagasan-gagasan yang ditawarkan oleh Thaha Husein yang cukup kontroversial, dan besar kemungkinannya akan menilai negatif terhadap ide pembaharuannya.
Ketika Thaha Husein menekuni studinya, kesadaran akan perlunya ilmu pengetahuan dan teknologi telah berusia (kurang lebih) 100 tahun. Ini bila diukur dengan kontaknya orang Mesir dan terutama para ulamanya dengan kebudayaan modern yang dibawa oleh Napoleon. Kedatangan Napoleon (yang bukan hanya datang dengan tentara, tetapi juga dengan unsur-unsur peradaban modern Barat yang tidak dikenal oleh dunia Timur) dapat menimbulkan kesadaran dalam diri para ulama Mesir, bahwa umat Islam sudah jauh ketinggalan dari bangsa Eropa.
Kesadaran tersebut terucap oleh Abd. Rahman al-Jabarti seorang Ulama al-Azhar dan penulis sejarah setelah berkunjung ke lembaga ilmiah dan laboratorium Perancis, ia mengatakan bahwa di sana dilihatnya benda-benda dan percobaan-percobaan ganjil yang sulit ditangkap oleh akal.
Sebagai tindak lanjut dari kesadaran (kesadaran akan kemunduran) tersebut, tumbuhlah hasrat umat Islam untuk bangkit kembali sebagai halnya di masa silam. Muhammad Ali (1765-1849) mengambil langkah kongkrit dalam gerakan pembaharuan tersebut.
Diantara langkahnya adalah mengirimkan putra-putra Mesir untuk belajar terutama ke Paris. Salah seorang yang dikirim adalah Syeikh at-Tahtawi (1801-1873) dan sekaligus bertindak sebagai Imam bagi para mahasiswa Mesir di Ibukota Perancis itu. Di kota Cairo ia mendirikan Sekolah Militer (1815), Sekolah teknik (1816), Sekolah Kedokteran (1827), Sekolah Apoteker (1829), Sekolah Pertambangan (1834), Sekolah Pertanian (1936) dan Sekolah Penerjemahan (1836).
Pada tahun 1840 (22 Nopember 1940) setelah Inggris memaksa Muhammad Ali menerima sebuah persetujuan (yang sangat merugikannya), kedudukan Muhammad Ali di Mesir diatur kembali. Dia tidak lagi sebagai seorang penguasa yang berdaulat penuh, dalam menjalankan pemerintahan dia didampingi oleh perwira-perwira sekutu. Disamping masih banyak hal-hal yang harus dipenuhi oleh Muhammad Ali. Dalam pemerintahan yang seperti itu, maka perhatiannya terhadap pembaharuan menjadi lemah.
Para pengganti Muhammad Ali, Abbas I (1848-1854), Sa’ad Pasya (1854-1863) tidak menunjukkan minat yang tinggi pada pembaharuan Mesir. Penguasa berikutnya Isma’il (1863-1879) meskipun menaruh minat pada pembaharuan, namun kehidupannya yang mewah dan boros, justru mengakibatkan kerugian yang lebih besar dan menjadi beban bagi penggantinya. Apalagi setelah tahun 1882 perhatian Inggris yang menduduki Mesir lebih memandang Mesir sebagai sumber bahan mentah bagi pabrik-pabriknya dan sebagai pemasaran hasil-hasil industrinya daripada memperhatikan pendidikannya.
Mukti Ali berkesimpulan bahwa setelah terjadinya demonstrasi besar-besaran di bawah pimpinan Kolonel Ahmad ‘Urabi (9 September 1881) dan untuk selanjutnya dapat dipukul oleh tentara Inggris (1882), keadaan Mesir makin terpuruk. Inggris mengambil alih kekuasaan atas keuangan dan komando tertinggi tentara Mesir, ditambah lagi adanya tentara Inggris yang menetap di negeri itu. Perwakilan Inggris di Mesir kemudian menjadi penguasa yang sebenarnya. Kondisi seperti itu berlangsung cukup lama (sekitar setengah abad) dan mulai bangkit kembali setelah para sarjana terutama yang telah mendapatkan pendidikan dari Barat kembali ke negeri Mesir.
Di saat Thaha Husein menekuni studinya (pada penghujung abad 19 dan awal abad 20) kemajuan Mesir terutama di bidang pendidikan belum menunjukkan ke arah kondisi seperti yang diharapkan. Ini dapat dibuktikan melalui data (tingkatan) penduduk yang buta huruf di Mesir waktu itu. Tingkat buta huruf mencapai 99% bagi populasi penduduk wanita 92% bagi penduduk laki-laki.
Perlu diketahui bahwa pintu perguruan al-Azhar baru terbuka untuk wanita pada tahun 1956, ini berarti 48 tahun setelah Qasim Amin (1865-1908), pendekar emansipasi wanita di Mesir telah tiada. Seruan emansipasi wanita ini juga nampak diperjuangkan oleh Najib Kailani dalam novelnya an-Nida>’ al-Kha>lid lewat tokoh Sobirin dan baru pada masa Thaha Husein, wanita telah diperbolehkan kuliah di al-Azhar, demikian juga di Universitas-universitas lainnya.
Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa perjuang-an emansipasi wanita terlihat adanya kesinambungan organik dan tidak pernah terputus dari para pemikir; dimulai dari at-Tahtawi (1801-1873), Muhammad ‘Abduh (1849-1905), Qasim Amin (1865-1908), Najib al-Kailani melalui an-Nida>’ al-Kha>lid (1931) hingga Thaha Husein (1889-1973) dan pada masa Thaha Husein inilah wanita Mesir mendapatkan kesempatan yang banyak untuk menempa diri serta berkiprah dalam rangka mengisi kemerdekaan Mesir.
Syahrin Harahap dalam disertasi Doktoralnya yang berjudul “Gagasan-gagasan Sekulerisme Thaha Husein” menyimpulkan bahwa paling tidak ada tiga faktor yang menyebabkan lemahnya perkembangan dunia pendidikan di Mesir. Pertama, kurang atau lemahnya perhatian dan daya pemerintah yang berkuasa. Kedua, kurikulum pendidikan yang bercorak tradisional dan hanya mengikuti kebijakan penguasa. Ketiga, ruang gerak akademis terlalu sempit dan kaku.
Melihat kondisi pendidikan di Mesir yang cukup memprihatinkan inilah, Thaha Husein (1869-1973) berkesimpulan bahwa pendidikan harus ditempatkan pada peringkat pertama (posisi kunci) dalam membangun masyarakat Mesir modern.Untuk itu Thaha Husein berbekal intelektualitasnya yang memadai dan pengalamannya selama studi di Prancis memberanikan diri untuk mengemukakan gagasan-gagasannya dibidang pendidikan, kendati ide-ide tersebut telah disadari tidak berjalan mulus seperti yang diharap.
Thaha Husein dan Gagasannya dalam Pendidikan
Gagasan Thaha Husein dalam pendidikan pada pokoknya mengacu pada dua sasaran, yaitu peningkatan sarana dan peningkatan intelektual. Dalam mewujudkan cita-cita tersebut Thaha Husein sangat menaruh harapan pada Perguruan Tinggi (Universitas) terutama Universitas Cairo. Dengan harapan melahirkan para ilmuwan yang bebas dan merdeka. Gagasan dan harapan Thaha Husein ini tentu sangat beralasan mengingat bangsa Eropa telah mampu memperlihatkan kemajuan dengan sistem pendidikan yang mengutamakan kebebasan berpikir dan kebebasan meneliti dengan metode analisis modern.
Menurut Thaha Husein, putra-putra Mesir harus memiliki kemerdekaan intelektual dan negara Mesir tidak akan sia-sia ketika memutuskan untuk menjadikan sebagian generasi mudanya untuk menjadi ilmuwan yang bebas sebagaimana ditempuh oleh bangsa-bangsa lain (Eropa). Untuk mendapatkan kemerdekaan intelektual itu tidak ada jalan lain kecuali mengerti bagaimana cara memperoleh kemerdekaan tersebut, umat Islam harus memandang bagaimana bangsa-bangsa yang telah maju memperoleh dan mencapai kemerdekaan tersebut, langkah yang terakhir adalah bagaimana ilmu pengetahuan yang merdeka tersebut di transfer ke negeri-negeri Islam.
Berangkat dari situlah Thaha Husein mencanangkan agar sistem pendidikan di negeri Mesir di tingkat menengah hingga perguruan tingginya diberlakukan sistem dan metode Barat termasuk juga sistem dan metode penelitiannya. Gagasan-gagasan Thaha Husein dalam pendidikan ini paling tidak dapat diketahui melalui karyanya yang berjudul Mustaqbal al-Thaqafah fi> Mis}r atau The Future of Culture in Egypt (Masa Depan Kebudayaan di Mesir).
Beberapa pernytaan Thaha Husein (yang pada akhirnya melahirkan banyak protes) adalah pendapatnya yang menyatakan bahwa otak Mesir adalah otak Eropa atau paling tidak dekat sekali dengan Eropa, dan mempunyai pertalian erat dengan otak Yunani fikiran Mesir tidak mempunyai kaitan yang kuat dengan fikiran Timur Jauh; dan juga tidak serasi dengan fikiran Persia atau Iran. Fikiran Mesir mempunyai ikatan yang teratur, damai dan saling menguntungkan hanya dengan timur Dekat dan Yunani. Statemen yang lain adalah perkataannya bahwa tak ada satu kebodohan yang lebih besar dari kebodohan yang menganggap bahwa Mesir sebagai bagian dari Timur dan memandang pemikiran Mesir sebagai pemikiran Timur, semisal India atau Cina. Atas dasar itulah Thaha Husein mengajak orang-orang Mesir untuk memiliki peradaban Barat sebagai peradaban mereka, dan bersekutu dengan Barat dalam semua norma, cara perasaan dan perundangan.
Sebagai realisasi dari gagasan-gagasan tersebut, terlihat antara lain ketika Thaha Husein diangkat menjadi Menteri Pendidikan (1950-1952), diantara program pokoknya adalah memberantas buta huruf dan memperbanyak jumlah sekolah dan perubahan kurikulum. Khusus dalam perubahan kurikulum Thaha Husein memasukkan beberapa materi yang besar pengaruhnya dalam mengembangkan rasa kebangsaan atau nasionalisme. Materi tersebut adalah sejarah nasional, bahasa nasional (Arab) dan agama nasional (Islam). Materi-materi tersebut merupakan bidang studi wajib untuk semua tingkatan pendidikan, tak terkecuali sekolah-sekolah yang didirikan oleh orang asing.
Thaha Husein juga memperjuangkan pendidikan bagi kaum wanita. Wanita hendaklah mendapat kesempatan yang sama dengan kaum pria, hingga diharapkan kelak tidak hanya terampil mengurus rumah tangga atau mendidik putra-putrinya, melainkan juga mampu membangun bangsanya dalam batas-batas tabiat kewanitaannya. Usaha perjuangan emansipasi wanita ini berhasil dan terlihat setelah masa tugas Thaha Husein selesai (1952) pintu al-Azhar telah terbuka untuk kaum wanita (1954).
Dalam bidang perangkat keras (Hardware) pendidikan, Thaha Husein mendorong pemerintah untuk membangun lebih dari 2600 ruang belajar dan menghapuskan uang sekolah untuk tingkat menengah. Thaha Husein juga mengadakan penambahan muatan isi pendidikan di beberapa lembaga pendidikan. Kalau pada masa sebelumnya al-Azhar baru memiliki Fakultas-fakultas tradisional, seperti Ushuluddin, Syari’ah dan Bahasa Arab dan setelah itu mahasiswa-mahasiswa al-Azhar dapat menyempurnakan pelajarannya ke bagian takhas}s}us} (special Section) yang terbagi menjadi empat bagian; Tarikh dan Filsafat, Ushul Fiqh, Wa’az dan Irsyad atau propaganda Islam, pada masa Thaha Husein Al-Azhar sudah membuka fakultas-fakulas “non agama”, seperti ekonomi, kedokteran, farmasi dan pertanian.
Perubahan yang juga sangat penting adalah dalam proses belajar mengajar. Proses belajar mengajar yang tadinya didasarkan pada kemampuan mengingat (menghafal), kini diganti menjadi pengembangan kemampuan pengamatan, analisis dan penalaran (reasoning).
Proses belajar-mengajar dengan metode baru ini, menuntut para dosen berkemampuan menyegarkan informasi tentang perubahan-perubahan dalam disiplin ilmunya serta memahami masalah-masalah dunia masa kini. Usaha lainnya adalah meningkatkan jumlah para mahasiswa dan dosennya belajar di negara-negara Barat.
Demikianlah beberapa gagasan Thaha Husein dalam dunia pendidikan terutama di Mesir dan Thaha Husein telah berbuat apa yang terbaik untuk generasi selanjutnya. Gagasan-gagasan Thaha Husein tersebut memang asing pada zamannya karena mengkiblat ke Barat, namun ia tetap yakin dengan cara itu (meniru sistem pendidikan di Barat) kemajuan di berbagai bidang di dunia Islam akan segera terlihat tanpa harus meninggalkan nilai-nilai keIslaman itu sendiri.
Kesimpulan
Sebagai kesimpulan dari telaah tersebut di atas adalah:
1. Thaha Husein (1889-1973) adalah putra Mesir yang telah mendapatkan didikan dari Universitas Cairo dan juga pendidikan Barat (Perancis). Doktoralnya diperoleh di Universitas Cairo dengan disertasi berjudul “Dhikra> Abi> al-`Ala’ al-Ma‘a>ri> sedang di Sarbonne (Perancis) berjudul “Etude Analitique Et Critique De La Philosophie Sociale Ibnu Khaldun”.
2. Perhatiannya di bidang pendidikan sangat besar, karena itu ia berkeinginan mentransfer metode pendidikan Barat ke negara Islam, meskipun hal itu masih ditanggapi sebagai pemikiran aneh (kontroversial) dengan kawan semasanya.
3. Setelah Thaha Husein memangku berbagai jabatan dalam dunia akademis, terlebih sewaktu diangkat menjadi menteri, gagasan-gagasan tersebut sedikit demi sedikit direalisasikan. Diantara langkah kongkritnya adalah penambahan muatan kurikulum, penambahan jumlah fakultas di Perguruan tinggi dalam negeri, inovasi terhadap metode belajar mengajar dan lebih berorientasi pada kegiatan analisis, emansipasi wanita dalam pendidikan, penambahan ruang-ruang belajar, bebas biaya bagi siswa tingkat menengah serta meningkatkan jumlah duta-duta ilmiah ke negara Barat.
(oleh:Juwairiyah Dahlan)