Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah ilmu untuk menyelamatkan akal dari kesesatan, yaitu Ilmu mantiq. Mantiq oleh sebagian kalangan disebut sebagai bapak segala ilmu. Ini tidaklah berlebihan, mengingat mantiq merupakan formula dan alat untuk menuju metode berfikir yang benar dan jernih sehingga sampai kepada kesimpulan yang benar pula.
Imam al Akhdhari (1512-1575 M) dalam magnum opus nya Sullam Munawraq mengungkapkan urgensitas ilmu mantiq:
و بعد فالمنطق للجنان ** نسبته كالنحو للسان
“Ilmu mantiq bagi akal ibarat ilmu nahu bagi lisan.”
Mantiq sebagai ilmu pertama kali disusun secara rapi oleh Aristoteles (384-322 SM), seorang filosof Yunani. Ketika agama Islam telah tersebar di Jazirah Arab dan dipeluk secara meluas sampai ke timur dan barat, perkembangan ilmu pengetahuan pun mengalami kemajuan yang pesat. Puncaknya terjadi pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Di periode inilah terjadi penerjemahan ilmu-ilmu filsafat Yunani kedalam bahasa Arab, termasuk ilmu mantiq.
Dalam Islam, ilmu mantiq mulai di dilakukan oleh Al-Farabi, salah satu filsuf Muslim yang sering dinyatakan sebagai maha guru kedua dalam ilmu pengetahuan. Pada masa Al-Farabi ilmu mantiq dipelajari lebih rinci dan dipraktekkan, termasuk dalam pentasdiqan qadhiyah.
Selain itu, para ulama juga semakin mendalami, menerjemahkan dan mengarang karya bidang ilmu mantik. Di antaranya Abdullah Ibn Al-Muqaffa’, Yaqub Ibn Ishaq Al-Kindi, Abu Nashr Al-Farabi, Ibn Sina, Abu Hamid Al-Ghazali, Ibn Rusyd Al-Kuthubi.
Lantas, bagaimana hukum mempelajari ilmu logika/mantiq ini? Bukankah ia adalah ilmu baru dan berasal dari filosof Yunani?
Imam al Akhdhari menyebutkan hukum mempelajari mantiq dalam Kitab Sullam Munawwraq nya:
و الخلف في جواز الإشتغال ** به على ثلاثة الأقوال
فابن الصلاح و النواوي حرما ** و قال قوم ينبغي ان يعلما
و القولة المشهورة الصحيحة ** جوازه لكامل القريحة
ممارس السنة و الكتاب ** ليهتدي به الى الصواب
Menurut perkataan al Akhdhari diatas bisa kita simpulkan bahwa hukum mempelajari ilmu Mantiq ada 3 :
Pertama, haram. Ini merupakan pendapat Imam Ibnu Shalah (643 H), dan Imam An Nawawi (631-676 H).
Kedua, boleh mempelajari ilmu mantiq. Ini disandarkan pendapat sebagian ulama, di antaranya Imam Abu Hamid Al Ghazali (450-505 H). Beliau bahkan berkata, “Siapa saja yang tidak mengetahui mantiq, maka ilmunya patut diragukan.”
Ketiga, apabila si pelajar mantiq mempunyai kecerdasan yang mumpuni, pemahaman yang kuat, dan intelektual yang tinggi, serta mereka yang memahami dan mengamalkan Al-Qur’an dan sunnah, maka boleh menyibukkan diri dengan mantiq (mempelajarinya). Jika tidak demikian, maka tidak boleh.
Tapi ada hal penting yang harus diketahui, bahwa ikhtilaf (perbedaan pendapat) ulama-ulama di atas hanyalah pada mantiq yang disusupi kalam-kalam dan kesesatan filsafat, seperti yang tertuang dalam kitab Thawali’ul Anwar karya al Baidhawi (680 H).
Alasan diharamkannya mantiq yang seperti ini dikarenakan hal tersebut mengikuti dan menyerupai Yahudi dan Nasrani. Dan juga ditakutkan akan terjadi penyimpangan akidah bagi mereka yang mendalaminya, seperti kasus kaum Mu’tazilah.
Syeikh Ibrahim al Bajuri (1783-1860 M) mengkritik pendapat di atas dengan bijak. Beliau berpendapat, jika belajar mantiq haram dikarenakan mengikuti Yahudi dan Nasrani, maka dengan sendirinya ilmu kedokteran atau ilmu nahwu juga haram, karena Yahudi dan Nasrani juga mempelajarinya.
Nah, sebaliknya, jika mantiq yang dipelajari tidak tersentuh dengan syubhat-syubhat filsafat, seperti kitab Mukhtashar karya al Sanusi, Syamsiyah karya Abi al Hasan al Qazwini, Isagoji, Sullam Munawraq nya al Akhdhari dan sebagainya.
Maka tidak ada alasan untuk mengharamkan ilmu mantiq. Para ulama telah sepakat mantiq model ini boleh dipelajari. Bahkan hukumnya Fardhu Kifayah jika harus digunakan untuk melawan syubhat-syubhat yang ditujukan kepada agama Islam. Wallahu a’lam.
Sumber :
1. Al Bayan lima Yusghilul Azhan, Dr. Ali Jum’ah.
2. Idhahul Mubham Min Ma’aani Sullam, Ahmad Abdul Mun’im Damanhuri.
3. Hasyiyah al Bajuri ala Matnis Sullam, Syaikh Ibrahim al Bajuri.