Keindahan bahasa inilah yang membidani minat para intelektual muslim kontemporer untuk menggunakan interpretasi susastra atas al-Quran, sebagai cara lain untuk merekonnstuksi pesan Ilahi yang dibawanya. Ia berawal dari keinginan kuat untuk menyingkap sisi keindahan bahasa al-Quran. Dari mulai gaya bertutur yang komunikatif sampai banyaknya simbol yang sarat makna yang sebenarnya bisa mengantar ‘penafsir teks’ pada makna yang terdalam dari teks itu sendiri.
Memang, reposisi al-Quran sebagai kitab susastra dalam kajian islam kontemporer tidak sepi dari problem. Sebut saja, al-Quran sebagai wahyu yang ditropong dengan teori komunikasi; Tuhan sebagai komunikator aktif yang mengirimkan pesan, Muhammad Saw sebagai komunikator pasif, dan bahasa Arab sebagai kode komunikasi. Tidak sedikit peminat studi al-Quran menganggapnya akan menempatkan al-Quran sebagai sebuah teks biasa dan atau teks kemanusiaan seperti halnya teks-teks gubahan manusia pada umumnya.
Namun, dalam batas tertentu mempunyai titik pencerahan. Ia adalah usaha pembaharuan untuk membongkar ketergantungan yang berlebihan atas pakem intelektual yang berurat akar dalam pemikiran Islam. Secara spesifik dialamatkan pada kesan yang berlebihan dalam memuliakan teks, sehingga secara tidak sadar memunculkan skema dikotomis yang mengaburkan antara realitas dan teks. Inronisnya, dalam banyak kondisi telah menjadikan ‘penafsiran teks’ sebagai alat untuk melanggengkan kepentingan ‘penafsir teks’ itu sendiri.
Menapaki Tangga pembaharuan
Adalah Amin al-Khûlî (1895-1966), sebagai perintis penggunaan kritik sastra atas teks al-Quran. Mulanya ia mengkaji bahasa dan sastra arab, sebagai upaya mencari kebuntuan persepsi atas sakralitas al-Quran. Kedua bukunya yang berjudul Fi al-Adab al-Mishri (1943) dan Fann al-Qawl (1947) adalah karya penting dalam menapaki pendekatan susastra al-Quran itu. Al-Khûlî mengawalinya dengan mendekonstruksi wacana sastra Arab. Belakngan kita mengenal pengembangannya oleh M.A. Khalafallâh, Aisha Abdurrahman bin Shâti (w. 1998), M. Syukri Ayyad (w. 2000) dan terakhir, yang cukup dikenal di tanah air karena karya terjemahannya banyak terbit, adalah Nasr Hamid Abû Zaid.
Bagi Khûli, dekontruksi itu mempunyai dua metode. Pertama; metode kritik ekstrinsik (al-naqdu al-khâriji) yang diarahkan pada ‘kritik sumber’ seperti kajian holistik terhadap faktor-faktor eksternal munculnya sebuah karya, baik sosial-geografis, religio-kultural, maupun politis. Juga kajian terhadap sejarah karya sastra dengan berbagai atribut periodisasi, sehingga diharapkan mampu mencari hubungan dan interelasi antara karya, latar belakang kemunculan, dan semangat intelektual yang dikandungnya
Kedua: metode kritik intrinsik (al-naqd al-dâkhilî), yang diarahkan pada teks sastra dengan analisis linguistik yang hati-hati sehingga mampu menangkap makna yang ada. Ini menyerupai aliran egosentirk, yakni sebuah aliran yang meneropong karya sastra dari karya itu sendiri. Dalam konteks ini, kita menemukan al-Quran menantang umat manusia untuk membuat yang serupa, sebagai cara pandang al-Quran terhadap dirinya sendiri (QS 17 : 88).
Nah, keseriusan al-Khûlî ini berlanjut dalam studi al-Quran. Ulasannya dalam buku ‘Tafsîr ma’âlim hayâtihi manhajuh al-Yawma’ (Dâr al-Ma’rifah, 1962), telah menilik secara serius kecendrungan-kecendrungan eksternal yang melatarbelakangi para mufassir dalam melahirkan karya tafsirnya. Seperti latar belakang intelektual, sosial, politik, dan idiologi.
Sebagai jalan keluarnya ia mengenalkan tafsir susastra terhadap al-Quran (al-Tafsîr al-adabî li al-qurân). Model ini diidamkan dapat menyuguhkan pesan al-Quran secara menyeluruh dan bisa menghindarkan diri dari tarikan-tarikan individual-idiologis yang pragmatis.
Sebagai contoh, ia mengkritik tafsir saintifik yang memaksakan teks-teks keagamaan untuk senantiasa selaras dengan hal-hal yang temporer dan relatif. Tafsir saintifik itu, tidak menghadirkan perhatian memadai atas ‘konteks dan teks’ serta ‘relasi antar teks’. Dua kausa prima di atas, merupakan konsideran penting bagi seorang mufassir ketika ingin mengetahui makna yang dikehendaki teks. Jika keduanya diabaikan, seolah menempatkan al-Quran bukan sebagai teks keagamaan yang suci dan absolut.
Kecuali itu, menyebabkan suburnya sikap dan prilaku apologetik dari para mufassir saintifik karena selalu mengkampanyekan persesuaian antara teks keagamaan dengan penemuan-penemuan ilmiah yang senantiasa berkembang dan berubah. Mereka dengan leluasa menempatkan teks al-Quran dan menyelaraskan pemahamannya dengan penemuan-penemuan ilmiah dengan tujuan untuk menyerukan bahwa al-Quran, jauh-jauh sebelumnya, telah memuat informasi keilmuan yang dimaksud. Ini tekesan mengabaikan pertimbangan-pertimbangan konteks ayat serta relasinya dengan ayat-ayat yang lain. Dan pada gilirannya, mereduksi pemahaman dari teks al-Quran sebagai Weltanschauung kehidupan muslim.
Prasyarat Tafsir Susastra al-Quran
Langkah pertama melapangkan tafsir susastra al-Quran, adalah menempatkan al-Quran sebagai teks sastra arab yang paling agung (kitâb al-arabiyyah al-akbar). Implikasinya, sebelum langkah studi al-Quran diambil, al-Quran harus dianggap sebagai teks sastra suci. Karena secara historis, ia diturunkan dengan kamasan bahasa arab, sebagai ‘kode’ yang dipakai Tuhan untuk menyampaikan risalah-risalahnya. Kearaban al-Quran inilah, sedianya menjadi dasar bagi pengkaji al-Quran. Menafsirkan al-Quran didefinisikan sebagai kajian sastra yang kritis dengan metoda yang valid dan diterima.
Karena menafsirkan disejajarkan dengan studi sastra, al-Khûlî menyuguhkan dua prinsip metodologis; (1) studi sekitar al-Quran (dirâsah mâ hawl al-qurân) dan (2) studi tentang teks itu sendiri (dirâsah fî al-qurân nafsih).
‘Studi sekitar al-Quran’ diarahkan kepada investigasi latar belakang al-Quran, dimulai dari proses pewahyuan, perkembangan dan sirkulasinya dalam masyarakat arab sebagai obyek wahyu, serta kodifikasi dan fariasi cara baca: sebuah kajian yang kemudian lebih dikenal dengan ulûmul qur’ân. Kajian ini juga difokuskan pada aspek sosial-historis al-Quran, termasuk didalamnya situasi intelektual, kultural, dan giografis masyarakat Arab abad ke tujuh ketika al-Quran diturunkan.
Kajian ini menitikberatkan pada pentingnya aspek-aspek historis, kultural, dan antropologis wahyu bersamaan dengan masyarakat arab abad ke-7 sebagai objek langsung teks wahyu tersebut. Penitikberatan aspek-aspek sosial yang masuk dalam rumpun humaniora yang tadi, akan menjadikan kita dibantu secara metodologis untuk sampai kepada makna yang kehendaki teks.
Hal ini tidak berarti bahwa teks al-Quran kehilangan sakralitasnya lantaran didekati dengan keilmuan kemanusiaan. Sebaliknya, keilmuan tersebut merupakan alat bantu efektif yang bisa menghidupkan semangat teks keagamaan dalam konstalasi realitas sosial yang menjadi konsideran nilai filosofis dari wahyu tersebut.
Setelah menfokuskan pada ‘Studi sekitar al-Quran’, dilanjutkan pada studi teks al-Quran dari berbagai segi. Ia mengawali dengan tafsir kata-kata individual (mufradât), semenjak pertama diwahyukan, perkembangan, dan pemakaiannya dalam al-Quran. Kemudian dilanjutkan dengan amatan pada kata-kata majemuk (murakkab) plus analisis pengetahuan gramatik/balâghah.
Dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran, al-Khûli menggunakan metode tafsir tematik (tafsîr maudhû’i). Pendekatan susastra tidak akan banyak berarti tanpa melibatkan pendekatan tematis, karena jika diperhatikan dari kenyataan tata urutan surat dan ayat al-Quran yang sedemikian rupa, sedangkan, pada saat yang sama, informasi yang disajikan al-Quran bertebaran tidak hanya pada satu surat saja.
Kelebihan al-Khûli kalau saja dibandingkan dengan Muhammad Abduh dan atau Mahmûd Syaltut yang telah banyak memberikan kontribusi penting dalam wacana tafsir tematik, adalah tawaran-tawaran metodolginya yang lebih sistematis, di samping banyaknya karya publikasi tafsir tematik kontemporer setelah diterbitkan karyanya oleh Dâirat al-Ma’arif al-Islâmiyya. Dan yang lebih penting, al-Khûli telah meletakkan dasar-dasar tafsir susastra al-Quran yang bisa merengguh ‘makna terdalam’ dari ayat-ayat al-Quran. Wa Allâh alam bi al-Sawâb