Sapere Aude – Beranilah berpikir sendiri. Inilah semboyan pencerahan yang legendaris. Semboyan ini menekankan peniadaan autoritas dalam usaha pencarian kebenaran karena autoritas sebagai sumber prasangka dianggap merusak rasionalitas. Prasangka, autoritas, tradisi dianggap membelokkan kebenaran sehingga pengetahuan didesak untuk dibebaskan dari segala hal tersebut. Pengetahuan harus bebas nilai. Dalam pendekatan ini tendensi objektivitas sangat kuat sementara subjektivitas dipinggirkan.Hermeneutika Gadamer merupakan suatu kritik terhadap positivisme dengan menekankan pada subyek yang menafsirkan. Bila melihat pengertian etimologinya, hermeneutik berasal dari kata kerja Yunani hermeneuo yang artinya mengungkapkan pikiran seseorang dalam kata-kata, menerjemahkan atau menafsirkan. Kata kerja ini terkait dengan nama tokoh mitologi Yunani yaitu Hermes yang bertugas menafsirkan kehendak dewata. Pertanyaan yang menarik apakah hermeneutik merupakan sebuah metode untuk memperoleh kebenaran yang setepat-tepatnya tentang realitas/teks ?
Pertanyaan di atas bagi saya adalah pertanyaan awal yang menarik terkait dengan problematik positivistik yang menekankan objektivitas dan mengabaikan subjektivitas. Terlebih lagi bila kita hendak memahami realitas sosial. Apakah pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dalam upaya memahami realitas sosial dapat dijawab dengan fakta-fakta objektif yang murni ? Bukankah realitas sosial begitu kompleks dan memahaminya lewat fakta-fakta murni hanya akan menyederhanakannya ? Oleh karena itulah saya tertarik untuk mengkaji lebih lanjut pendekatan hermeneutik dari Gadamer. Bagaimana prinsip hermeneutika Gadamer dan apa relevansinya bagi ilmu pengetahuan di Indonesia merupakan pertanyaan yang akan menjadi fokus dari tulisan ini.
II. Hermeneutika Gadamer
Proyek pencerahan berusaha meniadakan prasangka dimana kita diminta untuk mengesampingkan asumsi dan bias pikiran kita lalu melihat pertanyaan dan text secara baru. Semua penafsiran yang benar harus dilindungi dari khayalan-khayalan arbitrer dan pembatasan-pembatasan yang ditekankan oleh kebiasaan-kebiasaan pemikiran yang tidak bisa dipahami dan mengarahkan pandangannya terhadap sesuatu itu sendiri. Namun apakah kita benar-benar dapat melepaskan diri dari subjektivitas ? Apakah kita dapat benar-benar bebas nilai ? Apakah kita benar-benar dapat berpikir secara baru tanpa titik tolak sama sekali ? Apakah kita dapat memberi makna pada realitas/teks tanpa dibentuk oleh kesadaran kita ? Bila demikian bukankah kita hanya akan menyalin fakta dari teks atau realitas tersebut ? Gadamer melihat hal itu mustahil untuk dilakukan oleh karena pikiran kita dibentuk oleh sejarah. Ia mengkritik pendapat seperti itu sebagai prasangka melawan prasangka. Dalam hal ini ia melihat model yang anti terhadap prasangka ini dimungkinkan oleh suatu prasangka (bahwa prasangka harus diatasi). Gadamer mengacu pada konsep wirkungsgeschichte (sejarah efektif) yaitu kenyataan bahwa pengetahuan memiliki efek dalam sejarah sebab seorang peneliti kritis adalah juga seorang aktor sejarah yang menjadi bagian dalam kesinambungan proses sejarah dalam tradisinya. Dalam hal inilah ia menyinggung tentang kesadaran sejarah. Mempunyai kesadaran sejarah adalah menjelajah dengan sikap tertentu kenaifan alam yang membuat kita menilai masa lalu dengan apa yang sering disebut skala prioritas tentang masa kini, dalam perspektif institusi kita dan dari keyakinan nilai-nilai dan kebenaran kita.
Dalam mempertanyakan bagaimana memberi makna, Gadamer berkonfrontasi dengan pendahulunya yaitu Scheleirmacher dan Dilthey. Ia mengkritisi pendapat Schleiermacher yang menyatakan bahwa keasingan suatu teks bagi pembaca perlu diatasi dengan mencoba mengerti si pengarang, merekonstruksi zaman si pengarang dan menampilkan kembali keadaan dimana pengarang berada pada saat menulis teksnya. Menurut Gadamer, tujuan dari membaca sebuah teks adalah untuk mempelajari mengenai subyek dalam teks. Ia memberi contoh bila ia membaca biografi tentang seseorang yang bernama James Joyce yang ditulis oleh Richard Ellmann, maka ia hendak mempelajari tentang James Joyce dan bukan tentang proses mental dari Richard Ellmann. Ia juga mengkritisi pendapat Dilthey yang melihat hermeneutik sebagai metode untuk mengerti teks secara benar dalam konteks sejarahnya. Dilthey berusaha merekonstruksi makna sebuah teks menurut maksud pengarang dalam konteksnya. Menurut Dilthey, hermeneutik adalah menyusun kembali kerangka yang dibuat oleh sejarawan agar peristiwa sebenarnya dari kejadian itu dapat diketahui. Gadamer melihat bagaimana upaya Dilthey sebenarnya sia-sia karena kita tetap tidak mungkin meniadakan prasangka dan berusaha merepoduksi makna sebagaimana yang dihayati oleh si pengarang.
Disini saya melihat bagaimana Dilthey berusaha untuk menemukan arti asli dari teks lalu menampilkan kembali makna yang dimaksudkan oleh si pengarang. Apa yang dilakukannya adalah sebatas reproduksi makna. Dalam hal ini Dilthey masih terpengaruh dengan objektivisme zaman pencerahan yang berusaha meniadakan prasangka dengan hanya berfokus pada makna seutuhnya dari si pengarang. Bila makna suatu teks hanya terbatas pada makna di zaman pengarang teks, maka pertanyaan yang perlu diajukan lebih lanjut menurut saya adalah bagaimana dengan teks yang dihasilkan oleh si penafsir atau sejarawan tersebut tentang hasil penafsirannya ? Bila teks tersebut hanya merupakan pemaparan makna seutuhnya dari pengarang menurut zamannya, bagaimana kita menafsirkan atau memahami teks dari si penafsir atau sejarawan ? Bukankah tafsiran itu ia hasilkan dalam konteks zamannya yang memiliki kekhasannya sendiri ? Bila penafsiran hanya mereproduksi makna si pengarang dalam zamannya, menurut saya itu berarti teks menutup diri atau mungkin penafsiran yang kita lakukan telah membatasi teks itu berbicara bagi kita di konteks masa kini. Dalam hal ini menurut saya, suatu teks sebenarnya tidak hanya terbatas pada zamannya, tapi juga terbuka berbicara bagi masa kini. Namun menurut saya apa yang diungkapkan Dilthey mengenai historisitas suatu teks juga baik untuk diperhatikan. Teks berasal dari konteks tertentu dan oleh karena itu baik juga kita mengerti konteksnya. Hanya saja teks tidak akan berarti apa-apa tanpa dikomunikasikan dengan konteks masa kini.
Berkaitan dengan hal itu, penting bagi kita untuk mengerti apa yang ditekankan Gadamer mengenai horizon. Ia menekankan bahwa seseorang memahami menurut horizon sejarah tertentu. Horizon yang dimaksudkan Gadamer adalah bentangan visi yang meliputi segala sesuatu yang bisa dilihat dari sebuah titik tolak khusus. Kita selalu berada pada titik tertentu dan dimana kita berada selalu mempengaruhi apa yang kita lihat. Dengan demikian yang perlu dilakukan adalah memperluas horizon kita seluas-luasnya serta terbuka terhadap horizon baru.
Menurut saya pendapat Gadamer tentang memperluas cakrawala pemahaman sangat penting. Proses memperluas cakrawala pemahaman dalam lingkaran hermeneutis ini tidak pernah berhenti untuk menghasilkan sebuah kebenaran objektif. Proses ini akan terus berlanjut, mengembangkan dan memperluas horizon, wawasan kita. Ketika kita berhadapan dengan orang lain cakrawala wawasan kita akan diperluas melalui interaksi dan dialog. Dengan demikian kita tidak hanya melihat atau memahami sesuatu berdasarkan satu perspektif saja yaitu perspektif kita sendiri namun kita mencoba terbuka untuk mengembangkan wawasan kita melalui dialog. Kita berdialog dengan orang lain bukan untuk memperoleh kebenaran setepat-tepatnya tetapi untuk memahaminya. Dalam upaya memaknai tradisi masa lalu, kita akan memahami dengan wawasan kekinian. Di sini jarak dengan masa lalu tidak diatasi dengan hanya mengkonstruksi kembali makna di masa lalu tetapi memahaminya dengan horizon kekinian. Dalam dialog tersebut terjadi perbenturan antara cakrawala pemikiran kita dengan orang lain. Dalam dialog ini tentunya kita juga membawa prasangka kita, namun kadangkala prasangka-prasangka kita harus disimpan untuk mencoba melihat pandangan orang lain. Pandangan orang lain ini dilihat bukan untuk dinilai sebagai hal yang buruk namun agar kita dapat memahaminya. Bagaimana dengan prasangka dan tradisi kita ? Bisa saja prasangka dan tradisi kita menjadi dominan dan kita anggap sebagai kebenaran. Dalam hal inilah kita perlu tetap untuk bersikap kritis terhadap prasangka dan tradisi. Kita perlu melihat apakah prasangka kita mengarahkan kita untuk dapat mengerti ataukah prasangka itu menyembunyikan kita dari pengertian ?
Di sini menurut saya kita juga perlu mengingat bahwa prasangka kita kadangkala tidak benar. Untuk itu yang terpenting adalah kita perlu terus memperluas horizon kita melalui dialog. Mengapa ? Hal ini berkaitan dengan konteks hidup kita yang dinamis dan kompleks. Pikiran kita dibentuk oleh konteks, tradisi yang selalu berkembang dan sedemikian kompleksnya sehingga makna yang kita berikan adalah sesuatu yang berkembang. Apa yang kita alami dalam hidup kita, apa yang kita lakukan dalam hidup tentunya akan mempengaruhi makna yang kita berikan terhadap sesuatu. Makna yang kita berikan bukanlah kebenaran yang setepat-tepatnya tetapi makna sesuai pengalaman, pembentukkan kita.
Terkait dengan hal ini saya mengingat pengalaman PA lintas budaya bersama dengan teman-teman di Makassar. Dalam kegiatan tersebut kami membaca satu teks Yohanes 4 : 1 – 42 secara bersama dan menafsirkannya. Kelompok PA di Makassar itu terdiri dari mahasiswa yang mempunyai latar belakang budaya dan konteks hidup yang berbeda. Dialog diantara kami menghasilkan berbagai makna. Beberapa diantara kami berfokus pada moralitas perempuan Samaria dalam teks tersebut, yang lain lebih berfokus pada pluralitas agama dan etnis. Hasil percakapan kami ini ditukar dengan penafsiran sebuah kelompok jemaat di Warmond, Belanda yang juga membaca teks Yohanes 4 : 1-42. Apakah kelompok PA di Warmond menyoroti hal yang sama ? Ternyata tidak. Kelompok Warmond lebih berfokus pada eksklusivitas dalam teks Yohanes itu sendiri : dalam Yohanes dikatakan bahwa Yesus adalah mesias dan bahwa keselamatan hanya ada di dalam Dia. Kelompok Warmond mengidentifikasi konflik antara orang Yahudi dan Samaria dengan konflik di Timur Tengah antara Yahudi dan Palestina. Isu tentang pluralitas agama dan etnis (pekerja imigran, pengungsi) tidak menjadi isu yang disoroti oleh kelompok ini ketika membaca teks Yohanes 4. Bagaimana kita memahami perbedaan penafsiran ini ? Teks yang dibaca adalah teks yang sama namun penafsiran yang dihasilkan dari teks tersebut begitu beragam. Apakah dari keragaman penafsiran itu kita harus menentukan dan mengambil satu makna yang benar objektif ? Apakah penafsiran yang benar adalah penafsiran yang menggunakan pendekatan yang ilmiah dan objektif ? Menurut saya tidak demikian. Keragaman penafsiran itu, menurut saya, memperlihatkan bagaimana konteks budaya dan pengalaman mempengaruhi penafsiran serta pemikiran kami. Keragaman pengalaman dan konteks budaya yang kemudian menghasilkan perbedaan penafsiran tidak seharusnya diatasi hanya dengan sebuah pendekatan yang objektif untuk memperoleh makna yang setepat-tepatnya. Pikiran kami dan mereka dibentuk dengan konteks dan pengalaman yang berbeda. Dalam hal ini saya setuju dengan pendapat Gadamer.
Hal yang menarik menurut saya adalah bagaimana pengetahuan kita dibentuk oleh konteks, dengan demikian sebenarnya konteks sangatlah penting untuk memahami makna. Apakah kemudian makna adalah sesuatu yang terus berubah-rubah ? dalam hal ini berubah atau tidak berubahnya makna terkait dengan konteks. Oleh karena itulah kita akan terus menerus dalam proses pemikiran yang tidak mengenal titik akhir . Menurut Gadamer kita tidak dapat melepaskan diri dari prasangka kita. Ketika kita hendak memberi makna pada sesuatu, apa yang kita pikirkan tentu terkait dengan pengalaman, tradisi dan konteks hidup kita. Dengan demikian pikiran kita sebenarnya tidak bebas nilai. Di samping uraian di atas, saya pikir kita juga perlu kritis untuk melihat bahwa Gadamer kurang menekankan bagaimana sebenarnya prasangka dan tradisi tersebut seharusnya tidak melampaui teks atau realitas yang berusaha dipahami. Kedua-duanya (prasangka/tradisi – teks/realitas) perlu diletakkan dalam posisi yang sejajar dalam proses dialog .
III. Belajar dari Hermeneutika Gadamer
Menurut saya hermeneutik Gadamer cukup relevan bagi ilmu pengetahuan dalam konteks Indonesia. Dalam hal ini saya pikir sangatlah penting bagi kita untuk belajar dari Gadamer tentang bagaimana memperluas horizon, wawasan pemikiran kita lewat dialog. Terkait dengan teologi Kristen, saya melihat bahwa teologi Kristen sebenarnya tidak berangkat dari satu titik saja yaitu Alkitab tetapi teologi kristen perlu berdialog dengan kenyataan yang ada dalam konteks di Indonesia. Perlu disadari bagaimana teologi seharusnya berakar juga dalam konteks Indonesia. Teologi perlu keluar dari benteng-benteng gereja dan berusaha memahami dengan baik kenyataan sosial di masyarakat. Bila teologi hanya terkukung dalam tembok-tembok gereja maka teologi yang mengasingkan diri seperti ini tidak menjadi kabar baik/kesaksian dalam konteksnya. Teologi seperti itu cenderung menjadi teologi yang tidak membumi. Dalam hal ini, bukan jawaban dogmatis yang diharapkan dari teologi seolah-olah teologi mengetahui semua jawaban secara tepat dan menjawab dengan pendekatan top-down dalam rangka memberi atau melakukan. Namun yang perlu dilakukan adalah berdialog dengan masyarakat, peka mendengar jeritan pergumulan mereka dan berusaha memahami pergumulan mereka, lalu merencanakan dan mengerjakan bersama masyarakat. Dengan demikian teologi dibentuk oleh konteks nyata dan bukan terpisah dari kenyataan hidup masyarakat. Ini berarti teologi Kristen perlu berdialog dengan agama-agama lain, teologi perlu berdialog dengan tradisi kepercayaan dalam masyarakat, teologi perlu berdialog dengan tradisi dalam kepelbagaian budaya masyarakat Indonesia, teologi perlu berdialog dengan masyarakat yang saat ini berada dalam perubahan sosial yang serba cepat.
Dalam konteks pluralisme agama di masyarakat Indonesia, kita perlu berdialog dengan saudara-saudara kita yang berbeda agama. Kita harus berani membongkar batasan-batasan yang memisahkan kita. Seringkali kita mengeluhkan status kristen yang minoritas dan dipinggirkan dalam masyarakat Indonesia. Menurut saya pemikiran seperti ini hanya akan mengasingkan kita dari sesama kita. Apakah perbedaan agama hanya dinilai secara sempit berdasarkan mayoritas dan minoritas ? Oleh karena terjebak dalam pemikiran minoritas, kita tidak berani keluar dari tembok-tembok gereja kita. Akhirnya kita hanya terkukung dalam batasan pemikiran kita saja. Batasan pemikiran yang sempit dan kita menilai segala sesuatu dari pemikiran kita yang sempit itu. Dalam hal ini, menurut saya di sinilah pentingnya kita belajar dari Gadamer tentang perlunya memperluas fusi-fusi horizon, wawasan pemikiran kita melalui dialog dengan orang lain. Apakah tujuan kita berdialog dengan sesama kita ? Apakah untuk melihat siapa yang benar atau salah ? Apakah untuk meyakinkan bahwa kita benar dan kemudian menepuk dada ? Apakah untuk meyakinkan orang lain bahwa kebenaran ada pada kita agar orang lain mengikuti kita atau dalam arti menginjili orang lain ? Dialog kita bertujuan agar kita dapat memahami sesama kita. Dalam hal ini kita perlu rendah hati mengakui bahwa pengetahuan kita terbatas dan oleh karena itu kita perlu berdialog, terbuka pada mereka agar kita memperluas wawasan pikiran kita. Bagaimana dengan kebenaran yang kita yakini ? apakah agar kita dapat berdialog dengan baik kita perlu menyimpan keyakinan kita dan memilih untuk bersikap low profile : kita semua sama, kita semua inklusif, semua agama sama saja benarnya….menekankan persamaan dan menomorduakan perbedaan ( seolah-olah identitas harus dipinggirkan, perbedaan disembunyikan). Menurut saya dalam dialog tidak berarti kita menyembunyikan perbedaan untuk mencari kesamaan universal. Kita bertemu dengan orang lain bukan tanpa pemahaman sama sekali. Dalam situasi seperti itu kita menyadari bahwa cara pandang kita bukanlah satu-satunya cara. Dengan melihat adanya sudut pandang lain atau pemahaman lain, maka kita akan melihat dengan jelas cara pandang atau pemahaman kita sendiri. Dialog yang kita perlukan adalah dialog untuk mengerti sesama kita dan saling belajar dari pandangan masing-masing. Dalam melihat pro dan kontra mengenai syariat Islam misalnya. Bila kita hanya berpikir dalam horizon tertentu saja dan enggan untuk keluar berdialog dengan sesama kita yang lebih memahami syariat Islam, maka mungkin kita akan tenggelam dalam ketakutan kita sendiri dan menilai dengan tegas syariat Islam itu negatif. Mungkin saja kita tidak setuju dengan padangan-pandangan yang menerapkan syariat Islam dalam Perda-perda. Namun bila kita menolak dan tidak setuju terhadap penerapan itu seharusnya kita berusaha untuk mengerti persoalan yang ada di balik penerapan syariat Islam tersebut. Bagaimana kita dapat sungguh-sungguh memahami persoalan tersebut ? Salah satu jalan yang ditawarkan oleh Gadamer adalah melalui dialog. Melalui dialog kita akan mencapai pemahaman. Apakah lantas ini berarti kita berhenti pada upaya memahami saja ? Menurut saya tidak demikian, kita perlu melawan tetapi melawan bukan dalam arti Kristen melawan syariat Islam tetapi kita melawan hal-hal yang menimbulkan ketidakadilan bagi siapapun dari penerapan syariat Islam dalam Perda tersebut. Namun sekali lagi tentunya dengan pemahaman yang baik yang kita peroleh lewat dialog.
Dari pendekatan Gadamer, kita diingatkan bagaimana dalam penafsiran konteks pembaca pun perlu mendapat perhatian. Menurut saya hal ini cukup penting mengingat universalitas dan objektivitas ilmu tafsir Alkitab yang kita kenal selama ini yang menekankan bahwa teks sudah mempunyai konteksnya sendiri. Oleh karena itu penafsiran hanya berangkat dari konteks masa lalu dan bila konteks masa lalu itu tidak jelas yang dilakukan kemudian adalah merekonstruksi kembali masa lalu itu. Dalam pendekatan ini tampaknya ada tendensi yang kuat bahwa dari bangunan rekonstruksi masa lalu tersebut kita akan memperoleh makna yang asli. Namun dari Gadamer kita diingatkan bahwa ketika kita berhadapan dengan teks, kita tidak mungkin melepaskan diri dari prasangka yang dibentuk dalam konteks, sejarah hidup kita. Oleh karena itu apa yang kita perlukan adalah mengakui ruang bagi partisipasi pembaca dalam memaknai teks ketika ia membaca teks. Dalam proses membaca itu akan terjadi dialog antara pembaca dengan konteks kekiniannya dan teks dengan konteksnya yang khas. Di sini makna tidak tergantung dari teks semata, tetapi makna muncul dari dialog antara teks dan si pembaca. Contohnya ketika saya membaca cerita tentang Tamar dalam kejadian 28. Saya dapat menafsirkannya oleh karena saya sudah mempunyai ide bagaimana teks itu berbicara kepada saya dalam konteks saya. Namun itu tidak berarti saya hanya melihat pikiran saya sendiri. Di sinilah terletak pentingnya kesadaran akan prasangka yang sebelumnya saya telah miliki. Kesadaran tersebut saya dialogkan dengan apa yang dikatakan teks dan mungkin saja kemudian saya menghasilkan lima kemungkinan pemahaman baru dari dialog tersebut. Hal yang penting ditekankan di sini adalah bahwa peranan sudut pandang si penafsir diakui dalam proses penafsiran teks tersebut. Namun menurut saya tetap harus juga diperhatikan agar teks itu juga dapat berbicara secara terbuka dari konteksnya. Dialog tidak akan tercapai bila teks berada pada posisi seperti tahanan dalam penjara dan kita adalah penjaganya. Dalam arti penafsir datang dengan sejumlah pertanyaan yang diajukan sementara teks hanya dapat merespon/menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diungkapkan oleh penafsir. Bila demikian yang terjadi, tidakkah kita mengaburkan makna teks ? Dalam hal ini saya melihat bagaimana seorang penafsir perlu untuk menjadi lebih sensitif.