Fakta yang tersaji dalam panggung politik Indonesia kontemporer semakin mengimperatifkan pesan bahwa dimensi etis semakin terpinggirkan dalam praktik berpolitik para aktor didalamnya. Yang lebih mengedapankan adalah pragmatisme,yang justru kian dipreproduksi oleh mereka yang semestinya memeberi teladanan bagaimana berpolitik secara etis dan tidak melulu berorientasi kuasa semeta. Itu pulalah yang dapat kita telaah dari kecenderungan beramai-ramainya para pejabat publik kita mangajukan cuti bekerja untuk bisa berkampanya demi kelompok politik (baca;partai politik) masing-masing.termasuk yang melakukan hal ini adalah Presiden. Memang tidak ada perundang-undangan atau ketentuan normatif lain yang dilanggar. Persoalannya adalah begitu kuatnya naluri kekuasaan para pejabat kita sehingga merasa juga harus turun langsung mengawal perjalanan"kendaraan politik"masing-masing,khusunya dalam menghadapi Pemilu. Sudah jelas konsentrasi dan orientasi para pejabat publik kita itu mulai terbelah di saat-saat akhir masa jabatannya.
Pada akhirnya,ketika naluri berkuasa masih tetap menyala,segenap cara dilakukan demi menggapai hal itu. Lepas ,apakah kemudian cara-cara yang digunakan sejatinya tak lagi mencerminkan hakikat etika dan kepatutan. Sebuah tata nilai yang memang tidak terkait dengan sangsi hukum tertentu,melainkan melekat pada tanggung jawab nurani pribadi masing-masing.
Namun kalau mau berbicara lebih jauh,sikap-sikap egosektoral dan mencerminkan hasrat pribadi dalam konteks kepentingan publik,sangatlah berbahaya. Ada potensi terabaikan fungsi dan tanggung jawab memberikan pelayanan optimal kepada publik,Pengisian simpul-simpul jabatan publik,dalam kerangka demokrasi ,memang harus dimunculkan dari kekuatan-kekuatan partai politik. Hanya ketika seseorang kemudian masuk dalam struktur hierarki kepemerintahan,orientasi dan tanggung jawabnya harus 100% demi rakyat.
Bisa saja dalam kehadirannya dalam kepentingan politik masing-masing diwakilkan saja oleh pejabat struktural lain dipartai politik masing-masing. Namun persoalannya dalam budaya politik kita saat ini,mekanisme rangkap jabatan masih dipandang sebagai sebuah kelumrahan.Bahkan keniscayaan demi melanggengkan kekuasaan tersebut.Ini yang menjadi pangkal soal.Terlebih ketentuan larangan rangkap jabatan tersebut belum dimunculkan secara eksplisit dalam perundangan kita.
Oleh karena itu menjadi hal yang menggelikan ketika pada pidato pengangkatan menteri beberapa waktu lalu .Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan para mentrei untuk fokus dalam berkonsentrasi pada pekerjaan dan kepentingan rakyat jika pada kenyataannya yang bersangkutan juga tetap lakat pada posisi sentral dalam partai politik.
Hal serupa akhirnya kemudian menggejala ditingkat daerah,dimana kepala daerah juga kemudian terikat pada posisi-posisi kepartaian. Saat ini memang tidak ada undang-undang yang melarang para pejabata pemerintah untuk menerima jabatan lain.Akan tetapi sesungguhnya ada situasi pelanggaran etika politik didalamnya.Bagaimana demokrasi bisa dijalankan dengan banyak partisipasi jika banyak jabatan yang malah diberikan kepada orang-orang tertentu saja.
Kita harus menyadari bahwa prinsip demokrasi sesungguhnya adalah distribusi kekuasaan (distribution of power) untuk tidak hanya berkutat pada segilintir orang atau pihak tertentu. Ingat sifat alamiah atau naluri mrndasar bahwa kekuasaan cenderung absolut.Ini yang juga digaungkan oleh Lord Acton dalam adagium "kekuasaan cenderung koruptif dan kekuasaan absolut bertendensi melakukan praktik korupsi secara masif"(power tends to corrupt,absolute power corrupts absolutely).
Dalam situasi ketika pragmatisme politik begitu kental mewarnai aktivitas politik,seruan banyak pihak untuk secara tegas menarik batas posisi sebagai pejabat publik dengan kedudukan dalam kepartaian,memang ibarat menegakkan benang basah,seolah hal yang lumrah saat ini,jabatan publik biasanya didayagunakan untuk menghidupi jabatan politik dipartai.
Pada akhirnya,kenyataan politik yang terjadi diera reformasi yang katanya menjadi koreksi pada situasi dimasa rezim Orde Baru,tidaklah berbeda dengan sebelumnya. Dulu kita kerap mengkritik bahkan cebderung mengolok-olok (meskipun mungkin dibelakang)sikap yang diprankan oleh seorang Harmoko.Ia bisa memerankan sebagai menteri penerangan pada siang hari,sore harinya ia bermetamorfosis menjadi Ketua Umum Golkar. Dalam hal ini tidak bisa dipisahkan fungsi Harmoko sebagai pejabat publik dan pimpinan partai politik. Kini apa yang kita olok-olok itu tetap saja nyata didepan mata.Bahkan dilakukan oleh seorang Presiden,yang semestinya menampilkan diri sebagai payung dan pelindung bagi semua rakyat dengan menihilkan sentimen-sentimen primordialisme politik