Teks Khutbah Shalat Jumat 1 dan 2 Singkat: Kunci Memajukan Islam

Teks Khutbah Shalat Jumat 1 dan 2 Singkat: Kunci Memajukan Islam

Khutbah Pertama:

Maasyiral muslimin rahimakumullah

Marilah senantiasa menjaga ketakwaan kita kepada Allah SWT agar Dia selalu menjaga kita dari seluruh keburukan dan kesempitan hidup, dan semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan jalan keluar terbaik bagi kita dari semua permasalahan yang kita hadapi.

Banyak masalah aktual muncul di kalangan masyarakat Muslim yang menuntut perhatian kita semua yang mengaku sebagai bagian dari umat Islam. Masalah-masalah ini terentang dari isu kemiskinan, illiterasi, akses pendidikan dan kesehatan yang tidak merata, kesenjangan sosial dan ekonomi yang masih lebar, korupsi, nepotisme, otoritarianisme, kekerasan, konflik komunal, radikalisme, dan terorisme, yang kesemuanya berkontribusi terhadap rendahnya HDI (Human Development Index) masyarakat Muslim. HDI adalah ukuran perbandingan harapan hidup (life expectancy), melek huruf (literacy), pendidikan (education), standard hidup (standards of living), dan kualitas hidup (quality of life) negara-negara di dunia. Norwegia, Australia, USA, Belanda, Jerman, Selandia Baru, Irlandia, Swedia, Swiss dan Jepang bertengger di 10 besar negara dengan HDI tertinggi. Dalam urutan 50 besar, hanya ada 3 negara Muslim yang masuk, yaitu Brunei Darussalam (30) Uni Arab Emirates (41) dan Bahrain (48). Di belakangnya ada Kuwait (54), Saudi Arabia (57), Malaysia (64), Iran (76), Oman (84), Turkey (90), Tunisia (94), Palestina (110), Egypt (112), Syria (116) dan Indonesia (121).

Upaya untuk memperbaiki HDI masyarakat Muslim menuntut keterlibatan para pakar, sarjana, peneliti, intelektual, dan kita semua. Terlebih para peminat kajian-kajian keislaman, mereka memiliki tanggungjawab mengaktualisasi kajian-kajian yang mereka kembangkan. Kajian-kajian keIslaman yang berkembang selama ini dianggap tidak berkontribusi secara memadai terhadap pemecahan masalah-masalah aktual semacam ini. Kajian-kajian itu tampaknya terlalu berfokus pada teks sehingga gagal melihat realitas, dalam pengertian memahami bagaimana teks-teks lahir dalam konteks tertentu dan merefleksikan dinamika yang kompleks berkait politik, ideologi, relasi kuasa, ekonomi, sosial dan budaya yang mengitarinya.
https://aang-zaeni.blogspot.com/2017/05/teks-khutbah-shalat-jumat-1-dan-2.html

Maasyiral muslimin rahimakumullah

Sebagai muslim kita semua memang berkewajiban untuk menghidupi ajaran agama kita. Menghidupi pengertiannya adalah membuat agama ini tetap eksis, hidup dan memiliki relevansi dengan denyut kehidupan umat manusia yang berubah cepat di era modernisasi dan globalisasi. Salah satu upaya menghidupi ajaran agama adalah ketika para intelektual dan cerdik pandai terkemuka menggulirkan wacana reaktualisasi hukum Islam. Mereka merasakan adanya kebutuhan yang mendesak untuk membaca ulang khazanah keilmuan hukum Islam untuk membuatnya tetap aktual dan relevan dengan berbagai persoalan yang dihadapi umat Islam. Dalam beberapa tahun terakhir, wacana reaktualisasi hukum Islam mengambil bentuk yang lebih konstruktif, berfokus pada gagasan tentang rekonseptualisasi maqasid al-syariah sebagai filosofi dan tujuan utama hukum Islam.

Maqasid al-syari’ah adalah raison d’etre, filosofi dasar, dan pesan utama syariah yang bermuara pada perwujudan keadilan, kemaslahatan, dan kebajikan bersama, serta penjaminan hak-hak dasar dan kehormatan umat manusia. Maqasid al-syariah meliputi 5 hal pokok (al-Usul al-Khamsa) meliputi hifd nasl, hifz al-aql, hifz al-nafs, hifz al-mal, dan hifz al-din. Para sarjana Islam terkemuka, klasik dan modern, telah memberikan tafsir dan analisis mendalam tentang maqasid al-syariah. Imam al-Ghazali, Imam Izzuddin Abdussalam, Imam Asy-Syatibi dan Ibnu Athur adalah beberapa nama menonjol yang mengembangkan berbagai gagasan di seputar isu ini. Mereka membuat standardisasi maqasid dengan membaginya kepada tiga tingkatan: daruriyyat, hajjiyat dan tahsiniyat. Daruriyat bersifat asasi dan emergency. Pengabaian terhadapnya berakibat hilangnya hak hidup seseorang, misalnya. Hajjiyat bersifat sangat dibutuhkan, badly needed, dan karenanya harus sekuat tenaga diwujudkan. Sementara tahsiniyat bersifat complementary, dan perlu diwujudkan untuk menjadikan sesuatu lebih bagus, lebih elok dan lebih indah.

Baca Juga>Muhasabah dan Otokritik Dlm Menghadapai Arus Budaya Global Tahun Baru

Meskipun sudah banyak kajian dikembangkan para sarjana tentang maqasid al-syariah, baru Jasser Auda, seorang ilmuwan Mesir yang menimba ilmu di USA dan Inggris, yang secara khusus mengkaitkan maqasid al-syariah dengan HDI (human development index). Dalam karya-karyanya, Audah mencoba memberi tafsir ulang atas kelima hal pokok yang merupakan inti maqasid al-syariah. Baginya, apakah maqasid al-shariah dapat diwujudkan ataukah tidak dalam kehidupan dapat dilihat dari pencapaian HDI. Semakin tinggi posisi sebuah negara dalam HDI, semakin dekat negara itu dengan cita-cita maqasid. Inilah apa yang disebutnya sebagai pendekatan sistem untuk memahami relevansi maqasid dengan kehidupan aktual.

Maqasid al-Syariah pertama-tama berupaya menjamin eksistensi kehidupan alias jiwa manusia (hifd al-nafs). Jiwa manusia merupakan hal mutlak yang harus dilindungi. Tidak boleh ada nyawa yang melayang sia-sia. Tidak ada tawar-menawar dalam hal ini. Semua upaya harus dikerahkan demi eksistensi jiwa manusia. Sementara hal ini merupakan inti maqasid al-shariah yang pertama, kita semua mengetahui di negara-negara Muslim jiwa manusia masih kerap tidak begitu berharga. Banyak jiwa melayang karena konflik politik. Fakta sejarah menunjukkan pertikaian politik menyebabkan banyak orang saling bunuh dan binasakan. Ini terjadi sampai hari ini, di Afrika Utara, Timur Tengah, Asia Selatan, bahkan di negara kita sendiri.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Janganlah kalian sepeninggalku kembali kufur dengan saling membunuh satu sama lain”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Tak kalah menyedihkan, banyak jiwa melayang karena negara gagal memberikan suplai kebutuhan pangan pokok bagi masyarakat. Banyak jiwa melayang karena negara gagal membangun infrastruktur jalan raya yang bagus dan menata sistem transportasi secara komprehensif. Banyak jiwa melayang karena narkoba. Banyak jiwa melayang karena fasilitas dan sistem penjaminan kesehatan yang tidak memadai. Banyak jiwa melayang karena kebodohan dan keterbelakangan. Dan seterusnya dan seterusnya.

Baca Juga>Konsep Siyasah Politik dalam Islam

Maqasid al-sharia kemudian berupaya melindungi kelangsungan kehidupan dan regenerasi umat manusia (hifz al-nasl). Caranya, bukan saja dengan menjamin hak reproduksi seseorang, tetapi juga memastikan keturunan atau generasi akan datang bebas dari penyakit menular, bebas dari kekurangan gizi, bebas dari kemiskinan, bebas dari kebodohan, dan bebas dari kemelaratan. Pelayanan bagi ibu hamil dan bayi ataupun balita perlu ditingkatkan dan mereka diberi asupan gizi yang cukup untuk meneruskan kelangsungan kehidupan. Tidak boleh ada ibu hamil yang menderita, atau bayi yang baru lahir terlantar. Kita semua harus memastikan angka kematian bayi dan ibu karena melahirkan semakin menurun, atau bahkan bisa terhapus sama sekali dari data statistik kita.

Maqasid al-sharia juga berupaya melindungi akal (hifz al-aql), dalam pengertian melindungi kebebasan berpikir, berekspresi dan pengembangan pengetahuan, melalui pendidikan yang berkualitas, riset-riset unggulan dan kegiatan-kegiatan ilmiah lainnya. Kita masih cukup prihatin, kualitas pendidikan dasar dan menengah di negara-negara muslim masih jauh tertinggal. Juga kualitas pendidikan tingginya. Universitas-universitas di negara-negara muslim sulit sekali menembus ranking 500 besar dunia, apalagi 100. Kontribusi mereka terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi masih belum begitu memadai. Inilah kenyataan yang kita hadapi. Di banyak negara muslim, pengembangan ilmu pengetahuan bahkan terhambat oleh absensinya kebebasan berpikir, mengembangkan daya nalar yang sehat untuk kemajuan ilmu pengetahuan, karena otoritarianisme rezim penguasa dan hambatan-hambatan politik lainnya.

Maqasid al-sharia juga melindungi harta (hifd al-mal) dalam pengertian menjamin seseorang untuk berusaha, mengembangkan entrepreneurship, mengumpulkan harta dan kekayaan untuk kemaslahatan bersama. Dengan demikian, akses seseorang terhadap pekerjaan atau sumberdaya alam, sumber daya mineral dan lainnya untuk dikelola demi kemasalahatan bersama tidak boleh dihalang-halangi. Bahkan negara harus memastikan ada cukup lapangan kerja bagi semua yang telah memasuki usia produktif. Dengan kata lain, negara harus memberi perhatian terhadap pembangunan ekonomi, kesejahteraan masyarakat serta pemerataan. Banyaknya pengangguran dan kemiskinan merupakan indikasi paling nyata gagalnya negara mewujudkan asas ke-4 dalam maqasid al-shariah ini.

Tak kalah penting, maqasid al-shariah melindungi agama (hifz al-din); dalam pengertian melindungi agama dari manipulasi dan distorsi oleh segelintir orang atas nama kepentingan politik, ekonomi ataupun kepentingan lainnya. Di musim kampanye seperti sekarang, simbol-simbol agama dijual murah, bahkan diobral. Seakan-seakan berdiri kokoh membela agama, seorang jurkam meneriakkan allahu akbar dan fasih membaca ayat-ayat Allah. Padahal ia sesungguhnya sedang hendak membeli suara untuk kemenangannya dalam pemilu.

Dan janganlah kamu tukar perjanjianmu dengan Allah dengan harga yang sedikit (murah), sesungguhnya apa yang ada di sisi Allah, itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.

Hifz al-din juga mengandung makna menghormati kebebasan beragama dan berkeyakinan. La ikraha fi al-din. Tidak ada paksaan dalam beragama. Tetapi siapapun berhak meyakini dan menjalankan agamanya. Perang yang terjadi di masa-masa awal Islam umumnya dilatari oleh pengingkaran kaum Qurasy dan musuh-musuh Nabi Muhammad lainnya terhadap hak Nabi Muhammad serta pengikutnya untuk menjalankan agama mereka. Disebut kafir, atau artinya orang yang ingkar, bukan karena kaum Qurays dan musuh-musuh Muhammad penganut agama pagan, yahudi, nasrani atau agama lainnya. Mereka disebut kafir karena mengingkari hak kebebasan beragama bagi Nabi Muhammad dan pengikut-pengikutnya. Inilah indahnya agama Islam, agama damai dan mencintai perdamaian. Udkhulu fi al-silm kaffah, masuklah ke dalam kedamaian secara menyeluruh, kedamaian yang membawa kemaslahan dan keberkahan bagi kita semua.

Maasyiral muslimin rahimakumullah

Sesungguhnya masalah yang menimpa umat Islam saat ini di berbagai belahan dunia yang diakibatkan oleh kesalahpamahan kita terhadap ajaran dasar Islam itu sendiri. Kesalahpahaman kita terhadap ajaran dasar Islam kerap kali mengurangi esensi ketakwaan kita di hadapan Allah. Takwa kepada Allah atau takut kepada Allah bermakna menjadikan prinsip-prinsip syariah atau maqasid syariah sebagai referensi utama dan pedoman dasar dalam kita melangkah dan mengambil setiap keputusan bagi banyak orang. Kita tidak dengan mudah dibelok-belokkan oleh kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan. Dalam setiap level tugas yang kita emban kita berkhidmat untuk menegakkan maqasid al-sharia. Kala kita mudah dibelok-belokkan oleh kepentingan pribadi, kelompok dan golongan, maka kehidupan kita sebagai umat Islam juga akan mudah tercerai-berai. Allah mengharuskan kita untuk bertakwa kepada-Nya. Dan hendaknya semua sikap bertolak dari dasar yang menyatukan, bukan memisahkan, merukunkan, bukan mencerai beraikan, selama itu bisa dilakukan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara.” (QS. Ali Imran: 103)

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka.” (QS. Hud:118-119)

Dalam memahami ayat ini para ulama klasik mengatakan bahwa orang-orang yang dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan berselisih dengan perselisihan yang membahayakan mereka. Ketika perselisihan membawa kepada perpecahan dan pertentangan, maka ini akan menyebabkan mereka dijauhkan dari rahmat Allah di dunia dan akhirat.

Maasyiral muslimin rahimakumullah

Dalam agama Islam, perselisihan bukanlah menjadi penyebab perpecahan dan permusuhan. Dia bukan hal yang mengancam persatuan, bukan pula yang melumpuhkan gerakan masyarakat dan kehidupan. Namun perselisihan, tatkala terpaksa, merupakan sebuah fenomena yang sah-sah saja, yang menuntut ada upaya untuk memilih pendapat terbaik yang bisa mendatangkan kemaslahatan dan menolak keburukan. Dengan ini, keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala akan terealisasi buat masyarakat yang mendatangkan persatuan dan kerukunan serta dijauhkannya perpecahan dan pertikaian.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Dan kalian berpegang teguh dengan tali Allah dan kalian tidak berpecah belah”. (HR. Imam Muslim)

Teks Khutbah Shalat Jumat 1 dan 2 Singkat Khutbah Kedua:

Maasyiral muslimin, rahimakumullah

Marilah kita menghidupi ajaran agama kita, agama agung yang diturunkan Allah melalui Nabi Muhammad kepada kita. Menghidupi ajaran agama kita bukan berarti mengembangkan sikap fanatik, apalagi radikal, sehingga seakan-akan menjauhkan umat Islam dari umat lainnya. Kita umat Islam bagian dari peradaban dunia yang terus berkembang dan pilar-pilarnya ditopang oleh segenap umat manusia. Kita mestinya menjadi umat yang memberikan kontribusi penting dan signifkan bagi perkembangan peradaban dunia. Menghidupi ajaran agama berarti memahami filosofi dasar dan tujuan agama yang kita anut ini. Filosofi dasar dan tujuan agama yang kita anut ini terangkum di dalam maqasid al-sharia. Insyaallah dengan memahami maqasid al-sharia kita akan dapat menjadikan Islam tetap relevan dan aktual dengan perkembangan zaman, Al-Islam huwa salih li kulli zaman wa makan, dan Islam insyaallah bisa menjadi bagian dari solusi atas permasalahan yang menimpa umat manusia.

Subscribe to receive free email updates: