SISTEM GENRE SASTRA MELAYU KLASIK

A. PENDAHULUAN
Berkenaan dengan klasifikasi atau pembagian sastra telah begitu banyak kita kenal. Pembagian itu dimulai dari pembagian secara garis besar atau secara umum sampai kepada pembagian berdasarkan ciri-ciri khusus suatu karya sastra. Dari pembagian yang sudah ada kita mengenal bentuk sastra puisi, fiksi, dan drama. Dalam kesusastraan Indonesia jenis prosa tercakup cerita pendek (cerpen), novel dan roman.
Dalam kesusastraan Melayu klasik terjadi sebuah perkembangan sastra yang cukup pesat. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya peninggalan karya sastra yang dihasilkan baik berupa hikayat, cerita berbingkai, sastra kitab, sastra sufi maupun syair. Karya sastra yang begitu banyak ini dan beragam tentunya memiliki karakteristik yang berbeda-beda, baik dari segi bentuknya, isinya bahkan pengaruhnya terhadap pembaca. Oleh karena itu, penyusun mencoba memaparkan ragam atau genre sastra Melayu klasik dari aspek yang terakhir, yaitu pengaruhnya terhadap pembaca.
Jadi, Lingkup pembahasan tentang sistem genre sastra Melayu klasik dalam makalah ini hanya terbatas dalam dua lingkup permasalahan, yaitu: pertama, pembahasan seputar genre sastra Melayu klasik ditinjau dari aspek fungsional atau pengaruh karya sastra terhadap pembaca. Kedua, makalah ini pembahasannya terbatas pada contoh-contoh karya sastra Melayu klasik dari masing-masing genre dan mengapa karya sastra tersebut dikelompokkan dalam genre tertentu.
Tujuan penyusunan dan pembahasan tentang sistem genre sastra Melayu klasik dalam makalah ini yaitu: pertama, untuk mengetahui sistem genre sastra yang terjadi pada sastra Melayu klasik ditinjau dari aspek fungsional karya sastra itu sendiri atau ditinjau dari aspek pengaruh karya sastra terhadap pembacanya. Kedua, penyusunan makalah ini bertujuan untuk mengetahui karya-karya sastra pada zaman Melayu klasik dan untuk mengetahui termasuk dalam lingkup genre yang manakah karya sastra tersebut serta untuk mengetahui alasan kenapa karya sastra tersebut dimasukkan dalam genre tertentu.
penyusunan makalah ini menggunakan metode kajian pustaka, penyusun mengumpulkan bahan-bahan yang berkaitan tentang sistem genre Melayu klasik, baik berupa buku-buku maupun artikel-artikel yang didapatkan dari media elektronik. Namun dalam pembahasan ini penyusun menggunakan buku Braginsky, Yang Indah, Yang Berfaedah dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu Dalam Abad 7-19 M.
B. PEMBAHASAN
1. Lingkup Estetika (Keindahan)
Braginsky secara sistematis menguraikan konsep estetika yang mendasari sastra Melayu klasik. Secara singkat dapat dikatakan bahwa Braginsky membedakan tiga aspek pada konsep keindahan sastra Melayu. Pertama, aspek ontologis, yaitu keindahan puisi sebagai pembayangan kekayaan Tuhan yang Maha pencipta, berkat daya cipta-Nya keindahan mutlak dari Tuhan (al-Jamal, yang Maha Elok) dikesankan pada keindahan dunia gejala (husn = indah), khususnya dalam karya seni dan sastra. Kedua, aspek imanen dari yang indah, yang terungkapkan dalam kata-kata seperti ajaib, gharib, tamasya dan lain-lain, dan selalu terwujud dalam keanekaragaman, keberbagaian yang harmonis dan teratur, baik dalam alam maupun dalam ciptaan manusia. Aspek ini dalam karya sastra terwujud dalam evokasi taman yang indah, ratna mutu manikam, perhiasan dan lain-lain; justru keterlibatan seluruh panca indra dianggap ciri khas keindahan yang sempurna. Ketiga, aspek psikologis atau pragmatik, yaitu efek pada pembaca yang menjadi heran, bersemangat, terlena, yang hilang kepribadiannya karena mabuk warna, keanekaragaman dan lain-lain, yang juga terungkap dalam istilah pelipur lara.
Aspek estetika atau keindahan pada sastra Melayu klasik juga dapat diamati dari bentuk karya sastra yang dihasilkan. Aspek estetika dalam sastra bisa terpenuhi jika karya sastra mampu membangkitkan keseimbangan perasaan dalam jiwa, dengan jalan mempengaruhinya melalui keindahan yang inheren pada struktur verbal dan struktur mental karangan sastra, sebagaimana orang Melayu menyebutnya melalui keindahan bunyi dan isinya. Keindahan bunyi itu ditimbulkan lewat susunan irama narasi yang khas dengan metode resitasinya yang monotone. Sifat resitasi yang berirama tidak hanya terdapat pada syair dan puisi namun juga terdapat pada prosa hikayat. Irama syair yang lebih tegas dan nyata inilah yang mampu menimbulkan semacam katarsis dalam jiwa pembaca. Karena sifat inilah orang Melayu memandang syair sebagai alat sihir.
Di antara beberapa karya sastra Melayu klasik yang memiliki aspek estetika adalah hikayat petualangan ajaib seperti Hikayat Hang Tuah, Hikayat Indraputra, Hikayat Dewa Mandu, dan Hikayat Indra Mengindra. Alur cerita dalam hikayat tersebut secara afektif lebih bersifat netral, dan berperan sebagai alat menyalurkan perhatian dan mengatur susunan komposisi dari deskripsi setiap peristiwa, sedangkan unsur alur cerita direduksi menjadi semacam penghubung dalam hikayat yang dari segi keindahan paling sempurna. Tiap episode mampu mampu menghibur hati secara sempurna.
2. Lingkup Faedah (Didaktis)
a. Hikayat Berbingkai
Di antara beberapa karya sastra Melayu klasik yang dapat digolongkan dalam lingkup faedah adalah dari beberapa genre sastra sebagai berikut: Hikayat berbingkai, seperti Hikayat Bayan Budiman, Hikayat Bahtiar, Hikayat Pelanduk Jenaka, dan Hikayat Kalilah dan Daminah. Karya sastra tersebut bertujuan untuk membimbing tingkah laku orang Melayu secara benar. Oleh karena itu hikayat berbingkai mampu mempengaruhi akal pembaca bahkan hati nuraninya. Cerita-cerita yang terdapat dalam hikayat berbingkai bertujuan untuk menyatakan suatu ide tertentu yang terwujud dalam citra-citra plastis, sehingga mampu mempengaruhi akal pikiran pembaca. Sedangkan aspek keindahan yang terdapat dalam hikayat berbingkai merupakan pengaruh tambahan terhadap jiwa sehingga memasuki seluruh hakikat kemanusiaan.
Cerita semacam ini sangat digemari pembaca, sehingga versi dari masing-masing cerita banyak sekali dijumpai dalam sastra Melayu. Sebagian merupakan kisah binatang (fabel), sebagian lagi tidak termasuk fabel. Yang termasuk fabel ialah Hikayat Khalilah dan Dimnah dan Hikayat Bayan Budiman. Yang tidak termasuk fabel ialah Hikayat Seribu Satu Malam, Hikayat Maharaja Ali, Hikayat Bakhtiar, Hikayat Bibi Sabariah dan lain-lain. Selain sebagai sarana pengajaran, hikayat-hikayat ini berperan sebagai pelipur lara. Cerita berbingkai dan fabel memang berasal dari kesusastraan Sanskerta. Melalui kesusastraan Parsi kisah-kisah semacam itu sampai ke dalam buaian peradaban Islam dan dikembangkan lebih jauh hingga mencapai bentuknya yang lebih sempurna dan mempesona. Para sastrawan Muslim juga meningkatkan bobot cerita-cerita ini, dengan memberinya kandungan falsafah moral, spiritualitas dan pesan kemanusiaan yang universal. Yang paling populer dari hikayat-hikayat tersebut ialah Hikayat Seribu Satu Malam, yang diterjemahkan atau disadur dari salah satu naskah Arab abad ke-14 M. Dari kisah-kisah yang terdapat di dalamnya digubah pula cerita-cerita lepas seperti Hikayat Ali Baba, Hikayat Putri Johar Manikam, Hikayat Aladin dengan Lampu Ajaib, Hikayat Sinbad Pelaut dan lain-lain. Versi paling awal dari Hikayat Seribu Satu Malam dalam bahasa Melayu yang dijumpai ialah salinan awal abad ke-18 M. Pada tahun 1895 untuk kesekian kalinya hikayat ini diterjemahkan kembali dari salah satu versi Arab abad ke-15 oleh Datuk Mahakurnia Alang Ahmad dari Perak.
b. Historiografi Melayu
Historiografi dapat diartikan sebagai pencarian terhadap pemikiran sejarawan pada zamannya. Historiografi mencari tentang ide, subyektifitas, dan interprestasinya. Sebagai sebuah alat untuk melihat sejarah intelektual atau mentalis seorang sejarawan, maka haruslah dilakukan sebuah studi mengenai karya-karyanya. Karya-karya yang termasuk dalam historiografi tradisional adalah babad dan hikayat. Hikayat dan babad pada dasarnya sama, tapi memiliki perbedaan dalam penyebutannya. Hikayat lebih dikenal di Melayu, sedangkan babad dikenal di Mataram.
Historiografi merupakan bagian yang paling asli dari karya sastra Melayu klasik, sangat banyak jumlahnya kronik dan syair sejarah dari periode klasik. Historigrafi Melayu di mulai dari pertengahan abad ke- 16 sampai abad ke- 19 yang heterogen dan sangat rumit dengan tahapan evolusinya yang berbeda ciri dan karakteristiknya. Evolusi atau periodesasi dari historiografi Melayu secara menyeluruh ditentukan oleh Islamisasinya yang makin lama makin mendalam. Gambaran empiris pertama, sedikit banyak memperlihatkan lancarnya transisi dari jenis peristiwa yang satu ke yang lain. Kedua, gambaran empiris ini membuktikan koeksistensi antara jenis kronik Melayu dari evolusi yang berbeda. Koeksistensi tersebut ialah hasil korelasi istimewa antara unsur-unsur pra Islam, Islam awal dan klasik di dalam setiap pusat sastra.
Braginsky membagi tahapan evolusi historiografi Melayu menjadi empat tahap dan menarik garis-garis besar kronologisnya secara umum. Tahap pertama, historiografi Melayu berisi tentang mitos-mitos Melayu, seputar asal-usul dinasti Melayu. Di antara karya historiografi yang masuk dalam tahap pertama adalah Hikayat Banjar dalam resensi wayang dan Salasilah Kutai. Tahap kedua dari evolusi historiografi Melayu dimulai pada abad ke 15 sampai awal abad ke 16, dengan karakteristiknya yaitu, mitos asal usul dinasti mulai berkurang dalam cerita, cenderung menceritakan dinasti seorang raja tertentu, serta belum mencamtumkan tanggal-tanggal dari peristiwa yang penting, karya sastra yang masuk dalam evolusi kedua ini adalah Sejarah Melayu, Hikayat Raja Pasai, dan Hikayat Banjar dalam resensi keraton. Tahap ketiga evolusi historiografi Melayu dimulai pada paruh pertama abad 17 sampai paruh kedua abad ke 18, ciri-ciri dari historiografi pada tahap ketiga ini adalah mitos asal-usul dinasti telah dirusak, hanya berupa pendahukuan mitologis yang diceritakan secara sekilas, telah dipengaruhi oleh etos Islam, mulai mencamtumkan penanggalan terhadap peristiwa penting, pengarang mencantumkan namanya, lebih merupakan historiografi puji-pujian. Karya sastra yang termasuk dalam tahap ketiga ini ialah Hikayat Aceh dan Misa Melayu. Tahap keempat historiografi Melayu dimulai pada abad ke 18 sampai abad ke 19, dengan karakeristiknya yaitu historiografinya hanya menyanjung pada satu orang raja tertentu, pendahuluannya sudah tidak berisi mitos, islamisasi mitos, telah disesuaikan dengan historiografi Islam yang mencantumkan penanggalan. Karya sastra yang termasuk dalam tahap keempat ini adalah Peringatan Sejarah Negeri Johor, Historiografi Bugis Sentris, dan Hikayat Marong Mahawangsa.
Karya-karya bercorak adab dan sejarah, seperti Sejarah Melayu, Taj al-Salatin, Bustan al-Salatin, Hikayat Aceh, dan Tuhfah al-Nafis menggarap selain keindahan lahir dan keindahan akliah, juga keindahan kalbiah atau moral yang berkenaan langsung dengan ajaran agama. Hikmah atau falsafah moral menjadi tumpuan utama karya-karya seperti itu. Oleh karena sastra Melayu berkembang ke puncaknya bersamaan dengan masa kuatnya pengaruh tasawuf, maka kary-karya tersebut juga terkena pengaruh tersebut.
3. Lingkup Kesempurnaan Rohani
Karya sastra Melayu klasik yang termasuk dalam lingkup kesempurnaan rohani memenuhi tugasnya secara tidak langsung. Karena hanya dengan karunia Tuhan hati nurani mampu menangkap realitas tertinggi. Dan sastra relegius-mistik mampu memberikan damapak tersebut terhadap pembacanya. Sastra dalam lingkup ini mampu meneguhkan iman pembaca, menjelaskan hukum agama, dogma dan metafisika Islam kepadanya, melukiskan tahap-tahap pengenalan diri, memperingatkan tentang marabahaya yang akan terjadi pada jalan pengenalannya dan memberikan contoh bagaimana menghindarinya.
a. Sastra Kitab
Kitab adalah sejenis karangan keagamaan yang yang khas ilmiah dalam metode penyampain isinya, disusun terutama untuk murid-murid pesantren (pondok) dan anggota-anggota tarekat sufi. Pada keseluruhannya sastra kitab terdiri dari karangan yang sebagai berikut: kitab tentang ilmu fikh (yurisprudensi Islam), kitab tentang kalam, kitab tentang taswuf, kitab tentang tafsir-tafsir, kitab tentang tajwid, kitab tentang nahwu. Namun tidak banyak kaitan antara sastra kitab dengan pemecahan masalah artistik. Meski demikian, kitab mampu menarik perhatian ahli sejarah sastra, karena, pertama, dari genre ini kepengaran pribadi muncul dalam sastra Melayu. Kedua, dalam sastra kitab muncul ragam gaya bahasa Melayu yang khas, yang terpengaruh oleh gaya bahasa Arab.
b. Hikayat Hagiografi
Hikayat hagiografi merupakan karya sastra Melayu klasik yang sangat penting dari sisi lingkup kesempurnaan rohani. Walaupun dalam banyak hal mirip dengan hikayat petualangan ajaib dan sastra cermin, hikayat hagiografi tidak melukiskan tokoh satria dan sopan santun yang mencapai sukses dalam kehidupan duniawi. Yang dilukiskan dalam hikayat hagiografi adalah tokoh yang lurus hati dan tidak mementingkan diri, penuh keimanan dan dikaruinia ilmu keagamaan, di samping itu tak pandang siapa tokohnya, kekuatan gaib selalu diutamakan, yang sesuai dengan semangat sastra melayu klasik.
Hikayat-hikayat atau karya-karya Arab Parsi yang disadur dan digubah kembali dalam bahasa Melayu dapat dikelompokkan dalam hikayat hagiografi adalah sebagai berikut:
(1) Hikayat Nabi-nabi;
(2) Kisah-kisah berkenaan dengan kehidupan dan perjuangan Nabi Muhammad s.a.w.
(3) Kisah-kisah Para Sahabat Nabi;
(4) Kira Wali-wali Islam yang masyhur, termasuk sufi terkemuka, para pendiri tariqat sufi dan lain sebagainya;
(5) Hikayat Pahlawan-pahlwan Islam;
(6) Hikayat tentang bangsawan Islam yang didasarkan pada fiksi Arab dan Parsi.
c. Kisah-Kisah dan Riwayat Nabi Muhammad S.a.w.
Termasuk dalam kelompok ini ialah Hikayat Kejadian Nur Muhammad, Hikayat Rasulullah, Hikayat Bulan Berbelah, Hikayat Nabi Mikraj, Hikayat Nabi Bercukur, Hikayat Seribu Satu Masalah, Hikayat Nabi Wafat, Hikayat Nabi Mengajar Anaknya Fatimah, Hikayat Nabi Mengajar Ali, Hikayat Putri Salamah (yang mendapat pelajaran dari Nabi, Hikayat Nabi dengan Orang Miskin, dan Hikayat Nabi dan Iblis Melalui kisah-kisah ini pengarang menyampaikan ajaran Islam. Dalam Hikayat Putri Salamah misalnya Nabi mengajarkan bagaimana tugas seorang istri dalam Islam.
Dalam Hikayat Nur Muhamad atau Hikayat Kejadian Nur Muhamad dikisahkan bahwa sebelum menciptakan segala sesuatu di dalam semesta Tuhan menjadikan Nur Muhamad terlebih dahulu sebagai asas kejadian. Nur Muhamad, yang artinya ialah cahaya yang tepuji, merupakan konsep sufi tentang unsur ruhani segala ciptaan, khususnya manusia, yang digambarkan sebagai cahaya terpuji yang berkilau-kilauan. Konsep ini dihubungkan dengan pribadi Nabi Muhamad, yang akhlaq dan pengetahuannya terpuji serta menerangi alam semesta.
d. Risalah Tasawuf yang lazim dimasukkan ke dalam kelompok Sastra Kitab
Tidak sedikit sufi terkemuka menulis risalah tasawuf untuk menerangkan pemikiran atau aliran tasawuf mereka, begitu pula metode dan praktiknya. Tidak sedikit karangan jenis ini menggunakan bahasa sastra dan disisipi ulasan tentang puisi dan pepatah-pepatah sufi yang terkenal. Beberapa sufi yang sangat masyhur sebagai penulis risalah ialah Hamzah Fansuri (Syarab al-`Asyiqin, Asrar al`Arifin dan al-Muntahi); Syamsudin Pasai (Mir`at al-Mu`minin, Mir`at al-Iman, Zikarat al-Dairati Qaba Qawsaini aw `Adna, Mir`at al-Muhaqqiqin dan lain-lain); Nuruddin al-Raniri (Ma` al-Hayat, Hill al-Zill, Tybian fi Ma`rifa al-adyan, Sifat al-Qulub, Hujjat al-Siddiq, Jawhar al-`Ulum dan lain-lain); Abdul Rauf al-Singkili (Daqa`iq al-Huruf, Umdat al-Muhtajin ila al-Suluk Maslak al-Mufridin dan lain-lain); Yusuf al-Makassari (al-Naftahu al-Sailaniya, Zubdah al-Asrar, Qurat al-`Ayn, Syurut al-`Arifin al-Muhaqqiq, dan lain-lain); Syihabuddin Abdullah al-Falimbangi (Kitab `Aqidah al-Bayan), Kiemas Fakhrudin al-Falimbangi (Khawas al-Qur`an al-`azim), Abdul Samad al-Falimbangi (Zuhrah al-Murid, Hidayah al-Salikin, Rawatib); Muhammad al-Muhyiddin (Hikayat Muhammad Saman), kemas Muhammad Ahmad (Nafahat al-Rahman fi Manaqib Ustadhina al-A`zam al-Samman, Bahr al-`Ajaib), Daud al-Pontiani (Taj al-Arus), dan lain-lain.
e. Hikayat Perumpamaan atau Alegori Sufi
Sebagian dari alegori sufi digubah berdasarkan hikayat yang termasuk dalam kategori roman, seperti misalnya Hikayat Syah Mardan, Hikayat Inderaputra dan lain-lain.. Adapun alegori yang disadur dari sumber sastra Parsi ialah Hikayat Burung Pingai, Hikayat Perkataan Alif dan lain-lain. Yang terkenal ialah Hikayat Burung Pingai yang disadur dari Mantiq al-Thayr (Musyawarah Burung) karya Fariduddin al-`Attar, penyair sufi Parsi abad ke-12 yang masyhur. Hikayat ini baru belakangan saja diungkap. Dalam tradisi sastra sufi, burung digunakan sebagai tamsil atau lambang ruh manusia yang senantiasa gelisah disebabkan merindukan Tuhan, asal usul keruhaniannya. Braginsky menemukan bahwa Hikayat Burung Pingai dalam sastra Melayu ditransformasikan atau diubah suai langsung dari Mantiq al-Thayr.
Menurut Braginsky Hikayat Syah Mardan mengandung beberapa rujukan tasawuf, khususnya paham Martabat Tujuh dari Syamsudin Pasai dan Syekh Muhammad Fadlullah al-Burhanpuri. Juga digunakan tamsil-tamsil seperti burung untuk jiwa, jin sebagai makhluq gaib yang menjadi lawan atau kawan seorang ahli tasawuf, pendakian ke puncak gunung disertai penyucian diri di telaga, yang melambangkan pencapaian makrifat.
Dalam Hikayat Isma Yatim dan Ken Tambuhan, tidak sedikit dijumpai bait-bait syair yang mengemukakan perlunya seseorang mempelajari ilmu makrifat dan hakikat diri. Selain itu hikayat-hikayat ini diresapi oleh estetika sufi dan puitika yang disarankan para sufi. Misalnya motif penceritaanm tokoh-tokohnya. Kelahiran seorang tokoh dalam hikayat Melayu selalu disertai gambaran tentang peristiwa alam serba dahsyat sebagai tanda campur tangan kekuatan supernatural dalam kehidupan manusia.
f. Ratib atau Agiografi Sufi
Ada yang ditulis dalam bentuk prosa berirama dan ada yang ditulis dalam bentuk prosa. Dalam bentuk prosa dinamai hikayat. Dalam bentuk prosa berirama, yang terkenal di antaranya ialah Ratib Syekh Saman, Ratib Syekh Abdul Qadir Jailani, Ratib Syekh Hamzah Fansuri, Ratib Syekh Naqsabandi, dan lain-lain. Sedangkan yang dalam bentuk prosa ialah Hikayat Luqman al-Hakim, Hikayat Rabi`ah al-Adawiyah, Hikayat Abu Yazid al-Bhistami, HikayatShamsi Tabriz, Hikayat Mansur al-Hallaj, Hikaya Syekh Abdul Kadir al-Jailani, Hikayat Sultan Ibrahim bin Adham, Hikayat Jumjunah, Hikayat Abu Syamah, dan lain-lain. Meskipun ratib-ratib yang berkaitan dengan kemuliaan para pendiri tariqat sufi terlalu mengeramatkan tokoh yang dikeramatkan seperti Syekh Muhammad Saman dan Syekh Abdul Qadir Jailani, namun dalam aspeknya yang lain cukup memberikan manfaat. Terutama bagian-bagian awal yang berisi al-mada`ih al-nabawiyah.
C. KESIMPULAN
Dari pembahasan yang telah dilakukan, dapat disimpulakan bahwa sastra Melayu klasik memeliki heterogenitas dalam sisi fungsional terhadap para pembaca. Ada tiga aspek yang bisa dibedakan dari masing-masing karya sastra ditinjau dari aspek resepsinya terhadap pembaca. Pertama, aspek estetika atau keindahan, karya sastra bisa dikatakan memiliki aspek estetika jika sastra tersebut mampu membangkitkan keseimbangan perasaan dalam jiwa pembacanya, dengan jalan mempengaruhinya melalui keindahan yang inheren pada struktur verbal dan struktur mental karangan sastra, melalui keindahan bunyi dan isinya. Kedua, aspek faedah atau didaktis, karya sastra bisa dikatakan memiliki aspek faedah atau didaktis jika sastra tersebut mampu mempengaruhi akal pikiran pembacanya, mampu menggiring pikiran pembaca. Ketiga, aspek kesempurnaan rohani, karya sastra bisa dikatakan memiliki aspek faedah atau didaktis jika sastra tersebut mampu meneguhkan iman pembaca, menjelaskan hukum agama, dogma dan metafisika Islam kepadanya, sehingga pembaca menjadi lebih baik keteguhan imannya.
Pemaparan yang telah disajikan dalam makalah ini juga menunjukkan bahwa kesusastraan Melayu klasik mengalami perkembangan yang sangat pesat. Muli dari proses tarnsisi budayanya dari hinduisme-budhiesme menuju Islam. Kesusastraan Melayu klasik mencapai puncak keemasannya sejalan dengan berkembangpesatnya ajaran Islam di Nusantara. Dari berbagai karya sastra yang dihasilkan, karya sastra yang bercorak tasawuf lebih mendonisasi, baik sastra prosa maupun puisi. Hal ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh Islam khususnya tasawuf dalam diri para sastrawan Melayu klasik.

Subscribe to receive free email updates: