Perkembangan Gender dan Identitas Etnis


Perekembangan Gender dan Identitas Etnis_Makalah ini menganalisis kisah para imigran dan memberikan contoh tentang pengaruh masa lalu terhadap perkembangan gender dan budaya tokoh utama. Dalam setiap refleksi narasi dapat dilihat betapa masa lalu mengganggu pengalaman imigran tersebut dan selalu membuat mereka teringat tentang siapa diri mereka dan dari mana mereka berasal. Setiap tokoh utama menceritakan budaya masa lalu mereka dan kesan psikologis dari pengalaman ibu mereka sebagai imigran yang ditinggalkan pada mereka. Yang pada gilirannya, para tokoh utama tersebut juga memulai perjalanan diri dengan menyoroti masa lalu yang mempengaruhi perubahan identitas mereka. Kisah-kisah tersebut menggambarkan kewajiban menegosiasikan dua budaya dan menemukan keseimbangan untuk membangun gender dan identitas etnis yang sangat tidak mungkin. Akhirnya, dalam semua narasi kejadian-kejadian serupa muncul kembali dalam bentuk masa lalu dan mempengaruhi perkembangan gender dan identitas etnis mereka.
Kata kunci: masa lalu, masa kini, gender, etnis, identitas
Abstract
             This essay analyzes immigrant narratives and exemplifies the impact that the past has on the main character’s cultural and gender development. During the course of each narrative reflections of the past intrude on the present immigrant experience and remind the characters of who they are and where they came from. The main characters revolve around their cultural past and the psychological impression that their mother’s immigrant experience has left on them, also embark on a self-reflecting journey that highlights the past that influences their ever changing identity. The narratives illustrate the impossibility task of negotiating two cultures and finding a balance to construct gender and ethnic identity. Finally, in all of narratives a similar thread reappears in the form of the past and its influence on the progression of their gender and ethnic identities.
Key words: past, present, gender, ethnic, identity.
Pendahuluan
Kisah orang-orang yang meninggalkan tanah air untuk mencari sebuah kehidupan baru selalu menarik untuk dikaji. Perjalanan untuk menemukan tempat dalam lingkungan di mana seseorang mungkin atau mungkin tidak menemukan bangsa, bahasa, agama, atau keyakinan budaya yang berbeda mempengaruhi identitas dan kelangsungan hidup di tempat baru itu. Ketika seseorang meninggalkan orang-orang dan tempat-tempat dimana mereka mendefiniskan kesamaan diri dalam hal sejarah dan keyakinan, mereka pasti mengalami perasaan nostalgia dan melankolis : proses ini juga bisa disebut pembebasan. Narasi kaum imigran Amerika berusaha untuk mengabadikan perjalanan pengembangan diri mereka dan semua momen-momen konflik yang terdiri dari pengalaman-pengalaman individu dalam pencarian rumah baru mereka.
Beberapa bagian dari pencarian tempat baru ini melibatkan peran penting masa lalu dan pengaruh langsungnya terhadap pengalaman imigran saat ini. Banyak imigran di Amerika Serikat mengalami trauma ketika mereka teringat kejadian-kejadian, tempat-tempat, atau orang-orang di awal kedatangan yang mengingatkan mereka pada rumah asal mereka. Nostalgia adalah tindakan mengingat-ingat. Wilson dalam bukunya  Nostalgia: Sanctuary of Meaning mengatakan ‘Nostalgia (dari kata nostos—pulang, dan aglia—rindu)  adalah  rindu pulang ke rumah yang sudah tidak ada lagi atau tak pernah ada (Wilson, 1). Seperti tergambar dalam bahwa masa lalu lebih baik dari masa depannya.The Woman Warrior, tokoh perempuan mendapatkan kekuatan dari nostalgia dan pada saat yang sama mengingkari
Narasi imigran yang dikaji dalam makalah ini- The Woman Warrior: Memoirs of Girlhood among Ghosts- menggambarkan bahwa masa lalu memiliki dampak pada pengalaman keimigranan mereka, khususnya pengalaman gender dan identitas etnis di Amerika Serikat. Masing-masing kisah dalam buku ini menceritakan cerita yang berbeda tentang keberlangsungan hidup dan bertahan dalam masyarakat yang asing. Konflik muncul dan tokoh utama mengalami trauma pribadi yang melibatkan pengembangan identitas gender dan etnis mereka. Setiap cerita memiliki tokoh protagonis perempuan yang mengalami tarikan-tarikan budaya masa lalu yang mereka hadapi sebagai imigran pada saat ini, dan masing-masing cerita tokoh menyoroti perkembangan identitas gender terhadap budaya etnis patriarki.
Karya sastra ini dipilih karena kisah-kisahnya berfokus pada peran yang dimainkan imigran dan etnis dalam pengembangan identitas wanita. Masing-masing narasi menggambarkan tokoh-tokoh yang menghadapi realitas keras meninggalkan segala sesuatu yang telah dikenal untuk segala sesuatu yang belum diketahui dan mencoba untuk bertahan hidup dalam lingkungan budaya baru. Dalam makalah ini yang dimaksud dengan imigran adalah mereka yang telah bermigrasi dari satu wilayah, negara, atau tempat tinggal ke tempat yang lain. Biasanya perpindahan itu bersifat permanen dan  melibatkan perpisahan dengan tanah air mereka. Aspek penting dalam perpindahan ke Amerika ini adalah identitas etnis imigran. Identitas etnis, menurut Romanucci-Ross, adalah konstruksi dinamis dan multidimensi yang mengacu pada identitas seseorang, atau rasa diri sebagai anggota sebuah kelompok etnis. Dia melanjutkan, ‘Identitas etnis bukanlah suatu kategorisasi tetap, ia adalah pemahaman diri dan latar belakang etnis yang bersifat cair dan dinamis. Identitas etnis dibangun dan dimodifikasi ketika individu menyadari etnisitas mereka, dalam setting (sosial budaya) yang besar (Romanucci-Ross, xi). Perjalanan seorang imigran menjadi suatu proses yang independen dan kolektif. Ketika seorang imigran menghadapi berbagai unsur budaya baru, mereka mengalami konflik antara nilai-nilai, sikap, tujuan, dan praktek-praktek lama yang menjadi ciri organisasi atau kelompok di sekitar mereka.
Dampak etnisitas terhadap pengalaman seorang imigran yang diilustrasikan dalam The Woman Warrior karya Kingston sebagai nenek moyangnya dan keyakinan budaya yang dia perlambangkan dengan sesuatu yang mengikuti setiap langkahnya dan mengitarinya selama dia dibesarkan. Perjalanan sang ibu (Brave Orchid) ke Amerika juga menjadi pengalaman imigrannya saat ia menderita trauma hidup dengan pertempuran batin ibunya sebagai seorang wanita Cina di Amerika. Menurut Roni Berger, penulis Immigrant Women Tell Their Stories, apa yang melekat dalam konsep identitas etnis adalah proses psikologis kritis dimana orang-orang – para imigran khususnya- mendefinisikan dan menempatkan budaya, dan konteks historis (Beger, 88). Karena berbagai proses ini imigran yang datang ke Amerika Serikat berusaha untuk bertahan pada ikatan budaya mereka. Mereka berusaha untuk menemukan atau membangun komunitas yang menumbuhkan keyakinan yang sama. Unsur lain dari etnisitas yang membentuk pola dalam kisah ini melibatkan kategorisasi diri. Pemahaman tentang bagaimana individu menempatkan diri mereka ke dalam kategori-kategori dan pentingnya mereka menempatkan diri pada kategori-kategori ini merupakan aspek dari identitas mereka. Cara mereka melihat diri sendiri dan cara orang lain melihat mereka terikat ke dalam ‘kepentingan yang mereka lekatkan pada keanggotaan tersebut … dari menjadi pusat sampai sejak diri menjadi kenyataan insidental dari nenek moyang …. Pentingnya istilah tersebut menunjukkan sejauh mana identitas tersebut signifikan bagi konsep diri, istilah lain dalam literatur yang membawa makna serupa adalah sentralitas, menonjol, dan kekuatan’ (Berger, 103).
Identifikasi dengan identitas etnis ini menonjol pada generasi pertama imigran, tetapi cenderung lebih sulit bagi anak-anak imigran. Narasi Kingston mengeksplorasi aspek pengembangan identitas etnis ini ketika dia berjuang mendefinisikan dirinya sebagai Cina-Amerika. Bagi banyak imigran, kategorisasi diri adalah sesuatu yang terikat untuk proses evaluasi valensi atau nilai-nilai yang para individu itu tempatkan pada etnisitas mereka. Evaluasi ini menentukan kepentingan yang mereka letakkan pada etnisitas mereka dan kepentingan yang orang lain letakkan pada etnisitas mereka (Berger, 105).
Seringkali penerimaan budaya cenderung mengidentifikasi imigran ke dalam kategori luas seperti ‘Asia’ dan ‘Hispanik’, padahal mereka mendambakan masyarakat yang memungkinkan individualitas mereka untuk berkembang. Berger mengatakan bahwa etnisitas selalu menjadi produk yang dikonstruksi secara sosial, ditempa dalam interaksi antara sifat-sifat individu dan konteks sekitar (Berger, 158). Pada saat yang sama ada imigran yang menghadapi peristiwa traumatis di rumah baru mereka, dan mereka mencapai suatu batas yang menghentikan perkembangan duniawi mereka dan mengingatkan mereka tentang apa yang mereka atau keluarga mereka tinggalkan.
Proses ini kadang-kadang terkait dengan konsep nostalgia. Nostalgia adalah konsep kunci untuk memahami waktu dan dampaknya pada perspektif individu  tentang masa sekarang dan masa depan. Wilson berpendapat, ‘Nostalgia tidak selalu tentang masa lalu, bisa retrospektif tetapi juga prospektif. Fantasi masa lalu yang ditentukan oleh kebutuhan masa kini memiliki dampak langsung terhadap realitas masa depan (Wilson, 4). Bagi beberapa imigran, memikirkan masa lalu menjadi nubuat pemenuhan diri untuk masa depan mereka di tanah air baru mereka. Seperti dalam novel yang dikaji ini, narasi Kingston adalah dengan menarik langsung dari cerita-cerita masa lalu dan cerita-cerita itu mempengaruhi caranya memandang masa kini dan masa depan. Kadang-kadang nostalgia bertindak sebagai katalis untuk pengembangan yang mandeg dalam struktur naratif. Ia menyoroti saat dimana kemajuan linier narasi terganggu dan perkembangan emosional karakter ditandai oleh masa lalu dan mengganggu pengalaman sekarang. Dalam sejarah masa lalu, nostalgia dianggap sebagai penyakit medis yang menguras pikiran individu dengan kerinduan akan rumah dan kemudian berkembang menjadi apa yang digambarkan Wilson sebagai ‘berkabung untuk mitos yang tidak mungkin kembali, untuk hilangnya dunia yang mempesona dengan batas-batas dan nilai-nilai yang jelas; bisa jadi hal tersebut adalah ekspresi sekuler dari kerinduan spiritual, nostalgia bagi sesuatu yang mutlak, rumah yang baik secara fisik dan spiritual, surga dalam kesatuan ruang dan waktu sebelum masuk ke dalam sejarah (Wilson, 5).
Banyak imigran yang tiba di rumah baru berusaha untuk mencari pengganti baik secara fisik dan spiritual untuk rumah mereka yang hilang. Kadang-kadang para imigran tersebut mengalami nostalgia restoratif yang mengambil masa lalu dan menciptakan memori yang ideal bagi rumah dan bangsa mereka. Lainnya mengalami nostalgia yang mencerminkan kehidupan pribadi yang mereka tinggalkan. Penting untuk dicatat bahwa dalam narasi yang dikaji tokoh utama tidak memiliki keinginan untuk kembali ke tanah air mereka. Tokoh wanita dalam narasi tersebut mencari ‘rumah baru’ dan rasa memilikinya untuk menggantikan semua yang tertinggal. Untuk Kingston mencari rumah adalah perasaan tidak langsung nostalgia yang hadir dalam hilangnya rumah yang diilustrasikan dalam cerita-cerita ibunya dan keinginan ibunya untuk kembali ke Cina.    Peran yang dimainkan nostalgia dalam kisah-kisah imigran juga menjadi usaha aktif dan pasif untuk mendefinisikan rumah dan diri.
Pembentukan identitas gender mengambil peran penting dalam narasi imigran yang dikaji. Evans menjelaskan bahwa, ketika ‘budaya’ relevan yang ‘membangun’gender dipahami sebagai istilah hukum atau perangkat hukum, maka gender akan ditentukan dan ditetapkan dalam rumusan biologi-adalah-takdir. Dalam kasus seperti itu, bukanlah biologi, tapi budayalah yang menjadi takdir ‘(Evans, 12). Dengan kata lain, wanita menganggap peran gender berdasarkan karakteristik tradisional yang budaya mereka berikan untuk pria dan wanita. Narasi yang diteliti membahas pengalaman imigrasi dan dampaknya pada identitas gender mereka. Setiap narasi adalah kisah tentang seorang wanita dengan usia yang berbeda, dan pengalaman hidup yang berbeda, namun mereka memiliki koneksi yang sama- koneksi yang terajut bersama perjuangan mereka dalam menerima diri mereka di rumah baru. Dalam bukunya Feminism without Borders, Decolonizing Theory, Practicing Solidarity Chandra Mohanty mengklaim bahwa perempuan bersatu dengan perspektif, tujuan, dan pengalaman penindasan yang sama (Mohanty, 97).
The Woman Warrior menceritakan beberapa aspek pengalaman perempuan imigran di Amerika Serikat. Judul yang juga merupakan otobiografi ini membawa pembaca melalui perjalanan yang melibatkan masa lalu yang penuh dengan gambar-gambar yang saling bertentangan yang menyulitkan pengembangan diri Kingston sebagai seorang wanita, sebagai penulis, dan sebagai Cina-Amerika. Misalnya, ketika ibu Kingston  menggunakan konsep ‘cerita berbicara’ dia mengacu pada mitos Cina yang mempengaruhi mimpi-mimpi Kingston dan mendistorsi apa yang ia lihat sebagai realitas. Dalam buku ini legenda dan ‘cerita bicara’ membentuk dasar pondasi budaya perempuan dan menegaskan posisi inferior perempuan dalam masyarakat Cina dan memperkuat persepsi tradisional peran gender ibu Kingston.
Pengembangan identitas gender menurut Salman Akhtar dalam buku Immigration and Identity: Turmoil, Treatment, and Transformation Gender Identity,  terdiri dari tiga aspek yang sangat penting untuk identitas diri yang terintegrasi. Ketiga aspek tersebut adalah (1) identitas gender inti, atau kesadaran dan penerimaan memiliki satu atau jenis kelamin lain yaitu menjadi laki-laki atau perempuan; (2) peran gender, atau perilaku terbuka seseorang dalam hubungan dengan orang lain sesuai dengan gendernya, dan (3) orientasi pasangan seksual, atau jenis kelamin lain yang disukai sebagai objek cintanya (Akhtar, 66). Makalah ini akan fokus pada pengembangan identitas gender yang berkaitan dengan peran gender yang dipengaruhi oleh etnisitas imigran dan penerimaan mereka terhadap keperempuanan mereka sendiri. Untuk semua tiga pengembangan gender perempuan  menjadi represi dari koneksi pertama identifikasi gender yang mereka miliki dengan ibu mereka dan hubungan budaya yang mereka buat pada peran gender yang mengelilingi mereka.
Pembahasan 
   
Perjalanan Mistis Masa Lalu dalam Keseimbangan antara Waktu dan Budaya di Masa Kini untuk Pencarian  Identitas Diri Perempuan dalam The Woman Warrior
Bagian ini akan menganalisis narasi Kingston dan menjelajahi saat-saat ketika masa lalu menjadi bagian integral dari struktur otobiografinya. Yang menjadi pertanyaan adalah untuk tujuan apakah dan bagaimanakah insiden-insiden dengan masa lalu mendefinisikan dirinya sebagai wanita Cina Amerika. Dengan meneliti bagaimana Kingston menggabungkan penggunaan legenda dan fantasi, pembahasan ini menggambarkan bagaimana teks merepresentasikan dampak yang ditimbulkan masa lalu terhadap pengembangan diri Kingston sebagai perempuan imigran.
Kingston memecah narasinya ke dalam bagian-bagian yang merupakan rekaman sekuel pengembangan dirinya dan dampak dari waktu dan tempat terhadap konsepnya tentang rumah dan gender. Bagaimana perempuan dan masyarakat mendefinisikan gender adalah sesuatu yang diwariskan dari generasi ke generasi. Masa lalu adalah bagian integral dari bagaimana individu belajar tentang siapa mereka dan tempat mereka di dunia. Bagi Maxine Hong Kingston definisi menjadi seorang wanita Cina-Amerika adalah rasa kompleks dan berkembangnya kesadaran tentang siapa dirinya dan dari mana dia berasal. Menurut Leslie W. Rabine dalam No Lost Paradise : Social Gender and Symbolic Gender in The Writings of Maxine Hong Kingston, penulis feminis seperti Helene Cixous percaya bahwa konsep perbedaan gender berkembang sebagai paradigma yang dengannya kita memahami pola-pola perbedaan tertentu yang membentuk tatanan simbolik kita. Pola ini tidak didasarkan pada perbedaan yang benar tetapi pada oposisi hirarkis. Satu istilah misalnya, maskulin, menempatkan dirinya sendiri sebagai istilah utama dan memposisikan istilah lain (feminin) di bawah, menggantinya dengan cermin kebalikannya, istilah sekunder, yang berasal dari proses atau ‘hukum simbolik’ yang terus-menerus mengingatkan kita bahwa pria dan wanita memiliki fungsi berlawanan di semua level (Rabine dalam Wong, 87).
Oposisi hirarkis ini hadir dalam keluarga, riwayat, dan wacana Kingston. Kingston bahkan memadukan maskulin dan feminin dalam menceritakan kembali suatu legenda untuk menemukan tempatnya dalam sejarah budayanya. Ajaran dan budaya Cina ibunya menceritakan bahwa menjadi ‘gadis’ adalah kutukan bukan karunia, tapi dalam legenda Fa Mu Lan Kingston menggabungkan pencampuran maskulin dan feminin. Dia mengambil cerita ini dan menceritakan kembali dalam bentuk masa lalu, dalam bentuk seorang pria tua dan seorang wanita tua. Pasangan tua tersebut merupakan representasi campuran dari gender yang menciptakan keseimbangan yang penting untuk melatih seorang gadis menjadi pendekar. Dalam Filiality and Woman’s Autobiographical Storytelling, Sidonie Smith berfokus pada perjuangan  Kingston dengan mengkonstruk ‘subjektivitasnya sendiri, muncul dari masa lalu yang didominasi oleh cerita-cerita yang ia dengar, kemudian ia tuliskan kemungkinan fiksi diri perempuan, menjadi sebuah cerita yang ia artikulasikan pada masa kini” (Smith dalam Wong, 59). Setiap bagian dari otobiografi Kingston menjadi representasi dari perjuangan antara masa lalu dan lingkaran patriarkal penghambat yang terus mengelilingi narasinya.
Diskusi ini akan menyoroti masa lalu dan bagaimana ia direpresentasikan dalam legenda budaya, sejarah keluarga, dan model-model peran perempuan yang menandai gangguan dalam pengembangan budaya dan gender Kingston. Di buku The Woman Warrior: Memoirs of a Girlhood Among Ghosts ini, Kingston menyoroti konflik yang menghantui perkembangan dirinya sebagai seorang wanita Cina-Amerika. Narasinya menghubungkan trauma yang terjadi ketika seorang individu dibesarkan di Amerika dan terjebak di antara dua budaya. Kingston pernah sekaligus tertarik dan terganggu oleh peran yang dimainkan perempuan dalam budaya tradisional Cina yang diceritakan ibunya. Sebagai seorang gadis kecil, Kingston diajarkan bahwa tempat seorang wanita adalah sebagai istri atau budak. Namun, cerita-cerita yang dia dengar dan yang ia impikan menunjukkan padanya kekuatan dan keberanian yang menciptakan pahlawan dan pejuang perempuan. Ibunya, yang menjadi peletak dasar pemahamannya tentang budaya, gender dan seksualitas, menceritakan padanya cerita-cerita yang nantinya akan memandu pengembangan dirinya sebagai seorang perempuan dan seorang penulis. kesadaran gender Kingston didasarkan pada cita-cita budaya yang penandanya fokus pada perempuan yang membutuhkan subordinasi seorang tokoh laki-laki. Perempuan itu mungkin memulai sebagai individu yang kuat dan mandiri, tetapi ia akhirnya harus mengikatkan diri kepada seorang pria untuk penerimaan budaya. Evans mengatakan konstruksi gender adalah campuran kompleks yang mencakup problematika perbedaan alami/budaya yang sering kali mengulang-ulang sebuah ‘contoh di mana akal dan pikiran diasosiasikan sebagai maskulinitas dan agensi, sedangkan tubuh dan alam adalah fakta bisu feminitas yang menunggu makna dari oposisi subjek maskulin (Evans, 48).
Budaya yang mengelilingi Kingston mengingatkannya bahwa identitas gender tergantung pada hirarki yang ada antara laki-laki dan perempuan. Dia mencoba untuk menciptakan keseimbangan antara keturunan Cinanya dan budaya Amerika yang mengelilingi dirinya. Dalam novelnya The Woman Warrior dia membagi kisahnya menjadi bagian-bagian yang menekankan pentingnya masa lalu, dalam bentuk sejarah keluarganya, dan dampaknya terhadap perkembangan budaya dan gendernya.

a. No Name Woman
 Dalam cerita pembukanya No Name Woman, Kingston memperkenalkan hantu leluhur yang menghantui dirinya dengan ‘kelaparan akan pertobatan.’ Sang bibi hamil padahal suaminya sedang merantau ke Amerika. Tidak ada yang tahu siapa yang telah menghamilinya. Sang bibipun juga menutup mulut pada keluarga suaminya maupun keluarganyanya sendiri. Sejak itu ia diasingkan, dan pada malam ia hendak melahirkan, masyarakat desa yang bertopeng menyerang rumah keluarganya. Ia berhasil melarikan diri dan melahirkan bayinya seorang diri. Tetapi tak lama kemudian ia bersama bayinya menceburkan diri ke dalam sumur dan sejak itu ia diyakini menjadi hantu bagi keluarganya. Smith menekankan, kisah ini adalah tentang peringatan sang ibu kepada anak gadisnya yang mulai mendapatkan menstruasinya sekaligus menegaskan dan berusaha untuk memutus kekerabatan sang anak dengan bibi perempuan yang kebablasan dengan perilaku seksualnya (Smith dalam Wong, 60). Bibi Kingston adalah simbol pembangkangan dan kematian. Kisahnya diceritakan sebagai peringatan bagi Kingston bahwa gender dan seksualitasnya dapat menghancurkan keluarganya dan dirinya sendiri. Dalam narasi dikatakan ‘ikatan ibunya dalam pengalaman bibinya seolah-olah adalah penduduk desa yang menonton Kingston di Amerika Serikat dan menunggu dia mempermalukan nama leluhur mereka (Kingston, 12). Kingston yang telah hidup di Amerika sejak lahir tidak melihat hubungan antara kehamilan bibinya dan upaya keluarga menghilangkannya dari silsilah. Bagi Kingston hal tersebut tidak adil karena bisa jadi bibinya itu hamil karena diperkosa. Tetapi Kingston hanya bisa menyadari bahwa bahkan bagian yang terlupakan dari masa lalunya secara langsung dapat mempengaruhi hidupnya. Dia mencoba mencari koneksi budaya dengan wanita tanpa nama dan keluarga itu, seolah-olah bibinya adalah katalis untuk keinginannya berhubungan dengan warisan leluhurnya. Inti bagi warisan budaya Kingston berkisar pada “hantu” yang menghantuinya.
Cerita tentang bibi menarik bagi Kingston seperti dikatakannya, ‘setelah lima puluh tahun diabaikan, saya sendiri mencurahkan berhalaman-halaman tulisan untuknya, meskipun tidak saya lipat-lipat dalam bentuk rumah-rumahan dan pakaian’ (Kingston, 16). Usahanya untuk menghormati bibinya adalah bukti perpindahan budaya. Dia mengakui cara lama, tetapi menggunakan bentuk tulisan Amerika yang lebih modern untuk mengenali tempat bibinya dalam silsilah keluarganya. Tempat yang tidak mengakui bahwa, ’seorang anak yang tidak memiliki garis keturunan yang jelas tidak akan melempangkan hidupnya tetapi hanya akan mengejar jejak ibunya, seperti hantu merengek-rengek minta diberi tujuan hidup’ (Kingston, 15). Budayanya mengambil fondasi dari orang-orang yang telah datang sebelumnya dan cerita tentang bibinya menggambarkan penghapusan disengaja sang bibi dari sejarah keluarga. No Name Woman menjadi bayang-bayang yang mengikuti keluarga tetapi benar-benar diabaikan. Akhirnya, Kingston menjadikannya sebuah ikon yang mewakili bagian penting dari masa lalunya, dan masa lalu yang menggambarkan konflik antara perkembangan seksualitas perempuan dan masyarakat patriarki. Masa lalu yang diciptakan Kingston dalam cerita bibinya tampaknya mencerminkan teka-teki keberadaan dirinya sendiri, keseimbangan yang tidak bisa ia temukan di zamannya. Kingston mencatat bahwa, ‘struktur desa, roh yang berkilatan di antara makhluk hidup, seimbang dan terjadi dalam kesetimbangan oleh waktu dan daratan’ adalah bagian dari masa lalu ingin dia klaim (Kingston, 12). Sebuah masa lalu yang ingin ia definisikan demi menemukan tempat yang bisa ia sebut ‘rumah’ budayanya, dan rumah yang dia harap dapat dia rebut kembali dengan menaklukkan batas-batas yang membagi-bagi identitas budaya, ruang dan waktunya.

b. White Tigers
Pada bagian berjudul White Tigers Kingston menggerakkan narasinya ke dalam ranah spiritualitas leluhur sebagai rekonstruksi keinginannya untuk menjadi seorang ‘prajurit perempuan’ dan menemukan tempatnya sebagai wanita Cina-Amerika. Cerita ibunya tentang prajurit perkasa perempuan yang dikenal sebagai Fa Mu Lan membawa dia ke dalam sejarah budaya Cina dan mulai menciptakan penghalang antara keyakinan modern dan tradisionalnya. Cerita tentang legenda prajurit perempuan China dimulai   dengan penjelasan rinci pemisahan Fa Mu Lan dari keluarganya. Seorang pria dan perempuan tua datang dalam kehidupan Fa Mu Lan dan memulai pelatihan fisik dan spiritualnya. Selama delapan belas tahun Fa Mu Lan ditempa berbagai latihan fisik maupun spiritual yang akhirnya membuat dia mewakili ayahnya melawan penguasa di wilayahnya sebagai upaya balas dendam atas kezaliman kepada rakyat kecil. Dalam melakukan aksinya Fa Mu Lan berpakaian sebagai laki-laki sehingga tak ada seorangpun yang mengira dia adalah perempuan. Bahkan ketika ia bertemu kekasihnya yang telah dinikahkan sejak kecil dalam serangkaian pertempuran dan hamil dan melahirkan ia tetap dapat menyembunyikan identitas dirinya sebagai perempuan. Di akhir cerita Fa Mu Lan kembali pada keluarga suaminya dan mengganti perisainya dengan celemek sebagai tanda ia kembali sebagai istri dan ibu bagi keluarganya.
Refleksi dari ‘cara lama’ dan ‘cara baru’ ini menjadi tema lazim dalam narasi Kingston; masa lalu bersaing dengan masa kini. Mentor Fa Mu Lan  memisahkan dia dari keluarganya dan membimbingnya untuk menjadi prajurit. Di tahun keempat belas mereka memaksanya untuk hidup tanpa senjata di tempat harimau. Seiring berlalunya hari dia ingat kata-kata pria dan perempuan tua tentang api dan air dimana dia tergantung pada kebijaksanaan mereka untuk kelangsungan hidupnya (Kingston, 24). Pada titik inilah legenda itu menyatakan pentingnya waktu. Fa Mu Lan melihat penari-penari emas dan tiba-tiba dia ‘melihat berabad-abad telah lewat dalam momen-momen’ dan tiba-tiba dia memahami waktu (Kingston, 27). Bagi generasi pertama imigran Cina, waktu di Cina terasa sangat lambat. Berbeda dengan waktu di Amerika.
Sang prajurit menyadari bahwa meskipun waktu bersifat tetap, ia juga memadukan dan menjadikan sebuah rangkaian kesatuan dari semua era yang berbeda: masa lalu, sekarang, dan masa depan. Penting untuk dicatat sebagai penjelasan bahwa Kingston menyadari agar Fa Mu Lan menjadi ‘prajurit perempuan,’ dia diambil dari lingkungan sosialnya dan dilatih dalam pengasingan. Pemisahan dari norma-norma budaya Cina ini memungkinkan Fa Mu Lan berkembang menjadi seorang pejuang perempuan. Ketika Fa Mu Lan berpindah dari satu pelatihan ke pelatihan lain ia memiliki ketrampilan yang berbeda. Di pelatihan Naga ia dituntut kesabaran dan pengertian bahwa hanya waktu yang bisa membuat dan dikuasai pasangan tua tersebut. Seluruh legenda berfokus pada tema waktu karena menyoroti periode pelatihannya, dan fragmen waktu yang dihabiskan untuk pertempuran. Kingston menguraikan berbagai penaklukan yang telah dilakukan Fa Mu Lan sebagai seorang tentara pembalas dan menyoroti kemampuannya untuk melakukan banyak hal. Namun, dia menyadari bahwa untuk mencapai tujuan itu ia juga harus menyembunyikan seksualitasnya dan ‘menggantikan ayahnya dalam pertempuran, untuk membebaskan masyarakatnya dari eksploitasi dan terorisasi dari para bangsawan’(Smith dalam Wong, 65).
Pada akhirnya, Fa Mu Lan kembali sebagai prajurit penakluk yang harus sujud kepada mertuanya dan mengganti perisainya dengan celemek. Melepaskan kemuliaan sebagai seorang prajurit dan mengambil tempatnya dirumah sebagai ‘istri dan budak’. Kingston sadar bahwa legenda ini menangkap esensi dari waktu dan gender, dan bagaimana pertempuran antara keduanya melawan satu sama lain dalam budaya Cina. Dalam mengisahkan legenda ini Kingston berusaha menunjukkan kemampuannya sebagai prajurit perempuan untuk mengambil apa yang dia butuhkan dari masa lalu dan menjadikannya puas dan produktif di masa sekarang yang menjadi pendorong keirian dan ketidakpuasan Kingston terhadap fakta identitasnya. Perasaan-perasaan kekurangan dalam kisah ini menjadi bahan bakar bagi pergeseran mendadak dalam White Tigers dari ikon Fa Mu Lan dalam diri Kingston yang dalam dunia nyata membisu dan putus asa. Dia tampaknya tidak bisa menemukan keseimbangan antara dua budayanya dan menyesalkan, ‘kehidupan Amerikanya adalah kekecewaan’(Smith dalam Wong, 45). Bahkan, dalam refleksi narasi tersebut Kingston tampaknya telah sesat dalam ruang dan waktu. Meskipun Fa Mu Lan menyelamatkan sebuah desa, Kingston tidak tahu di mana desanya dan bahkan apakah ia termasuk salah satu warganya. Dia membayangkan dirinya sebagai prajurit perempuan perkasa yang pada saat yang sama mengabdi pada keluarga dan karir. Di dalam dirinya ia didorong oleh sang prajurit perempuan’; koneksi leluhur yang merupakan bagian integral dari apa yang memotivasi Kingston meraih stabilitas budaya.
Kingston menciptakan kembali legenda ini dalam rangka untuk menjadikannya pengalaman pribadi menjadi seorang wanita pejuang. Dia harus memutuskan mana pelajaran dari ‘cara lama’ untuk diterapkan dalam kehidupan modernnya. Dan itu berarti ia berkutat dengan ‘mengubah, atau membayangkan aspek sejarah, pribadi, dan budaya masa lalu ke dalam konstelasi kontemporer untuk memvalidasi, membuat koheren, dan memberikan sejarah dan kontinuitas untuk pengalaman modern dan post modern tertentu’ (Paul, 111). Sejarah kuno budayanya adalah suatu bagian umum dari keberadaan dirinya yang harus ia temukan cara untuk memasukkannya ke dalam dunia modern Amerika dimana dia tinggal. Narasi ini beralih ke hidupnya di Amerika dan betapa sulitnya untuk menjadi prajurit bagi dirinya sendiri. Garis antara masa lalu dan sekarang terus mengabur ketika Kingston membayangkan dirinya sebagai prajurit perempuan menghadapi musuh Amerikanya. Dia melihat mereka “dalam kedok Amerika modern eksekutif, setiap bos lebih tinggi dua kaki dari saya dan tidak mungkin untuk melihat mata ke mata’ (Kingston, 48). Dia menyadari perbedaan fisik dan budaya yang memisahkan dia dari rekan-rekan Amerikanya. Meskipun Amerika adalah rumahnya dimana dia melabuhkan perasaan kebencian dan ketidaknyamanan karena tidak mampu untuk menyesuaikan diri sepenuhnya sebagai Cina Amerika. Kingston menyadari bahwa dia telah ‘tumbuh di sebuah rumah dan budaya tradisional, yang nilai-nilainya, konsep-konsepnya tentang ruang dan waktu, sangat berbeda dengan nilai-nilai Pendidikan Amerikanya yang terintegrasi dan sekuler ” (Paul, 113).
Cita-citanya sebagai seorang perempuan dan sebagai penulis adalah berdasarkan pencampuran prinsip-prinsip kenyataan ini. Dia mengakui bahwa posisinya dalam masyarakat diwarnai oleh nilai-nilai Cina Amerika dan ia mencoba untuk menciptakan sebuah jembatan yang memungkinkan dua budayanya untuk hadir dalam dirinya dan masyarakatnya, sebuah jembatan antara masa lalu dan kini yang memungkinkan dia untuk eksis di dunia modern sebagai ” prajurit perempuan.
c. Shaman
Dalam Shaman fokus narasi Kingston bergeser ke perempuan prajurit paling berpengaruh dalam hidupnya yaitu ibunya. Bagian ini menjelaskan secara rinci pengalaman pendidikan dan kehidupan profesional ibu Kingston (Brave Orchid) di Cina, ketika dua anaknya meninggal dan suaminya merantau ke Amerika. Uang kiriman dari suaminya dipakai untuk pendidikan menjadi Shaman. Dalam konteks budaya Cina, Shaman lebih dari sekedar dokter. Ia bisa menganalisis penyakit seseorang yang bisa jadi disebabkan oleh bakteri atau virus atau bahkan hantu. Tidak semua orang bisa menjadi Shaman. Hanya mereka yang pernah mengalami ‘kehilangan’ yang bisa terpanggil.
Pengalaman Brave Orchid bersekolah kedokteran dikisahkan oleh Kingston bercampur dalam baris kata antara masa lalu dan masa kini yang dimulai dengan ungkapan ‘a text as old as the Han Empire, when the prescription for immortality had not yet been lost (teks setua kekaisaran Han, ketika resep untuk keabadian belum hilang)’(Kingston, 62). Sekolah ibunya percaya bahwa ‘pengobatan kuno’ telah dikuasai sebelum praktik pengobatan barat yang modern. Ibunya memiliki pengalaman selama sekolah di kedokteran yang menempatkan dia di jembatan antara masa lalu dan masa kini. Ketika dia melawan ‘hantu duduk’ jiwanya melayang hampir sepuluh tahun (dalam konsep waktu makhluk halus) sampai ‘kembali sepenuhnya padanya dan bertengger dengan cantik di dalam kulitnya. Hal itu terjadi saat dia dan anak-anaknya tidak pergi ke Amerika di masa lalu untuk bersama sang ayah’(Kingston, 72). Dalam pertempuran melawan hantu ini Brave Orchid ditarik antara periode waktu yaitu sepuluh tahun di masa lalu ketika suaminya berangkat ke Amerika. Setelah melawan ‘hantu duduk’ dan jiwanya belum kembali ke raganya, teman-temannya membawa dia kembali ke masa kini dengan memanggil namanya (Brave Orchid)  dimana mereka berhasil  dan Brave Orchid menyelesaikan sekolah sebagai dokter yang sukses. Brave Orchid kembali ke desanya dan orang-orang memuja-mujanya ‘bagai penyihir kuno yang turun gunung’(Kingston, 76).
Kehidupan sebagai Shaman di Cina yang bergelut dengan hantu-hantu penyebab penyakit penduduk desa terbawa ketika akhirnya, suaminya menjemputnya dan dia meninggalkan China. Ketika ia tiba di Amerika dia langsung dikelilingi oleh ‘hantu-hantu.’ Hantu-hantu ini menjadi bagian integral dari keberadaannya di Amerika. Dia menggeser ‘hantu duduk’ dari Cina ke ‘hantu taksi, hantu bis, hantu polisi,’ dan ‘hantu putih’ di Amerika Serikat. Kisah hantu di Cina dan hantu Amerika yang dalam konsep ibunya adalah penyebab ketidaktenangan dalam diri seseorang ditanamkan dalam diri Kingston dan saudara-saudaranya. Penggabungan keyakinan dari masa lalu di Cina dan kini di Amerika Serikat ini adalah upaya Kingston  untuk membangun identitas budaya yang menyatukan masa lalu dan masa kini. Melalui  ceritanya Brave Orchid mewarnai dunia anak-anaknya berkilauan dengan roh-roh leluhur dan dicampur dengan penjelasan hantu-hantu. Kingston dikelilingi oleh gambar-gambar yang mengingatkannya pada jembatan antara masa lalu dan masa kini ibunya. Ibunya dengan sengaja membingkai rumahnya dengan, ‘roh leluhur, kerabat yang gambarnya tergantung di dinding rumah keluarga di Stockton, dimana dia mengirimi persembahan-persembahan aneh dari waktu ke waktu’ (Gilmartin 21).
Cerita-cerita dan gambar-gambar itu sering meninggalkan kesan bagi Kingston dengan ‘mimpi buruk’ berulang yang mengganggu hari-harinya siang dan malam. Menjadi ritual baginya untuk ‘menyalakan lampu sebelum sesuatu yang tak diinginkan’ terjadi dan sangat penting baginya untuk ‘mendorong sesuatu tak berbentuk (hantu)’dari mimpinya (Kingston, 87). Sebagian besar dari mimpi-mimpi ini dalam bahasa Cina karena ia adalah bahasa yang dia asosiasikan dengan sesuatu yang ‘tidak mungkin.’ Ibunya tidak hanya menandai sejarah spiritualnya dengan cerita, tapi ia mulai mempertanyakan referensinya tentang waktu. Dia terus menerus mengatakan pada anaknya bahwa waktu berbeda di China dan Kingston merespon dengan menekankan bahwa ‘waktu adalah sama di setiap tempat’ (Kingston, 106), seolah-olah untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa pencampuran konsepnya tentang ruang dan waktu merupakan elemen penting dalam perkembangan budayanya. Kingston tergantung pada kepercayaan ini dalam rangka menciptakan titik acuan demi kedewasaannya dalam kehidupan Amerika yang tenang. Hal ini menjadi satu-satunya cara untuk menemukan ‘rumah’ yang sebenarnya.
d. At the Western Palace
At the Western Palace berkisah tentang pengalaman imigran-bibi Kingston-Moon Orchid dan ketidakmampuannya mengatasi kepindahannya dari Cina ke California. Dalam narasi ini Kingston menggambarkan bagaimana stagnasi sementara bisa berbahaya bagi kesehatan mental. Kingston memulai dengan menunjukkan bahwa kedua bersaudara-Brave Orchid dan Moon Orchid- tidak memiliki konsep tentang waktu yang berlalu. Keduanya terkejut melihat penampilan masing-masing dan terus mengulang,’kau terlihat begitu tua … bagaimana kau bisa begitu tua? (Kingston, 119). Mereka masing-masing memiliki pemahaman yang terdistorsi waktu dan tidak dapat memahami bahwa tiga puluh tahun akan mempengaruhi tubuh dan kepribadian mereka. Ketika Moon Orchid tiba di California dia merasa puas tinggal dengan kakaknya dan membantu bekerja melipat pakaian di binatu. Namun, Brave Orchid menegaskan bahwa ia harus menemui suaminya yang telah meninggalkannya selama tiga puluh tahun kemudian menikah dengan orang Amerika dan merebut kembali tempat yang selayaknya sebagai istri pertama. Moon Orchid dengan ragu-ragu, mengatakan bahwa ia takut dan ingin kembali ke Hong Kong (Kingston, 125).
Ketakutan ini menjadi faktor luar biasa dalam hidup Moon Orchid. Ketakutan ini melumpuhkan perkembangannya sebagai seorang Amerika dan memperpendek hidupnya. Diperberat oleh fakta ketika akhirnya bertemu sang suami dan suaminya itu tidak ingin berhubungan lagi dengannya dan waktunya selama di Amerika yang penuh  dengan kecemasan yang menghancurkan. Moon Orchid mulai berimajinasi keponakan- keponakannya bersikap ‘kasar’dan ‘menuduh’ karena mereka tidak mengikuti perilaku sopan budaya Cina. Dia menyamakan model pendidikan Amerika mereka dengan ‘alam liar’dan merasa bahwa percakapan mereka ‘tak beradab’ dan gerakan-gerakan mereka ‘kasar’(Kingston, 133). Pengamatan sang bibi dalam narasi Kingston berfungsi sebagai cerminan dari opini-opini yang didengar Kingston di masyarakat Amerika karena Moon Orchid tidak pernah benar-benar berupaya untuk berasimilasi ke dalam kehidupan Amerika. Dia tidak bisa menerima konsep berbeda tentang ‘waktu’di Amerika misalnya. Tubuh dan pikirannya diprogram untuk fungsi lebih lambat, lebih pada kecepatan kuno dibanding konsep waktu di Amerika. Dia menjadi contoh imigran  yang tidak dapat menemukan ‘rumah’ di negeri barunya. Kingston menggunakan kisah bibinya sebagai cerminan dirinya sendiri. Melalui Moon Orchid dia mengungkapkan ketakutannya akan ‘kegilaan.’ Bagian narasi ini berfungsi sebagai peringatan tentang apa yang mungkin terjadi jika Anda membiarkan rasa takut Anda membungkus jiwa Anda. Brave Orchid menyadari bahwa Moon Orchid telah salah menempatkan dirinya, jiwanya (‘perhatian’ nya Brave Orchid menyebutnya) bertebaran di seluruh dunia (Kingston, 157). Setelah disingkirkan oleh suaminya, dia akhirnya hidup dengan saudaranya. Sayangnya, pikirannya kehilangan ‘ragam’ dan dia ditempatkan di rumah sakit jiwa. Melalui narasi ini Kingston menyampaikan pengalaman malang imigran. Dia memahami bahwa bibinya tidak bisa menemukan keseimbangan antara perbatasan waktu atau budaya.

e. A Song for A Barbarian Reed Pipe
Akhirnya,  A Song for a Barbarian Reed Pipe menutup kisah narasi dengan kompilasi cerita yang menggaungkan pencarian Kingston akan keseimbangan antara waktu dan budaya. Suatu stabilitas yang dia rasa hanya dapat dicapai dengan menemukan suaranya. Pada awalnya suaranya terdengar parau seperti‘serpihan’atau ‘tulang’(Kingston, 169). Kingston tidak mampu untuk menceritakan kisahnya sendiri. Diam menjadi senjata yang digunakan untuk melawan dirinya. Dalam pengamatannya dia menyadari bahwa imigran Cina berbicara keras dan tidak menarik bagi telinga orang Amerika. Dia teringat seorang gadis muda yang menolak untuk berbicara di sekolah Cina. Kingston membenci diamnya karena ia tampak seperti orang yang kalah. Dia melihat refleksi dirinya sendiri dan tidak bisa mentolerir kenyataan. Menjadi misi pribadinya untuk memaksa sang gadis berbicara. Dalam usahanya membantu gadis muda tersebut ia memilih penganiayaan fisik dan emosional, seolah-olah dia sedang mencaci maki diri sendiri karena sikap pengecutnya. Keinginannya untuk menjadi seorang ‘prajurit perempuan’ membutakan tindak tanduknya dan memberikan kualitas keputusasaan kepada mereka. Setelah meninggalkan sang gadis muda menangis dan mengalami trauma dia pulang ke rumah dan menghabiskan delapan belas bulan berikutnya memulihkan diri dari penyakit misterius, penyakit yang mencerminkan rasa bersalahnya. Kemudian dia menyadari bahwa kebisuan gadis muda itu dipicu oleh fakta bahwa Cina Amerika dibesarkan diantara hantu-hantu, diajar oleh hantu, dan menjadikan diri sendiri seperti hantu’(Kingston, 183).
Hantu ini mewakili nilai-nilai masa lalu dan menciptakan kesempatan bagi Kingston untuk terlibat dalam dialog modern dengan konvensi budaya leluhurnya yang berdampak pada keadaannya masa kini. Dia mengerti bahwa pada saat ini dan di tempat ini dia perlu mendefinisikan siapa dirinya dengan mengikuti langkah nenek moyangnya. Bagian dari transformasi Kingston dan pemahaman sementara terjadi ketika dia mengakui bahwa dia bukan anggota keluarga yang gila. Dia terobsesi oleh fakta bahwa dalam setiap bagian narasinya berisi individu yang secara mental tidak stabil. ‘No Name Woman’ tampaknya kehilangan pikirannya ketika melakukan bunuh diri. Ibunya melihat wanita gila dilempari batu sampai mati di Cina. Kemudian, paranoia Moon Orchid melemahkan dirinya sendiri dan meninggal di rumah sakit jiwa. Apakah wanita itu berhubungan dengannya, atau orang asing, mereka menjadi contoh yang relevan dari apa yang paling dia ditakuti; ketidakwarasan. Pikirannya mulai berputar di sekitar fakta bahwa dia mendengar ‘orang-orang petualang dalam’ kepalanya yang memberinya percakapan tak berujung. Namun, kata-kata ibunya memberikan kenyamanan dan pemahaman yang membawanya pergi dari bayang-bayang ketakutan akan masa depannya. Dia menjelaskan perbedaan antara orang gila dan orang waras. Brave Orchid menjelaskan bahwa ‘orang waras memiliki banyak variasi ketika mereka bercerita. Orang gila hanya memiliki satu cerita yang mereka ulang-ulang’(Kingston, 159).
Kingston mulai menghargai karunia berupa imajinasi dan berbagai cerita yang belum dia ceritakan. Bagian terakhir dari narasinya dimulai dengan cerita bahwa ia dan ibunya sama-sama menulis. Ini adalah bukti fusi waktu dan sebuah pemahaman tentang batas yang dapat dimanipulasi untuk menciptakan narasi sejarah. Dia mengakui bahwa awal cerita adalah milik ibunya dan akhir cerita adalah miliknya (Kingston, 206). Ini adalah kisah yang sempurna menggambarkan kekuatan Kingston untuk mengendalikan dampak waktu dalam narasi pribadinya. Cerita melibatkan seorang wanita muda yang diambil oleh ‘barbar’ dan dipaksa untuk hidup di tempat baru. Setelah bertahun-tahun diam dia mulai menyanyikan sebuah lagu bersama anak-anaknya yang membawa ke generasi mendatang. Kisah ini adalah cerita yang mencerminkan kehidupan Kingston dan menunjukkan bagaimana ia mengambil masa lalu dan menggambarkan suatu pemahaman masa kini. Seluruh pencarian Kingston sebagai penulis narasi adalah untuk melibatkan legenda tradisional Cina, peristiwa-peristiwa pribadi dan cerita-cerita keluarga dan memanipulasinya menjadi representasi dari masalah pribadinya. Masalah-masalah yang berputar di sekitar pencariannya atas kebenaran pribadi melibatkan pencampuran waktu  dan ruang dalam perkembangan budayanya. Dia memadukan mitos dan legenda dengan peristiwa sejarah yang terjadi padanya dan keluarganya dan menciptakan sebuah memoar yang relevan dengan keberadaan modernnya.
Obsesi Kingston dengan masa lalu merupakan aspek identitasnya yang membangun perspektif sejarahnya dan memungkinkan dia untuk sampai pada kebenaran individu sendiri. Kemampuannya untuk mengubah peristiwa dan kenangan ke dalam narasi yang koheren memberikan pembaca wawasan tentang kehidupan dan validitas pada pengalamannya. Kebenaran tidak pada apakah mereka terjadi atau tidak, tetapi pada bagaimana Kingston memilih dan memposisikan mereka ke dalam sebuah narasi yang memberi mereka kehidupan. Memoar Kingston menarik pembaca dalam ceritanya dengan memetakan perkembangan gender dan identitas etniknya dalam empat bagian. Dua bagian pertama dari narasinya fokus pada legenda sejarah dan budaya yang mendefinisikan perkembangan etnisnya dan pemahamannya tentang apa artinya menjadi seorang wanita Cina. Dua bagian terakhir menekankan pada model peran perempuan saat ini yang mendefinisikan perkembangan gendernya. Kingston memahami bahwa masa lalu adalah sesuatu yang hanya dapat diingat atau dihidupkan kembali melalui  tanda-tanda yang telah dibuat pada narasi kita sekarang.

Penutup
Diskusi di atas membuktikan bahwa masa lalu dapat dirasakan pada pengalaman imigran dan sebagai hasilnya, mempersulit perkembangan gender dan identitas etnis.Pembahasan yang difokuskan pada bagaimana narasi dikembangkan, dalam bentuk sketsa singkat yang menyoroti legenda dan cerita.dan membentuk struktur naratif yang berbeda untuk sampai pada kesimpulan dasar yang sama. Pengalaman imigran dipengaruhi oleh budaya masa lalu jelas terlihat dalam  novel ini yang menggambarkan bagaimana karakter perempuan bergumul dengan  konflik dengan identitas etnis dan komplikasi yang sama dengan perkembangan gender. Homi Bhabha mendefinisikan dampak masa lalu di masa kini sebagai sesuatu yang ‘tidak hanya ingat masa lalu sebagai penyebab sosial atau preseden estetika, memperbaharui masa lalu, refiguring sebagai kontingen’ peralihan’ ruang, yang berinovasi dan mengganggu kinerja saat ini. Masa lalu -sekarang “menjadi bagian dari kebutuhan, bukan nostalgia, hidup’ (Bhabha, 10).
Masa lalu memiliki klaim atas pengalaman imigran ini dan klaim ini menandai perkembangan gender dan identitas etnis, sehingga pertemuan imigran didefinisikan oleh masa lalu. Dalam kisah di novel ini karakter utama berkaitan dengan pengalaman imigran melalui trauma pribadi ibunya yang meninggalkan China. Narasi menggambarkan bahwa konflik yang mengganggu seorang imigran generasi pertama kadang juga menyeret anak-anak mereka. Dalam narasi Kingston dapat dibuktikan bahwa jika seseorang mengakui adanya masa lalu maka bisa menjadi proses penyembuhan. Jika salah satu tidak beradaptasi dengan masa lalu di masa sekarang, seperti Moon Orchid, maka dapat berakibat menghancurkan, pada gilirannya akan menghentikan perkembangan baik gender dan identitas etnis. Perjuangan untuk menemukan keseimbangan antara budaya yang menjembatani ‘masa lampau’dan secara aktif menghasilkan pengembangan identitas gender hadir dalam setiap narasi. Bagaimana para imigran yang berjuang untuk bertahan hidup di lingkungan yang asing berhasil menemukan keseimbangan antara budaya? Adakah kunci untuk menjembatani kesenjangan antara perkembangan gender dan harapan budaya yang menandai pertumbuhan seorang imigran? Teori Evans tentang identitas gender menekankan bahwa ‘budaya subjek terlibat melakukan negosiasi konstruksi, bahkan ketika konstruksi tersebut adalah sangat predikatif atas identitas sendiri’ (182). Penjelasannya adalah bahwa fungsi dari masa lalu bagi pengalaman imigran adalah untuk bertindak sebagai katalis yang merusak keseimbangan antara ‘nanti’ dan ‘sekarang.’ Budaya dan sejarah pribadi yang telah membuat situasi sulit bahkan lebih tak tertahankan lagi bagi imigran. Kegagalan untuk merangkul masa lalu dan menyatukan budaya adalah instruktif: teori sosial apa yang bisa dibangun dari kegusaran yang dialami imigran perempuan dalam pencarian mereka untuk menemukan sebuah ‘rumah’ ? Apakah akulturasi total satu-satunya pilihan ? Atau adakah metode paling tepat untuk menemukan keseimbangan yang menyeluruh antara budaya? Dapatkah identitas gender berkembang ketika subjek tidak memiliki tempat dan stabil? Kisah-kisah ini menjelaskan betapa mustahilnya negosiasi antara dua bidang budaya dan penemuan keseimbangan yang mengkonstruk gender dan identitas etnis.

Subscribe to receive free email updates: