SEJARAH DAN PEMIKIRAN ADONIS


Sejarah dan Pemikiran Adonis
BIOGRAFINYA
Adonis lahir di Desa Al-Qassabin, dekat Kota Lakasia, Suriah, tahun 1930 dengan nama asli ’Ali Ahmad Sa’id Asbar. Meski tak duduk di sekolah formal sampai usia 12 tahun, anak pertama dari enam bersaudara ini sudah belajar membaca dan menulis pada seorang guru desa dan mendapat pendidikan Islam tradisional dari ayahnya, seorang petani dan imam masjid.
Nama Adonis bukanlah nama asli, nama Adonis diberikan oleh Anton Sa’adah, pendiri dan ketua partai Nasionalis Syiria di tahun 1940-an. Nama Adonis pada dasarnya adalah nama salah satu dewa dalam legenda Babilonia kuno. Dewa muda ini merupakan simbol dari keindahan da kebaikan. Ia lahir dari hubungan gelap antara raja Theyas atau Cinyras, raja Siprus dengan putrinya Myrrha. Akibat hubungan itu, Myrrha dikutuk menjadi pohon, dari pohon itulah Adonis lahir sebagai simbol kehidupan baru yang bebas dari dosa dan kenistaan.
Ketika membacakan puisi- puisi heroik karyanya di depan Presiden Suriah Shukri al-Quwatli, tahun 1944, Sang Presiden terpesona, lalu mengirim Adonis ke sekolah Perancis di Kota Tartus. Adonis yang cerdas melompati tingkat-tingkat kelas. Ia menyelesaikan studi di bidang hukum dan filsafat di Universitas Damaskus, dan sempat belajar di Perancis. Tahun 1973, ia memperoleh PhD dalam Sastra Arab dari Universitas St Joseph di Beirut.
Semangat pembaharu terkandung dalam pilihan nama pena yang diambilnya dari mitologi Yunani. Ia sempat merasakan dinginnya lantai penjara pada tahun 1955. Bersama istrinya, kritikus sastra, Khalida Said (kini 76 tahun), mereka pindah ke Lebanon tahun 1956. Ia mendirikan jurnal Shi’ir yang memperkenalkan gagasan modernitas ke dalam puisi Arab, dan langsung dilarang di beberapa negara Arab. Ia juga mendirikan jurnal kebudayaan, Mawaqif. Adonis mengajar Sastra Arab di Universitas Lebanon sebelum menetap di Paris awal tahun 1980-an karena perang saudara di Lebanon. Ia mengajar di Sorbonne Paris III, dan menjadi dosen tamu beberapa universitas di AS dan Swiss.
Meski berpindah-pindah tempat tinggal, ia tak pernah dirisaukan soal identitas. Bagi dia, identitas adalah proses ”menjadi” yang terus-menerus. Ayah dua anak perempuan, Arwad (50) dan Ninar (35), ini dikenal sebagai intelektual Muslim dan penulis dunia yang membangun jembatan-jembatan pemikiran. Ia menerima berbagai penghargaan dari berbagai negara. Namanya berada dalam daftar pendek nominasi Nobel untuk Kesusasteraan sejak tahun 2003.
Adonis ini sebetulnya orang yang dikutuk oleh banyak ulama di Timur Tengah, buku-bukunya dilarang beredar di Saudi, oleh mufti besar Saudi yang sudah meninggal, Abdullah bin Abdul Aziz bin Baz, yang dikenal dengan bin Baz, dia disebut sebagai hubal modern yaitu arca yang dihormati sekali pada masa jahiliyah. Karena memang
Adonis banyak sekali memuji para nabi-nabi palsu. Dia memuji mereka karena bagi dia, nabi-nabi palsu ini adalah sisa-sisa kekuatan jahiliyah kuno yang bertahan atas tabi’ Islam. Tetapi, anehnya Adonis ini menulis sebuah teks yang luar biasa tentang al-Qur’an–satu kitab suci yang dibawa oleh nabi asli, bukan nabi palsu. Adonis menulis sebuah teks tentang al-Qur’an dan tafsir al-Quran Judul yaitu al-Nashsh al-Qur’ani wa Afaq al-Kitabah, (Teks Al-Qur`an dan Horison Penulisan).
KARYA-KARYANYA
Beberapa karya Adonis antara lain lebih dari 20 buku puisi. Puisi pertamanya terbit tahun 1957, ”Leaves in the Wind” (1958). Adikaryanya, ”Aghani Mihyar al-Dimashqi” atau ”Songs of Mihyar the Damascene” (1961), baru diluncurkan terjemahannya dalam bahasa Indonesia.
Karya Adonis lainnya antara lain ”A Time Between Ashes and Roses” (2004), ”If Only the Sea Could Sleep” (2003), ”The Pages of Day and Night” (2001), dan ”The Blood of Adonis” (1971).
Adonis juga editor dari buku-buku antologi, ahli teoretisi puisi, dan penerjemah buku-buku berbahasa asing ke bahasa Arab. Citra Adonis yang memancar begitu variatif dalam setiap karyanya dan mendorong banyak kalangan, khususnya Ali Harb, melihatnya sebagai pencipta, penyair, kritikus, pemikir, dan bahkan “nabi”.
PEMIKIRANNYA TENTANG ISLAM DAN BUDAYA
Pemikiran-pemikiran Adonis dapat dibaca dalam karya monumental Adonis berjudul al-Tsâwabit wal Mutahawwil: Bahts fi al-Ibda wa al-Itba ‘inda al-Arab (Yang Tetap dan Yang Berubah) buku yang semula merupakan disertasi doktoralnya di Program Sastra Timur Universitas St. Yosef. Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) Yogyakarta menerbitkan empat jilid edisi bahasa Indonesia.
Adonis mendapati dua kecenderungan yang senantiasa bertarung dalam sejarah budaya Arab-Islam, yakni kecenderungan terhadap “kemapanan” (ats-tsâbit) dan kecenderungan terhadap “perubahan” (al-mutahawwil). Akan tetapi, menurut Adonis, yang paling dominan dalam pertarungan tersebut semenjak sejarah budaya dan peradaban Arab-Islam terbentuk, bahkan hingga kini, adalah kecenderungan terhadap kemapanan dalam segala manifestasinya.
Bagi Adonis, teks agama sering kali ditafsirkan sebagai alat kekuasaan untuk mencapai tujuan politik tertentu. Aliran politik yang despotik dan penafsiran sempit ideologi keagamaan senantiasa melahirkan pemaksaan dan kekerasan. Kemanusiaan yang tanpa sekat tak mendapat tempat. Sejarah memperlihatkan, yang kuat yang menafsirkan. Mereka menciptakan kebenaran tunggal, mereka adalah kolaborasi penguasa, intelektual, dan uang.
Pemikiran di luar lingkaran itu dibenamkan. Orang-orangnya dikafirkan, dimarginalkan. Itu terjadi pada para sufi, filsuf, dan penyair yang pemikirannya tak pernah tunduk pada klaim tertentu. Mereka adalah ”liyan”, si ikan paus biru dalam karyanya, Musiqa al-Hut-al-Azraq (Musik Paus Biru).
Toleransi sejati tak mungkin dibangun kalau satu pihak mengklaim kebenaran tertinggi. Di dalam kebenaran tunggal, kebudayaan tak bisa berkembang karena kreativitas yang melahirkan pembaruan hanya dimungkinkan jika akal dan imajinasi manusia tidak dipenjara oleh sesuatu yang dianggap tak pernah bisa berubah.
PEMIKIRANNYA TENTANG SASTRA DAN PUISI
Pandangan Adonis tentang kebenaran sebagai sesuatu yang harus terus diuji senantiasa berhadapan dengan pandangan arus utama tentang kebenaran sebagai yang sudah pasti. Itulah jantung perbedaan puisi dan teks agama. Puisi berproses dalam situasi yang terus berubah dan menjadi. Puisi adalah tindakan awal tanpa akhir.
Adonis menolak nilai-nilai statis dalam membangun tradisi sastra dan budaya. Ia meredefinisi puisi secara prestisius sebagai “visi untuk mengubah dunia”. Dengan mencipta kebaruan dalam ekspresi sastra, Adonis membangun pembaruan dalam kesusastraan yang membuat dirinya sebagai “juru bicara” sastra Arab kontemporer. Visi tersebut berujung pada pembentukan identitas dan kebudayaan baru berdasarkan kebebasan berekspresi dan perubahan yang mencerahkan.
Puisi bagi Adonis adalah “upaya menciptakan dunia baru dengan cara melemparkan masa kini ke masa depan atau membuka pintu-pintu masa kini untuk menerawang masa depan. Lebih lanjut dalam Zaman Puisi (1972), ia menyatakan, “puisi baru merupakan metafisika eksistensi kemanusiaan; pujangga besar ialah perubah, bukan hanyut dalam keheningan (statis)”. Sebagaimana TS Elliot dalam sastra Inggris.
Adonis meneliti puisi-puisi terbaik Arab sepanjang masa, mulai dari era Jahiliah hingga modern. Mulai dari ‘Imru al-Qays hingga Kahlil Gibran, dan membikin buku yang berjilid-jilid dalam Antologi Puisi Arab di awal 1960-an. Temuan Adonis mencengangkan. Hampir mayoritas produk puisi Arab—yang kita maklumi sebagai intisari karya sastra Arab—mengikuti nalar yang mengekor ke masa lalu. Stilistika dan bentuk puisi Arab manut pada suatu wujud yang baku, mapan, dan tak tergugat. Jika sastra yang semestinya menabuh perubahan, kreatif, dan dinamis, situasi itu membuat kebudayaan menjadi statis. Adonis menilai kemunduran sastra menjadi ayat bagi kemerosotan budaya yang dipegang oleh mayoritas kemapanan yang statis.
Adonis berpendapat bahwa sastra Islam itu tidak ada. Tapi yang ada adalah sastra di kalangan masyarakat muslim. Pada masa awal Islam sastra atau puisi itu mati, padahal sebelumnya sangat subur dan dikenal dengan nama Sastra Jahili. Hal ini disebabkan sastra ditarik ke ranah ideologi, yaitu dengan banyaknya kutipan-kutipan al-Quran ataupun alhadis. Orang akan lebih memilih langsung membaca teks alqurannya dari pada puisi yang dicampuradukkan dengan alquran. Dengan demikian jika sastra sudah diseret ke ranah ideologi atau politik maka tinggal menunggu kehancurannya. Oleh karena itu, bagi Adonis, biarkanlah sastra itu bebas merdeka tidak boleh dikaitkan dengan embel-embel apa pun juga.
Menurutnya, pada masa sekarang dunia sedang mengalami krisis. Tetapi bukanlah krisis pembuatan teks atau buku, karena masih banyak pengarang atau penerbit yang memroduksi teks atau buku. Krisis di sini adalah dalam cara pembacaan (pemahaman) teks atau buku itu termasuk di dalamnya cara pembacaan alquran al-Karim. Seperti pemahaman puisi yang diciptakan Abu Nuwwas yang konon didahului minum arak (khamr), sehingga karya puisinya banyak memuat kata-kata khamr. Adonis berpendapat bahwa ini merupakan salah satu contoh pembacaan teks yang keliru. Karena khamr di sini tidak diartikan dengan minuman yang memabukkan, tetapi suatu keadaan yang klimaks yang bisa melupakan semua yang ada di sekitarnya.
Ia menegaskan, puisi pada masa kini tidak perlu sama seperti puisi zaman dahulu yang terikat oleh kaidah-kaidah arudl wal-qawafi (ilmu yang membahas notasi dan kesamaan bunyi akhir). Biarkanlah puisi itu meluncur bebas. Bahasa puisi adalah bahasa yang tidak biasa digunakan orang lain atau tidak digunakannya bahasa yang si pencipta tahu lebih dahulu dari pada orang lain. Hanya penyair pemikir yang abadi dikenang zaman. Dalam analisis sastra ia banyak menggunakan metode struktural, semiotik, dan dekonstruksi.
Tujuan puisi adalah pertanyaan, pengamatan, penelitian, dan terobosan. Puisi memberi ruang bagi ”sang liyan” dalam berbagai bentuknya, bahkan menjadi identitas puisi yang terus-menerus melakukan hijrah dalam bahasa. Puisi menembus batas agama

Subscribe to receive free email updates: