Sayyid Qutb dan Teori Kritik Sastra

Yang menarik, Sayyid Qutb memperlakukan Alquran sebagai teks sastra sebagaimana teks-teks lain, dan mendekatinya dengan sudut pandang yang sama yang ia pakai untuk memandang karya Tagore, misalnya. Analisis Sayyid Qutb yang lebih mendalam tentang Alquran sebagai obyek estetik dapat kita baca dalam bukunya, al-Tashwir al-Fanni fi al-Qur’an.Dalam buku al-Naqd al-Adabi: Usuluhu wa Manahijuhu,Sayyid Qutb mencoba meletakkan dasar-dasar teori kritik sastra yang menarik sekali. Buku ini ditulis setelah dia menyelesaikan dua buku lain yang juga sangat penting, Fii Dzilal al-Quran dan al-Taswir al-Fanni fi al-Quran. Artinya, buku tentang teori kritik sastra itu lahir setelah periode di mana Sayyid Qutb menjadi salah satu ideolog penting Ikhwan. Dengan kata lain, buku itu merupakan bagian dari fase “Islamisme Sayyid Qutb.Menurut saya, Sayyid Qutb dalam buku ini sangat berbeda dari sosok yang selama ini kita bayangkan mengenai dirinya. Dalam banyak hal, buku ini cukup cemerlang. Sayyid Qutb berusaha meletakkan dasar-dasar teori kritik sastra berdasarkan pengalamannya sendiri, bukan sekedar mengutip sana-sini dari berbagai sumber. Artinya, ini adalah karya orisinal dari seorang penulis Arab untuk merumuskan teori sastra dan kritik sastra.
Berbeda jauh dari Sayyid Qutb sebagaimana kita baca pada Fii Dzilal al-Quran, dalam buku ini saya melihat sosok yang memandang dunia estetik dengan semangat yang sangat terbuka. Dia antara lain mengatakan bahwa setiap karya sastra yang sukses akan menyuguhkan dunia baru yang unik yang akan memperkaya pengalaman kita akan dunia. Pengalaman estetik menurut Sayyid Qutb adalah arena eksplorasi yang tanpa batas.
Al-adabu yaftahu li al-insaniyyati ‘awalima jadida min al-shu’ur,” kata Sayyid Qutb. Sastra menguakkan dunia-dunia pengalaman baru bagi manusia. Ia berbicara bukan saja mengenai sastra Arab secara khusus, tetapi sastra secara universal. Dia juga berbicara mengenai “al-insaniyyat” sebagai “human being”, sebagai manusia secara umum tanpa embel-embel agama.
Dalam buku ini, tampak sekali Sayyid Qutb terpesona dengan sastrawan besar India, Rabindranath Tagore, terutama karya Tagore yang ia kutip berkali-kali, “Tukang Kebun” (The Gardener; dalam versi Arab: Ru’at al-Hubb). Dia juga banyak mengutip dari sastrawan Inggris, Thomas Hardy.
Dalam bukunya ini, Sayyid Qutb juga melakukan kritik atas sastrawan Arab sendiri yang ia pandang tidak cukup berani menjelajahi pola-pola pengucapan baru, sehingga tak kelihatan individualitas mereka sebagai seorang pencipta.
Semula saya mengira Sayyid Qutb akan menggiring sastra sebagai sekedar alat saja untuk propaganda doktrin agama. Dalam buku ini, sama sekali saya tak melihat Sayyid Qutb memandang sastra sebagai subordinat atau fungsi dari sesuatu yang lain yang lebih besar. Dia tetap memerlakukan pengalaman estetik sebagai pangalaman otentik yang otonom dan harus diperlakukan demikian.
Yang menarik, Sayyid Qutb memperlakukan Alquran sebagai teks sastra sebagaimana teks-teks lain, dan mendekatinya dengan sudut pandang yang sama yang ia pakai untuk memandang karya Tagore, misalnya. Analisis Sayyid Qutb yang lebih mendalam tentang Alquran sebagai obyek estetik dapat kita baca dalam bukunya, al-Tashwir al-Fanni fi al-Qur’an.
Ini penting saya tekankan untuk menonjolkan sosok Sayyid Qutb yang sama sekali lain dari yang selama ini kita kenal–Sayyid Qutb sebagai ideologi sebuah gerakan yang fundamentalistik. Dalam Fii Dzilal al-Quran, Sayyid Qutb datang sebagai sosok yang memandang dunia dengan kaca-mata dualistik: dunia terang dan dunia jahiliyyah. Hal ini makin kelihatan dalam bukunya yang sering dipandang sebagai manifesto bagi sejumlah kalangan Islam garis keras di Mesir, Ma’alim fi al-Thariq. Dalam buku ini, saya tak melihat sama sekali rembesan dari cara pandang yang dualistik. Padahal buku ini ditulis setelah periode Sayyid Qutb menulis Fii Dzilal al-Quran.
Sayyid Qutb mendefinisikan sastra sebagai al-ta’bir ‘an tajriba shu’uriyya bi shura muhiya (ungkapan tentang pengalaman estetik dengan cara yang menyentuh). Yang menarik adalah bagaimana Sayyid Qutb memandang pengalaman estetik itu. Saya cukup kaget karena Sayyid Qutb melihat pengalaman estetik tidak dengan kaca-mata yang bersifat ikhtizali atau reduksionistik.
Apa yang ia sebut sebagai pengalaman estetik bukan saja meliputi hal-hal yang membangkitkan semangat kerja, tetapi mencakup pula pengalaman keputusasaan dan kekalahan. Artinya, Qutb cukup inklusif dalam melihat cora-corak pengalaman itu, tidak membatasinya semata-semata pada pengalaman yang membangkitkan perjuangan melawan kekafiran dan dunia jahiliyyah.
Saya cukup kaget dengan analisis Sayyid Qutb semacam ini. Semula saya menduga ia akan mengabaikan pengalaman keputusasaan sebagai hal yang tak layak menjadi wilayah eksplorasi sastra.
Dengan kata lain, teori sastra Sayyid Qutb sama sekali tak ada bau Ikhwan al-Muslimin-nya. Sekurang-kurangnya sebagaimana terbaca dalam buku ini. Ini membuat sosok Sayyid Qutb misterius bagi saya: bagaimana bisa kita menjumpai dua sosok yang sama sekali berbeda secara radikal dalam waktu yang bersamaan: Sayyid Qutb sebagai “aku-estetis” dan “aku-ideologis”?

Subscribe to receive free email updates: