FILOLOGI ERA MODERN

Pada Minggu, 27 Desember 2009 lalu, Harian Republika menerbitkan transkrip wawancara tertulis dengan saya tentang naskah Nusantara (lihat di sini). Saya sudah mencoba menjawab semua pertanyaan yang diajukan melalui email, karena kebetulan saya waktu itu sedang di luar kota. Mengingat keterbatasan ruang, tidak semua jawaban saya dapat dimuat di Harian tersebut. Dan karena saya terlanjur menuliskan apa yang ada dalam benak saya, saya fikir tidak ada salahnya kalau saya berbagi di sini versi aslinya yang lengkap, semoga bermanfaat.
Sekarang ini banyak pemerhati sejarah dan budaya Indonesia yang membincangkan warisan naskah Nusantara. Apa yang dimaksud dengan naskah Nusantara itu?
Kalau di kalangan pemerhati sejarah dan budaya, sebetulnya perbincangan tentang naskah Nusantara itu sudah lama. Mereka meyakini nilai pentingnya naskah sebagai warisan budaya. Justru yang disayangkan adalah bahwa kesadaran itu belum menjadi memori kolektif, termasuk masyarakat pemilik naskah sendiri, dan bahkan sebagian para pengambil kebijakan, sehingga upaya pelestariannya semakin jauh tertinggal dibanding negara-negara lain. Tapi saya optimis ke depan kita bisa lebih baik, apalagi mengingat berbagai advokasi yang telah dan sedang terus digiatkan oleh kawan-kawan yang tergabung dalam asosiasi Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa).
Saya sendiri pernah membuat sebuah batasan tentang naskah Nusantara, yang oleh sebagian sarjana dianggap terlalu longgar. Tapi pertama, saya ingin sedikit menjelaskan dulu bahwa yang dimaksud naskah dalam konteks ini adalah semua karya lama yang ditulis tangan, atau yang kita kenal sebagai manuscript, handschriften, bukan naskah cetak, sedangkan Nusantara bisa merujuk pada wilayah yang sekarang ini disebut Asia Tenggara. Identitas ke-Nusantara-an bisa diketahui melalui banyak hal, pengarang, penyalin, bahasa dan aksara yang digunakan, dan lain-lain yang biasanya, meski tidak selalu, tersimpan dalam kolofon (catatan akhir) sebuah naskah.
Menurut saya, naskah Nusantara bisa mencakup 3 kategori: pertama, semua naskah yang ditulis oleh pengarang asal Nusantara, baik menggunakan bahasa-bahasa lokal Nusantara, seperti Melayu, Jawa, Sunda, Bugis, Aceh, Batak, Bali, Wolio, dll, maupun bahasa asing, seperti Arab dan Belanda; kedua, naskah karangan penulis asing, tapi disalin oleh penyalin lokal dan naskahnya banyak digunakan oleh masyarakat Nusantara; ketiga, naskah karya penulis asing, dengan bahasa asing pula, tetapi ditulis dalam konteks Nusantara.
Nah, kategori terakhir inilah yang oleh sebagian sarjana dianggap terlalu longgar. Tapi saya punya contohnya, seperti naskah Arab berjudul Ithaf al-dhaki bi-sharh al-tuhfah al-mursalah ila al-nabi karangan Ibrahim al-Kurani. Pengarangnya adalah orang Kurdi, tidak pernah singgah di Nusantara, salinan naskahnya pun tidak dijumpai di Nusantara, tapi ia menulis karya untuk merespon konflik sosial keagamaan di dunia Melayu-Nusantara atas permintaan salah seorang muridnya di Aceh pada abad ke-17, Syaikh Abdurrauf ibn Ali al-Jawi al-Fansuri (1615-1693). Bukan tidak mungkin ada beberapa naskah sejenis, mengingat hubungan kuat dunia Melayu-Nusantara masa lalu dengan dunia Islam khususnya, seperti ditunjukkan dalam tesis Azyumardi Azra tentang Jaringan Ulama.
Disiplin apa saja yang termuat dalam naskah Nusantara?
Beragam sekali. Bayangkan bahwa naskah Nusantara adalah rekaman kehidupan sehari-hari masyarakat masa lalu, jadi semuanya serba ada, mulai dari yang ‘biasa-biasa’ saja sampai yang dianggap akademis. Ada adat istiadat, hukum, aktifitas sosial, ekonomi, politik, agama, hingga primbon dan mujarobat, bahkan ada juga naskah tentang takwil gempa. Naskah kan lahir pada masa transisi antara tradisi lisan dan tradisi cetak masyarakat Nusantara, jadi hanya naskah media setiap orang berekspresi saat itu.
Dalam konteks keagamaan (baca: Islam), kita bisa menjumpai naskah-naskah al-Quran, tafsir, hadis, fikih, tauhid, tasawuf, bahasa, sastra, yang beberapa di antaranya bisa disebut sebagai ‘yang pertama’, tafsir Melayu pertama, hadis Melayu pertama, fikih Melayu pertama, dan seterusnya.
Kira-kira berapa persen jumlah naskah yang termaktub dengan tulisan Arab Jawi dibandingkan dengan yang tertulis dalam huruf Jawa atau lainnya?
Saya tidak bisa menyebut angka pasti, tapi jelas sangat dominan, karena tulisan Arab Jawi, dan juga Arab Pegon (untuk bahasa Jawa dan Sunda), atau Arab Serang (untuk bahasa Bugis-Makassar) dalam banyak hal telah menggantikan peran aksara-aksara Nusantara lainnya sejak abad ke-14, dan semakin berpengaruh di seantero Nusantara seiring dengan proses islamisasi. Aksara Jawi datang bersama ideologi Islam masa itu.
Tentu bukan berarti aksara Nusantara lain sudah tidak dipakai sama sekali, tapi perbandingannya mungkin bisa 70:30. Tapi ini baru prakiraan saja, kita belum bisa menghitungnya dengan pasti. Saat ini Puslitbang Lektur Keagamaan Depag, bekerja sama dengan Islamic Manuscript Unit (ILMU) PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Manassa sedang menyusun sebuah database lengkap untuk naskah-naskah Islam Nusantara, saya yakin kelak kita akan bisa tahu, berapa prosen jenis aksara atau bahasa tertentu digunakan, dan masih banyak info lain akan kita dapatkan melalui database ini.
Siapa yang mempelopori penulisan huruf Arab Jawi di Nusantara?
Kalau siapa dalam pengertian orang, agak sulit diketahui. Sejauh ini berbagai kajian tentang aksara Jawi belum sampai pada kesimpulan siapa tokoh yang memulai, bahkan bagaimana ceritanya sampai ada tambahan enam huruf selain huruf Arab pun masih belum terlalu jelas, mungkin ada pengaruh Persia juga. Tapi hampir semua sepakat bahwa perkembangan awalnya tidak dapat dilepaskan dari tumbuhnya komunitas Muslim Melayu Nusantara.
Bisa Anda ceritakan bagaimana proses peralihan penulisan dari teks-teks berbahasa Sanskerta ke bahasa-bahasa yang menggunakan huruf Arab Jawi?
Saya kira ini ada kaitannya dengan sejarah budaya terjemahan di Nusantara. Terjemahan yang saya maksud bukan sekedar peralihan dari satu bahasa ke bahasa lain, aksara ke aksara lain, melainkan juga diiringi peralihan agama ke agama lain. Tentang hal ini saya banyak terinspirasi sebuah buku baru berjudul Sadur, tentang sejarah terjemahan di Indonesia dan Malaysia, buah suntingan Henri Chambert-Loir (2009).
Ia menjelaskan bahwa gelombang pertama sejarah terjemahan adalah ketika teks-teks India berbahasa Sanskerta membuka dan memulai lembaran sejarah terjemahan di Nusantara, lebih dari seribu tahun lalu (tahun 900-an). Pada masa ini, Hindu-Budha pun menjadi agama mayoritas.
Pada gelombang kedua, tradisi tulis dan terjemahan di Nusantara dipengaruhi teks-teks asing Islam berbahasa Arab, dan mulai saat itulah masyarakat Nusantara lebih gemar menulis dengan aksara Arab, yang kemudian dimodifikasi menjadi Jawi dan Pegon untuk menyesuaikan dengan bunyi vokal bahasa lokal setempat. Kegemaran ini muncul seiring peralihan agama mayoritas, dari Hindu-Budha ke Islam.
Uniknya, ketika pada abad ke-19 aksara Jawi mulai tergantikan oleh aksara Latin akibat derasnya desakan Kolonialisme dan misionaris Kristen, pola lama tidak terjadi, peralihan aksara itu, misalnya, tidak diiringi dengan peralihan agama secara masif dari Islam ke Kristen yang banyak dianut oleh masyarakat Barat. Justru agama Islam semakin terkonsolidasi dalam melakukan perlawanan, meski aksara Jawi tetap semakin terpingirkan.
Seberapa luas persebaran naskah-naskah Islam Nusantara? Dan bagaimana pengaruhnya terhadap pengetahuan dan perilaku keagamaan pada waktu itu?
Sangat luas, dari ujung Barat sampai Timur Nusantara. Ini terkait dengan persebaran Islam itu sendiri. Sebuah teks Islam tertentu bahkan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, mulai dari Arab, Melayu, Jawa, Sunda, Wolio, dan lainnya. Dan dalam setiap proses penerjemahan itu selalu ada unsur lokal yang tersimpan, sehingga naskah-naskah tersebut menjadi sumber lokal unik untuk merekonstruksi sejarah sosial intelektual Islam di wilayah yang melahirkannya. Ini tentu menggambarkan seberapa jauh pengaruhnya terhadap pengetahuan dan perilaku keagamaan saat itu.
Sebagian naskah termaktub dalam tulisan Arab Jawi dan Pegon. Mengapa ulama atau intelektual Muslim Nusantara masa lalu lebih memilih huruf Arab Jawi dan Pegon ketimbang huruf Jawa atau huruf lain dalam menyampaikan ide-idenya?
Salah satunya karena aksara Jawi dan Pegon dianggap lebih efektif dan lebih mudah dibaca oleh masyarakat Muslim saat itu. Bukankah semua umat Islam, anak kecil sekalipun, diajarkan untuk bisa membaca al-Quran yang beraksara Arab? Meski harus saya katakan bahwa tidak semua mereka yang bisa membaca aksara Arab otomatis mampu membaca aksara Jawi, atau sebaliknya, tapi setidaknya pasti akan lebih mudah.
Peralihan tradisi tulis dengan huruf Jawa/bahasa Sanskerta menjadi huruf Arab Jawi tentu saja menyebabkan terjadinya perubahan pola pikir masyarakat (dari pola pikir yang bercirikan Hindu Buddha menjadi Islam). Bagaimana ciri-ciri perubahan itu?
Salah satu cirinya mungkin dari karya-karya yang dihasilkan. Jika sebelumnya banyak karya bercirikan doktrin dan semangat teologi Hindu-Budha, maka seiring peralihan tradisi tulis ke aksara Jawi itu, banyak karya, seperti hikayat dan babad, yang “di-Islam-kan”. Tapi hebatnya masyarakat Nusantara, peralihan pola fikir itu juga tidak terjadi secara radikal, melainkan lebih kultural, tak heran jika karakter masyarakat Muslim Indonesia cenderung lebih akomodatif dan adaptif terhadap tradisi lokal.
Tradisi penulisan dengan huruf Jawi sendiri akhirnya nyaris punah, akibat dari lemahnya kesadaran untuk melestarikan warisan budaya Indonesia. Pendapat Anda?
Saya kira banyak faktor yang menyebabkannya. Pada masa Kolonialisme, Islam kan diidentikkan dengan perlawanan, sementara aksara Jawi kadung dianggap sebagai bagian dari identitas tradisi dan budaya masyarakat Muslimnya. Karenanya, saat itu, Kolonialisme cenderung mengurangi apapun yang berbau Islam, termasuk pengaruh penggunaan aksara Jawi.
Faktor lain adalah globalisasi, yang menyebabkan aksara Jawi tidak lagi fungsional. Siapa sekarang ini yang mau berkirim surat dalam aksara Jawi?
Bahwa perlu ada kesadaran untuk melestarikan aksara Jawi sebagai warisan budaya Indonesia, itu hal lain. Salah satu rekomendasi Simposium Internasional Manassa ke-12 di Bandung, Agustus 2008 lalu adalah juga himbauan agar ada gerakan budaya Nasional untuk melestarikan aksara-aksara lokal termasuk Jawi dan Pegon. Tapi ini perlu dukungan Pemerintah yang memiliki infrastruktur tentunya. Kalau tidak, tidak lama lagi aksara Jawi akan asing sama sekali di telinga.
Jepang dan China adalah dua bangsa dari beberapa bangsa yang mampu mempertahankan warisan budayanya, termasuk warisan tulisannya. Hingga sekarang karakter budaya mereka begitu kuat. Ini berbeda dengan bangsa Indonesia yang mengubah tulisannya dengan huruf latin. Nah, apakah ada keterputusan pengetahuan dan budaya, dari masa perkembangan Islam ke era modern, akibat dari pergantian tulisan itu?
Saya kira kasus China dan Jepang berbeda dengan Nusantara. Mereka memang konsisten dan bisa sangat nasionalis dengan aksaranya. Tapi jangan lupa, Jepang hanya punya aksara Kanji, yang berkembang menjadi Hiragana dan Katakana saja. Itu pun memiliki akar yang sama dengan aksara China. Sementara masyarakat Nusantara, yang terdiri dari berbagai etnis, pada masa lalu memiliki ratusan jenis aksara: Pallawa, Jawi, Pegon, Hanacaraka, Cacarakan, Rejang, Rencong, Serang, KaGaNga, dll. Bayangkan, jenis aksara mana dan milik etnis siapa yang bisa dipilih atas nama nasionalisme dan pertahanan warisan budaya? Sama halnya dalam hal bahasa, pilihan bangsa ini untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu, dan meninggalkan salah satu dari dua puluhan bahasa etnis yang ada, adalah satu pilihan dengan latar belakang kultural dan konteks politik yang tak terhindarkan.
Bagaimana nasib naskah-naskah Nusantara sekarang ini?
nah, ini yang memprihatinkan. Sebagai orang lapangan, saya tahu persis bagaimana kondisi fisik naskah-naskah Nusantara kita itu terabaikan dan bertambah rusak, bahkan pada setiap detik saat kita membicarakannya. Ini terjadi terutama dalam kasus naskah-naskah yang tersimpan di tangan masyarakat. Mengapa? Karena itu tadi, tingkat kesadaran masyarakat akan nilai pentingnya benda cagar budaya tersebut masih sangat rendah, termasuk jika dibandingkan dengan tingkat kesadaran terhadap artefak-artefak arkeologis seperti arca, makam, prasasti, dan lain-lain. Kondisi ini diperparah oleh infrastruktur konservasi dan restorasi yang belum maksimal, termasuk di lembaga-lembaga Pemerintah, seperti Perpustakaan dan Museum.
Tapi saya tetap optimis bahwa ke depan akan lebih baik, karena sebetulnya kita juga tidak tinggal diam sama sekali. Perpusnas juga sangat berperan besar dalam hal pemeliharaan naskah Nusantara. Ditambah bahwa dalam lima tahun belakangan ini, asosiasi Manassa sendiri banyak melakukan kerja sama dengan lembaga-lembaga internasional, seperti C-DATS Tokyo University of Foreign Studies (TUFS) atau Leipzig University, Jerman, serta lembaga-lembaga lokal lain untuk melakukan upaya penyelamatan naskah Nusantara. Umumnya ada dua pola pelestarian yang kami lakukan: pertama, pelestarian fisik naskahnya melalui konservasi dan restorasi; kedua, pelestarian teks-teksnya melalui upaya alih media digital.
Salah satu contoh terbaik adalah Program Restorasi dan Digitalisasi Naskah Aceh, hasil kerja sama Museum Aceh, Yayasan Ali Hasjmy, PKPM Aceh, Manassa, dan Leipzig University. Sejak 2007 sampai akhir 2009 ini sudah lebih dari 1.989 naskah yang direstorasi, dan 1.223 naskah yang didigitalisasi. Lebih dari itu, kelak semua halaman naskah Aceh tersebut akan dapat dibaca dan dimanfaatkan untuk kepentingan akademis dan penelitian melalui sebuah portal online. Menurut informasi dari Dr. Thoralf Hanstein, Koordinator Program dari Leipzig University, Jerman, upaya pelestarian naskah Nusantara tersebut akan merambah ke koleksi Kraton Jogjakarta, Museum Sonobudoyo, dan koleksi-koleksi lain di Surakarta mulai 2010.
Ini berarti bahwa meskipun pada suatu saat fisik naskah-naskah Nusantara itu secara alami akan musnah, setidaknya teks-teks yang terkandung di dalamnya akan tetap dapat diwariskan dari generasi ke generasi.
Apa upaya-upaya yang telah dilakukan atau strategi apa yang sebaiknya dilaksanakan, baik oleh pemerintah, akademisi, peneliti, maupun LSM, untuk menyelamatkan naskah-naskah Nusantara?
Saya kira kita harus menyamakan persepsi dulu bahwa naskah Nusantara, yang sudah dijamin oleh Undang-undang Cagar Budaya nomor 5 tahun 1992 ini adalah artefak budaya yang penting dilestarikan, karena menyangkut bagian dari sejarah peradaban dan kebudayaan masa lalu kita. Kalau ini sudah disadari, action nya lebih gampang. Tidak akan terjadi lagi heboh jual beli naskah ke luar Negeri.
Khusus bagi Pemerintah, saya kira masih perlu memfasilitasi berbagai fasilitas preservasi naskah Nusantara. Saya sering bermimpi bahwa di level Nasional, mestinya ada semacam Pusat Penelitian Naskah Nusantara, semacam Pusat Arkeologi Nasional yang sudah kita miliki. Memang sudah ada Perpusnas dan Arsip Nasional, tapi kedua lembaga ini kan lebih menonjol aspek preservasi fisik naskahnya, tidak pada aspek pengkajian dan penelitiannya, meski dalam level tertentu dua hal yang disebut terakhir juga dilakukan. Saya yakin, lembaga semacam Puslit Arkenas itu bisa mempercepat dan mengejar ketertinggalan kita dalam hal upaya pelestarian naskah-naskah Nusantara.
Bagi kalangan akademisi, naskah Nusantara sudah seyogyanya dijadikan sebagai salah satu sumber primer kajian, dalam disiplin ilmu apapun, bahkan termasuk kedokteran misalnya, karena kandungan isi naskah Nusantara sungguh sangat beragam. Jika sudah demikian, pasti masyarakat akan dapat merasakan manfaat naskah kuno tersebut.
Apa pengaruh naskah-naskah Nusantara itu bagi kehidupan sosial dan keagamaan masyarakat Indonesia modern?
Konon, sejarah katanya kan tidak pernah mati, siklus kehidupan seringkali berputar dan berulang-ulang. Nah, saya kira kita bisa banyak belajar dari kearifan lokal masa lalu yang terkandung dalam naskah-naskah tersebut, dari apa yang pernah terjadi pada, mungkin menyangkut resolusi konflik, penyelesaian masalah adat, masalah sosial keagamaan, dll. Itu memang tergantung pada kemampuan kita menarik benang merah antara masa lalu dan masa kini.
Apa kendala dan tantangan untuk merevitalisasi naskah Nusantara?
Saya kira yang paling menantang adalah bagaimana kita bisa menghubungkan pentingnya kandungan isi naskah Nusantara itu dengan konteks kekinian.
Bagaimana kepedulian generasi muda terhadap naskah-naskah Islam Nusantara?
Tergantung ukurannya. Secara keseluruhan memang masih jauh dari memuaskan. Tapi sebetulnya dalam beberapa tahun belakangan sudah terjadi banyak kemajuan, terutama di kalangan perguruan tinggi semacam UIN atau IAIN yang mulai menjadikan naskah Nusantara keagamaan sebagai bahan primer penelitiannya. Di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta misalnya, saat ini sudah ada konsentrasi filologi Islam, beasiswa hasil kerja sama dari Puslitbang Lektur Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat, Departemen Agama.
Apa pentingnya, bagi suatu bangsa menyelamatkan dan mengenalkan naskah-naskah kuno?
Naskah kuno kan salah satu bagian dari identitas setiap bangsa. Bukan kita saja yang mewarisi artefak semisal naskah kuno ini. Jika kita tidak peduli menyelamatkannya, kita akan kehilangan salah satu identitas budaya sendiri. Bahkan kalau melihat trend internasional saat ini, penyelamatan dan pengenalan naskah kuno sebetulnya sudah menjadi kesadaran kolektif masyarakat dunia, terutama melalui teknologi digital yang berkembang sedemikian pesat.
Seberapa banyak naskah-naskah Islam Nusantara yang punah dan dapat terselamatkan?
Wah, itu pertanyaan sulit. Dan masalahnya bukan hanya naskah Islam saja yang musnah. Penyebab kerusakan naskah kan bermacam-macam. Sebagian karena kelembaban udara, terendam air, kebakaran, gigitan serangga, atau bencana alam. Tapi penyebab paling dahsyat tentu akibat ketidakpedulian manusia itu sendiri. Bayangkan ketika terjadinya Tsunami di Aceh, gempa di Jogjakarta, Jawa Barat, Minangkabau. Semua wilayah itu kan kantong-kantong naskah Nusantara, di mana masyarakat banyak menyimpan naskah sebagai properti pribadi atau komunitas. Di Aceh, ratusan koleksi Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA) bahkan dipastikan musnah tak tersisa.
Bagaimana perhatian Pemerintah terhadap keberadaan naskah-naskah Islam Nusantara?
Saya kira banyak kemajuan. Perpusnas juga sudah melakukan banyak program, meski masih terus harus disempurnakan. Sejak tahun 2003, Puslitbang Lektur Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama juga telah mejadikan program pernaskahan keagamaan Nusantara sebagai bagian dari program melekatnya. Cuma, sesuai dengan kapasitasnya, Lembaga ini kan hanya bisa fokus pada aspek penelitian teks-teksnya saja, tidak sampai pada upaya konservasi dan restorasi yang memang bukan bidangnya. Itu pun fokus hanya naskah-naskah keagamaan, padahal naskah Nusantara bukan hanya identik dengan keagamaan saja, terlalu banyak dan penting bidang pengetahuan lainnya yang juga perlu diperhatikan.

Subscribe to receive free email updates: