Sejarah Sistem Kehakiman Islam dari Masa Ke Masa

                                Badan-Badan Kehakiman Islam dari Masa Ke Masa
                    (kepolisisan, kejaksaan, advokat, pengadilan dan pemasyarakatan)

Kata keadilan mengandung makna sifat Tuhan. Al-Qur’an sebagai wahyu Tuhan mewajibkan keadilan dalam setiap putusan. Konsepsi keadilan Islam ini memiliki arti yang lebih dalam dari apa yang disebut dengan keadilan distributifnya Aristoteles, keadilan alamiah dari hukum umum Anglo-Amerika, keadilan formal hukum Romawi atau konsepsi hukum lainnya yang dibuat manusia. Keadilan Islam merasuk ke sanubari yang paling dalam dari manusia, karena setiap orang harus berbuat atas nama Tuhan sebagai tempat bermuaranya segala hal, termasuk motivasi dan tindakan.

Penyelenggaraan keadilan dalam Islam didasarkan atas prinsip-prinsip yang unik dan bersumber dari al-Qur’an serta kedaulatan umat. Atas dasar prinsip tersebut, seorang khalifah, kaisar, sultan atau presiden bukanlah sumber keadilan. Penguasa hanyalah mewakili Sang Pemberi hukum selama mampu memelihara agama dan melaksanakan kepemimpinan politik di dunia. Dengan kata lain, penguasa hanya melambangkan peran Nabi dalam menegakkan hukum dan keadilan.[1]

Lembaga peradilan dalam suatu negara merupakan institusi yang sangat strategis dan menentukan. Lembaga inilah yang bertindak menyelesaikan segala sengketa yang terjadi dalam kehidupan masyarakat dan menghukum orang-orang yang melanggar aturan sesuai hukum yang berpihak pada keadilan. Suatu negara yang meremehkan penegakan hukum dan keadilan akan mengalami kesulitan dalam menata kehidupan warganya. Pergaulan hidup masyarakat akan mengalami kekacauan dan tidak menentu, tidak ada keadilan dan kepastian hukum, ketertiban dan kedamaian pun tak akan pernah terwujud. Di mana pun di dunia ini, penegakan supremasi hukum menentukan tegaknya suatu negara. Apabila hukum dapat ditegakkan dan keadilan dapat diwujudkan, maka negara akan memiliki wibawa dan penguasanya akan disegani oleh masyarakat.[2]

Sepanjang sejarah penegakan hukum dan keadilan dalam Islam, terdapat badan-badan kehakiman yang berperan penting. Oleh karena itu, kajian tulisan ini akan menelusuri peran badan-badan Kehakiman dari masa ke masa.
http://aang-zaeni.blogspot.com/2016/11/sejarah-sistem-kehakiman-islam-dari.html

A. Kepolisian

Polisi atau Syurtah adalah aparat yang menjaga keamanan, melindungi masyarakat, menjamin ketertiban dan ketentraman serta kepentingan umum.[3] Kepolisian dapat pula dimaknai sebagai institusi yang menjalankan fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.[4]

Para penulis biografi dan sejarawan sepakat bahwa Umar bin Khattab adalah orang pertama yang memperkenalkan sistem ronda malam. Ketika menjadi khalifah, Umar bin Khattab sering melakukan ronda malam untuk melakukan inspeksi terhadap rakyatnya. Melalui ronda malam tersebut Umar mengetahui lebih dekat keadaan rakyatnya yang membutuhkan bantuan karena kekurangan pangan atau teraniaya dalam kasus hukum. Selain itu, Umar berusaha mengungkap tindak kejahatan dalam masyarakat.[5]

Pernyataan para ahli sejarah bahwa Umar bin Khattab adalah orang pertama memperkenalkan sistem ronda malam bertentangan dengan pendapat Atiyyah Mustafa Musyrifah. Menurut Atiyyah, sistem ronda malam telah dikenal sejak masa Nabi saw. karena pada masa itu sudah ada sebutan khusus yaitu sahib al-‘asas yang berarti tukang ronda malam yang berkeliling kota mencari orang-orang yang mencurigakan.[6]

Pernyataan para ahli sejarah tampaknya bertentangan dengan fakta yang dikemukakan Atiyah. Namun demikian, kedua pendapat bisa dikompromikan untuk menghindari kontradiksi antara keduanya. Pendapat yang mengatakan bahwa Umar adalah orang pertama memperkenalkan sistem ronda, dapat dipahami sebagai khalifah pertama yang melakukan sendiri ronda malam. Dengan demikian, tidak tertutup kemungkinan telah ada sistem ronda malam sebelum masa pemerintahan Umar bin Khattab yang dilakukan oleh warga.

Pada perkembangan selanjutnya, Umar bin Khattab membentuk lembaga yang menangani urusan kriminal dan pidana selain zina. Lembaga ini disebut ahdas, yaitu pasukan polisi yang bertugas melindungi masyarakat dari segala hal yang mengganggu ketertiban. Kepala Polisi yang bertugas mencegah terjadinya kerusuhan dan menangkap pelaku kriminal disebut sahib al-ahdas. Khalifah Umar mengangkat Qudamah bin Mazam dan Abu Hurairah sebagai pimpinan lembaga kepolisian di samping tugas-tugas lain yang diserahkan kepadanya.[7]

Kepolisian mulai terorganisasi dengan baik pada masa pemerintahan Ali bin Abi Talib. Jabatan kepala polisi pada masa Ali bin Abi Talib disebut sahib al-syurtah dan dipercayakan kepada pemuka masyarakat yang memiliki pengaruh dan kemampuan mengendalikan massa. Jabatan ini pada mulanya berada di bawah kekuasaan yudikatif. Tugas-tugas yang dijalankan meliputi pelaksanaan putusan-putusan pengadilan dan memudahkan proses pembuktian tindak kejahatan yang dituduhkan kepada pihak yang dicurigai.[8]

Pada masa kekhalifahan Umayyah di Spanyol, dikenal sistem pengawasan kejahatan dan pemberian hukuman yang telah ditentukan oleh hukum syariah. Tugas ini dilimpahkan kepada kepala polisi yang disebut sahib al-syurtah atau sahib al-madinah. Jabatan yang memiliki nama besar ini terbagi menjadi polisi besar dan polisi kecil. Kewenangan polisi besar meliputi masyarakat kelas atas. Polisi besar memiliki yurisdiksi terhadap para pejabat pemerintah. Kewenangan yang dimiliki polisi besar memungkinkan untuk melakukan penahanan terhadap pejabat pemerintah yang melakukan kesalahan termasuk para kerabatnya atau orang-orang yang mempunyai hubungan dekat dengan para pejabat. Sementara polisi kecil hanya berwenang mengurusi masyarakat awam. Pimpinan polisi besar bertempat di gerbang istana didampingi oleh ajudan yang selalu berada di tempatnya, kecuali jika diperintahkan atasan untuk melaksanakan tugas di tempat lain. Jabatan kepala polisi besar hanya dipercayakan kepada mereka yang mempunyai kepribadian kuat dan pengaruh di masyarakat.

Pada era ini, polisi mempunyai fungsi keagamaan yang berkaitan dengan hukum syariah. Kewenangannya melebihi kewenangan hakim yang memungkinkan untuk menyeret orang yang dicurigai ke depan pengadilan kemudian menjatuhkan hukuman yang bersifat preventif meskipun kejahatan yang sebenarnya belum dilakukan. Kewenangan ini memberi peluang kepada polisi untuk menjatuhkan hukuman sesuai ketentuan dalam hukum Islam. Selain itu, polisi dapat menetapkan besar ganti rugi yang diperoleh dalam hal tindakan melukai tubuh. Ketetapan tersebut berkaitan dengan penerapan hukuman kisas. Polisi juga berwenang menetapkan hukuman yang tidak disebutkan oleh hukum Islam dan melakukan tindakan korektif bagi mereka yang melakukan kejahatan yang telah direncanakan.[9]

Fungsi polisi pada dinasti ini, selain mengawasi orang-orang yang dicurigai, juga dapat menjatuhkan sanksi hukum dan menerapkan hukuman terhadap para pelaku kriminal yang dituduh terlibat dalam suatu kejahatan tertentu.

Pada masa Abbasiah, jabatan kepala polisi disebut sahib al- syurtah. Polisi memiliki tugas yang berhubungan dengan kejahatan pada tingkat penyelidikan. Selain tugas menyelidiki tindak kejahatan, polisi juga bertugas menjalankan sanksi hukum. Sering pula terjadi pada masa ini kepala polisi diberi yurisdiksi tunggal terhadap kejahatan besar beserta sanksi hukumnya yang dalam keadaan biasa berada di bawah yurisdiksi para hakim.

Polisi kota dipimpin seorang pejabat khusus yang bertugas mengawasi pasar serta berfungsi sebagai sensor publik. Kepala polisi kota dalam menjalankan tugasnya disertai satu detasemen bawahannya mengadakan perjalanan keliling kota. Di antara tugas yang dilakasanakannya adalah melakukan inspeksi terhadap pelaksanaan peraturan pemerintah dan mencegah berbagai kecurangan serta gangguan keamanan yang mungkin timbul.[10]

Pada era Turki Usmani kepala polisi disebut bash rusul dan dipercayakan kepada orang yang dipandang memiliki dedikasi dan kredibilitas yang tinggi. Aparat kepolisian bertugas menjalankan fungsinya sebagai penegak hukum. Tugas utama polisi adalah memberantas penyelewengan, mengurangi peluang tindak kejahatan serta membasmi atau membubarkan semua pusat kegiatan maksiat dan kejahatan. Pejabat kepolisian juga berwenang melakukan penahanan dan menjatuhkan sanksi hukum kepada para pelanggar aturan sesuai hukum syariah dengan mempertimbangkan kepentingan masyarakat.[11]

Tugas dan kewenangan polisi sejak masa Dinasti Umayyah di Spanyol hingga masa Turki Usmani mempunyai kemiripan. Selain bertugas mengawasi pelaksanaan aturan-aturan negara, juga dapat melakukan penahanan bahkan menjatuhkan sanksi hukum kepada para pelanggar aturan. Setelah keruntuhan Turki Usmani institusi kepolisian berkembang sesuai dengan negara masing-masing setelah negeri-negeri muslim menjadi negara bangsa.

B. Kejaksaan

Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan dalam penegakan hukum dan keadilan di lingkungan peradilan. Sedangkan jaksa adalah seorang yang berwenang untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.[12]

Eksistensi lembaga kejaksaan dalam sejarah Islam dapat ditelusuri melalui praktik wilayah hisbah. Menurut Hasbi Ash Shiddieqi, wilayah hisbah yang dikenal dalam hukum Islam secara garis besarnya menyerupai Jawatan Penuntut Umum atau kejaksaan. Sedangkan muhtasib disamakan dengan jaksa penuntut umum, karena muhtasib dan wakil-wakilnya adalah orang-orang yang bertugas memelihara hak-hak masyarakat dan ketertiban umum. Antara lembaga hisbah dan lembaga penuntut umum atau kejaksaan terdapat berbagai perbedaan, namun dapat dikatakan bahwa tugas lembaga hisbah dalam hukum Islam merupakan dasar bagi lembaga penuntut umum sekarang yang disebut kejaksaan.[13]

Wilayah hisbah adalah menyuruh berbuat kebaikan jika kebaikan itu ternyata ditinggalkan dan melarang kemungkaran jika ada tanda-tanda bahwa kemungkaran itu dikerjakan. Hisbah merupakan salah satu bentuk pengawasan terhadap pelaksanaan aturan umum agar tidak terjadi pelanggaran terhadap aturan tersebut.[14]

Di antara tugas-tugas muhtasib ada yang berkaitan dengan hak-hak manusia baik bersifat umum atau khusus. Tindakan muhtasib berkaitan dengan hak manusia yang bersifat umum seperti tindakan yang harus dilakukan jika suatu daerah kekurangan air bersih. Muhtasib berkewajiban membantu dengan mengambil dana dari kas negara. Adapun tugasnya yang berhubungan dengan hak manusia yang bersifat khusus, seperti menyuruh orang-orang untuk memenuhi tuntutan mereka yang berhak, misalnya jika terjadi penundaan pembayaran hutang.

Tugas muhtasib dalam mencegah kemungkaran meliputi tindakan pencegahan terhadap pelanggaran atau penyelewengan hukum peribadatan. Jika ada orang yang enggan membayar zakat, muhtasib berwenang memaksa orang tersebut menunaikan kewajibannya. Selain itu, muhtasib bertanggung jawab mencegah pelanggaran moral dan pelanggaran hak seseorang oleh orang lain. Demikian pula kewajiban mencegah tindakan-tindakan yang mengakibatkan terganggunya ketertiban umum dan hilangnya ketentraman, baik antar tetangga maupun dalam kehidupan masyarakat luas.

Ide yang terkandung dalam fungsi lembaga hisbah dan tanggung jawab muhtasib tampaknya berkaitan dengan cita-cita dijalankannya ibadah agama sesuai dengan hukum dan terwujudnya ketentraman serta ketertiban umum, khususnya dalam kegiatan sosial, ekonomi, transportasi dan sosial masyarakat, termasuk berkembangnya nilai-nilai kejujuran di kalangan pelaku ekonomi. Lebih jauh, dibentuknya lembaga hisbah bertujuan memperkecil terjadinya pelanggaran terhadap hak asasi manusia.[15]

Dasar praktik hisbah telah dimulai sejak masa Nabi saw. Pada suatu hari Nabi saw., melihat setumpuk makanan dijual di pasar Madinah. Makanan itu sangat menarik hati, tetapi setelah Nabi saw., memasukkan tangannya ke dalam makanan itu, ternyata penjualnya berlaku curang. Kecurangannya dilakukan dengan menampakkan yang baik di bagian luar dan menyembunyikan yang jelek di bagian dalam. Setelah kejadian itu, Nabi saw., mengangkat beberapa orang bertugas mengawasi kegiatan di pasar. Nabi saw., mengangkat Said bin Ashim menjadi pengawas pasar di Mekkah.[16]

Praktik hisbah berlanjut pada era khulafa’ rasyidun. Umar bin Khattab pernah memukul seseorang yang membebani untanya dengan muatan yang terlalu berat. Hal yang sama dilakukannya terhadap para pedagang yang berjualan di pinggir jalan sehingga menghalangi lalu lintas umum. Pada suatu hari Umar melakukan inspeksi ke pasar dan mendapati bangunan toko yang sudah lapuk kemudian dirobohkan agar tidak menimpa orang-orang di sekitar.[17]

Umar bin khattab adalah khalifah pertama menyusun aturan hisbah. Namun istilah lembaga hisbah menjadi populer pada masa khalifah al-Mahdi dari Dinasti Abbasiah. Para khalifah dan fukaha sepanjang sejarah Islam memberikan perhatian yang sangat signifikan terhadap lembaga hisbah. Mereka memperluas wewenang muhtasib hingga meliputi seruan berbuat baik dan mencegah berbuat kemungkaran dan mengawasi pelaksanaan hukum-hukum syara’, mengawasi pelaksanaan ibadah di mesjid-mesjid untuk memastikan pelaksanaan shalat tepat waktu dan lain-lain.[18]

C. Advokat

Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Advokat dapat pula diartikan sebagai seorang pembela atau ahli hukum yang berprofesi sebagai pembela perkara di dalam atau di luar sidang pengadilan.[19] Sedangkan menurut Hamid Abu Talib, advokat atau muhamiy adalah orang yang mewakili kliennya dalam membela perkara, baik sebagai pendakwa atau terdakwa.[20]

Cikal bakal praktik advokat dapat ditelusuri pada masa Nabi saw. melalui praktik wakalah, yaitu pendelegasian hak kepada seseorang dalam hal-hal tertentu yang bisa diwakili.

Praktik advokat mulai berkembang pada masa khulafa’rasyidin. Ali bin Abi Talib pernah menunjuk Uqail untuk mewakilinya dalam sengketa yang ditangani langsung oleh Abu Bakar. Pada saat mengutus Uqail, Ali bin Abi Talib berkata: “Putusan Abu Bakar untuk Uqayl adalah putusan untuk saya dan putusan atas Uqayl adalah juga putusan atas diriku”. Demikian pula Abdullah bin Ja’far diutus menjadi wakil dalam kasus yang ditangani Usman bin affan. Alasan Ali bin Abi Talib mengutus wakil dalam perkara yang dihadapinya adalah untuk menghindari kebencian yang mungkin timbul dalam persidangan. Menurut Ali bin Abi Talib, setan selalu ada di persidangan perkara untuk menebar kebencian, sehingga membuatnya enggan menghadiri persidangan.[21]

Praktik advokat pada masa Abbasiah dapat diidentifikasi melalui penunjukan para wakil pihak-pihak yang berperkara dalam suatu sengketa hukum. Penunjukan wakil atau pemberian mandat dalam penanganan kasus-kasus sengketa hukum telah diatur dalam hukum Islam yang berkembang pesat saat itu. Hukum Islam mengatur bahwa hak dan kepentingan orang-orang cacat atau orang yang menerima perlakuan tidak adil harus diwakili oleh seorang wali. Jika wali pembela tidak ada, maka tugas tersebut dilimpahkan kepada pihak pengadilan.

Pada dasarnya seorang yang telah dewasa dan dapat menjaga diri bisa melakukan pembelaan sendiri atau menunjuk seorang wakil yang diberi kuasa untuk menjadi pengacara. Seorang pengacara, sebelum diizinkan untuk membela atas nama kliennya, diharuskan terlebih dahulu menunjukkan surat kuasa penunjukannya sebagai pengacara kepada hakim.

Awal mula praktik perwakilan dalam peradilan ini dilakukan oleh para ulama dan mufti. Mereka memberi bantuan hukum kepada yang bersengketa melalui pemberian nasehat yang tidak memihak sesuai hukum Islam. Selanjutnya praktik pemberian bantuan hukum ini disadari oleh pemerintah sebagai tanggung jawabnya. Oleh karena itu, maka pemerintah menunjuk para mufti untuk memberi nasehat, bimbingan dan bantuan hukum. Penunjukan tersebut diatur dalam aturan khusus yang ditetapkan pemerintah.

Para wakil yang berwenang menjalankan praktek pengacara diawasi oleh pejabat khusus yang diangkat pemerintah. Pejabat ini bertugas memeriksa para wakil agar tidak melakukan praktek suap dalam penyelenggaraan pengadilan. Para hakim diberi wewenang mengarahkan pihak-pihak yang berperkara agar tampil di persidangan, tidak melalui wakil-wakil mereka di pengadilan.[22]

D. Pengadilan

Pengadilan adalah dewan atau badan yang berkewajiban untuk mengadili perkara-perkara dengan memeriksa dan memberikan putusan (vonis) mengenai persengketaan hukum, pelanggaran hukum atau undang-undang dan sebagainya.[23] Sedangkan menurut Cik Hasan Bisri, pengadilan menunjuk kepada suatu susunan instansi yang memutus perkara.[24]
Eksistensi dan peran pengadilan dalam menegakkan hukum dan keadilan, dapat dibaca lewat sejarah peradilan dalam Islam yang banyak dikaji oleh para ulama. Peradilan dalam arti menerima, memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara untuk menegakkan hukum dan keadilan telah ada sejak masa Nabi saw., meskipun belum ada lembaga atau instansi sebagai penegak hukum dan keadilan.

Beberapa literatur disebutkan bahwa awal dimulainya peradilan dalam Islam sejak terbentuknya sistem pemerintahan di Madinah. Sejak saat itu banyak kegiatan peradilan yang dilaksanakan Nabi saw. pada awal pemerintahan Madinah, hanya Nabi saw. yang bertindak sebagai hakim. Ketika Islam meluas ke luar jazirah Arab, barulah Nabi saw., mendelegasikan tugas-tugas peradilan kepada beberapa sahabat yang dianggap cakap.

Pada masa Khalifah Abu Bakar tidak tampak adanya suatu perubahan di bidang peradilan. Hal ini disebabkan kesibukan memerangi orang-orang murtad dan para pembangkang menunaikan zakat. Selain itu, Abu Bakar sibuk mengurus wilayah kekuasaan Islam yang semakin meluas. Kekuasaan peradilan pada masa itu belum dipisahkan dari kekuasaan pemerintahan. Orang pertama memisahkan kekuasaan peradilan dari jabatan pemerintaan dalam Islam adalah Umar bin Khattab.

Menurut Umar bin Khattab, tempat yang paling sesuai melaksanakan persidangan adalah di mesjid. Jadi tidak perlu membangun perkantoran tersendiri sebagai gedung pengadilan. Pada masa itu orang non-muslim masih dibenarkan menyelesaikan perselisihan sesama mereka dengan hukum agama mereka selama tidak bertentangan dengan ketentuan umum dan mengganggu ketertiban negara.

Ketika khalifah dijabat Usman bin Affan, sistem peradilan yang telah dibangun Umar semakin disempurnakan. Di antara usaha-usaha yang dilakukannya adalah membangun gedung pengadilan di kota Madinah dan daerah gubernuran, menyempurnakan administrasi peradilan dengan mengangkat pegawai administrasi peradilan.

Pada periode Khalifah Ali bin Abi Talib tidak banyak perubahan yang dilakukan dalam bidang peradilan. Hal ini disebabkan situasi negara yang tidak stabil karena pihak-pihak yang tidak mengakui kekhalifahannya. Kebijakan yang dilaksanakan hanya lanjutan kebijakan yang telah dilakukan Usman bin Affan, kecuali pengangkatan hakim diserahkan kepada gubernur.[25]

Lembaga peradilan pada masa Dinasti Umayyah tidak dipengaruhi oleh campur tangan penguasa. Hakim-hakim pada masa itu memiliki hak otonom yang sempurna. Putusan-putusan hakim tidak hanya berlaku atas rakyat biasa, tetapi juga berlaku atas penguasa dan pejabat.[26]

Pada masa Dinasti Abbasiah, peradilan disusun menjadi instansi tersendiri. Para hakim memiliki wilayah kewenangan yang jelas di bawah pengawasan Qadhi Qudhat. Persidangan pada waktu itu diadakan di suatu tempat yang luas dibangun di tengah-tengah kota. Putusan-putusan hakim mulai dihimpun secara teliti dan sempurna.[27]

Pada masa Turki Usmani dibentuk peradilan umum yang menerapkan undang-undang Barat. Sejak saat itu terjadi dualisme lembaga peradilan, yaitu: peradilan umum dan peradilan agama. Dualisme ini berlaku di seluruh wilayah kekuasaan Turki Usmani hingga perang dunia pertama (1914-1918 M). Sejak akhir masa pemerintahan Muhammad Ali Basya, Mesir yang memiliki hak otonomi di bidang legislasi menempuh jalan sendiri dalam penerapan hukum. Ada lima lembaga peradilan yang eksis dengan berbagai sumber hukum yang berbeda-beda. Kelima lembaga peradilan tersebut adalah:

1. Pengadilan Agama yang menerapkan hukum Islam sebatas hukum perdata.

2. Pengadilan campuran yang menangani perkara antar orang-orang asing atau antara orang asing dan warga pribumi.

3. Pengadilan Negeri (Ahli) yang menangani perkara perdagangan dan pidana.

4. Pengadilan Milli yang menangani perkara perdata di kalangan non muslim.

5. Pengadilan Konsuler yang menangani perkara yang dilakukan orang asing di Mesir.

Sejak kemunculan berbagai lembaga peradilan, kewenangan peradilan Islam semakin mengecil dan terbatas pada masalah-masalah perdata saja.[28]

E. Pemasyarakatan

menelusuri eksistensi pemasyarakatan atau penjara dalam pengertian sekarang, tidak ditemui praktik pemenjaraan pada masa Nabi saw. Nabi saw., pernah menjatuhkan sanksi penahanan selama sehari semalam terhadap seorang tersangka. Namun sanksi tersebut tidak dikenakan kepada orang yang berhutang, melainkan sanksi penyitaan selama ada barang yang dapat disita untuk melunasi hutangnya. Sanksi penahanan pada masa ini bukan berarti memenjarakan atau mengurung seseorang dalam ruang sempit. Penahanan hanya terbatas pada pelarangan pihak terhukum melakukan interaksi sosial dengan lingkungan masyarakat sekitarnya. Seseorang yang dikenai sanksi penahanan dibatasi ruang geraknya untuk melakukan tindakan secara bebas. Penahanan dilakukan di rumah atau mesjid disertai pengawalan pihak lawan sengketa atau wakilnya. Tahanan pada masa ini sering disebut sebagai asir yang berarti tawanan. Hal serupa masih berlanjut sampai masa pemerintahan Abu Bakar. [29]

Para fukaha berbeda pendapat mengenai legalitas sistem pemenjaraan dalam Islam. Sebagian fukaha berpendapat bahwa seorang pemimpin negara tidak dibenarkan membangun penjara. Alasannya karena pada masa Nabi saw., tidak ada penjara dan Nabi saw., tidak pernah memenjarakan seseorang yang melanggar hukum. Demikian pula halnya pada masa Abu Bakar menjabat khalifah. Namun demikian, dibolehkan membatasi ruang gerak seseorang yang terlibat kasus tertentu dengan penjagaan atau pengawalan. Hal ini dikenal pada masa Nabi saw., dengan istilah tarsim. [30]

Mayoritas ulama membolehkan seorang pemimpin negara membangun penjara. Menurut mereka, sistem pemenjaraan adalah legal dalam pandangan hukum Islam. Argumen yang dikemukakan adalah beberapa fakta sejarah, antara lain:

1. Nabi saw., pernah melakukan penahanan terhadap beberapa orang yang terlibat kasus pembunuhan di Madinah.

2. Umar bin Khaththab pernah memenjarakan Subaig karena menanyakan tentang al-Z|ariyat, al-Mursalat, al-Nazi‘at dan semacamnya. Selain memenjarakan Subaig, Umar menghukumnya dengan hukuman cambuk kemudian diasingkan ke Irak dan memerintahkan semua orang untuk memboikot Subaig dari kehidupan sosial.

3. Usman bin Affan pernah memenjarakan Dhabi’ bin Harits yang terkenal sebagai pencuri dari Bani Tamim. Dhabi’ bin Harits menjalani hukuman penjara hingga wafat.

4. Ali bin Abi Talib pernah membangun penjara di Kufah yang dinamai nafi’. Namun penjara tersebut dirusak oleh para pencuri. Kemudian Ali membangun penjara yang baru dan diberi nama makhis.[31]

Selain mengemukakan fakta-fakta sejarah, mayoritas ulama mengemukakan argumen berdasarkan Al-Qur’an, di antaranya:

1. QS al-Nisa (4): 15:

.....فأمسكوهن فى البيوت حتى يتوفاهن الموت أو يجعل الله لهن سبيلا

Terjemahnya:…..maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya.[32]

2. QS al-Ma’idah (5): 33:

.....أو ينفوا من الأرض

Terjemahnya:…..atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya).[33]

Selain itu, sistem pemenjaraan dapat dipahami dari kata tagrib dalam hadis tentang rajam.

Menurut Husain Hasan, sistem pemenjaraan telah dikenal sebelum Islam datang. Bangsa Persia dan Romawi telah menerapkan sanksi pemenjaraan saat itu. Sementara pemerintahan Islam masa Nabi saw., tidak menerapkan sanksi pemenjaraan seperti yang dilakukan orang-orang Persia dan Romawi. Alasan yang dikemukakan Husain Hasan mengenai hal ini, bahwa pembangunan penjara dan operasionalnya merupakan tindakan yang tidak efektif dan efisien. Energi dan biaya yang dihabiskan untuk itu lebih besar dibanding manfaat yang diharapkan. Pemenjaraan tidak signifikan memberi efek jera bagi pelaku tindak kriminal. Memenjarakan pelaku tindak kriminal berarti mematikan potensi kerja seorang nara pidana. Penjara justru menjadi tempat istirahat bagi para orang malas dan membebaskan mereka dari beban serta tanggung jawab menyangkut biaya hidup. Oleh karena itu, Islam lebih cenderung menerapkan hukuman hudud dan kisas dari pada sanksi pemenjaraan.[34]

Pada masa pemerintahan Umar bin Khaththab, seiring perluasan daerah kekuasaan Islam dan semakin banyak pemeluk Islam dari berbagai kalangan, timbul berbagai permasalahan baru. Kondisi saat itu mendorong Umar yang terkenal sangat kreatif dan inovatif memperkenalkan sistem pemenjaraan bagi pelaku kriminal.[35] Umar membeli rumah Safwan bin Umayyah untuk dijadikan sebagai penjara. Penjara saat itu hanya diperuntukkan bagi para pelaku tindak pidana saja. Tetapi setelah Syuraih diangkat sebagai kadi, dipenjarakan pula orang yang dihukum karena tidak membayar utang (judgment debitor). Kadi Syuraih memenjarakan pula Mahjan Taglik yang berulang kali dihukum karena minum arak, tetapi tidak insaf. Selain itu, para perusuh, pengacau dipenjarakan karena mengganggu ketertiban umum.[36]

Menurut Bambang Purnomo sebagai dikutip Sabri Samin, sebetulnya telah dilakukan pengembangan sistem pemenjaraan seiring pengembangan hukum pidana secara universal sejak akhir abad ke-18 M, walaupun masih berupa alternatif pelaksanaan pidana dan perlakuan cara baru terhadap terpidana.[37]

Kesimpulan

Berdasarkan uraian pembahasan yang telah dikemukakan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

Institusi kepolisian belum dikenal pada masa Nabi dan khalifah pertama. Cikal bakal tugas polisi mulai dikenal pada masa Umar bin Khattab, selanjutnya terbentuk organisasi kepolisian pada masa Ali bin Abi Talib. Pada masa Umayyah institusi kepolisian lebih berkembang sehingga dikenal pembagian tugas polisi besar dan polisi kecil. Pada masa Abbasiah tugas kepolisian dipisahkan dari tugas hakim, demikian pula pada masa Turki Usmani.

Kejaksaan, institusi kejaksaan dalam sejarah Islam dapat ditelusuri melalui praktek hisbah yang telah dilakukan oleh nabi kemudian diteruskan oleh para khalifah dengan dukungan dari para fukaha.

Advokat, dasar praktek advokat dalam Islam adalah sistem wakalah yang ada dalam hukum Islam sejak masa nabi dan khulafaurrasyidin. Selanjutnya praktek advokat berkembang pada masa dinasti Umayyah dan Abbasiah.

Pengadilan dalam sejarah Islam telah dimulai sejak terbentuknya pemerintahan Madinah kemudian berkembang pada masa Umar bin Khattab dan Usman bin Affan. Pada masa Turki Usmani terbentuk beberapa lembaga peradilan yang menjadikan kewenangan peradilan Islam semakin sempit.

Pemasyarakatan, pada masa Nabi, belum diterapkan sistem pemenjaraan, walaupun ada praktek penahanan rumah terhadap pelaku tindak pelanggaran tertentu. Penjara mulai dikenal di dunia Islam sejak masa Umar bin Khattab. Khalifah saat itu menjadikan sebuah rumah sebagai penjara bagi para pelaku tindak pidana. Dalam perkembangan selanjutnya, para pecandu minuman keras serta pengacau dikenakan pula sanksi penjara.

DAFTAR PUSTAKA

Amir, Abd Aziz. Al-Ta’zir fi al-Syariah al-Islamiyyah. Cet. V; Kairo: Dar al-Hamamiy li al-Tiba’ah, 1974 M/1396 H.

Bisri, Cik Hasan. Peradilan Agama di Indonesia. Cet. IV; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000.

Departemen Agama. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Semarang: CV Toha Putra, 1989.

Al-Farra’, al-Qadiy Abu Ya’la Muhammad ibn al-Husayn. Al-Ahkam al-Sultaniyyah. Beirut: Dar al-S|aqafah al-Islamiyyah, 1987 M/1406 H.

Gunawan, Ilham dan Martinus Sahrani. Kamus Hukum. Cet. I; Jakarta: Restu Agung, 2002.

Hasan, Hasan Ibrahim. Al-Nuzum al-Islamiyyah. Cairo: Matba‘ah Lajnah al-Ta’lif wa al-Tarjamah wa al-Nasyr, 1953.

Hasan, Husayn al-Hajj. Al-Nuzum al-Islamiyyah. Cet. I; Beirut: al-Mu’assasah al-Jami‘iyyah li al-Dirasat wa al-Nasyr wa al-Tawziy’, 1987 M/1406 H.

Hilmiy, Mahmud. Nizam al-H{ukm al-Islamiy Muqaranan bi al-Nuzum al-Mu‘asirah. Cet. IV; Kairo: Dar al-Huda li al-T{iba‘ah, 1978 M/1398 H.

Al-Jauziyyah, Ibnu Qayyim. Al-T{uruq al-H{ukmiyyah. Cet. I; Beirut: Maktabah al-Mu’ayyad, 1989 M/1410 H.

Manan, Abdul. Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan; SuatuKajian dalam Sistem Peradilan Islam. Cet. I; Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007.

Al-Mawardi, Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Basri al-Bagdadi. Al-Ahkam al-Sultaniyyah. Cet. I; Beirut: al-Maktab al-Islami, 1996 M/1416 H.

Mufid, Nur dan Nur Fuad. Bedah al-Ahkamus Sultaniyah al-Mawardi. Cet. I; Surabaya: Pustaka Progresif, 2000.

Muhammad, Muhammad Abdul Jawwad. Buhus fi al-Syari‘ah al-Islamiyyah wa al-Qanun. Kairo: Matba‘ah Jami‘ah al-Qahirah wa al-Kitab al-Jami‘iy, 1977 M/1397 H.

Musyrifah, Atiyyah Mustafa. Al-Qada’ fi al-Islam. Cet. II; t.t, t.p., 1966.

Qadri, Anwar Ahmad. Justice and Historical Islam. Diterjemahkan oleh Eddi S. Hariyadhi dengan judul Sebuah Potret Teori dan Praktek Keadilan Dalam Sejarah Pemerintahan Muslim. Cet. I; Yogyakarta: Bidang Penerbitan PLP2M, 1987.

Al-Qurasyiy, Galib Abd al-Kafiy. Awwaliyyat al-Faruq al-Siyasiyyah. Cet. I; Mansurah: Dar al-Wafa’ li al-T{iba‘ah wa al-Nasyr wa al-Tawziy’, 1990 M/1410 H.

Samin, Sabri. Pidana Islam dalam Politik Hukum Indonesia; Eklektisisme dan Pandangan Non Muslim. Cet. I; Jakarta: Kholam Publishing, 2008.

Simorangkir, J.T.C. et al. Kamus Hukum. Cet. IX; Jakarta: Sinar Grafika, 2005.

Talib, Hamid Muhammad Abu. Al-Tanzim al-Qadaiy al-Islamiy. Cet. I; Kairo: Matba‘ah al-Sa‘adah,1982 M/1402 H.

UU Advokat Indonesia. Cet. II; Jakarta: Sinar Grafika, 2005.

Catatan Kaki

[1]Anwar Ahmad Qadri, Justice in Historical Islam, terj. Eddi S. Hariyadhi, Sebuah Potret Teori dan Praktek Keadilan Dalam Sejarah Pemerintahan Muslim (Cet. I; Yogyakarta: Bidang Penerbitan PLP2M, 1987), h. 1-2.

[2]Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan; SuatuKajian dalam Sistem Peradilan Islam (Cet. I; Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), h. 1.

[3]Husain al-Hajj Hasan, al-Nuzum al-Islamiyyah (Cet. I; Beirut: al-Mu’assasah al-Jami‘iyyah li al-Dirasat wa al-Nasyr wa al-Tawziy’, 1987 M/1406 H), h. 244.

[4]Lihat UU Advokat dilengkapi UU Kepolisian (Cet. II; Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 170.

[5]Galib Abdul Kafi al-Qurasyi, Awwaliyyat al-Faruq al-Siyasiyyah (Cet. I; Mansurah: Dar al-Wafa’ li al-Tiba‘ah wa al-Nasyr wa al-Tawziy’, 1990 M/1410 H), h. 79.

[6]Atiyyah Mustafa Musyrifah, al-Qada’ fi al-Islam (Cet. II; t.t, t.p., 1966), h. 90.
[7]Abdul Manan, op. cit., h. 82.

[8]Hasan Ibrahim Hasan, al-Nuzum al-Islamiyyah (Kairo: Matba‘ah Lajnah al-Ta’lilf wa al-Tarjamah wa al-Nasyr, 1953), h. 72.

[9]Anwar Ahmad Qadri, op. cit., h. 32.
[10]Ibid., h. 41.

[11]Ibid., h. 60.

[12]Lihat UU Advokat Indonesia dilengkapi UU Kejaksaan (Cet. II; Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 125, 126 dan 146.

[13]Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, selanjutnya disebut Teungku, Peradilan dan Hukum Acara Islam (Cet. I; Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1997), h. 101.

[14]Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Basri al-Bagdadi al-Mawardi, al-Ahkam al-Sultaniyyah ( Cet. I; Beirut: al-Maktab al-Islami, 1996 M/1416 H), h. 363. Lihat al-Qadiy Abu Ya’la Muhammad ibn al-Husayn Al-Farra’, Al-Ahkam al-Sultaniyyah (Beirut: Dar al-S|aqafah al-Islamiyyah, 1987 M/1406 H), h. 284.

[15]Lihat Nur Mufid dan Nur Fuad, Bedah al-Ahkamus Sultaniyah al-Mawardi (Cet. I; Surabaya: Pustaka Progresif, 2000), h. 134-136.

[16]T.M. Hasbi Ash Shiddieqi, op. cit., h. 97.

[17]Hasan Ibrahim Hasan, op. cit., h. 73.
[18]Ibid., h. 75.

[19]Lihat UU Advokat Indonesia (Cet. II; Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 4. Lihat pula Ilham Gunawan dan Martinus Sahrani, Kamus Hukum (Cet. I; Jakarta: Restu Agung, 2002), h. 12.

[20]Hamid Muhammad Abu Talib, al-Tanzim al-Qadaiy al-Islamiy (Cet. I; Kairo: Matba‘ah al-Sa‘adah,1982 M/1402 H), h. 108.

[21]Ibid., h. 109.
[22]Anwar Ahmad Qadri, op. cit., h. 45.

[23]J.T.C. Simorangkir et al., Kamus Hukum (Cet. IX; Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 124.

[24]Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia (Cet. IV; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), h. 11.

[25]Lihat Abdul Manan, op. cit., h. 77-81.
[26]T.M. Hasbi Ash Shiddieqi, op. cit., h. 22.

[27]Ibid., h. 24-25.

[28] Muhammad Abdul Jawwad Muhammad, Buhus fi al-Syari‘ah al-Islamiyyah wa al-Qanun (Kairo: Matba‘ah Jami‘ah al-Qahirah wa al-Kitab al-Jami‘iy, 1977 M/1397 H), h. 103-105.

[29]Hasan Ibrahim Hasan, op. cit., h. 54. Lihat Atiyyah Mustafa Musyrifah, op. cit., h. 92.

[30]Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, al-T{uruq al-H{ukmiyyah (Cet. I; Beirut: Maktabah al-Mu’ayyad, 1989 M/1410 H), h. 102.

[31]Abd Aziz Amir, al-Ta’zir fi al-Syariah al-Islamiyyah (Cet. V; Kairo: Dar al-Hamamiy li al-Tiba’ah, 1974 M/1396 H), h. 262-263.

[32]Departemen Agama, Alquran dan Terjemahnya (Semarang: CV Toha Putra, 1989), h. 118.
[33]Ibid., h. 164.

[34]Husain al-Hajj Hasan, op. cit., h. 222.

[35]Atiyyah Mustafa Musyrifah, loc. cit.

[36]Abdul Manan, op. cit., h. 83.

[37]Sabri Samin, Pidana Islam dalam Politik Hukum Indonesia; Eklektisisme dan Pandangan Non Muslim (Cet. I; Jakarta: Kholam Publishing, 2008), h. 63.

Disampaikan dalam Forum Seminar Kelas Program Magister (S2)
Mata Kuliah Sejarah Peradilan Islam Semester II
Konsentrasi Syariah/Hukum Islam

Penyusun
Muhammad Arfah
M. Ali Rusdi
Mansur Sudirman
Asrul M. Darwis

Subscribe to receive free email updates: