Pemikiran Hukum Islam Dinasti Umayyah

Klasifikasi perkembangan hukum Islam pada Dinasti Umayah sebenarnya masih membingungkan banyak pengamat. Kebingungan itu dapat dipahami dengan munculnya pergolakan-pergolakan yang muncul berasal pada masa kekhalifahan Usman dan Ali dan akhirnya memuncak pada pemerintahan Dinasti Umayah yang melahirkan agitasi teologis sangat tajam. Pergolakan-pergolakan tersebut justru membawa pengaruh besar terhadap perkembangan hukum Islam sendiri, sehingga mengantarkan pada era kodifikasi dan munculnya para imam mazhab.[1]

Secara umum ulama fukaha pada Dinasti Umayah mengikuti manhaj (metode, kaidah pengambilan dalil) sahabat dalam mencari hukum. Mereka merujuk pada al-Qur’an dan sunah. Apabila tidak mendapatkan dari keduanya, mereka merujuk pada ijtihad sahabat dan setelah itu mereka sendiri berijtihad sesuai dengan kaidah-kaidah ijtihad para sahabat. Pada masa ini, hukum Islam tumbuh dan berkembang secara pesat. Hal tersebut disebabkan beberapa faktor yang memenaruhinya, di antaranya:

1. Penggunaan Rasio

Ada kecenderungan baru dari beberapa ahli hukum Islam (fukaha) untuk memandang hukum sebagai pertimbangan rasional. Mereka tidak saja banyak menggunakan rasio dalam memahami hukum dan menyikapi persoalan yang muncul, tetapi juga memprediksikan suatu peristiwa yang belum terjadi dan memberi hukumnya.

Aliran pemikiran ini dipelopori oleh Ibrahim bin Yazid al-Nakha’i, seorang ahli fikih Irak, guru Hammad bin Sulaiman yang banyak mewariskan pemikiran fikih rasionalis kepada Abu Hanifah.[2]

Aliran ini tidaklah berjalan mulus, tetapi banyak mendapatkan tanggapan dan tantangan. Reaksi paling keras berasal dari ulama Hijaz (Mekkah dan Madinah, khususnya Madinah)[3] yang menganggap aliran ini telah menyeleweng dari manhaj sahabat, bahkan berpaling dari ajaran Rasulullah saw. Dengan munculnya aliran ini, dianggap telah membuka pintu untuk memasuki suatu krisis pemahaman keagamaan sebagaimana yang telah menimpa orang-orang Yahudi dan Nasrani.

Ibnu Syihab al-Zuhri, seorang ahli hadis pada waktu itu pernah mengatakan, “Sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Nasrani kehilangan ilmu yang mereka miliki ketika mulai disibukkan dengan pendapat rasio dan pemikiran”.[4] Namun tidak berarti fragmentasi fiqhiyyah pada periode ini memasung perkembangan fikih. Sebab, meskipun muncul beberapa reaksi keras, namun apresiasi terhadap gagasan Ibrahim dan ulama Irak, pro maupun kontra, sangat terasa.

Pertemuan-pertemuan dan dialog yang mereka adakan untuk mendiskusikan berbagai persoalan yang muncul dan dimunculkan, di Irak dan Hijaz dapat ditangkap beberapa isyarat yang memungkinkan kedua belah pihak saling melengkapi, saling mengisi antara satu dengan lainnya. Ulama Hijaz yang kaya akan hadis dan fatwa-fatwa sahabat dipaksa menjawab persoalan yang belum timbul pada masa Nabi saw. dan sahabat. Demikianlah kebiasaan ulama Irak memprediksikan suatu peristiwa yang belum muncul itu menuntut ulama Hijaz untuk menggali tujuan moral, ilat dan hikmah yang menjadi tujuan disyariatkan suatu hukum. Sebaliknya ulama Irak juga seringkali mencabut pendapat yang diketahui bertentangan dengan sunah Nabi saw. setelah melalui dialog dengan ulama Hijaz.[5]

Pada perkembangan berikutnya terjadilah pembaharuan, pluralisme dan heterogenitas pemikiran hukum Islam, baik di Irak ataupun Hijaz sendiri yang sangat membantu memperkaya sarwah fiqhiyyah.
http://aang-zaeni.blogspot.com/2016/11/pemikiran-hukum-islam-dinasti-umayyah.html
                                               Pemikiran Hukum Islam Dinasti Umayyah
2. Meluasnya Ruang Ikhtilaf

Konsekuensi lain dari kontroversialisme pemahaman fikih tersebut adalah meluasnya ruang ikhtilaf pada periode ini. Meluasnya ikhtilaf itu sebenarnya telah tumbuh pada masa pemerintahan khalifah Usman bin Affan. Usman adalah khalifah pertama yang mengizinkan para sahabat untuk meninggalkan Madinah dan menyebar ke berbagai daerah. Lebih dari 300 sahabat pergi ke Basrah (Irak) dan Kufah (Irak), sebagian lagi ke Mesir dan Syam.[6]

Penyebaran sahabat ke berbagai daerah tersebut mempunyai pengaruh tersendiri terhadap perkembangan fikih, khususnya perluasan ikhtilaf di kalangan tabi’in. itu dapat dipahami karena masing-masing daerah memiliki perbedaan situasi, kebiasaan dan kebudayaan, di samping perbedaan kapasitas pemahaman para ahli fikih dalam mengantisipasi masalah-masalah yang muncul.

Perbedaan teori, formulasi, keadaan dan kondisi masyarakat mengantarkan mereka sering berbeda dalam satu masalah yang sama. Namun persoalannya tidak sebatas itu saja. Pergolakan-pergolakan politik sejak terbunuhnya Usman, pindahnya markas kekhalifahan ke Kufah (Irak) kemudian ke Syam dan berbagai konfrontasi yang banyak menimbulkan korban jiwa, juga faktor yang harus disebut dari meluasnya ikhtilaf pada periode ini. Ikhtilaf ini semakin melebar sekaligus meruncing ketika konfrontasi politik antara Ali dan Muawiyyah dan penyelewengan Dinasti Umayah menimbulkan berbagai aliran dan sekte. Pada saat itu, muncul aliran Syiah, Khawarij, Jahmiyah, Mu’tazilah dan lain sebagainya.

3. Sumber-sumber Hukum Islam

Sumber-sumber syariah pada masa ini ada tiga, yaitu al-Qur’an, sunah, ijmak, sedangkan ijtihad dengan jalan kias merupakan salah satu metode untuk istinbat hukum. Seorang mufti bila diminta untuk berfatwa terhadap suatu permasalahan dan mufti tersebut menemukan nas dalam al-Qur’an atau sunah yang menunjukan hukum atas persoalan tersebut, maka mufti akan berpegang terhadap nas tersebut dan tidak akan menggunakan dasar yang lain. Bila dalam suatu kasus, tidak menemukan nas untuk mengatasinya tetapi mendapati ijmak dari para mujtahid dari kalangan sahabat mengenai kasus tersebut, maka akan fatwa diperpegangi untuk memberikan hukum, sedang bila tidak menemukan nas tentang kasus itu dan tidak menemukan ijmak dari hukum yang dimaksud, maka mufti tersebut akan berijtihad dan mengistinbatkan hukum dengan jalan yang telah ditunjukan oleh syarak.[7]

Pada masa ini, para ulama menggunakan adillah al-syari’yyah berpusat kepada 3 sumber hukum, yaitu al-Qur’an, sunah, dan ijmak sahabat, sedangkan ijtihad melalui kias digunakan bila ketiga sumber hukum tersebut tidak ditemukan solusinya atas suatu perkara.

4. Pengaruh Ahl al-Hadis dan Ahl al-Ra’y

Pada zaman itu (zaman tabi’in), dalam ifta’ (pemberian fatwa) ada dua aliran: aliran yang cenderung pada kelonggaran dan bersandar atas penalaran, kias, penelitian tentang tujuan-tujuan hukum dan alasan-alasannya sebagai dasar ijtihad. Tempatnya ialah Irak dan aliran yang cenderung tidak kepada kelonggaran dalam hal tersebut, dan hanya bersandar kepada bukti-bukti asar (peninggalan atau petilasan yakni, tradisi atau sunah) dan nas-nas. Tempatnya di Hijaz. Adanya dua aliran itu merupakan akibat yang wajar dari situasi masing-masing Hijaz dan Irak.

Hijaz adalah tempat tinggal kenabian. Di situlah, Rasulullah saw. menetap, menyampaikan seruannya, kemudian para sahabat Nabi saw. menyambut, mendengarkan, memelihara sabda-sabda Nabi saw. dan menerapkannya. Hijaz tetap menjadi tempat tinggal banyak dari para sahabat yang datang kemudian sampai Rasulullah saw. wafat. Kemudian para sahabat ini mewariskan apa saja yang mereka ketahui kepada penduduk (berikut)-nya, mereka itu kaum tabi’in yang bersemangat untuk tinggal di sana.
Irak telah mempunyai peradabannya sendiri, sistem pemerintahannya, kompleksitas kehidupannya, dan tidak mendapatkan bahagian dari sunah kecuali melalui para sahabat dan tabi’in yang pindah ke sana dan yang dibawa pindah mereka. Hal itu pun masih lebih sedikit dari pada yang ada di Hijaz, padahal peristiwa-peristiwa (hukum) di Irak itu, disebabkan masa lampaunya, adalah lebih banyak dari pada yang ada di Hijaz, begitu pula kebudayaan penduduknya dan terlatihnya mereka kepada penalaran adalah lebih luas dan lebih banyak. Karena itu, keperluan mereka terhadap penalaran sangat terasa, dan penggunaannya juga sangat banyak. Penyandaran diri kepadanya juga sangat jelas tampak, mengingat sedikitnya sunah pada mereka tidak memadai untuk semua tuntutan mereka. Hal ini disebabkan dengan kecenderungan mereka untuk banyak membuat asumsi-asumsi dan perincian karena keinginan mendapatkan tambahan pengetahuan, penalaran mendalam dan pelaksanaan yang banyak.[8]

5. Politik Kekuasaan

Pusat kekuasaan politik Islam berpindah-pindah. Madinah di masa Nabi saw. dan al-Khulafa’ al-Rasyidun, Damaskus (Syiriah) pada masa Dinasti Umayah, dan Baghdad pada masa Dinasti Abbasiyah. Penguasa dinasti Umayah kecuali Umar bin Abdul Aziz, kelihatannya kurang memperhatikan perkembangan pemikiran keagamaan. Mereka lebih memusatkan perhatian di bidang politik, sehingga ketika itu, pemikiran politik dan pemikiran keagamaan berjalan sendiri-sendiri. Penguasa Dinasti Abbasiyah melihat sikap semacam itu tidaklah tepat, karena mereka berupaya agar pemikiran keagamaan dikembangkan bersamaan dengan perkembangan politik dan filsafat. Para imam mazhab yang tidak ingin terlibat dalam urusan pemerintahan akan dihukum.[9]

Pada masa al-Khulafa’ al-Rasyidun, penguasa adalah juga alim, menyatu dalam diri khalifah ilmu agama dan kekuasaan. Penguasa Dinasti Umayah kecuali Umar bin Abdul Aziz dan tidak tahu banyak tentang syariah Islam dan metode-metode berijtihad. Urusan agama diserahkan kepada ulama, sedangkan urusan pemerintahan dan politik dipegang oleh khalifah. Perkembangan pemikiran hukum Islam berada di luar kontrol pemerintahan, karena seperti disebutkan di muka bahwa para penguasa pemerintahan bukanlah orang-orang yang menguasai pengetahuan agama.[10]

Khalifah Dinasti Umayah yang memusatkan perhatian kepada ilmu pengetahuan adalah pemerintahan Umar bin Abdul Aziz dikenal masa permulaan pembukuan hadis, untuk menjaga sumber kedua syariah Islam tersebut dalam mengungkap hukum-hukum. Kekhawatiran khalifah akan semakin tidak terurusnya hadis-hadis Nabi saw. dalam tulisan menggerakkan hatinya untuk memerintahkan ulama hadis, seperti Ibn Syihad al-Zuhri agar membukukan hadis. Prestasi penghimpunan hadis, semenjak dari asal penghimpunan hingga pemilahan hadis-hadis sahih dari yang tidak sahih adalah kebanggan tersendiri dalam menyelamatkan syariah Islam. Terpeliharanya hadis tersebut merupakan titik awal dari bangkitnya pengkajian terhadap hadis-hadis dalam memutuskan hukum yang semula mengandalkan hafalan, sehingga jangkauan hadispun semakin luas ke berbagai daerah. Dalam menetapkan hukum Islam, para ahl al-hadis mempunyai langkah-langkah sebagai berikut:

a. Bila suatu masalah sudah disebut dalam al-Qur’an maka seorang ulama tidak boleh beranjak kepada yang lain.

b. Bila kandungan ayat al-Qur’an itu menunjukan berbagai kemungkinan maka mereka merujuk hadis yang berbicara hal yang sama dalam ayat tersebut.

c. Bila ayat al-Qur’an tidak menerangkannya, mereka mencari petunjuk dalam hadis, baik yang telah masyhur dipakai oleh ulama sebelumnya atau yang diriwayatkan oleh penduduk suatu daerah tertentu.

d. Bila hadis sudah ditemukan maka tidak boleh mengambil keputusan hukum berdasarkan yurisprudensi/pemikiran mujtahid.

e. Bila hadis tersebut tidak ditemukan, keputusan diambil berdasarkan pendapat umum (konsensus). Hasil konsensus harus dipatuhi. Bila masih juga terdapat perbedaan pendapat dalam upaya konsensus, maka keputusan diambil dari pendapat ulama yang paling warak dan alim.[11]

Aliran ahl al-hadis bukanlah aliran yang menghindari penggunaan akal. Ketakutan mereka melahirkan sikap kehati-hatian, sangat mengakui kelemahan akal kendati terkesan tidak berani menggunakan akal dan sangat mengutamakan penggunaan ajaran wahyu.

6. Pemikiran Hukum Islam Syi’ah, Khawarij, dan Jumhur

Aliran-aliran ini tidak hanya dalam bidang teologis, tetapi juga berpengaruh dalam sejarah perkembangan hukum Islam. Misalnya menurut Syiah, ijmak dan kias bukan sumber hukum dalam Islam. Sebab ijmak berarti kesepakatan semua mujtahid dari umat Muhammad saw. setelah kewafatannya dalam satu masa dan tentang hukum syariah, padahal mereka tidak mau menerima pendapat selain dari orang Syiah sendiri. Demikian juga kias, sebab hukum hanya dapat diambil dari al-Qur’an, sunah dan para imam-imam mereka yang maksum.[12]

Dinasti Umayah pada masanya adalah keadaan yang sudah berhadapan dengan kemajemukan umat yang terdiri atas tiga golongan yakni, Syiah, Khawarij dan Jumhur. Kehadiran mereka merupakan isyarat bahwa kemajemukan umat merupakan hal yang mengantarkan kepada keadaan menyulitkan atau darurat, suasana bukan lagi dianggap stabil, simpel dan sederhana. Supremasi hukum syarak boleh saja dibatasi kompetensinya atau diganti menurut pertimbangan politik, yakni seolah tidak ada waktu lalai dari memelihara kepentingan umum dan keselamatan umat, seperti ketiadaan penguasa atau khalifah tersebut permukaan bumi. Di atas ketiga golongan dalam Islam tersebut, masing-masing secara tersendiri membentuk alur pemikiran budaya Islam, mulai dari aspek politik dan hukum, sampai kepada aspek teologi, filsafat dan tasawuf.

Sejauh di dalam peran ketiga golongan Islam tersebut, hukum Islam pada masa al-Khulafa’ al-Rasyidun berbeda dengan hukum Islam pada masa Bani Umayah. Hukum berkembang bukan lagi karena asas musyawarah atau mufakat, tetapi tampaknya adalah sisa yang sesuai persepsi masing-masing golongan. Perbedaan pendapat misalnya, golongan Khawarij dan Syiah tidak menerima hadis-hadis kecuali apa yang diriwayatkan oleh pihaknya sendiri. Golongan Jumhur di satu sisi tetap mengantisipasi hadis-hadis dari siapapun saja setelah memenuhi syarat- siqah, Khawarij dan Syiah kelihatan tidak sama demokratnya dengan Jumhur dalam kerangka penjaringan hadis-hadis sebagai salah satu metodologi hukum Islam. Keduanya tampak memiliki sikap subyektif dan nepotisasi.

Catatan Kaki

[1]Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam: Sebuah Pengantar (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), h. 49.

[2]Ibid., h. 50.

[3]Selanjutnya bila disebut Hijaz, maka yang dimaksud adalah Mekkah dan Madinah, khususnya Madinah, sedangkan Persia maka yang dimaksud adalah Iran, Syam (Demaskus, Syiriah), dan Kufah dan Bashrah yang dimaksud adalah Irak.

[4]Ibnu Qayyim al-Jauziyah, I’lam al-Muqi’in (Bairut: Dar al-Jail, tt.), h. 74.

[5]Mu’im A. Sirry, op.cit. h. 50.

[6]Thaha Jabir Fayyadh ‘Ulawani, Adab al-Ikhtilaf fi al-Islam (Riyad: al-Maktabah al-Su‘udi, 1981), h. 21.

[7]Mun’im A. Sirry, op.cit., h. 53.

[8]Al-Syaykh ‘Ali al-Khafifi, “Al-Ijtihad fi ‘Ashr al-Tabi’in wa Tabi’i ‘l-Tabi’in,” dalam Al-Ijtihad fi al-Syari’at al-Islamiyyah (Riyad: Jami’at al-Imam Muhammad ibn Su’ud al-lslamiyyah, 1404/1984), h. 224.

[9]Muh. Zuhri, Hukum Islam dalam Lintatasan Sejarah (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), h. 65.

[10]Ibid, h. 66.

[11]Ibid., h. 68.

[12]Mun’im A. Sirry, op.cit, h. 54.

Subscribe to receive free email updates: