Biografi Fakhruddin Al-Razi dan Pemikiran tentang Filsafat Ketuhanan

http://aang-zaeni.blogspot.co.id/ - Di dalam agama Islam, Ilmu pengetahuan sangat ditekankan untuk dipelajari, mulai dari masa Nabi sampai Khulafa al-Rasyidin, pertumbuhan ilmu berjalan dengan pesat seiring dengan perkembangan ilmu dalam Islam adalah peristiwa Fitnah al-Kubra, yang ternyata tidak hanya membawa konsekuensi-logis dari segi politis seperti yang difahami selama ini, tetapi juga ternyata membawa perubahan besar bagi pertumbuhan dan perkembangan ilmu di dunia Islam. Pasca terjadinya Fitnah al-Kubra muncul berbagai golongan yang memiliki aliran teologis tersendiri yang pada dasarnya berkembang karena alasan-alasan politis. Pada saat itu muncul aliran Syi’ah yang membela Ali, aliran Khawarij dan kelompok Muawiyah.

Seperti sudah disinggung di atas, pasca Fitnah al-Kubra bermunculan berbagai aliran politik dan teologi, dari sini kemudian dapat dikatakan bahwa sejak awal Islam kajian-kajian teologi sudah mulai berkembang meskipun masih berbentuk embrio. Embrio inilah yang pada masa kemudian menemukan bentuknya yang lebih sistematis dalam kajian-kajian teologis dalam Islam.[1]

Sebagai contoh persoalan bagi yang melakukan dosa besar; apakah mu’min atau kafir, masalah kebebasan atau ketidak bebasan manusia dalam menentukan perbuatannya, sudah diwakili sejak dini perdebatan antara kalangan Mu’tazilah dan Khawarij. Dari sini tampaknya seperti di tulis oleh Harun Nasution,[2] peranan akal dalam pergulatan pemikiran dan keilmuan dalam tradisi Islam dimulai.

Pada masa kejayaan Islam peran akal cukup memberikan andil kepada terbentuknya tatanan masyarkat yang madani, hal ini dikarenakan para tokoh-tokoh filsafat juga bergulat serius dalam kajian-kajian di luar filsafat. Hal ini bisa dipahamikarena kenyataan bahwa mereka menganggap ilmu-ilmu rasional sebagai bagian dari filsafat. Atas dasar inilah mereka memperlakukan persoalan-persoalan fisika sebagaimana mereka memperlakukan masalah-masalah yang bersifat metafisika.

Oleh sebab itu penulis memandang bahwa, salah satu sebab kejayaan umat Islam adalah ketika akal menjadi sumber pengetahuan. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya filosof muslim yang menguasai hal-hal yang bersifat fisika, salah satu dari filosof muslim itu adalah Muhammad Ibnu Zakaria Al-Razi seorang filosof muslim yang juga dokter terbesar dalam Islam, bahkan diseluruh masa abad pertengahan, dan juga mampu menemukan jenis-jenis penyakit yang belum dikenal sebelumnya.

Kitabnya yang berjudul Al-Hawi adalah kitab yang paling terkemuka diantara karya-karya kedokteran arab yang diambil manfaatnya oleh dokter orang-orang latin hingga saat ini.[3] Sehingga dalam tulisan ini, kami akan mencoba membahas tentang Al-Razi, riwayat hidupnya, serta pemikirannya yang tertuang dalam filsafat 5 kekal (Al-Qudama Al-Khamsah).

Biografi dan Riwayat Hidup Al-Razi

Encyclopedia Americana jilid XXIII edisi 1976 halaman 455 menulis tentang tokoh besar dalam Islam ini sebagai berikut : “Rahazes atau Rasis adalah panggilan latin bagi Al-Razi, yang nama lengkapnya ialah Abubakar bin Muhammad bin Zakaria Al Razi atau biasa juga disebut dengan sebutan Imam Fakhruddin, ia seorang tabib Parsi (Parsia Physcian), dilahirkan di kota Rayy, sebuah kota tua yang pada masa dulu bernama Rhagae, terletak dekat Teheran, pada tahun 865 M dan wafat pada tahun 925 M. Dia studi tentang filologi, filsafat, musik, medicine, dan menjabat kepala Rumah Sakit Umum di Baghdad”.[4]
http://aang-zaeni.blogspot.com/2016/11/biografi-fakhruddin-al-razi-dan.html

Ia hidup di sebuah tengah-tengah keluarga yang terkenal sangat mencintai ilmu dan keutamaan. Ayahnya adalah Syaikh Imam Dhiyauddin Umar Khatib arRay, ia seorang guru dan khatib di kota Ray.[5] Syaikh Imam Dhiyauddin memiliki berbagai karangan di bidang ushul, bimbingan dan penyuluhan dan lain sebagainya. Awal kesibukan Al-Razi adalah menimba ilmu dari orang tuanya.

Seperti yang telah penulis utarakan pada pendahuluan makalah ini bahwa, karyanya amat terkenal di antara 140 buah karyanya dalam bidang ketabiban ialah Al-Hawi (The Comprehensive Book), yang buat pertama kali disalin ke dalam bahasa Latin pada tahun 1279 M. Uraiannya tentang penyakit cacar dan penyakit campak (smallpox and measles, al Judari wal Hasbah) adalah pembahasan paling tertua mengenai kedua penyakit itu (the oldest accaunt in exixtance of those disease).[6] Karyanya itu telah berulang kali disalin ke dalam bahasa Grik dan bahasa Latin, dan juga kedalam bahasa Inggris langsung dari bahasa Arab. Karyanya Kitab Al-Manshuri berisikan sistem komplit tentang perobatan (a complete system of medicine) berasal dari sumber-sumber Arab dan sumber Grik.

Demikian ungkapan Encyclopedia Americana mengenai tokoh besar dalam bidang ketabiban itu. Kota Ray itu demikian Dr. Umar Farrukh di dalam Tarikhul Fikri Arabi edisi 1972 halaman 315-322, terletak pada bagian selatan Teheran, dan Al-Razi itu dilahirkan tahun 250 H/865 M dan pada masa usia tiga puluh tahun mulai melakukan studi tentang ketabiban.

Mengenai filsafat, dipelajarinya dari dua ulama besar bernama Muhammad al-Bagawi dan Majdin al-Jilli, begitu pula dengan ilmu kalam yang dipelajarinya dari Kamaluddin as-Sammani.[7] Kecerdasannya menjadikannya ahli dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, baik agama maupun umum, seperti kedokteran, matematika, fisika bahkan astronomi.

Dalam bidang fikih, Fahruddin menganut mazhab Syafi’i ia juga termasuk salah seorang yang gigih mempertahankan pemikiran yang dikembangkan oleh kaum Asy’ariyah.[8] Sebagai seorang yang mendalami teologi, kajian-kajian teologi dikembangkannya melalui pendekatan filsafat. Karena pendekatannya itu, ia dianggap sebagai seorang Mu’tazilah. Namun konsep dasar Mu’tazilah pun tidak lepas dari kajian dan kritikannya.

Peranan Fakhruddin Al-Razi dalam pengembangan pemikiran dan ketabiban, tidak lepas dari perhatian yang diberikan oleh penguasa di zamannya. Pada masa Mansur ibn Ishaq ibn Asad sebagai Gubernur Rayy, Al_Razi diserahi kepercayaan untuk memimpin rumah sakit selama enam tahun dari Rayy, kemudian Al-Razi pergi ke Bagdad, dan atas permintaan Khalifah Mansyur ibn Ishaq bin Ahmad yang berkuasa pada waktu itu, ia pun memimpin rumah sakit di Baghdad.[9]

Untuk menentukan lokasi rumah sakit di Baghdad, ia menaruh potongan-potongan daging di berbagai tempat, kemudian memilih tempat dimana daging itu yang paling kurang pembusukannya. Dalam menjalankan profesi kedokteran, ia dikenal pemurah, sayang kepada pasien-pasiennya, dermawan kepada orang miskin dan memberikan obat kepada mereka dengan cuma-cuma.

Diberitakan, Al-Razi banyak menghabiskan waktunya bersama murid-muridnya dan pasiennya, di samping belajar dan menulis, dan keseriusanya dalam belajar yang menjadikan salah satu penyebab katarak dideritanya. Konon pada masa tuanya ia pun buta dan menolak untuk dilakukan operasi sewaktu dia mengetahui bahwa ahli bedah (surgeon) yang akan melakukan operasi itu tidak mampu menjelaskan tentang jumlah selaput pada biji mata.[10]

Fakhruddin Al-Razi dinyatakan sebagai tokoh reformis dunia Islam pada abad ke-6 H. Bahkan ia dijuluki sebagai tokoh pembangunan sistem teologis melalui pendekatan filsafat, hal ini dikarenakan pembahasan teologisnya mengambil bentuk yang berbeda dengan pembahasan tokoh-tokoh sebelumnya. Kemunduran semangat intelektualitas dalam Islam sebagai akibat dari jatuhnya Dinasti Abbasyiah ke tangan bangsa Tatar dalam aspek politik, agama maupun peradaban sangatlah parah, khususnya di daerah-daerah yang dikuasai oleh kaum Suni.[11] Keadaan inilah yang mendapatkan perhatian lebih dari Fakhruddin Al-Razi, keterputusan filsafat dalam dunia Islam coba untuk dihubungkankembali.

Salah satu buah pemikiran yang dihasilkan oleh Al-Razi yang banyak ditentang oleh para filosof-folosof sesudahnya adalah argumennya tentang Filsafat Lima Kekal (Al-Qudama Al-Khamsah). Oleh sebab itu, dalam pembahasan makalah ini, penulis mencoba membahas tentang filsafat Lima Kekal menurut sudut pandang Al-Razi.

Filsafat Lima Kekal (Al-Qudama al-Khamzah)

Dalam pembahasan filsafatnya, Fakhruddin Al-Razi sangat dikenal dengan ajarannya “Lima Kekal”, yakni : 1. Allah Ta’ala, 2. Jiwa Universal, 3. Materi Pertama, 4. Ruang Absolut , 5. Masa (waktu) Absolut. Menurut Al-Razi, dua dari lima yang kekal itu hidup dan aktif, yaitu Tuhan dan Jiwa/Roh Universal. Satu daripadanya tidak tahan hidup dan tidak pasif, yaitu materi. Dan dua lainnya tidak hidup, tidak aktif dan tidak pula pasif, yakni ruang dan masa.[12]

1. Allah Ta’ala

Tuhan, menurutnya, adalah Maha Suci dari semua yang menyerupakan dan penyamaan. Tuhan tidaklah berjisim, karena yang berjisim memerlukan ruang dan waktu, serta memerlukan adanya dimensi. Setiap orang yang berdimensi adalah terbatas, dan setiap yang terbatas bukanlah Tuhan. Tuhan menurutnya adalah Wajib al-Wujud li zaatihi (Wajib ada-Nya karena Zat-Nya) dan Ia mempunyai beberapa keistimewaan yaitu : La yatarakkab min ghairih (tidak tersusun dari unsur lain); La yatarakkabu ‘anhu ghairuh (selainnya bukan berasal dari Zat-Nya); La yakuunu wuuduh zaa’idan ‘alaa maahiyatih (Wujud-Nya bukan diluar hakikat-Nya); dan Laa yakunu musytarikan bain al-isnain (Ia bukanlah kombinasi dua unsur).[13]

Dalam permasalahan sifat Tuhan, Ia sepakat dengan kalangan Asy’ariyah. Ia mengakui adanya sifat-sifat Tuhan, akan tetapi sifat-sifat Tuhan itu berjumlah delapan buah, sebagaimana yang dikembangkan oleh Imam Syafi’I yaitu Wahdaniah (esa), al-Hayah (hidup), al-‘Ilm (berilmu) al-Qudrah (berkuasa), al-Iradah (berkehendak), as-Sam’u (mendengar), al-Basr (melihat), dan al-Kalam (berkata). Lanjut menurut Al-Razi, Tuhan itu Maha Bijaksana dia tidak mengenal istilah lupa. Hidup ini keluar dari-Nya sebagai sinar terpancar dari sang surya. Tuhan adalah pencipta segala sesuatu. Kekuasaan-Nya tidak ada yang menyamai. Ia mengetahui segala sesuatu dengan sempurna. Pengetahuan Tuhan berbeda dengan pengetahuan manusia. Sebab pengetahuan manusia dibatasi oleh pengalaman.[14]

2. Jiwa Universal

Menurut Al-Razi, jiwa universal merupakan al-mabda al-qadim al-sany, (sumber kekal yang kedua). Dalam bukunya ath-Thibb ar-Ruhani seperti yang dikutip oleh Dr. Muhammad ‘Utsman Najati dalam bukunya Jiwa dalam Pandangan Filosof Muslim, Al-Razi menyebutkan pendapat Plato tentang jiwa. Menurut Al-Razi, manusia memiliki tiga jiwa :

1. An-Nafs an-Nathiqah al Ilahiyah (Jiwa yang bersifat rasional dan ilah)

2. An-Nafs al-Ghadabiyah wa al-Hayawaniyah (Jiwa yang bersifat emosional dan kehewanan)

3. An-Nafs an Nabatiyah wa an-Namiyah wa as-Syahwaniyah (jiwa yang bersifat vegetatif, tumbuhan dan syahwat).[15]

Jiwa Hewani dan vegetatif merupakan bagian dari jiwa rasional. Jiwa vegetatif berfungsi untuk memberikan makan pada badan yang berkedudukan sebagai alat dan perangkat dari jiwa nasional. Karena badan terdiri dari substansi yang bersifat cair dan mengalami kerusakan, maka agar dapat bertahan ia membutuhkan makan untuk meggantikan yang rusak.

Sedangkan fungsi jiwa emosi adalah membantu jiwa rasional untuk melawan syahwat dan mencegahnya agar tidak menyibukkan jiwa rasional dengan berbagai syahwat sehingga mengabaikan fungsi dasarnya, yaitu rasio yang bila digunakan dengan cara yang efektif dan sempurna, maka akan memungkinkannya untuk membebaskan diri dari badan.

Jiwa emosi adalah sejumlah kelenjar jantung yang menjadi sumber panas dan detak jantung. Sementara jiwa syahwat adalah sejumlah kelenjar hati yang menjadi sumber makanan, pertumbuhan dan perkembangan manusia. Kumpulan kelenjar otak adalah alat atau perangkat yang digunakan oleh jiwa rasional, karena sesungguhnya indra, gerak keinginan, imajinasi, berpikir dan mengingat bersumber dari otak.[16]

Menurut Al-Razi seperti yang dikutip oleh Majid Fajhry, Allah menciptakan akal. Ia merupakan limpahan dari Allah. Tujuan penciptaannya untuk menyadarkan jiwa yang terlena dalam fisik manusia, bahkan tubuh itu bukanlah tempat yang sebenarnya, bukan tempat kebahagiaan dan tempat abadi. Kesenangan dan kebahagiaan yang sebenarnya adalah melepaskan diri dari materi dengan jalan filsafat.[17]

Menurut Al-Razi bahwa manusia harus berusaha mempelajari kedokteran fisik, serta kedokteran ruhani, yaitu kemampuan untuk berargumentasi dan berdalil dalam memperbaiki jiwa-jiwa tersebut agar keinginan terhadapnya tercapai dan tidak ada pelanggan.

3. Materi Pertama

Materi pertama menurut Al-Razi merupakan substansi yang kekal terdiri dari atom-atom, setiap atom itu mempunyai volume. Tanpa volume, pengumpulan atom-atom tidak bisa menjadi suatu yang berbentuk[18].
Bila dunia dihancurkan, maka ia juga terpisah-pisah dalam bentuk atom-atom. Materi berupa atom itu kekal, karena tidak mungkin bahwa sesuatu berasal dari ketiadaan (creato ex nihilio), dalam hal ini meteri harus tercipta dari unsur-unsur yang telah ada, seperti atom.

Al-Razi mengemukakan argumen pencipta untuk bukti kekalnya materi, yaitu bahwa tindakan materi yang sedang dalam pembentukan, mensyaratkan adanya pencipta yang mendahuluinya. Lebih lanjutan Al-Razi mengatakanbahwa kekalnya materi tidak bertentangan dengan baharunya alam, karena pencipta itu merupakan penyusunan materi.

Pada sisi lain, jika Tuhan menciptakan alamdari tiada, tentu Tuhan terikat pada penciptaan segala sesuatu dari tiada yang merupakan modus perbuatan yang paling sederhana dan cepat. Misalnya, bila Tuhan menciptakan manusia, dalam sekejap tentu lebih mudah dari pada menyusun dalam tempo 40 tahun. Tentu saja, Pencipta akan memilih cara yang mudah dan cepat ketimbang cara yang sukar dan lama. Dengan demikian pasti Tuhan menjadikan sesuatu dari tiada, kecuali Ia tidak mampu. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa segala sesuatu terjadi dengan susunan bukan dengan cara penciptaan sekejap.[19]

Dengan kata lain, Tuhan tidak mungkin membuat sesuatu tanpa bahan, maka haruslah dikatakan segala sesuatu telah diciptakan dari materi yang telah mandahuluinya.

4. Ruang Absolut

Kalaulah materi itu kekal, maka mengharuskan ruang pula kekal. Hal ini disebabkan karena materi membutuhkan ruang sebagai tempat yang sesuai untuknya. Ruang dipahami oleh Al-Razi sebagai konsep yang abstrak, berbeda dengan Aristoteles yang mengatakan tempat “tonos” yang tidak bisa dipisahkan dari tubuh yang menempatinya. Oleh sebab itu Al-Razi membagi ruang dalam dua kategori :

1. Ruang Partikular atau relatif

2. Ruang Universal atau mutla

Ruang pertama terbatas pada dan terikat dengan sesuatu wujud yang menempatinya, ia tidak akan adalah tanpa adanya maujud yang menempatinya, karena ia tidak dapat dipisahkan secara terpisah dengan maujud. Ruang partikular ini akan terbatas dengan terbatasnya maujud, berubah dan lenyap sesuai dengan kedaan maujud yang ada di dalamnya. Sedangkan yang kedua, universal, tidak terikat dengan maujud dan tidak terbatas. Ruang menurut Al-Razi bisa saja wujud atau yang bukan wujud, karena adanya kehampaan bisa saja terjadi.

Argumen yang dipergunakan oleh Al-Razi seperti yang dikutip oleh Hasyim Nasution untuk membuktikan ketidakterbatasan atau kekekalan ruang ialah sebagai beriklut; Wujud yang memerlukan ruang (al-mutamakkin) tidak dapat berwujud tanpa adanya ruang. Ruang dapat terwujud tanpa adanya mutamakkin. Ruang tidak lain adalah tempat bagi mutamakkin. Setiap mutamakkin terbatas dengan dirinya sendiri dan berada dalam ruang. Kalau begitu mestilah tidak terbatas. Yang tidak terbatas itu kekas, jadi ruang mestilah kekal.[20]

5. Waktu Absolut

Adapun masa menurut al-Razi sebagaimana yang di kutip oleh Hasyim Syah Nasution adalah substansi yang mengalir (jauhar yajri) yang bersifat kekal. Al-Razi membagi waktu kepada dua bagian, yaitu mutlak (al-dahr) dan waktu relatif (al-Manshur atau al-Waqt). Al-Dahr adalah zaman yang tidak memiliki awal dan akhir yang bersifat universal, terlepas sama sekali dengan alam semesta dan gerak falak.

Kekekalan zaman ini merupakan konsekwensi dari kekekalan materi. Karena materi mengalami perubahan, dan perubahan menandakan zaman, maka kalau materi kekal zaman pasti kekal pula. Al-Manhur atau Al-Waqt bersifat partikular dan tidak kekal, serta terbatas karena ia terikat dengan gerak falak, terbit dan tenggelamnya matahari. Oleh sebab, jenis waktu ini dapat disifati dengan angka dan tegasnya bisa diukur.[21] Seperti satu hari, satu bulan, satu tahun, dan seterusnya.

Akal, Kenabian dan Wahyu Menurut Fakhruddin Al-Razi


Menurut Al-Razi, sebagaimana yang dikutip oleh Sirajuddin Zar, harus diakui bahwa akal merupakan substansi yang sangat penting yang terdapat dalam diri manusia sebagai cahaya (nur) dalam hati. Cahaya ini menurut Al-Razi, bersumber dari Allah sebagai utusan untuk menyadarkan manusia dari kebodohannya.[22] Al-Razi dikenal sebagai rasionalis murni. Akal, menurutnya, adalah karunia Allah yang terbesar untuk manusia dengan akan manusia dapat memperoleh manfaat sebanyak-banyaknya, bahkan dapat memperoleh pengetahuan tentang Allah. Oleh sebab itu, manusia tidak boleh menyia-nyiakan dan mengekangnya, tetapi harus memberikan kebebasan kepadanya dan harus merujuknya dalam segala hal.

Demikian diantara ungkapan Al-Razi yang dinilai telah menyimpang dari agama. Tuduhan ini jelas akan membawa rusaknya reputasi Al-Razi.[23] Bahkan, Harun Nasution mengatakan bahwa Al-Razi adalah filosof muslim yang berani mengeluarkan pendapat-pendapatnya sungguhpun ia bertentangan dengan faham yang anut oleh umat Islam, Harun Nasution menyimpulkan gagasan-gagasan Al-Razi tersebut yakni:

1. Tidak percaya wahyu.

2. Al-Qur’an bukan mu’jizat.

3. Tidak percaya pada nabi-nabi.

4. Adnya hal-hal yang kekal selain Allah.[24]

Dalam pada itu, Badawi sebagaimana yang dikutip oleh Sirajuddin Zar, menerangkan alasan Al-Razi dalam menolak kenabian sebagai berikut :

1. Akal sudah memadai untuk membedakan antara yang baik dan yang jahat , yang berguna dan tidak berguna. Dengan akal saja manusia mampu mengetahui Allah.

2. Tidak ada alasan yang kuat bagi pengistimewaan beberapa orang untuk membimbing semua orang, karena semua orang lahir dengan kecerdasan yang sama. Perbedaan manusia bukan karena pebawaan alamiah tetapi pengembangan dan pendidikan.

3. Para nabi saling bertentangan, petentangan tersebut seharusnya tidak ada jika mereka berbicara atas nama satu Tuhan.[25]

Dalam buku Al-Razi yang berjudul Thibb al-Ruhani sebagaimana yang dikutip oleh Sirajuddin Zar,[26] dalam buku-bukunya ia (Al-Razi) sering menulis shalawat kepada Nabi Muhammad Saw. Sebagai penghormatannya kepada beliau, dan ia juga mewajibkan untuk memuliakan para nabi sebab mereka adalah manusia pilihan yang memiliki pribadi yang mulia.

Memang harus diakui bahwa Al-Razi memberikan perhatian dan kepercayaan yang cukup besar kepada akal. Indikasi ke arah ini dapat dilihat bahwa ia menulis tentang akal pada bab yang tersendiri dalam buku al-Thibb al-Ruhani. Namun, tidak sampai ia meletakkan wahyu di bawah akahl, apalagi tidak percaya kepada wahyu.[27]

Dalam buku Filasafat Islam Filosof dan Filasafatnya karangan Sirajuddin Zar menyatakan, bahwa tuduhan-tuduhan ini berasal dari lawandebatnya Abi Hatim Al-Razi yang merupakan tokoh Syu’ah Islamiyah. Oleh karena itu beralasan apa yang dikemukakan oleh Abd. Latif Muhammas Al-‘Abd, bahwa tuduhan tersebut amatlah ganjil bahkan ia menilai mangandung sentimen.[28]

Perlu ditegaskan bahwa memang dalam buku Harun Nasution yang berjudul Filasafat dan Misticisme dalam Islam memuat ketidak percayaan Al-Razi kepada kenabian, agama dan wahyu. Namun setelah ia (Sirajuddin Zar) membaca buku-buku karya Al-Razi seperti, al-Thibb al-Ruhani dan lainnya yang penulis (Sirajuddin Zar) sodorkan saat itu (1989), ia (Harun Nasution) berpesan, bila saudara menulis Al-Razi, maka tulislah sesuai dengan buku-buku ini, sedangkan saya (Harun Nasution) menulis seperti dalam buku diatas karena saya belum menemukan sumber-sumber ini.[29]

Kesimpulan

1. Al-Razi adalah seorang filosof muslim yang lahir di kota Rayy dan dibarat kenal dengan sebutan Rhazas. Ia adalah seorang rasionalis murni dalam jajaran filosof muslim dan seorang dokter yang terkenal dizamannya.

2. Fakhruddin Al-Razi sangat dikenal dengan ajarannya “Lima Kekal”, yakni :

Allah Ta’ala, Jiwa Universal ,Materi Pertama , Ruang Absolut, dan Masa/ waktu Absolut

3. Dalam beberapa buku, khususnya Filsafat dan Misticisme dalam Islam karya Harun Nasution, dimuat bahwa Al-Razi adalah tokoh filosof muslim yang tidak percaya wahyu, Al-Qur’an bukan mu’jizat, tidak percaya pada nabi-nabi, adanya hal-hal yang kekal selain Allah. Tapi setelah penulis membaca buku Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya karangan Sirajuddin Zar, bahwa tuduhan yang diberikan kepada Al-Razi sulit diterima dan dibenarkan, dan sebaliknya, penulis berkeyakinan bahwa Al-Razi adalah seorang intelektual muslim yang percaya kepada nabi dan wahyu.


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Amin. Studi Agama: Normativasi atau Historis? Cet. III; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002

Anshari, Hafidz, at. All. Ensiklopedi Islam. Cet. VI; Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999

Madkoer, Ibrahim. Filsafat Islam dan Renissance Eropa (Kumpulan Tulisan Komisi Nasional Mesir untuk UNESCO) dengan judul Sumbangan Islam Ilmu dan Kebudayaan, alih bahasa: Ahmad Tafsir; Cet.I; Bandung: Pustaka, 1986

Najati, Muhammad Usman. Jiwa dalam Pandangan Filosof Muslim, Cet. I; Bandung: Pustaka Hidayah, 1993.

Nasution, Harun. Akal dan Wahyu dalam Islam, Cet, I; Jakarta: UI Press, 1982

Nasution, Harun. Filsafat dan Mistisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.

Nasution, Hasyimsyah. Filsafat islam, Cet. III; Jakarta: Radar Jaya Jakarta, 1999

Souyb, Yoesoef. Pemikiran Isalm Merobah Dunia, Jakarta: Firman Madju, 1984.

Sudarsono. Filsafat Islam, Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 1997

Zar, Sirajuddin . Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya, Cet. I; Jakarta: Grafindo Persada, 2007



Catatan Kaki


[1] Amin Abdullah. Studi Agama : Normativitas atau Historis ? (Cet. III; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 122

[2] Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam (Cet. I; Jakarta: UI Press, 1982), h. 52-53

[3] Ibrahim Madkoer, Filsafat Islam dan Reneisance Eropa (Kumpulan Tulisan Komisi Nasional Mesir untuk UNESCO dengan judul Sumbangan Islam Ilmu dan Kebudayaan), alih bahasa: Ahmad Tafsir, (Cet I; Bandung: Pustaka, 1986), h. 118-119.

[4] Yoesoef Souyb, Pemikiran Islam Merobah Dunia (Jakarta: Firma Madju, 1984), h. 73

[5] Dr. Muhammad Utsman Najati, Jiwa dalam Pandangan Filosof Muslim (Cet, I; Bandung: Pustaka Hidayah, 1993), h. 309

[6] Yoesoef Souyb, Loc. Cit, h. 73

[7] Drs. H. A. Hafidz Anshari AZ, M.A at.all, Ensiklopedi Islam (Cet, VI; Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999)

[8] Ibid, h. 328

[9] Dr. Hasyimsyah Nasution, M.A, Filsafat Islam (Cet. III; Jakarta: Radar Jaya Jakarta, 1999), h. 24
[10] Yoesoef Souyb, oc. Cit, h. 73

[11] Drs. H. A. Hafidz Anshari AZ, M.A at. All, Op. Cit, h. 328

[12] Harun Nasution, Filsafat dan Misticisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 18

[13] Drs. H. A. Hafidz Anshari AZ, M.A at.ali. Op Cit, h. 328
[14] Sudarsono, Filsafat Islam (Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 997), h. 59

[15] Adalah-Dirasat an-Nafsaniyyah ‘inda al-Ulama al-Muslimin, diterjemahkan Dr. M. ‘Utsman Najati, Jiwa dalam Pandangan Filosof Muslim (Cet. I; Bandung: Pustaka Hidayat, 2002), h. 43

[16] Loc. Cit, h. 43-44
[17] Sirajuddin Zar, filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya (Cet. I; Jakarta: Grafindo Persada, 2007), h. 118

[18] Hasyim, Op. Cit, h. 27
[19] Ibid, h. 28

[20] Ibid, h.28
[21] Sirajuddin Zar, Op. Cit, h. 121

[22] Ibid, h. 121
[23] Ibid, h. 121

[24] Harun Nasution, Misticisme, Op.Cit, h. 20-21
[25] Op. Cit, h. 122

[26] Ibid, h.123-124
[27] Ibid, h. 124

[28] Ibid, h.121
[29] Ibid, h.125

Subscribe to receive free email updates: