Konsep Kepemimpinan Dalam Islam

Wacana kepemimpinan merupakan wacana yang lumrah di tengah-tengah sebuah masyarakat. Kepemimpinan merupakan sebuah keniscayaan, sebab sesuai realita yang terjadi, manusia yang tergabung dalam suatu perkumpulan baik itu dalam skala kecil maupun besar akan membutuhkan sosok seorang pemimpin.

Tanpa adanya pemimpin, maka struktur dan aturan main suatu perkumpulan sulit dirumuskan dan dilaksanakan. Akibatnya tujuan dari perkumpulan tersebut tidak akan bisa terwujudkan. Sementara manusia merupakan salah satu makhluk sosial yang akan membutuhkan kelompok agar bisa mengakomodir kebutuhan-kebutuhan sosial mereka.

Pentingnya pemimpin dan segala aspeknya membuat wacana ini merupakan wacana yang penting, sehingga menjadi salah satu pembahasan pokok dalam ajaran Islam sebagai agama rahmatan lil alamin.

Dalam tulisan ini, penulis akan memaparkan secara ringkas konsep umum kepemimpinan menurut Islam, yang dirumuskan dari bacaan penulis pada buku fikih siyasah dan wacana kontemporer karya khoirul anam, SHI., MSI.
http://aang-zaeni.blogspot.com/2016/11/konsep-kepemimpinan-dalam-islam.html

Pengertian Kepemimpinan

Kepemimpinan berasal dari kata pemimpin, yang dalam bahasa Indonesia berarti orang yang memimpin atau orang berada di depan dan memiliki pengikut, baik orang tersebut menyesatkan atau tidak[1]. Dalam bahasa arab, kata pemimpin bisa diwakili dengan kata ar-Rais yang akar katanya ra a sa, artinya: mengepalai, mengetuai atau memimpin.[2] Ketika berbicara tentang kepemimpinan, maka hal yang dibahas di dalamnya, meliputi perihal pemimpin, mekanisme pemilihan pemimpin, bentuk-bentuk kepemimpinan dan lain sebagainya.

Dalam ajaran Islam, kepemimpinan merupakan hal yang wajib dipenuhi oleh umat Islam dengan tiga alasan pokok:

1. Manusia diciptakan oleh Allah dengan proposional, artinya memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dan kekurangan tersebut dirangkum dalam tiga karunia yang dimiliki oleh manusia yaitu akal, hati dan nafsu. Ketiga karunia inilah yang menjadi pontensi manusia menjadi makhluk yang mulia juga menjadi tiga hambatan yang selalu menemani manusia disetiap langkah hidupnya.

Nafsu yang terlalu menghegemoni akal dan hati akan membawa kejahatan yang sangat luar biasa, karena manusia yang dikuasai penuh oleh nafsunya tidak akan bisa mengendalikan sifat keterbutuhannya pada sesuatu, sehingga ia akan berusaha untuk meniadakan orang lain dan kelompok lain dengan memakai segala cara agar bisa memuaskan hawa nafsunya.

Akibatnya, stabilitas sosial akan terganggu, dan orang lain akan teraniaya. Begitu pula apabila hati atau akal yang mendominasi, ia pasti tidak akan bisa bijak dalam menentukan sesuatu. Untuk itu perlu adanya pemimpin yang terpercaya yang bisa mengatur dengan baik agar tidak terjadi benturan kepentingan, kebutuhan dan permusuhan, serta dapat membawa umat Islam pada hidup yang aman, tentram dan adil. Hal ini memuntut pemimpin merupakan orang yang memenuhi kualifikasi pemimpin sesuai syari'at.

2. Pemimpin pada dasarnya merupakan pengganti dan penerus risalah Nabi Muhammad. Tanpa adanya pemimpin, maka bentuk negara dan sistem pemerintahan Islam yang telah dibuat dan diteladankan oleh Nabi Muhammad saw akan terhenti. Untuk itu, pemimpin juga dituntut agar mengetahui segala yang berkaitan tentang pola pemerintahan yang dijalankan oleh Nabi Muhammad beserta para sahabatnya, dan menjalankannya sesuai dengan konteks masyarakat pada saat ini

3. Islam memandang, tanpa adanya pemimpin, maka umat Islam tidak akan dapat mewujudkan penegakan nilai-nilai syariat secara baik dalam konteks negara serta tidak dapat mendatangkan kebaikan bagi umat Islam dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tanpa adanya kepemimpinan yang menegakkan syari'at, manusia akan hidup dalam ketidaktentraman karena nafsu dan beragamnya kepentingan manusia akan saling berbenturan sehingga mengancam eksistensi manusia lainnya.

Ketiga alasan diatas, kiranya sudah menjadi landasan awal yang menyadarkan betapa pentingnya kepemimpinan bagi manusia dalam pandangan Islam. Untuk itu kepemimpinan dalam Islam hukumnya adalah wajib. Hal ini didasarkan atas dalil-dalil naqli yang bersumber dari al-Qur'an, diantaranya (an-Nisa': 59):

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا


Juga hadits Rasulullah yang berbunyi

4619 - حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ شُعَيْبٍ، حَدَّثَنَا عَمَّارُ بْنُ خَالِدٍ الْوَاسِطِيُّ، أَخْبَرَنَا الْقَاسِمُ بْنُ مَالِكٍ يَعْنِي الْمُزَنِيَّ، عَنِ الْأَعْمَشِ , عَنْ زَيْدِ بْنِ وَهْبٍ قَالَ: قَالَ عُمَرُ: " إِذَا كَانَ فِي سَفَرٍ ثَلَاثَةٌ فَلْيُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ، فَذَلِكَ أَمِيرٌ أَمَّرَهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Dalam literatur fikih klasik, mengangkat pemimpin hukumnya wajib 'ain, karena dengan adanya pemimpin, maka tujuan kemashlahatan akan terwujud[3]

Konsep Kepemimpinan dalam Islam

Berdasarkan pengertian umum kata kepemimpinan di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa kepemimpinan dalam Islam adalah segala hal yang membicarakan perihal pemimpin, cara memilih pemimpin, mekanisme kepemimpinan dan segala yang terkait dengannya, yang itu semua diatur oleh Islam.

Pada umumnya, wacana kepemimpinan Islam ini terbagi menjadi dua, yaitu kepemimpinan Islam sekuler dan anti sekuler. Antara Islam sekuler dan anti sekuler memiliki konsep yang berbeda dalam masalah kepemimpinan. Islam sekuler memisahkan antara kepemimpinan pemerintahan dan agama, sehingga seorang ulama tidak berhak menjadi  pemimpin dalam pemerintahan.

Pandangan ini didasarkan pada keyakinan mereka bahwa kehidupan agama merupakan urusan pribadi dari masing-masing individu (privat), tidak berhubungan dengan dunia politik (public). Hal ini juga berdampak pada sendi-sendi pemerintahan yang tidak boleh dicampuri dengan ajaran agama. Peran ulama hanya terbatas pada ritual-ritual keagamaan, tanpa mengurusi politik. Dalam kondisi ini, ulama tidak mungkin menjadi pemimpin dari suatu masyarakat, tetapi hanya menjadi alat legitimasi pemimpin politik dari masyarakat.

Sedangkan kelompok anti sekuler meyakini bahwa kehidupan beragama dan dunia tidak dapat dipisahkan khususnya dunia politik. Kelompok ini mendukung dan meyakini bahwa ulama haruslah menjadi pemimpin. Ulama harus dapat membimbing manusia tidak hanya menuju pada kebaikan yang bersifat dunia, tetapi juga hal-hal yang menuju pada kesempurnaan spiritual. Para ulama yang menduduki jabatan pemerintahan haruslah dapat melepaskan manusia dari berbagai macam belenggu yang menyesatkan.

Konsep kepemimpinan anti sekuler kemudian terbagi juga menjadi dua, konsep imamah yang dibawa oleh Syi'ah dan konsep khalifah yang diusung oleh Sunni. Kedua konsep ini, meski tidak memisahkan agama dengan kepemerintahan, tetapi memiliki perbedaan yang tidak kalah mencoloknya dengan kelompok sekuler.

Kelompok Sunni menyamakan arti khilafah dan imamah, menurut mereka imamah juga disebut sebagai khilafah, karena orang yang menjadi khilafah adalah penguasa tertinggi bagi umat Islam yang menggantikan Rasulullah saw. Khalifah bisa juga disebut dengan imam (pemimpin) yang wajib ditaati. Manusia berjalan di belakangnya, sebagaimana manusia shalat di belakang imam. Proses pemilihan pemimpin menurut kelompok Sunni melalui 3 cara:

1. Penunjukan. Hal ini dipahami oleh para fuqaha dan pemikir klasik (salaf) dari bacaan sejarah secara normatif, dimana sahabat Abu bakar menunjuk Umar bin Khattab sebagai penggantinya secara langsung. Hal ini juga dilakukan oleh para khalifah dinasti Umayyah dan Abbasiyah terhadap para penggantinya. Namun keberlanjutannya ternyata dimanfaatkan oleh para khalifah-khalifah selanjutnya untuk mempertahankan kekuasaan untuk para anak cucunya (monarki).

2. Baiat. Baiat menjadi ciri pengangkatan kepemimpinan Islam karena dengan adanya bai'at, maka terjadi sumpah setia antara kedua belah pihak –pemimpinan dan masyarakat-, pemimpin bersumpah setia akan melaksanakan tugasnya dengan baik serta mengutamakan kepentingan masayarakat, bangsa, negara dan agama dari kepentingan pribadi dan golongan. Sementara rakyat berjanji untuk menaati pemimpin selama pemimpin tidak keluar dari rambu-rambu syari'at Islam.

3. pemilihan dengan musyawarah. Musyawarah menjadi salah satu nilai politik Islam yang tertuang dalam al-Qur'an surat as-Syura ayat 38:

وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ

Metode musyawarah ini juga telah dipraktekkan pada masa Nabi Muhammad maupun masa sahabat seperti pemilihan khalifah Abu Bakar dan Utsman. Kenyataan sejarah tersebut sebagai indikasi bahwa cara menentukan kepemimimpinan Islam tidak menafikan nilai-nilai demokrasi.

Selain tata cara pemilihan, syarat-syarat menjadi pemimpin juga ditentukan oleh syariat baik secara tertulis di dalam dalil-dalil naqli, maupun yang dikriteriakan berdasarkan fakta sejarah, seperti syarat sifat yang harus sesuai dengan sifat nabi Muhammad sebagai contoh teladan pemimpin Islam (baca: kepemimpinan nabi Muhammad SAW), diantaranya: jujur (shidiq), tabligh (berjiwa penggerak dan dakwah), terpercaya (amanah), fatanah (berwawasan luas) dan sifat-sifat lainnya yang tidak mungkin penulis paparkan semuanya secara jelas disini, mengingat banyaknya dan panjangnya penjelasan syarat-syarat tersebut.

Berbeda dengan kelompok Syi'ah, mereka menyamakan makna khalifah dan imamah pada masa Ali bin Abi Thalib, setelah itu maka imamah dan khliafah berbeda. Imamah didefinisikan sebagai kepemimpinan masyarakat umum, yakni seseorang yang mengurusi persoalan agama dan dunia sebagai wakil dari Rasulullah saw, sementara khalifah hanya menjadi perpanjangan tangan dari imamah, seorang imam bisa membatalkan hak khalifah sedangkan khalifah tidak, sehingga menurut mereka makna imam lebih umum dan sakral dibanding khalifah.

Pemilihan imam mereka juga tidak melalui tiga cara yang dilakukan oleh kelompok Sunni, melainkan dengan proses eleksi, yaitu pemilihan yang menurut keyakinan mereka langsung dipilih oleh Allah swt. Pada kenyataannya imam yang ditetapkan berdasarkan keturunan, mulai dari masa Ali Bin Abi Thalib, hingga imam kedua belas mereka muncul yaitu Qaim al imamah, Imam al-Mahdi. Implikasi dari konsep imamah ini, menjadikan imam-imam mereka terlepas dari kesalahan (maksum) dan apa yang ditetapkan oleh imamnya tidak boleh ditentang karena dianggap sebagai wahyu.

Penutup

Demikianlah konsep kepemimpinan yang penulis tuliskan secara ringkas sebagai pengetahuan awal. Tentunya dalam tulisan ini terdapat banyak kesalahan, sehingga kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Pada akhirnya penulis berharap tulisan ini dapat menjadi amal jariyah bagi penulis

Wallahu a'lam bissahawab.

Catatan kaki

[1] W.J.S. poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Bali Pustaka, 1976), hlm. 726

[2] A.W. Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), hlm. 458

[3] Sulaiman Rasyid, Fikih, (Jakarta: Attahariyah, t.th), hlm. 165-167.

Subscribe to receive free email updates: