Sejarah Lahirnya Ilmu Qira'at Al-Qur'an Hingga Lahir Qira'at Sab'ah

<Sejarah Lahirnya Ilmu Qira'at> Bangsa Arab merupakan komunitas dari berbagai suku yang tersebar di sepanjang jazirah Arab. Antara suku satu dengan suku lainnya memiliki lahjaah (dialektik) bahasa yang berbeda, terutama dalam pengucapannya (mereka memiliki bahasa sampai puluhan dialek).

Perbedaan dialek bahasanya tentu dipengaruhi oleh letak geografis dan sosio kultural dari masing-masing etnis. Kendati demikian mereka telah menjadikan bahasa Quraisy sebagai bahasa bersama dalam berkomunikasi, berniaga, mengunjungi ka’bah dan melakukan bentuk-bentuk interaksi lainnya. Dengan demikianlah Alquran diturunkan dengan berbahasa Quraisy agar mudah dipahami oleh bangsa Arab. Demikian dijelaskan di dalam Alquran (Q.S. 12 : 2) ;

إِنَّا أَنزَلْنَاهُ قُرْآناً عَرَبِيّاً لَّعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ ﴿

Artinya: “Sesungguhnya Kami menurunkan berupa Alquran dengan berbahasa Arab agar kamu memahaminya”.

Dari latar belakang linguistik itulah akhirnya timbul kelak suatu istilah yang terkenal dengan nama qira’at saba’ah hal ini Rasulullah sendiri tidak melarang penglafalan Al-Quran dengan berbagai macam qira’at, seperti dalam hadisnya yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim.

….وَيَزِِِيْدُنِى حَتَّى انْتَهَى إِلَى سَبْعَةِ أَخْرُفٍ ….

Artinya; …. “(Jibrilpun) berkehendak menambahkan kepadaku sampai berakhir kepada tujuh huruf”….

Berdasarkan dari uraian di atas maka tulisan ini akan mencakup beberapa pembahasan berikut: Pengertian qira’at Alquran, Bagaimana motif timbulnya qira’at Alquran, dan Silsilah qira’at saba’ah ?
http://aang-zaeni.blogspot.com/2016/11/sejarah-lahirnya-ilmu-qiraat-al-quran.html
                       Sejarah Lahirnya Ilmu Qira'at Al-Qur'an Hingga Lahir Qira'at Sab'ah         

Pengertian Qira’at

Menurut bahasa, qira’at (قراءات) adalah bentuk jamak dari qira’at (قراءة) yang merupakan isim masdar dari qaraa (قرأ), yang artinya : bacaan. Pengertian qira’at menurut istilah cukup beragam. Hal ini disebabkan oleh keluasan makna dan sisi pandang yang dipakai oleh ulama tersebut. Pengertian qira’at menurut istilah. bagi al-Zarkasyi merupakan perbedaan lafal-lafal Alquran, baik menyangkut huruf-hurufnya maupun cara pengucapan huruf-huruf tersebut, sepeti takhfif, tasydid dan lain-lain.

Al-Zarqani memberikan pengertian qira’at sebagai : Suatu mazhab yang dianut oleh seorang imam dari para imam qurra’ yang berbeda dengan yang lainnya dalam pengucapan Alquranulkarim dengan kesesuaian riwayat dan thuruq darinya. Baik itu perbedaan dalam pengucapan huruf-huruf ataupun pengucapan bentuknya. Sedangkan al-Jazari berpendapat bahwa qira’at adalah ilmu yang menyangkut cara-cara pengucapan kata-kata Alquran dan perbedaan-perbedaannya dengan cara mengistimbatkan kepada penukilnya.

Muhammad Ali ash-Shabuny menjelaskan qira’at adalah suatu aliran di dalam melafalkan Alquran yang dipakai oleh salah seorang imam qurra’ yang berbeda dengan lainnya dalam hal ucapan Alquranul karim, berdasarkan sanad-sanadnya yang bersambung kepada Rasulullah saw.

Perbedaan definisi di atas sebenarnya berada pada satu kerangka yang sama, yaitu ada beberapa cara melafalkan Alquran walaupun sama-sama dari sumber yaitu Muhammad saw. Definisi tersebut mengandung tiga unsur pokok;
  1. Qiraat dimaksudkan menyangkut bacaan ayat-ayat Alquran, dimana cara membaca Alquran berbeda antara satu imam dengan imam qira’at lainnya.
  2. Cara bacaan yang dianut dalam suatu mashab qira’at didasarkan atas riwayat yang bersambung kepada nabi Muhammad saw. Dan bukan atas qiyas atau ijtihad.
  3. Perbedaan antara qiraah-qiraah bisa terjadi dalam pengucapan huruf-huruf dan pengucapan dalam berbagai keadaan
Sejarah timbulnya Ilmu Qira’at Al-Qur'an

Kapan dan dimana dimulai qira’at para ulama memiliki pandangan berbeda. Pendapat pertama mengatakan bahwa Qira’at mulai diturunkan di Makkah bersamaan dengan turunnya Alquran. Alasannya adalah bahwa sebagian besar surat-surat Alquran adalah Makkiyah di mana terdapat juga di dalamnya qira’at sebagaimana yang terdapat pada surat-surat Madaniyah (baca: perbedaan makkiyah dan madaniyah). Hal ini menunjukkan bahwa qira’at itu sudah mulai diturunkan sejak di Makkah.

Sedang pendapat yang kedua, Qira’at mulai diturunkan di Madinah sesudah peristiwa Hijrah, dimana orang-orang yang masuk Islam sudah banyak dan saling berbeda ungkapan bahasa Arab dan dialeknya. Pendapat ini dikuatkan oleh hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab shahihnya, demikian juga Ibn Jarir al-Tabari dalam kitab tafsirnya. Hadis yang panjang tersebut menunjukkan tentang waktu dibolehkannya membaca al-Qur’an dengan tujuh huruf adalah sesudah Hijrah, sebab sumber air Bani Gaffar - yang disebutkan dalam hadis tersebut- terletak di dekat kota Madinah.

Kuatnya pendapat yang kedua tidak berarti menolak membaca surat-surat yang diturunkan di Makkah dalam tujuh huruf, karena ada hadis yang menceritakan tentang adanya perselisihan dalam bacaan surat al-Furqan yang termasuk dalam surat Makkiyah, jadi jelas bahwa dalam surat-surat Makkiyah juga dalam tujuh huruf.

Perbedaan pandangan diatas hanya berkisar seputar tempat, namun keduanya sepakat tentang waktu bahwa awal munculnya qira’at terjadi pada masa Nabi Muhammad saw. Walaupun pada saat itu qira’at bukan merupakan disiplin ilmu, hanya saja baru dipelajari pada masa sahabat hingga saat ini.

Konsederan tersebut diperkuat beberapa riwayat yang menyebutkan bahwa ketika Umar bin Khatab berbeda pendapat dengan Hisyam bin Hakim dalam membaca ayat-ayat Alquran, Umar merasa tidak puas ketika Hisyam membaca surat al-Furqan di dalam shalat. Menurut Umar bacaan Hisyam itu tidak benar dan bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. Kepadanya, namun Hisyam juga menegaskan bahwa bacaannya pun berasal dari Nabi. Seusai shalat Hisyam diajak Umar untuk menemui Nabi dan melaporkan peristiwa tersebut, kemudian Nabi menyuruh Hisyam untuk mengulangi bacaanya sewaktu shalat tadi.

Setelah Hisyam selasai membacanya, Nabi bersabda: artinya “memang begitulah Alquran diturunkan, sesungguhnya Alquran itu diturunkan tujuh huruf, maka bacalah oleh kalian apa yang kalian anggap mudah dari tujuh huruf itu”.

Imam Muslim meriwayatkan dengan sanadnya dari Ubay bin Ka’ab ia berkata: “ketika aku berada di dalam masjid, tiba-tiba masuklah seorang laki-laki, kemudian laki-laki itu shalat dan membaca bacaan yang aku ingkari. Setelah itu masuk lagi laki-laki lain yang bacaannya berbeda dengan bacaan pertama. Seusai shalat kami masuk ke rumah Rasulullah, lalu bercerita bahwa si laki-laki ini membaca bacaan yang aku ingkari dan si laki-laki yang satunya lagi membaca bacaan yang berbeda dengan si laki-laki pertama, kemudian Rasulullah saw. memerintahkan keduanya untuk membaca, Rasulullah menanggapi baik bacaan mereka.

Setelah menyaksikan hal tersebut, terhapuslah dalam diri saya untuk mendustakan, tidak seperti halnya diriku semasa jahiliyah. Tatkala beliau saw. melihat diriku kebingungan, maka beliau berkata; Hai Ubay aku diutus untuk membaca Alquran dengan satu huruf pendek, kemudian aku meminta Jibril untuk memudahkan umatku, dia membacanya dengan huruf kedua, aku pun minta lagi untuk ketiga kalinya. Kemudian Jibril berkata hai Muahammad, bacalah Alquran itu dalam tujuh lahjah, dan terserah kepadamu Muhammad, adakah setiap jawabanku kau susul dengan pertanyaan/permintaan lagi.

Pada masa sahabat yakni masa Usman bin Affan, mushab ditulis sengaja tidak diberi titik dan harakat, sehingga kalimat-kalimatnya dapat menampung lebih dari satu qira’at yang berbeda. sehingga mushaf Usmani mencakup ahruf sab’ah dan berbagai qira’at yang ada. Disamping itu perbedaan-perbedaan dialek dalam melafazkan Alquran sebenarnya bersifat alami dan tidak bisa dihindari.

Para sahabat yang ahli qira’at antara lain adalah: Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Ibn Mas’ud, Abu al-Darda’, dan Abu Musa al-‘Asy’ari. Para sahabat kemudian menyebar ke seluruh pelosok negeri Islam dengan membawa qira’at masing-masing. Hal ini menyebabkan berbeda-beda juga ketika Tabi’in mengambil qiraat dari para sahabat. Demikian halnya dengan Tabiit-tabi’in yang berbeda-beda dalam mengambil qira’at dari para Tabi’in.

Menurut Prof. Dr. Subkhi Shalih, penyebaran qira’at dimulai pada masa Tabi’in yaitu pada awal abad ke II H., tatkala para qari’ tersebar dibeberapa pelosok mereka lebih suka mengemukakan qira’at gurunya daripada mengikuti qira’at imam-imam lainnya. Qiraat-qiraat tersebut diajarkan secara turun-temurun dari guru kemurid sehingga sampai kepada imam qira’at.

Seiring dengan perkembangan Islam dibeberapa wilayah disertai dengan penyebaran mushab-mushab keberbagai penjuru, pada gilirannya melahirkan sesuatu yang tidak diinginkan, yakni timbulnya qira’at yang semakin beragam, lebih-lebih setelah terjadinya transformasi bahasa dan akulturasi akibat bersentuhan dengan negara-negara Arab.

Diantara ulama yang berjasa meneliti dan membersihkan qiraat dari berbagai penyimpangan adalah:
  1. Abu A’mr Usman bin Sa’id bin Utsman bin Sa’id al-Dani, dari Daniyyah Andalusia, dalam karyanya yang berjudul al-Tafsir.
  2. Abu al-‘Abbas Ahmad bin Imarah bin Abu al-‘Abbas al-Mahdawi dalam karyanya yang berjudul, kitab al-Hidayah.
  3. Abu Hasan Thahrir bin Abi Thayyib bin Abi Ghalabun al-Halabi, seorang pendatang di Mesir, dalam karyanya yang berjudul adz-Dzakirah.
  4. Abu Muhammad Maki bin Abi Thalib al-Qairawani di Cardoca, dalam karyanya yang berjudul al-Tabshirah.
  5. Abu al-Qasim ‘Abdurrahman bin Ismail, terkenal dengan sebutan Syamah, dalam karyanya yang berjudul al-Mursyid al-Wajiz.
Selanjutnya ahli-ahli qira’at di kalangan Tabi’in juga telah menyebar di berbagai kota. Para Tabi’in ahli qira’at yang tinggal di Madinah antara lain: Ibn al-Musayyab, ‘Urwah, Salim, Umar bin Abdul Aziz, Sulaiman dan’Ata’ (keduanya putra Yasar), Muadz bin Harits yang terkenal dengan Mu’ad al-Qari’, Abdurrahman bin Hurmuz al-A’raj, Ibn Syihab al-Zuhri, Muslim bin Jundab dan Zaid bin Aslam. Adapu Tabi’in yang tinggal di Makkah, yaitu: ‘Ubaid bin’Umair, ‘Ata’ bin Abu Rabah, Tawus, Mujahid, ‘Ikrimah dan Ibn Abu Malikah.

Para Tabi’in yang tinggal di Kufah, ialah: ‘Alqamah, al-Aswad, Maruq, ‘Ubaidah, ‘Amr bin Surahbil, al-Haris bin Qais,’Amr bin Maimun, Abu Abdurrahman al-Sulami, Said bin Jabir, al-Nakha’i dan al-Sya'bi. Tabi’in yang tinggal di Basrah , adalah Abu ‘Aliyah, Abu Raja’, Nasr bin ‘Asim, Yahya bin Ya’mar, al-Hasan, Ibn Sirin dan Qatadah. Sedangkan Tabi’in yang tinggal di Syam adalah: al-Mugirah bin Abu Syihab al-Makhzumi dan Khalid bin Sa’d. Keadaan ini terus berlangsung sehingga muncul para imam qira’at yang termasyhur, yang mengkhususkan diri dalam qira’at-qira’at tertentu dan mengajarkan qira’at mereka masing-masing.

Perkembangan selanjutnya ditandai dengan munculnya masa pembukuan qira’at. Para ahli sejarah menyebutkan bahwa orang yang pertama kali menuliskan ilmu qira’at adalah Imam Abu Ubaid al-Qasim bin Salam yang wafat pada tahun 224 H. Ia menulis kitab yang diberi nama al-Qira’at yang menghimpun qira’at dari 25 orang perawi. Pendapat lain menyatakan bahwa orang yang pertama kali menuliskan ilmu qira’at adalah Husain bin Usman bin Tsabit al-Baghdadi al-Dharir yang wafat pada tahun 378 H. Dengan demikian mulai saat itu qira’at menjadi ilmu tersendiri dalam ‘Ulum al-Qur’an.

Dari segi kuantitas qira’at, para ulama membagi qira’at yang mahsyur menjadi tujuh/saba’ah, sepuluh/‘Asyrah dan empat belas/’Arba,at Asyrah.

Adapun ulama yang termasuk pada qiraat saba’ah adalah:
  1. Abdullah bin Katsir al-Dar, dari Makkah yang wafat pada tahun 120 H. ia adalah generasi tabi’in. qiraat yang ia riwayatkan diperolehnya dari Abdullah bin Jubair.
  2. Nafi’ bin Abdurrahman bin Abu Na’im berasal dari Madina yang wafat pada tahun 169 H. Toko ini belajar qira’at pada 70 orang tabi’in.
  3. Abdullah al-Yashibi, terkenal dengan sebutan Abu Amid Ad-Damsqi, berasal dari Syam wafat pada tahun 188 H. ia mengambil qira’at dari al-Mughirah bin Abu Syaibah al-Mahzuni, dari Utsman bin Affan.
  4. Abu Amar berasal dari Basrah nama lengkap beliau adalah Zabban bin al-A’la bin Ammar, wafat pada tahun 154 H. ia meriwayatkan qiraat dari Mujahid bin Jabr.
  5. Ibnu Ishak al-Hadrami atau dikenal dengan Ya’qub, beliau berasal dari Irak. Wafat pada tahun 205 H. belajar qiraat pada Salam bin Sulaiman ath-Thawil yang mengambil qira’at dari Ashim dan Abu Amar.
  6. Ibnu Habib az-Zayyat atau dikenal dengan Hamzah, wafat pada tahun 188 H. Hamzah belajar qiraat dari Sulaiman bin Mahram al-Amsy, dari Yahya bin Watstsab, dari Dzar bin Hubaisy, dari Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Ma’ud.
  7. Ashim, nama lengkapnya adalah Ibnu Abi al-Najud al-Asadi, wafat tahun 127 H. ia belajar qiraat kepada Dzar bin Hubaisy, dari Abdullah bin Mas’ud.
Qiraat saba’ah yang diajarkan oleh para imam diatas, tidaklah mereka mengubah begitu saja dengan hasil pikiran mereka sendiri, melainkan mereka terima dari guru mereka masing-masing yang tentu saja masih tali bertali dengan guru-guru sebelumnya. Mereka menetapkan qira’at itu dengan jalan manqul (melalui riwayat), bukan dengan ijtihad, dan itupun harus diriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Nabi saw.

Selanjutnya qiraat ‘Asyrah adalah qiraat saba’ah kemudian ditambah dengan tiga qiraat yaitu:
  1. Yazin bin al-Qa’qa al-Makhzuni al-Madani, yang biasa dipanggil Abu Ja’far. Belajar qira’at dari Abdullah bin Ayyasy bin Rabi’ah, Abdullah bin Abbas dan Abu Hurairah.
  2. Ya’qub bin Ishak bin Yazid binj Abdullah bin Abu Ishak al-Hadrami al-Basri yang biasa dipanggil Ya’qub. Dia belajar qira’at dari Abu Musa al-Asyari dan Ibnu Abbas yang membacanya langsung dari Rasulullah saw.
  3. Abu Muhammad Khalaf bin Hisyam bin Tsa’lab al-baghdadi. Menerima qira’at dari Sulaiman bin Isa bin habib.
Kemudian qiraat ’Arba,at Asyrah, selain qiraat ‘Asyrah yang telah disebutkan di atas ditambah lagi empat qiraat sebagai berikut:
  1. Al-Hasab al-Bashri, wafat pada tahun 110 H. dia adalah seorang tabi’in besar yang terkenal kezahidannya.
  2. Muhammad bin Abdurrahman yang dikenal dengan nama Ibnu Mahishan, yang wafat pada tahun 23 H. guru dari Abu Amr.
  3. Yahya bin al-Mubarak al-Yazidi al-nahwi al-Baghdadi. Wafat pada tahun 202 H. ia belajar qira’at dari Abu Amru dan Hamzah.
  4. Abu al-Fajr Muhammad bin Ahmad asy-Syanbudz, yang wafat pada tahun 338 H.
Sedangkan qiraat dari segi kualitas dapat dikelompokkan dalam empat bagian, yaitu:

1. Qira’at Mutawatir, yakni qira’at yang disampaikan sekelompok orang mulai dari awal sampai akhir sanad, yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta.

2. Qira’at Masyhur, yakni qira’at yang memiliki sanad sahih, tetapi tidak sampai kepada Mutawatir. qira’at ini sasuai dengan kaidah bahasa Arab dan tulisan mushaf Usmani dan kaidah bahasa Arab yang tidak masyhur.

3. Qira’at Ahad, yakni qira’at yang memiliki sanad shahih tetapi menyalahi tulisan mushaf Utsmani, masyhur dikalangan qurra’.

Silsilah Qira’at Saba’ah

Pada penghujung Abad ke III Hijriyah, Abu Bakar Ahmad ibnu Musa yang terkenal dengan panggilan Ibn Mujahid, menyusun qira’at sab’ah dalam kitabnya kitab al-Sab’ah. Dia hanya memasukkan para imam qira’at yang terkenal tsiqah dan amanah serta panjang pengabdiannya dalam mengajarkan Alquran, yang berjumlah tujuh orang. Inisiatif ibn Mujahid memilih tujuh imam qira’at mendapat kecaman dari Abu al-Abbas bin Ammar dengan pertimbangan sebagai berikut:

1. Dengan menginvetarisasi qiraat menjadi tujuh macam, memancing kekacauan dengan munculnya tendensi umat untuk memahami kata ahruf saba’at.

2. Dengan menginvetarisasi qiraat saba’ah menimbulkan pertanyaan para ulama, mengapa hanya tujuh? Padahal kajian tentang pertumbuhan qira’at sudah muncul sejak Nabi, yang kemudian melalui jalur periwayatan tersebar ke berbagai pelosok.

3. Istilah qira’at saba’ah belum masyhur sampai pada masa Ibnu Mujahid, pada qira’at itu sendiri sudah ada sejak abad II H. dengan demikian kecenderungan dari ulama saat itu hanya mengambil satu jenis qira’at saja, sementara qira’at-qira’at lainnya dianggap salah dan ditinggalkan.

Meskipun terjadi kritikan dari berbagai ulama tentang qira’at saba’ah yang digunakan Ibn Mujahid, namun ibn Mujahid tetap memilih tujuh qira’at sebab ke tujuh qira’at dipilihnya dengan pertimbangan bahwa merekala yang paling terkemuka, paling masyhur, paling bagus bacaanya, memiliki kedalaman ilmu, (tsiqah, amanah, dhabith), dan berusia panjang sehingga dengan demikian merekalah yang dijadikan imam qiraat oleh masyarakat mereka masing-masing. dan terus menerus menekuni bidang qiraat.

Demikianlah alasan qira’at saba’ah dikenal lebih masyhur dibandingkan dengan qiraat-qiraat lainnya. Disamping itu qira’at saba’ah memiliki dasar hadis seperti yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:

أَقْرَأَنِى جِبْرِيْلُ بِحَرْفٍ فَرَاجَعْتُهُ فَلَمْ أَزَلْ أَسْتَزِيْدُهُ وَيَزِيْدُنِى حَتىَّ انْتَهَى إِلىَ سَبْعَةِ أَخْرُفٍ زَادَ مُسْلِمً قَالَ ابْنُ شِهَابٍ بَلَغَنِى أَنَّ تِلْكَ السَّبْعَةَ فِى الْأَمْرِ اَلَّذِى يَكُوْنُ وَاحِدًا لَايَخْتَلِفُ فِى حَلَالٍ وَحَرَامٍ

Artinya: Rasulullah bersabda, “Jibril membaca Alquran dengan satu huruf kepadaku, maka aku senantiasa mengulang-ulangnya. Maka senantiasa aku minta kepada Jibril agar dia menambahkannya lagi, Jibrilpun berkehendak menambahkan kepadaku sampai berakhir kepada tujuh huruf. Muslim menambahkan dalam riwayatnya berkata ibn Sihab, “disampaikan kepadaku yang tujuh huruf itu mengenai satu hal dan tidak berbeda dalam menetapkan hokum halal dan haram”.

Selanjutnya tujuh huruf yang ada di dalam Alquran, menurut seorang muhaqqiq yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh bahasa dari tujuh bangsa yang bukan bangsa Arab. Pendapat ini dapat diperkuat dengan adanya kalimat-kalimat dari bahasa asing, seperti dari bahasa Yunani, Persia, dan lain-lain misalnya:
  1. Kalimat istibraq dari bahasa yunani.
  2. Kalimat sijjil dari bahasa Persia.
  3. Kalimat hawnan dari bahasa Suryani.
  4. Kalimat sirath dari bahasa Rum.
Dari catatan riwayat hidup, tahun dan tempat kelahiran mereka, dapat disimpulkan bahwa dari tujuh orang mahaguru qiraat yang menjadi dasar adanya qiraat saba’ah sekarang, hanya dua orang yang berasal dari keturunan Arab, yakni: Ibn Amir dari Surya, dan Abu ‘Amru yang berasal dari Basrah. Namun pendapat tersebut, penulis cenderung tidak sepakat dengan dalil bahwa Alquran turun di Arab, menggunakan bahasa Arab Quraisy dan berdasarkan kondisi di Arab pada saat itu.

Kitab-kitab qiraat yang ditulis para ulama setelah Kitab Sab’ah. Namun yang paling terkenal diantaranya adalah: al-Taysir fi al-Qira’atal-Sab’i yang diisusun oleh Abu Amr al-Dani, Matan al-Syatibiyah fi-Qira’atal-Sab’i karya Imam al-Syatibi, al-Nasyr fi-Qira’atal-‘Asyr karya Ibn al-Jazari dan Itaf Fudala’ al-Basyar fi- al-Qira’atal-Arba’ah ‘Asyara karya Imam al-Dimyati al-Banna. Masih banyak lagi kitab-kitab lain tentang qira’at yang membahas qira’at dari berbagai segi secara luas, hingga saat ini.

Lafal-lafal yang sering menjadi perbedaan qira’at adalah, dan berikut penulis urutkan berdasarkan yang shahih, tidak shahih dan Maudhu’:

1. Qira’at shahih

- Q.S 55:76

مُتَّكِئِينَ عَلَى رَفْرَفٍ خُضْرٍ وَعَبْقَرِيٍّ حِسَانٍ

Kata رَفْرَفٍ ada yang membaca رَفَارِفَ dan َعَبْقَرِيٍّ dibaca َعِبَاقَرِيٍّ

- Q.s. 9:128

لَقَدْ جَاءكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِالْمُؤْمِنِينَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ

Kata أَنفُسِكُمْ dibaca menjadi أَنفَسِكُمْ

2. Qiraat tidak shahih/qiraat Syadz yaitu qira’at yang menyimpang, contoh dalam Q.S.10:92

فَالْيَوْمَ نُنَجِّيكَ بِبَدَنِكَ لِتَكُونَ لِمَنْ خَلْفَكَ آيَةً وَإِنَّ كَثِيراً مِّنَ النَّاسِ عَنْ آيَاتِنَا لَغَافِلُونَ

Kata نُنَجِّيكَ dibaca نُنَحِّيْكَ dan kata خَلْفَكَ dibaca خَلَفَكَ

3. Qiraat Maudhu’ (palsu), atau qira’at tanpa dasar. Seperti Q.S.9:3

…. أَنَّ اللّهَ بَرِيءٌ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولُهُ….

Kemudian suatu ketika ada yang membaca

….أَنَّ اللّهَ بَرِيءٌ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولِهِ….

4. Qira’at Mudarraj yaitu padanya terdapat kata atau kalimat tambahan, dan biasanya dijadikan interpretasi bagi ayat-ayat Alquran, seperti qira’at Sa’ad ibn Abi Waqqas. Contoh di dalam Q.S.2:198

لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَبْتَغُواْ فَضْلاً مِّن رَّبِّكُمْ فىِ مَوَاسِمْ فَإِذَا أَفَضْتُم مِّنْ عَرَفَاتٍ….

Lafaz فىِ مَوَاسِمْ adalah tambahan yang dianggap sebagai interpretasi.

Tegasnya Alquran pada mulanya diturunkan menurut bahasa Quraisy, namun kemudian dibenarkan kepada setiap rumpun bahasa untuk membacanya sesuai dengan bahasanya. Akan tetapi setelah terjadinya perpecahan dikalangan umat Islam sendiri tentang bacaan-bacaan tersebut, maka Khalifah Utsman bin Affan mempersatukan kembali bacaan dalam satu mushab dengan menggunakan bahasa asalnya. Dan inilah qira’at yang mu’tabar hingga saat sekarang ini.

Kesimpulan

1. Qira’at Alquran adalah suatu mazhab dalam membaca Alquran yang dianut oleh para ahli qira’at yang menimbulkan perbedaan lafaz , kata, kalimat dan cara penafsiran Alquran.

2. Munculnya qira’at disebabkan karena Alquran diturunkan dalam tujuh huruf, yang diperkuat oleh berbagai macam riwayat, bahwa Nabi saw. memperkenankan perbedaan tersebut. Disamping itu para sahabat menyebar ke berbagai daerah untuk menyebarkan agama Islam dengan mengajarkan Alquran berdasarkan dialek dan bahasa yang dimengerti.

3. Pada penghujung Abad ke III Hijriyah, Ibn Mujahid membukukan qira’at saba’ah, karena qira’ah inilah yang dianggap lebih Mutawatir, dan menjadi populer hingga saat ini.

MARAJI’

Anwar, Rosihan. Ulumul Quran, Cet. I: Bandung : Pustaka Setia, 2000.
al-Buchari, Muhammad bin Ismail, Shahih Bukhari, Juz III, Mesir:Dar al-Ihya’al-kutub al-Arabiyah.t.th.
Al-Hajjaj, Abu Husain ibn Muslim dan Muslim al-Qusyairi an-Nisaiburi, Shahih Muslim, Juz I, Bairut: Dar al-Fikr. 1992..
al-Hasni, Muhammad bin Alwi al-Maliki, Zubdan al-atqan fi Ulum Alquran, dialih bahasakan oleh Rosihan Anwar dengan judul, Mutiara Ilmu-Ilmu Alquran, Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 1999.
al-Shalih, Subhi, Mabahas fi al-Ulum Alquran, diterjemahkan oleh tim Pustaka Firdaus dengan judul Membahas Ilmu-Ilmu Alquran, Cet. VII; Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999.
Ismail, Sya’ban Muhammad, Alquran Ahkamuhu Wa Masdaruhu, diterjemahkan oleh Agil Husain al-Munawar, et. All, dengan judul, Mengenal Qira’at Alquran, Cet. I; Semarang: Dina Utama, 1993.
Khalil al-Qattan, Manna’, Mabahis fi Ulum Alquran, diterjemahkan oleh mudzakir A.S. dengan judul, Studi Ilmu-ilmu Alquran, Cet. VII; Jakarta: Pustaka Litera Antar Nusa, 2001.
Khalil, Sayyid Ahmad, Dirasat Fil Alquran, Kairo: Dar al-Ma’arif, t.th.
Mardan, Dr. M.Ag, Alquran Sebuah Pengantar Memahami Alquran secara utuh, Cet. I; Jakarta: Pustaka Mapan, 2009..
Shihab, M. Quraish, Membumikan Alquran, Cet., II; Bandung: Mizan, 1998.
Wahid, Ramli Abd, Ulumul Quran, Cet. IV; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.

Catatan Kaki

[1]M. Quraish Shihab, Membumikan Alquran, (Cet., II; Bandung: Mizan, 1998), h. 126.
[2]Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahis fi Ulum Alquran, diterjemahkan oleh mudzakir A.S. dengan judul, Studi Ilmu-ilmu Alquran, (Cet. VII; Jakarta: Pustaka Litera Antar Nusa, 2001), h. 247.
[3]Rosihan Anwar, Ulumul Quran, (Cet. I: Bandung : Pustaka Setia, 2000), h.147
[4]Subhi al-Shalih, Mabahas fi al-Ulum Alquran, diterjemahkan oleh tim Pustaka Firdaus dengan judul Membahas Ilmu-Ilmu Alquran, (Cet. VII; Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999),h.75.
[5]Abu Husain Muslim ibn al-Hajjaj dan Muslim al-Qusyairi an-Nisaiburi, Shahih Muslim, Juz I, (Bairut: Dar alFikr. 1992), h. 560.
[6]Muhammad bin Ismail al-Buchari, Shahih Bukhari, Juz III, (Mesir:Dar al-Ihya’al-kutub al-Arabiyah.t.th),h.227.
[7]Rosihan Anwar, op. cit. h. 150.
[8]Ibid.
[9]Ibid. h. 151.
[10]Sayyid Ahmad Khalil, Dirasat Fil Alquran, (Kairo: Dar al-Ma’arif, t.th.), h. 96
[11]Muhammad bin Alwi al-Maliki al-Hasni, Zubdan al-atqan fi Ulum Alquran, dialih bahasakan oleh Rosihan Anwar dengan judul, Mutiara Ilmu-Ilmu Alquran, (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 47.
[12] Ibid. h. 48.
[13]Ibid. h. 48.
[14]Ramli Abd Wahid, Ulumul Quran, (Cet. IV; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 137.
[15]Dr. Mardan, M.Ag, Alquran Sebuah Pengantar Memahami Alquran secara utuh, (Cet. I; Jakarta: Pustaka Mapan, 2009). H. 143.
[16]Lihat Sahih Bukhari, h. 227. Shahih Muslim, h. 561
[17] Dr. Mardan, M.Ag, loc. Cit. h.142.
[18]Manna’ Khalil al-Qattan, loc.cit. h. 178.
[19]Sya’ban Muhammad Ismail, Alquran Ahkamuhu Wa Masdaruhu, diterjemahkan oleh Agil Husain al-Munawar, et. All, dengan judul, Mengenal Qira’at Alquran, (Cet. I; Semarang: Dina Utama, 1993), h.60.

Subscribe to receive free email updates: