Pengertian Teologi Islam Modern
Dalam pemikiran Islam mencakup tiga pembahasan besar yang senantiasa menjadi pokok bahasannya, antara lain adalah Filsafat Islam, Teologi Islam(ilmu Kalam) dan Tasauf. Ketiga pembahasan ini akan dibahas secara mendasar.
Sebelum menjadi sebuah keilmuan yang definitif , ilmu kalam mengalami serangkaian sejarah panjang, ilmu kalam dapat dipahami dan dikonstruksi dengan melacak akar geneologisnya didalam pemikiran-pemikiran yang dicetuskan oleh pemikir yang terlibat didalamnya dan mempertajamnya dengan membandingkan dan melihat hasil-hasil pemikiran para sejarawan.
Term kalam, pada awalnya, memang belum menjadi terminologi khusus sebagaimana yang kita pahami sekarang. Seiring dengan perkembangan sejarah, term kalam kemudian mengalami pengkhususan makna, misalnya dapat kita lihat pada penggunaan term sebagai istilah tehnis yang mengacu pada persoalan-persoalan yang kemudian menjadi objek utama dalam pembahasan kalam. Adanya term Mutakallimin yang digunakan ibnu Sa’ad (w. 845 m) untuk merujuk orang-orang Murjiah yang berdiskusi tentang status orang-orang yang berdosa.
Puncak perkembangan term kalam terjadi setelah ia diadopsi sebagai nama bagi sebuah disiplin keilmuan yang ditandai dengan muncul dan berkembangnya pemikiran-pemikiran Mu’tazilah dikalangan Islam, lebih gamblang lagi dijelaskan bahwa term kalammenjadi nama bagi sebuah keilmuan yang definitif pada masa khalifah al-Makmum (813 – 833 M)
Setidaknya ada tiga titik pandang argumentasi mengapa keilmuan ini dinamakan ilmu kalam:
Dalam pemikiran Islam mencakup tiga pembahasan besar yang senantiasa menjadi pokok bahasannya, antara lain adalah Filsafat Islam, Teologi Islam(ilmu Kalam) dan Tasauf. Ketiga pembahasan ini akan dibahas secara mendasar.
Sebelum menjadi sebuah keilmuan yang definitif , ilmu kalam mengalami serangkaian sejarah panjang, ilmu kalam dapat dipahami dan dikonstruksi dengan melacak akar geneologisnya didalam pemikiran-pemikiran yang dicetuskan oleh pemikir yang terlibat didalamnya dan mempertajamnya dengan membandingkan dan melihat hasil-hasil pemikiran para sejarawan.
Term kalam, pada awalnya, memang belum menjadi terminologi khusus sebagaimana yang kita pahami sekarang. Seiring dengan perkembangan sejarah, term kalam kemudian mengalami pengkhususan makna, misalnya dapat kita lihat pada penggunaan term sebagai istilah tehnis yang mengacu pada persoalan-persoalan yang kemudian menjadi objek utama dalam pembahasan kalam. Adanya term Mutakallimin yang digunakan ibnu Sa’ad (w. 845 m) untuk merujuk orang-orang Murjiah yang berdiskusi tentang status orang-orang yang berdosa.
Puncak perkembangan term kalam terjadi setelah ia diadopsi sebagai nama bagi sebuah disiplin keilmuan yang ditandai dengan muncul dan berkembangnya pemikiran-pemikiran Mu’tazilah dikalangan Islam, lebih gamblang lagi dijelaskan bahwa term kalammenjadi nama bagi sebuah keilmuan yang definitif pada masa khalifah al-Makmum (813 – 833 M)
Setidaknya ada tiga titik pandang argumentasi mengapa keilmuan ini dinamakan ilmu kalam:
- Taftazzani dalam Dirasat fi al-falsafah al-Islamiyah menjelaskan bahwa keilmuan ini disebut dengan ilmu kalam karena persoalan pertama yang ia bahas, dalam sejarahnya, adalah berkenaan dengan kalam Allah, apakah kalam Allah bersifat hadis atau qadim.1
- Harun Nasution dalam teolgi Islam memandang dari dua perspektif(a). Perspektif Objektif, yaitu karena yang dibahas dalam ilmu ini adalah sabda Tuhan(al-qur’an), sebuah persoalan yang telah menimbulkan pertentangan keras dikalangan umat Islam pada abad ke sembilan dan kesepuluh Masehi(b).perspektif subjektif, yaitu karena para ahli kalam dalam sejarahnya sering menggunakan kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan pendiriannya berkenaan dengan problem keagamaan yang dihadapi2
- Karena pemikir Islam ketika membahas persoalan-persoalan keyakinan keyakinan dalam Islam menggunakan metode dialektika (al-jadali) yang oleh orang arab disebut dengan kalam.
Dalam kehidupan intelektual, tidak jarang kita senantiasa menyamakan antara ilmu kalam dengan ilmu tauhid. Hal ini tidaklah berlebihan jika ditinjau dari aspek objek materialnya, namun dari sisi metodologis, sebenarnya penyamaan ilmu kalam dengan ilmu tauhid kurang tepat, walaupun pada masa-masa selanjutnya perkara ini tampak kurang diperhatikan dan dipersoalkan secara serius. Al-Gazali(w.1111 M)pernah menjelaskan hal tersebut dalam risalah alladuniyah.
Menurutnya ilmu kalam tidak identik dengan ilmu tauhid, ilmu kalam adalah bagian kecil saja dari ilmu tauhid. Hal ini didasarkan pada argumen bahwa ilmu Tauhid pada hakikatnya merupakan ilmu pengetahuan sekaligus pengamalan dan penghayatan, sementara ilmu kalam lebih merupakan metodologi rasional dalam membela aqidah dari rongrongan kaum bid’ah, sehingga cakupan ilmu tauhid lebih luas dibandngkan dengan ilmu kalam3 ilmu kalam muncul lebih karena adanya kebutuhan untuk membela aqidah yang benar dari serangan dan ronrongan bid’ah. Perbedaan di antara keduanya tidak terletak pada objek materialnya, namun lebih pada aspek metodologi dan penghayatannya.
Term teologi sebenarnya bukanlah khasanah baru dalam pemikiran Islam, hal ini dapat dilacak pada masa awal Islam dimana pada saat itu sedang terjadi transformasi intelektual melalui penerjemahan terhadap karya-karya Yunani, adikarya-adikarya seperti Theologia Aristotle, ataupun Elementatio Theologia telah dikenal dikalangan pemikir Islam 4 ini adalah fakta historis yang memperkuat pernyataan bahwa term teologi bukanlah hal baru dalam hasanah pemikiran Islam, realitas bahwa arus utama pemikiran global pada saat itu digerakkan oleh orang Islam, disamping kuatnya dominasi Arabisme tampaknya menjadi faktor yang membuat term tersebut diterjemahkan kedalam hasanah pemikiran Islam dengan istilah Kalam.
Penggunaan term teologi sebagai subsitute atau pengganti dari term kalam, tidak lain hanya merupakan proses sejarah yang berulang(re-historical prosess) 5 ini adalah hal yang wajar akibat adanya interaksi dialektis seiring dengan perkembangan pemikiran dalam konteks ruang dan waktu tertentu.
Memberikan jembatan batasan antara klasik dan modern dalam dunia teologi sungguh membutuhkan analisa komprehenshif karena masing-masing tokoh dan ilmuan tidak pernah ingin mengatakan bahwa dirinya ada pada wilayah klasik yang terkesan identik dengan ketertinggalan dan keterasingan. Mungkin ia modern pada zamannya tetapi ketika terjadi pendapat dan pandangan yang baru maka pemikiran tersebut menjadi klasik dan kembali kepusaran.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia bahwa kata kontemporer adalah pada waktu yang sama; semasa; sewaktu; pada masa kini; dewasa ini. Teologi kontemporer ini merupakan upaya menjawab konteks sosial yang ada dan bentuknya praktis, bisa pada teologi pembebasan, lingkungan, humanistik dan lain-lainnya. Intinya teologi kontemporer tidak bersifat teoritis, hanya menyajikan langkah praktis perwujudan dari nash dalam menghadapi persoalan yang ada atau dihadapinya.
Menurut Ahmad Hassan, modernisme adalah aliran aliran pemikiran keagamaan yang menafsirkan Islam melalui pendekatan rasional untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Dengan demikian Islam harus beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang terjadi di zaman modern.6
Chehabi mengartikan sebagai aliran pemikiran yang melakukan penafsiran terhadap doktrin agama sehingga tidak bertentangan dengan semangat zaman yang dominan terutama apa yang ada dan dijumpai dalam masyarakat lain yang lebih maju. Mukti Ali sebenarnya sepakat dengan pengertian diatas hanya dia lebih sepakat dengan definisi modernisme dengan usaha furifikasi agama dan kebebasan berfikir. Menurutnya modernisme adalah paham yang bertujuan untuk memurnikan Islam dengan cara mengajak umat Islam untuk kembali kepada al-qur’an dan Sunnah, sepanjang tidak bertentangan dengan teks al-qur’an dan hadits shahih.7
Menurut Fazlur Rahman, Modernisme adalah usaha untuk melakukan harmonisasi antara agama dan pengaruh modernisme dan westernisasi yang berlangsung di dunia Islam. Usaha itu dilakukan dengan menafsirkan dasar-dasar doktrin supaya sesuai dengan semangat zaman.8
Yusuf al-Qardhawi memberikan pengertian Tajdid Yaitu pembaharuan atau modernisme yakni upaya mengembalikan pemahaman agama kepada kondisi semula sebagaimana masa nabi, ini bukan berarti hukum agama harus persis sama seperti yang terjadi pada waktu itu, melainkan melahirkan keputusan hukum untuk masa sekarang sejalan dengan maksud syar’i dengan membersihkan dari unsur-unsur bid’ah, khurafat, atau pikiran pikiran asing.9
Memperhatikan pernyataan di atas, berarti teologi kontemporer orientasinya pada transformasi sosial masyarakat, melakukan langkah praktis karena perintah nash. Sedangkan aliran teologi klasik sebagaimana sering kita diskusikan, hanya berkutat pada persoalan hakikat yang berdasarkan atas penafsiran terhadap wahyu Allah dan
Sunnah berhubungan dengan ketuhanan, keimanan, takdir, dosa, kafir, imamah, khalifah dan perbuatan-perbuatan manusia.
Aliran teologi kontemporer ini bisa saja orang memandang sebagai Islam kiri, Islam liberal, Islam progresif khazanah. Kadang-kadang aliran ini bisa saja dinilai positif dan negatif. Positif jika dapatbergerak dalam bidang ekonomi, sosial dan politik serta benar-benar fokus dan maju dibidang kajiannya dan bisa negatif bila dilihat sebagai sebuah gerakan mandiri yang tampak menantang dunia.
Paradigma Pemikiran Teologi Islam Modern
Jika membahas era yang modern, maka ukurannya adalah ada sesuatu yang membutuhkan perubahan secara mendasar, ketika mencari hal mendasar batasan antara teologi klasik dengan modern, maka yang dibutuhkan bukanlah objek bahasannya tetapi kerangka pikir dan analisa terhadap problematika yang paling mendasar sehingga dapat memberikan kontruk pemikiran berubah dan baru tanpa meninggalkan secara totalitas objek bahasan masa lalu melainkan cara pandang solusif dan manfaat serta rahmat bagi kepentingan semua elemen yang ada dimuka bumi.
Ruang lingkup ilmu kalam yang bersifat transenden spekulatif dalam realitas historisnya banyak membicarakan tentang zat, sifat Tuhan, kenabian, eskatologi, dosa besar, syurga dan neraka, azali dan non azalinya al-qur’an, hal demikian mendapat kritikan karena ilmu kalam hanya mengubek-ubek persoalan ketuhanan dengan berbagai tetek bengeknya, ilmu kalam condong melangit dan kurang membumi, kehilangan elan vitalnya alias mandul. Dengan demikian ilmu kalam dianggap membeku, tidak melihat kebutuhan teologi masyarakat abad modern yang haus akan siraman dan bimbingan pemikiran yang sederhana dan faktual.
Ada beberapa ciri yang menandai modernisme Islam yang telah dikenal luas dalam kajian-kajian terdahulu. Hamilton Gibb menitik beratkan kepada ciri “apologetik”. Ciri ini ditandai dengan sikap pembelaan terhadap Islam dari berbagai tantangan yang datang dari kaum kolonial dan missionaris kristen. Apologia, menurut Gibb dilakukan sebagai upaya untuk menunjukkan keunggulan Islam daripada peradaban barat, tetapi ia menambahkan satu ciri lagi yakni “Romantisme”. Hal itu terlihat dari cara mereka mengagungagungkan zaman awal dan zaman kegemilangan peradaban Islam dimasa lampau dalih apologetik lain yang seringkali dikemukakan oleh kaum modernis, masih kata smith, adalah bahwa kemunduran Islam bukanlah disebabkan kesalahan doktrin agama itu, melainkan kesalahan penganut-penganutnya. Puncak kesalahan itu karena umat Islam adalah telah melupakan agamanya. Dengan demikian ciri-ciri yang dikemukakan oleh orintalis tersebut dikritik oleh Edward Said, Marshall G.S Hodgson dan Robert N Bellah.
Sikap Arkoun yang tidak memberikan batasan terhadap modernitas itu cukup bijaksana, sebab jika ia mendefinisikannya sebagaimana pada umumnya dipahami sekarang sebagai apa yang ada pada masa kini, maka tidak dapat ditentukan secara pasti kapan dan dimana modernitas itu mendapatkan momentumnya. 10
Arnold Toynbee, mengatakan bahwa modernisme telah mulai menjelang akhir abad 15 Masehi, ketika orang Barat “berterimakasih tidak kepada Tuhan tetapi kepada dirinya sendiri atas keberhasilannya mengatasi kungkungan kristen abad pertengahan. Menurut Arkoun istilah modernitas berasal dari bahasa latin modernus pertama kali dipakai didunia kristen pada masa antara 490 dan 500 yang menunjukkan perpindahan dari masa Romawi lama ke periode Masehi. Modernitas pada masa klasik Eropa sendiri telah berjalan sejak abad ke-16 hingga tahun 1950 an. 11
Sementara itu Fazlur Rahman, Deliar Noer, dan Mukti Ali lebih menonjolkan karakteristik modernisme pada “keharusan Ijtihad”, khususnya ijtihad pada masalah-masalah muamalah (kemasyarakatan), dan penolakan mereka terhadap sikap Jumud(kebekuan berpikir) dan Taklid(mengikuti sesuatu tanpa pengertian). Kaum modernis senantiasa menggalakkan ijtihad dan membedakan doktrin kedalam dua bidang, yaitu ibadah dan muamalah, dalam bidang ibadah, semua peraturannya telah dirinci dengan syariah, sehingga tidak adalagi kreatisfitas dalam hal ini,. Dalam bidang Muamalah syariah hanya memberikan prinsip-prinsip umum, disamping menetapkan hudud(batas-batas) yang tidak bisa dilampaui, dalam muamalah ini kaum modernis berpendapat bahwa “kreatifitas harus didorong”.
Mereka berdalih bahwa tanpa ijtihad Islam akan kehilangan relevansinya dengan zaman.12
Pada aliran-aliran teologi klasik dalam Islam sebenarnya telah memiliki kebebasan pilihan untuk menentukan beberapa kecenderungan aliran untuk kebebasan yang mengarah kepada berpikir modern, antara lain paham Qadariyah dan Mu’tazilah, potensi dasar inilah yang memang menenmpatkan potensi akal/rasio lebih dominan daripada wahyu, sehingga sangat memungkinkan untuk menjadikan wajah Islam dengan karakteristik berpikir modern sesuai dengan pengalaman Barat.
Hal lain yang menjadi isu-isu paradigma pembaharuan pandangannya terhadap Masyarakat Muslim, dalam konteks kemoderenan terkait dengan penjajahan, penindasan, keterbelakangan, kemiskinan, stagnasi pemikiran maupun hegemoni peradaban barat yang sekuler, sedang dalam diskursus kontemporer, semakin mengedepankan kesejarahan, sosial, dan kemanusiaan.13
Berbagai paradigma umum diatas, bukan merupakan sesuatu yang mutlak dan permanen tetapi bagi para penganut pemikir modern kontemporer secara khusus memiliki paradigma karakter dan pola gerakan berdasarkan latar belakang dan situasi sosial yang masing-masing tokoh berbeda satu dengan yang lainnya sehingga paradigma pemikiran tersebut menjadi icon masing-masing.
Ziaul Haque, dia berpendapat bahwa revolusi yang digerakkan oleh nabi bertujuan untuk melawan diskriminasi, dominasi, dan memanipulasi kesadaran. Mereka berada di gardu depan dalam memerangi kelompok-kelompok dan kelas-kelas penguasa yang korup dan lalim14
Begitu juga dengan pemikir-pemikir teologi yang lain seperti Asghar Ali Engineer dengan Islam dan pembebasan teologi (Islam and liberation Theologi) dan Hasan Hanafi dengan Islam Kiri (Al-Yasar al-Islami), begitu juga dengan Murtadha Muthahhari dengan konsep Keadilan yang mencoba mencari jalan tengah dalam teologi yakni dengan prinsif Imam-imam maksum(la jabra wala tahfid bal amrun baenal amrain). Begitu juga dengan para pembaharu lain yang lebih toleran terhadap pemikiran barat karena ada unsur positifnya.
Perbedaan Corak Teologi Klasik dan Modern
Merupakan suatu hukum keharusan jika sesuatu yang lama dan klasik itu menjadi tidak populis dan mulai ditinggalkan oleh masyarakat, umpamanya alat-alat tehnologi yang sudah tidak efektif lagi, maka merupakan keharusan untuk ditinggalkan, tetapi jika membicarakan tentang wilayah teologi klasik dan modern, maka kita membicarakan suatu prinsip dasar, karena bukan hanya wilayah fisik tetapi wilayah transendental seperti ibadah dan pemahaman terhadap eskatologi perlu penerjemahan kembali kepada letak yang sebenarnya. Oleh karena itu dalam melihat perbedaan antar corak teologi klasik dan corak teologi modern perlu kehati-hatian.
Dalam bentang sejarah panjang telah lahir beberapa dasar teologi dari peristiwa pentahkiman antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sofyan, hal pertama yang menjadi perdebatan dari kekisruhan peristiwa arbitrase tersebut adalah perasan pendukung tertentu yang menganggap mereka telah dicurangi karena tidak komitmennya kelompok Muawiyah dengan rencana kesepakatan awal.
Sehingga hal tersebut berujung dengan rencana perdamain yang semakin meruncing dan membuat satu tingkatan kecurangan warisan yang harus diterima oleh pengikut dan penganut berikut. Kecurangan pastilah ada klaim siapa yang bersalah, siapa yang melakukan dosa besar diantara persoalan tersebut. Dari peristiwa ini, maka muncullah pandangan lain, bahwa orang yang melakukan dosa besar adalah kafir, dan mestilah ada reaksi berikut jika ada yang mengatakan berdosa besar, maka ada cara kelompok lain yang ingin mencari jalan penyelamatan dimata publik, sehingga ada yang mengatakan bahwa persoalan arbitrase diserahkan kepada Allah, nanti kemudian diakhirat, biarlah persoalan ini ditunda/ditangguhkan, ini pendapat Murjiah.
Pendapat-pendapat yang timbul ketika itulah sebagai dasar pijakan pikiran teologi klasik, seperti, Khawarij 15 , Murjiah 16 , Jabariyah, qadariyah, dan berikut berkembang dengan berbagai bentuknya tetapi masih memperdebatkan prinsip-prinsip dasar dalam Islam seperti Asy’ariyah, Mu’tazilah, Maturidiyyah Samarkand dan Maturidiyah Bazdawi, masing-masing memiliki dua kecenderungan, ada yang lebih cenderung berpikir kepada sandaran wahyu dan ada yang lebih cenderung menyandarkan pemikirannya tersebut menyandarkannya kepada akal. Hal inilah kemudian berkembang dari waktu kewaktu dan senantiasa mengalami pergeseran demi pergeseran. 17 sebagaimana pemikiran Asy’ariyah yang mencoba mencari jalan tengah antara pemikiran rasional Mu’tazilah dan pemikiran Jabariyah, sehingga memiliki perkembangan dealektika pemikiran pada generasi berikutnya dengan yang lain seperti pemikiran al-Baqillani, al-Juwaini dan Al-Gazali. Dan wajah teologi yang beragam dengan dinamika pikiran dan latar belakang yang berbeda-beda tersebut semakin memperkaya para teolog klasik dan tidak heran jika warisan teologi klasik ini tidak dapat dipisahkan dalam perkembangan pemikir teolog modern, bahklan dia merupakan jembatan dialog yang memperkokoh dasar kekayaan paradigmatik karena telah kaya akan wilayah spiritual, sehingga timur dikenal dengan new age(umur baru spiritual) bagi dunia barat, sementara paradigma barat yang berdasar pada filsafat materialisme kalrmax, memiliki kerapuhan dan kekeringan spiritual teologi.
Oleh karena itulah warisan teologi klasik ini melahirkan potensi dua wajah Islam, antagonisme dua wajah menemukan rujukan historis yakni permasalahan khilafah antara Ali bin Abi Thalib pada satu sisi, dan Muawiyah pada sisi yang lain. Yakni dengan munculnya khawarij dalam kelompok kecil sahabat, secara singkat khawarij adalah satu sisi dari dua wajah Islam yang menampilkan wajah Islam yang literal, garang, marah, in toleran dan eklusif.
Wajah Islam kedua yang merupakan wajah yang mengakui perbedaan, keragaman kontekstual dan senantiasa menginginkan kelembutan dan perdamaian adalah sikap Ali yang toleran terhadap kelompok Muawiyah yang ingin melakukan perundingan meskipun akhirnya melakukan tipu muslihatnya dan merugikan pihak Ali18
Teologi klasik jika diartikan sebagai jalan pemikiran masa lalu dengan dibatasi waktu, maka semua produk klasik termasuk karakter dan cikal bakal berpikir moderat tersebut akan terkuburkan, tetapi jika klasik dimaksudkan sebagai karakteristik berfikir yang tertinggal dan tekstual dan literal, maka kita masih dapat mengambil sosio historis potensi kemodernan yang ada pada teologi masa lalu, seperti ungkapan pengamatan schwart. Bahwa Ali adalah karakteristik Islam moderat, toleran dan kontektual dalam melakukan ijtihad untuk melakukan perdamaian dengan kelompok Muawiyah.
Mengupas corak pemikiran modern dalam Islam tidak mesti berhenti membincangkan problematika klasik karena dia sebagai dasar kelanjutan paradigma Islam, namun yang lebih banyak dibahas adalah substansi ijtihad dan metodologi struktural yang dikembangkan para teolog zaman modern. Mungkin sudah menjadi keharusan jika kondisi telah mendesak dan memaksa bahwa manusia harus mengikuti trend dan model/bentuk metodologi dipakai masyarakat modern.
Dalam kerangka pemikiran modernisme adalah bagaimana Islam di hadirkan dapat menjadi rahmat bagi seluruh umat manusia, predikat ini menjadi cambuk bagi pemikir Islam bahwa umat Islam harus dirubah, dikonstruk dan dipaksa untuk menerima cara berpikir yang Islami bukan formalisme Islami, hal ini dimaksudkan untuk mencapai ideal umat yang terbaik dimuka bumi ini. Untuk mencapai target dan tujuan tersebut, maka modernitas bukanlah satu-satunya proyek tawaran bagi kehidupan umat dengan kesejahtraan
duniawi(materialis) sehingga modernitas mendapat kritik sebagai gagalnya pembangunan perspektif manusia. 19 Yang menyebabkan krisis kemanusiaan. Hal ini juga yang terjadi dibangsa ini dengan banyak mental manusia perusak baik dalam perilaku keseharian maupun birokrat, sehingga sangat dibutuhkan konsep teologi solutif yang modern dan islami.
Menurut Penulis corak kemoderan dalam teologi Islam modern, tidak terikat dengan waktu, tetapi tidak dapat dilepaskan dengan waktu dan perkembangan sesuai dengan hukum sunnatullah, bentuk lain kemoderenan tersebut adalah jika penganut umat Islam lebih melihat Islam dengan pendekatan substansif bukan formalis sebagaimana ungkapan Bahtiar Effendi.
“Generasi Pemikir dan aktifis muslim baru yang sejak awal 1970-an lebih memperhatikan isi(subtance), daripada bentuk (form) dengan model ini mereka berharap agar soal ke-islaman dan ke-Indonesiaan memberikan legitimasi kultural dan struktural bagi konstruk negara bangsa dapat disentetiskan dan diintegrasikan dengan baik”20
Dan ciri dari corak kemoderenan yang lain adalah bagaimana mengfungsikan nilai-nilai Islam untuk mengatasi persoalan keumatan yang konkrit seperti kebodohan, kemiskinan, pengangguran, dan keterbelakangan sosial. 21 Dan hal yang yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana ilmu pengetahuan itu secara inklusif dapat dikembangkan untuk kesejahtraan dan ketentraman umat, baik untuk kepentingan kebutuhan hidupnya maupun untuk akhiratnya kelak.
Sebagaimana ungkapan Sayyed Husein Nasser.
“Mengadopsi teknologi barat secara buta, dunia Islam hanya akan bergabung dengan dunia modern dalam peningkatan kerusakan lingkungan alam secara tajam. Dunia Islam mempunyai tanggung jawab khusus sebagai pengemban wahyu al-qur’an untuk bertindak sebagai pelindung ciptaan Allah dan tidak melanggar fungsi khilafah.”
Dengan demikian, maka kontruk pemikiran yang konprehenshif dalam melihat Islam sangat dibutuhkan untuk senantiasa tidak kembali kepusaran. Para perintir/ pendahulu kita sebagai peletak zaman modern dalam Islam telah jauh memberikan sikap kearah pemikiran pengembangan Islam kedepan sebagai jawaban kegelisan umat Islam.
Daftar Pustaka
Menurutnya ilmu kalam tidak identik dengan ilmu tauhid, ilmu kalam adalah bagian kecil saja dari ilmu tauhid. Hal ini didasarkan pada argumen bahwa ilmu Tauhid pada hakikatnya merupakan ilmu pengetahuan sekaligus pengamalan dan penghayatan, sementara ilmu kalam lebih merupakan metodologi rasional dalam membela aqidah dari rongrongan kaum bid’ah, sehingga cakupan ilmu tauhid lebih luas dibandngkan dengan ilmu kalam3 ilmu kalam muncul lebih karena adanya kebutuhan untuk membela aqidah yang benar dari serangan dan ronrongan bid’ah. Perbedaan di antara keduanya tidak terletak pada objek materialnya, namun lebih pada aspek metodologi dan penghayatannya.
Term teologi sebenarnya bukanlah khasanah baru dalam pemikiran Islam, hal ini dapat dilacak pada masa awal Islam dimana pada saat itu sedang terjadi transformasi intelektual melalui penerjemahan terhadap karya-karya Yunani, adikarya-adikarya seperti Theologia Aristotle, ataupun Elementatio Theologia telah dikenal dikalangan pemikir Islam 4 ini adalah fakta historis yang memperkuat pernyataan bahwa term teologi bukanlah hal baru dalam hasanah pemikiran Islam, realitas bahwa arus utama pemikiran global pada saat itu digerakkan oleh orang Islam, disamping kuatnya dominasi Arabisme tampaknya menjadi faktor yang membuat term tersebut diterjemahkan kedalam hasanah pemikiran Islam dengan istilah Kalam.
Penggunaan term teologi sebagai subsitute atau pengganti dari term kalam, tidak lain hanya merupakan proses sejarah yang berulang(re-historical prosess) 5 ini adalah hal yang wajar akibat adanya interaksi dialektis seiring dengan perkembangan pemikiran dalam konteks ruang dan waktu tertentu.
Memberikan jembatan batasan antara klasik dan modern dalam dunia teologi sungguh membutuhkan analisa komprehenshif karena masing-masing tokoh dan ilmuan tidak pernah ingin mengatakan bahwa dirinya ada pada wilayah klasik yang terkesan identik dengan ketertinggalan dan keterasingan. Mungkin ia modern pada zamannya tetapi ketika terjadi pendapat dan pandangan yang baru maka pemikiran tersebut menjadi klasik dan kembali kepusaran.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia bahwa kata kontemporer adalah pada waktu yang sama; semasa; sewaktu; pada masa kini; dewasa ini. Teologi kontemporer ini merupakan upaya menjawab konteks sosial yang ada dan bentuknya praktis, bisa pada teologi pembebasan, lingkungan, humanistik dan lain-lainnya. Intinya teologi kontemporer tidak bersifat teoritis, hanya menyajikan langkah praktis perwujudan dari nash dalam menghadapi persoalan yang ada atau dihadapinya.
Menurut Ahmad Hassan, modernisme adalah aliran aliran pemikiran keagamaan yang menafsirkan Islam melalui pendekatan rasional untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Dengan demikian Islam harus beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang terjadi di zaman modern.6
Chehabi mengartikan sebagai aliran pemikiran yang melakukan penafsiran terhadap doktrin agama sehingga tidak bertentangan dengan semangat zaman yang dominan terutama apa yang ada dan dijumpai dalam masyarakat lain yang lebih maju. Mukti Ali sebenarnya sepakat dengan pengertian diatas hanya dia lebih sepakat dengan definisi modernisme dengan usaha furifikasi agama dan kebebasan berfikir. Menurutnya modernisme adalah paham yang bertujuan untuk memurnikan Islam dengan cara mengajak umat Islam untuk kembali kepada al-qur’an dan Sunnah, sepanjang tidak bertentangan dengan teks al-qur’an dan hadits shahih.7
Menurut Fazlur Rahman, Modernisme adalah usaha untuk melakukan harmonisasi antara agama dan pengaruh modernisme dan westernisasi yang berlangsung di dunia Islam. Usaha itu dilakukan dengan menafsirkan dasar-dasar doktrin supaya sesuai dengan semangat zaman.8
Yusuf al-Qardhawi memberikan pengertian Tajdid Yaitu pembaharuan atau modernisme yakni upaya mengembalikan pemahaman agama kepada kondisi semula sebagaimana masa nabi, ini bukan berarti hukum agama harus persis sama seperti yang terjadi pada waktu itu, melainkan melahirkan keputusan hukum untuk masa sekarang sejalan dengan maksud syar’i dengan membersihkan dari unsur-unsur bid’ah, khurafat, atau pikiran pikiran asing.9
Memperhatikan pernyataan di atas, berarti teologi kontemporer orientasinya pada transformasi sosial masyarakat, melakukan langkah praktis karena perintah nash. Sedangkan aliran teologi klasik sebagaimana sering kita diskusikan, hanya berkutat pada persoalan hakikat yang berdasarkan atas penafsiran terhadap wahyu Allah dan
Sunnah berhubungan dengan ketuhanan, keimanan, takdir, dosa, kafir, imamah, khalifah dan perbuatan-perbuatan manusia.
Aliran teologi kontemporer ini bisa saja orang memandang sebagai Islam kiri, Islam liberal, Islam progresif khazanah. Kadang-kadang aliran ini bisa saja dinilai positif dan negatif. Positif jika dapatbergerak dalam bidang ekonomi, sosial dan politik serta benar-benar fokus dan maju dibidang kajiannya dan bisa negatif bila dilihat sebagai sebuah gerakan mandiri yang tampak menantang dunia.
Paradigma Pemikiran Teologi Islam Modern
Jika membahas era yang modern, maka ukurannya adalah ada sesuatu yang membutuhkan perubahan secara mendasar, ketika mencari hal mendasar batasan antara teologi klasik dengan modern, maka yang dibutuhkan bukanlah objek bahasannya tetapi kerangka pikir dan analisa terhadap problematika yang paling mendasar sehingga dapat memberikan kontruk pemikiran berubah dan baru tanpa meninggalkan secara totalitas objek bahasan masa lalu melainkan cara pandang solusif dan manfaat serta rahmat bagi kepentingan semua elemen yang ada dimuka bumi.
Ruang lingkup ilmu kalam yang bersifat transenden spekulatif dalam realitas historisnya banyak membicarakan tentang zat, sifat Tuhan, kenabian, eskatologi, dosa besar, syurga dan neraka, azali dan non azalinya al-qur’an, hal demikian mendapat kritikan karena ilmu kalam hanya mengubek-ubek persoalan ketuhanan dengan berbagai tetek bengeknya, ilmu kalam condong melangit dan kurang membumi, kehilangan elan vitalnya alias mandul. Dengan demikian ilmu kalam dianggap membeku, tidak melihat kebutuhan teologi masyarakat abad modern yang haus akan siraman dan bimbingan pemikiran yang sederhana dan faktual.
Ada beberapa ciri yang menandai modernisme Islam yang telah dikenal luas dalam kajian-kajian terdahulu. Hamilton Gibb menitik beratkan kepada ciri “apologetik”. Ciri ini ditandai dengan sikap pembelaan terhadap Islam dari berbagai tantangan yang datang dari kaum kolonial dan missionaris kristen. Apologia, menurut Gibb dilakukan sebagai upaya untuk menunjukkan keunggulan Islam daripada peradaban barat, tetapi ia menambahkan satu ciri lagi yakni “Romantisme”. Hal itu terlihat dari cara mereka mengagungagungkan zaman awal dan zaman kegemilangan peradaban Islam dimasa lampau dalih apologetik lain yang seringkali dikemukakan oleh kaum modernis, masih kata smith, adalah bahwa kemunduran Islam bukanlah disebabkan kesalahan doktrin agama itu, melainkan kesalahan penganut-penganutnya. Puncak kesalahan itu karena umat Islam adalah telah melupakan agamanya. Dengan demikian ciri-ciri yang dikemukakan oleh orintalis tersebut dikritik oleh Edward Said, Marshall G.S Hodgson dan Robert N Bellah.
Sikap Arkoun yang tidak memberikan batasan terhadap modernitas itu cukup bijaksana, sebab jika ia mendefinisikannya sebagaimana pada umumnya dipahami sekarang sebagai apa yang ada pada masa kini, maka tidak dapat ditentukan secara pasti kapan dan dimana modernitas itu mendapatkan momentumnya. 10
Arnold Toynbee, mengatakan bahwa modernisme telah mulai menjelang akhir abad 15 Masehi, ketika orang Barat “berterimakasih tidak kepada Tuhan tetapi kepada dirinya sendiri atas keberhasilannya mengatasi kungkungan kristen abad pertengahan. Menurut Arkoun istilah modernitas berasal dari bahasa latin modernus pertama kali dipakai didunia kristen pada masa antara 490 dan 500 yang menunjukkan perpindahan dari masa Romawi lama ke periode Masehi. Modernitas pada masa klasik Eropa sendiri telah berjalan sejak abad ke-16 hingga tahun 1950 an. 11
Sementara itu Fazlur Rahman, Deliar Noer, dan Mukti Ali lebih menonjolkan karakteristik modernisme pada “keharusan Ijtihad”, khususnya ijtihad pada masalah-masalah muamalah (kemasyarakatan), dan penolakan mereka terhadap sikap Jumud(kebekuan berpikir) dan Taklid(mengikuti sesuatu tanpa pengertian). Kaum modernis senantiasa menggalakkan ijtihad dan membedakan doktrin kedalam dua bidang, yaitu ibadah dan muamalah, dalam bidang ibadah, semua peraturannya telah dirinci dengan syariah, sehingga tidak adalagi kreatisfitas dalam hal ini,. Dalam bidang Muamalah syariah hanya memberikan prinsip-prinsip umum, disamping menetapkan hudud(batas-batas) yang tidak bisa dilampaui, dalam muamalah ini kaum modernis berpendapat bahwa “kreatifitas harus didorong”.
Mereka berdalih bahwa tanpa ijtihad Islam akan kehilangan relevansinya dengan zaman.12
Pada aliran-aliran teologi klasik dalam Islam sebenarnya telah memiliki kebebasan pilihan untuk menentukan beberapa kecenderungan aliran untuk kebebasan yang mengarah kepada berpikir modern, antara lain paham Qadariyah dan Mu’tazilah, potensi dasar inilah yang memang menenmpatkan potensi akal/rasio lebih dominan daripada wahyu, sehingga sangat memungkinkan untuk menjadikan wajah Islam dengan karakteristik berpikir modern sesuai dengan pengalaman Barat.
Hal lain yang menjadi isu-isu paradigma pembaharuan pandangannya terhadap Masyarakat Muslim, dalam konteks kemoderenan terkait dengan penjajahan, penindasan, keterbelakangan, kemiskinan, stagnasi pemikiran maupun hegemoni peradaban barat yang sekuler, sedang dalam diskursus kontemporer, semakin mengedepankan kesejarahan, sosial, dan kemanusiaan.13
Berbagai paradigma umum diatas, bukan merupakan sesuatu yang mutlak dan permanen tetapi bagi para penganut pemikir modern kontemporer secara khusus memiliki paradigma karakter dan pola gerakan berdasarkan latar belakang dan situasi sosial yang masing-masing tokoh berbeda satu dengan yang lainnya sehingga paradigma pemikiran tersebut menjadi icon masing-masing.
Ziaul Haque, dia berpendapat bahwa revolusi yang digerakkan oleh nabi bertujuan untuk melawan diskriminasi, dominasi, dan memanipulasi kesadaran. Mereka berada di gardu depan dalam memerangi kelompok-kelompok dan kelas-kelas penguasa yang korup dan lalim14
Begitu juga dengan pemikir-pemikir teologi yang lain seperti Asghar Ali Engineer dengan Islam dan pembebasan teologi (Islam and liberation Theologi) dan Hasan Hanafi dengan Islam Kiri (Al-Yasar al-Islami), begitu juga dengan Murtadha Muthahhari dengan konsep Keadilan yang mencoba mencari jalan tengah dalam teologi yakni dengan prinsif Imam-imam maksum(la jabra wala tahfid bal amrun baenal amrain). Begitu juga dengan para pembaharu lain yang lebih toleran terhadap pemikiran barat karena ada unsur positifnya.
Perbedaan Corak Teologi Klasik dan Modern
Merupakan suatu hukum keharusan jika sesuatu yang lama dan klasik itu menjadi tidak populis dan mulai ditinggalkan oleh masyarakat, umpamanya alat-alat tehnologi yang sudah tidak efektif lagi, maka merupakan keharusan untuk ditinggalkan, tetapi jika membicarakan tentang wilayah teologi klasik dan modern, maka kita membicarakan suatu prinsip dasar, karena bukan hanya wilayah fisik tetapi wilayah transendental seperti ibadah dan pemahaman terhadap eskatologi perlu penerjemahan kembali kepada letak yang sebenarnya. Oleh karena itu dalam melihat perbedaan antar corak teologi klasik dan corak teologi modern perlu kehati-hatian.
Dalam bentang sejarah panjang telah lahir beberapa dasar teologi dari peristiwa pentahkiman antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sofyan, hal pertama yang menjadi perdebatan dari kekisruhan peristiwa arbitrase tersebut adalah perasan pendukung tertentu yang menganggap mereka telah dicurangi karena tidak komitmennya kelompok Muawiyah dengan rencana kesepakatan awal.
Sehingga hal tersebut berujung dengan rencana perdamain yang semakin meruncing dan membuat satu tingkatan kecurangan warisan yang harus diterima oleh pengikut dan penganut berikut. Kecurangan pastilah ada klaim siapa yang bersalah, siapa yang melakukan dosa besar diantara persoalan tersebut. Dari peristiwa ini, maka muncullah pandangan lain, bahwa orang yang melakukan dosa besar adalah kafir, dan mestilah ada reaksi berikut jika ada yang mengatakan berdosa besar, maka ada cara kelompok lain yang ingin mencari jalan penyelamatan dimata publik, sehingga ada yang mengatakan bahwa persoalan arbitrase diserahkan kepada Allah, nanti kemudian diakhirat, biarlah persoalan ini ditunda/ditangguhkan, ini pendapat Murjiah.
Pendapat-pendapat yang timbul ketika itulah sebagai dasar pijakan pikiran teologi klasik, seperti, Khawarij 15 , Murjiah 16 , Jabariyah, qadariyah, dan berikut berkembang dengan berbagai bentuknya tetapi masih memperdebatkan prinsip-prinsip dasar dalam Islam seperti Asy’ariyah, Mu’tazilah, Maturidiyyah Samarkand dan Maturidiyah Bazdawi, masing-masing memiliki dua kecenderungan, ada yang lebih cenderung berpikir kepada sandaran wahyu dan ada yang lebih cenderung menyandarkan pemikirannya tersebut menyandarkannya kepada akal. Hal inilah kemudian berkembang dari waktu kewaktu dan senantiasa mengalami pergeseran demi pergeseran. 17 sebagaimana pemikiran Asy’ariyah yang mencoba mencari jalan tengah antara pemikiran rasional Mu’tazilah dan pemikiran Jabariyah, sehingga memiliki perkembangan dealektika pemikiran pada generasi berikutnya dengan yang lain seperti pemikiran al-Baqillani, al-Juwaini dan Al-Gazali. Dan wajah teologi yang beragam dengan dinamika pikiran dan latar belakang yang berbeda-beda tersebut semakin memperkaya para teolog klasik dan tidak heran jika warisan teologi klasik ini tidak dapat dipisahkan dalam perkembangan pemikir teolog modern, bahklan dia merupakan jembatan dialog yang memperkokoh dasar kekayaan paradigmatik karena telah kaya akan wilayah spiritual, sehingga timur dikenal dengan new age(umur baru spiritual) bagi dunia barat, sementara paradigma barat yang berdasar pada filsafat materialisme kalrmax, memiliki kerapuhan dan kekeringan spiritual teologi.
Oleh karena itulah warisan teologi klasik ini melahirkan potensi dua wajah Islam, antagonisme dua wajah menemukan rujukan historis yakni permasalahan khilafah antara Ali bin Abi Thalib pada satu sisi, dan Muawiyah pada sisi yang lain. Yakni dengan munculnya khawarij dalam kelompok kecil sahabat, secara singkat khawarij adalah satu sisi dari dua wajah Islam yang menampilkan wajah Islam yang literal, garang, marah, in toleran dan eklusif.
Wajah Islam kedua yang merupakan wajah yang mengakui perbedaan, keragaman kontekstual dan senantiasa menginginkan kelembutan dan perdamaian adalah sikap Ali yang toleran terhadap kelompok Muawiyah yang ingin melakukan perundingan meskipun akhirnya melakukan tipu muslihatnya dan merugikan pihak Ali18
Teologi klasik jika diartikan sebagai jalan pemikiran masa lalu dengan dibatasi waktu, maka semua produk klasik termasuk karakter dan cikal bakal berpikir moderat tersebut akan terkuburkan, tetapi jika klasik dimaksudkan sebagai karakteristik berfikir yang tertinggal dan tekstual dan literal, maka kita masih dapat mengambil sosio historis potensi kemodernan yang ada pada teologi masa lalu, seperti ungkapan pengamatan schwart. Bahwa Ali adalah karakteristik Islam moderat, toleran dan kontektual dalam melakukan ijtihad untuk melakukan perdamaian dengan kelompok Muawiyah.
Mengupas corak pemikiran modern dalam Islam tidak mesti berhenti membincangkan problematika klasik karena dia sebagai dasar kelanjutan paradigma Islam, namun yang lebih banyak dibahas adalah substansi ijtihad dan metodologi struktural yang dikembangkan para teolog zaman modern. Mungkin sudah menjadi keharusan jika kondisi telah mendesak dan memaksa bahwa manusia harus mengikuti trend dan model/bentuk metodologi dipakai masyarakat modern.
Dalam kerangka pemikiran modernisme adalah bagaimana Islam di hadirkan dapat menjadi rahmat bagi seluruh umat manusia, predikat ini menjadi cambuk bagi pemikir Islam bahwa umat Islam harus dirubah, dikonstruk dan dipaksa untuk menerima cara berpikir yang Islami bukan formalisme Islami, hal ini dimaksudkan untuk mencapai ideal umat yang terbaik dimuka bumi ini. Untuk mencapai target dan tujuan tersebut, maka modernitas bukanlah satu-satunya proyek tawaran bagi kehidupan umat dengan kesejahtraan
duniawi(materialis) sehingga modernitas mendapat kritik sebagai gagalnya pembangunan perspektif manusia. 19 Yang menyebabkan krisis kemanusiaan. Hal ini juga yang terjadi dibangsa ini dengan banyak mental manusia perusak baik dalam perilaku keseharian maupun birokrat, sehingga sangat dibutuhkan konsep teologi solutif yang modern dan islami.
Menurut Penulis corak kemoderan dalam teologi Islam modern, tidak terikat dengan waktu, tetapi tidak dapat dilepaskan dengan waktu dan perkembangan sesuai dengan hukum sunnatullah, bentuk lain kemoderenan tersebut adalah jika penganut umat Islam lebih melihat Islam dengan pendekatan substansif bukan formalis sebagaimana ungkapan Bahtiar Effendi.
“Generasi Pemikir dan aktifis muslim baru yang sejak awal 1970-an lebih memperhatikan isi(subtance), daripada bentuk (form) dengan model ini mereka berharap agar soal ke-islaman dan ke-Indonesiaan memberikan legitimasi kultural dan struktural bagi konstruk negara bangsa dapat disentetiskan dan diintegrasikan dengan baik”20
Dan ciri dari corak kemoderenan yang lain adalah bagaimana mengfungsikan nilai-nilai Islam untuk mengatasi persoalan keumatan yang konkrit seperti kebodohan, kemiskinan, pengangguran, dan keterbelakangan sosial. 21 Dan hal yang yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana ilmu pengetahuan itu secara inklusif dapat dikembangkan untuk kesejahtraan dan ketentraman umat, baik untuk kepentingan kebutuhan hidupnya maupun untuk akhiratnya kelak.
Sebagaimana ungkapan Sayyed Husein Nasser.
“Mengadopsi teknologi barat secara buta, dunia Islam hanya akan bergabung dengan dunia modern dalam peningkatan kerusakan lingkungan alam secara tajam. Dunia Islam mempunyai tanggung jawab khusus sebagai pengemban wahyu al-qur’an untuk bertindak sebagai pelindung ciptaan Allah dan tidak melanggar fungsi khilafah.”
Dengan demikian, maka kontruk pemikiran yang konprehenshif dalam melihat Islam sangat dibutuhkan untuk senantiasa tidak kembali kepusaran. Para perintir/ pendahulu kita sebagai peletak zaman modern dalam Islam telah jauh memberikan sikap kearah pemikiran pengembangan Islam kedepan sebagai jawaban kegelisan umat Islam.
Daftar Pustaka
- A‘la, Abd., Dari NeoModernisme ke-Islam Liberal, Jakarta: Paramadina, 2003
- Ali, Mukti, Beberapa persoalan agama dewasa ini, Jakarta, Rajawali
- Al-Gazali, Risalah Al-Laduniyah, dalam Majmuah Rasail. Beirut: Dar al-Fikr, 1996
- Effendi, Bahtiar Teologi baru Politik Islam, Yogyakarta: Galang Press, 2001
- Fakhri, Madjid, The History of Islamic Philosophy, New York : Columbia University Press, 1983
- Hassan, Ahmad, The Doctrin of Ijma in Islam, Islamabad:Islamic Reserch Institute, 1976,
- Ihza Mahendra, Yusril Modernisme dan Fundamentalisme dalam politik Islam, Jakarta:Paramadina, 1999
- In ‘ Am Esa, Muhammad, Rethingking Kalam, Yogyakarta: eLSAQ Press, 2006
- Jamrah, Suryan A., Sejarah timbulnya persoalan kalam dan lahirnya berbagai aliran di dunia Islam, Jakarta: PT. Pustaka Antara, Jilid.I, 1996
- Johan, Meuleman, “beberapa catatan kritis tentang karya Muhammad Arkoun” dalam tradisi, kemoderenan dan Metamodernisme, Yogyakarta:Lkis, 1996
- Muhaemin, Murjiah, ajaran pokok, sekte-sekte dan ajarannya, Jakarta: PT. Pustaka Antara, Jilid.I, 1996
- Nasution, Harun,Teologi Islam: Aliran-aliran, sejarah analisa, perbandingan. Jakarta:UI Press, 1986
- Nurdin, M. Amin,Khawarij, Sejarah, Sub Sekte Dan Ajarannya, Jakarta: PT. Pustaka Antara, Jilid.I, 1996
- Putra, Suadi,Muhammad Arkoun Islam dan Modernitas, Jakarta: Paramadina, 1998
- Qadir, Zuly,Islam Liberal, Yogyakarta:Lkis, 2010
- Qardhawi, Yusuf,Dasar-dasar pemikiran Hukum Islam, (taqlid dan ijtihad), tt.
- Rahman, Fazlur,Islam, Chicago:The University of chicago press, 1982
- Schwatz, Steven Sulaiman,Dua Wajah Islam(moderatisme Vs
- Fundamentalisme dalam wacana global)terjemah dari THE
- TWO FACES OF ISLAM, Jakarta: Blantika;the wahid Institute, 2007
- Taftazzani, Al-Wafa al-Ganaimi, Abu Dirasah Fi al-falsafah al-Islamiyyah, Kairo, Maktabah al-Qahirah al-Hadisah, 1957 Wolfson, Harry Austin,The Philosophy of Kalam, 1-2
SUMBER / CATATAN KAKI ARTIKEL DI ATAS
- 1 Abu Al-Wafa al-Ganaimi Taftazzani, Dirasah Fi al-falsafah al-Islamiyyah, Kairo, Maktabah al-Qahirah al-Hadisah, 1957, h. 4
- 2 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, sejarah analisa, perbandingan. Jakarta:UI Press, 1986, h. ix
- 3 Al-Gazali, Risalah Al-Laduniyah, dalam Majmuah Rasail. Beirut: Dar al-Fikr, 1996, h. 227
- 4 Madjid Fakhri, The History of Islamic Philosophy, New York:Columbia University Press, 1983, h. 19-31
- 5 Istilah kalam pada awalnya merupakan pengganti dari logos dalam pemikiran filsafat Yunani. Dan untuk selanjutnya merupakan substitusi dari term teologi. Kalau zaman modern ada kecenderungan untuk menukarkan term kalam dengan teologi, maka itu bisa dikatakan sebagai pengulangan sejarah, Lihat Harry Austin Wolfson, The Philosophy of Kalam, 1-2
- 6 Ahmad Hassan, The Doctrin of Ijma in Islam, Islamabad:Islamic Reserch Institute, 1976, h. 226-227
- 7 A. Mukti Ali, Beberapa persoalan agama dewasa ini, Jakarta, Rajawali
- 8 Fazlur Rahman, Islam, Chicago:The University of chicago press, 1982, h. 215 - 216
- 9 Dr. Yusuf Qardhawi, Dasar-dasar pemikiran Hukum Islam, (taqlid dan ijtihad), tt. h. 96
- 10 Suadi Putra, Muhammad Arkoun Islam dan Modernitas, Jakarta: Paramadina, 1998, h. 42
- 11 Suadi Putra, Muhammad Arkoun Islam dan Modernitas, h. 43
- 12 Prof. Dr.Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam politik Islam, Jakarta:Paramadina, 1999, h. 14-15
- 13 Muhammad In ‘ Am Esa, Rethingking Kalam, Yogyakarta: eLSAQ Press, 2006, h. 68
- 14 Muhammad In ‘ Am Esa, Rethingking Kalam, h. 85
- 15 Khawarij adalah aliran yang pertama kali muncul dalam Islam, awalnya adalah pendukung Ali, tetapi kecewa dengan keputusan arbitrase yang menganggap Ali lemah dalam menetapkan hukum tidak berdasarkan apa yang diturunkan Allah sehingga berbalik kembali memusuhi Ali, dan mereka memiliki semboyan Lahukma illa llah(tidak ada hukum kecuali hukum Allah) Lihat dalam Dr. H.M. Amin Nurdin, Khawarij, Sejarah, Sub Sekte Dan Ajarannya, Jakarta: PT. Pustaka Antara, Jilid.I, 1996, h. 11-12
- 16 Murjiah lahir sama sekali bertentangan dengan paham khawarij, orang mukmin yang berbuat dosa besar tetap mukmin, tidak menjadi kafir, orang yang berdosa besar diserahkan kepada Tuhan kelak dihari perhitungan, lihat dalam tulisan Dr. H. Muhaemin, MA, Murjiah, ajaran pokok, sekte-sekte dan ajarannya, Jakarta: PT. Pustaka Antara, Jilid.I, 1996, h. 19
- 17 Dr. Suryan A. Jamrah, MA, Sejarah timbulnya persoalan kalam dan lahirnya berbagai aliran di dunia Islam, Jakarta: PT. Pustaka Antara, Jilid.I, 1996, h. 1
- 18 Steven Sulaiman Schwatz, Dua Wajah Islam(moderatisme Vs Fundamentalisme dalam wacana global)terjemah dari THE TWO FACES OF ISLAM, Jakarta: Blantika;the wahid Institute, 2007, h. x - xi
- 19 Dr. Zuly Qadir, Islam Liberal, Yogyakarta:Lkis, 2010, h. 191
- 20 Bahtiar Effendi, Teologi baru Politik Islam, Yogyakarta: Galang Press, 2001, h. 10
- 21 Bahtiar Effendi(pengantar), Teologi baru Politik Islam......h. xi