Fatwa haram MUI untuk BPJS Kesehatan berlandaskan dengan 3 alasan. BPJS menurut MUI, tidak memiliki kejelasan terkait dengan premi atau iuran, kejelasan status kepemilikan premi, dan bagaimana BPJS mengelola premi.
Premi iuran BPJS
Menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI), premi atau iuran dari peserta BPJS statusnya harus jelas kedudukannya. Sebab, selama ini BPJS tidak memiliki rincian soal itu.
MUI menilai, asuransi yang berlandaskan prinsip syariah harus menjelaskan soal bentuk, jumlah iuran, akad atau premi. Kalau tidak ada unsur tersebut, maka sebuah asuransi dalam pandangan Islam bisa dikatakan mengandung gharar.
Sementara gharar berarti pertaruhan atau mengandung ketidakjelasan, sehingga dalam hukum ekonomi Islam tidak diperbolehkan.
Baca juga: Pasar Modal dan Pasar Uang dalam Konsep Syariah
Status premi
Menurut MUI, BPJS kesehatan harus menjabarkan secara rinci tentang premi yang dibayarkan peserta BPJS itu menjadi milik BPJS sendiri, milik negara, atau milik peserta?
Dalam sistem asuransi syariah, iuran atau premi dianggap sebagai hibah kelompok peserta asuransi. Dengan demikian, BPJS maupun perusahaan asuransi syariah memiliki kedudukan sebagai wakil kelompok secara kolektif.
Saat risiko terjadi, sebuah perusahaan asuransi syariah hanya berperan sebagai kepanjangan tangan dari peserta kolektif kepada individu. Ini yang dinamakan konsep asuransi syariah.
Investasi BPJS
Menurut MUI, BPJS kesehatan haram jika pengelolaan iuran atau premi dari peserta dikelola atau disalurkan menggunakan cara deposito, saham, dan cara-cara pengelolaan keuangan di bank non-syariah.
Premi yang dikelola atau disalurkan ke sektor halal menjadi penilaian MUI terhadap BPJS. Pasalnya, potensi riba bisa terjadi apabila didepositokan di bank atau lembaga keuangan yang memberikan bunga.
Dari ketiga alasan tersebut, MUI akhirnya mengeluarkan fatwa bahwa BPJS Kesehatan itu haram. Fatwa haram MUI terhadap BPJS kesehatan diharapkan bisa mengakomodasi kepentingan peserta dengan pengelolaan yang sesuai dengan syariah.
Simak berita: Ini Konsep Bunga Bank Menurut Pandangan Ekonomi Syariah
Tanya:
Ustadz, BPJS Kesehatan telah difatwakan haram oleh MUI dengan alasan adanya gharar, riba, dan maisir. Bagaimana pandangan Ustadz terhadap fatwa tersebut? .
Jawab :
Kami sependapat dengan fatwa MUI yang mengharamkan BPJS tersebut, karena BPJS sekarang faktanya adalah asuransi konvensional. Maka MUI mengharamkan BPJS dengan alasan-alasan yang digunakan untuk mengharamkan asuransi konvensional (at ta`miin), yaitu adanya unsur gharar (ketidakpastian, uncertainty), riba (bunga), dan maisir (judi/spekulasi).
Alasan-alasan itu memang ada pada fakta BPJS saat ini. Misalnya, dana premi (iuran) yang dibayarkan peserta BPJS ternyata diinvestasikan dalam usaha-usaha non halal, yaitu deposito dan obligasi konvensional yang berbunga (riba). Selain itu, dana surplus dan defisit underwriting dalam BPJS ternyata dikelola dengan basis gharar dan pinjaman berbunga (riba).
Namun demikian, alasan-alasan tersebut menurut kami belum lengkap. Setidaknya dapat ditambahkan dua alasan. Pertama, perlu ditambahkan alasan yang lebih mendasar untuk haramnya asuransi konvensional, yaitu akadnya yang memang tak sesuai syariah, bukan sekadar karena adanya gharar, riba, dan maisir. Kedua, perlu ditambahkan alasan keharaman BPJS dari segi ketidaksesuaiannya dengan hukum Islam mengenai jaminan kesehatan seluruh rakyat secara gratis oleh negara.
Yang pertama, yaitu ketidaksesuaian akad asuransi konvensional dengan syariah, terdapat pada dua aspek. Aspek pertama, obyek akad (ma’quud ‘alaihi) asuransi konvensional tak sesuai syariah. Karena obyek akad dalam muamalah yang sah hanya dua, yaitu barang (al ‘ain), seperti dalam akad jual-beli, dan jasa (al manfa’ah), seperti dalam akad jasa tenaga kerja (ijarah al ajiir). Sementara obyek akad asuransi konvensional, adalah janji/komitmen (at ta’ahhud) atau pertanggungan (al dhamanah), yang tak dapat dikategorikan sebagai barang ataupun jasa. Maka akad asuransi konvensional adalah akad batil. (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam, hlm. 182).
Aspek kedua, akad asuransi konvensional tak sesuai dengan ketentuan-ketentuan akad pertanggungan/jaminan (al dhamaan) dalam Islam, yaitu terdapat 3 (tiga) pihak; penanggung (dhamin), tertanggung (madhmun ‘anhu), dan penerima tanggungan (madhmun lahu), di mana terjadi penggabungan tanggungan (dhamm al dzimmah) pihak tertanggung menjadi tanggungan pihak penanggung, dan pihak penerima tanggungan tidak membayar apa-apa untuk mendapatkan dana pertanggungan. Sementara dalam asuransi konvensional, hanya ada dua pihak (bukan tiga pihak), yaitu perusahaan asuransi sebagai penanggung (dhamin), dan peserta asuransi sebagai penerima tanggungan (madhmun lahu). Tak ada pihak tertanggung (madhmun ‘anhu). Selain itu, dalam asuransi konvensional tak terjadi penggabungan tanggungan peserta asuransi dengan tanggungan perusahaan asuransi, karena peserta asuransi tidak punya tanggungan apa-apa kepada pihak lain. Dan juga, dalam asuransi konvensional pihak penerima tanggungan harus membayar kepada penanggung. Sedang dalam Islam penerima tanggungan tidak membayar apa-apa. Maka dari itu, asuransi konvensional haram hukumnya. (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam, hlm. 185).
Yang kedua, perlu ditambahkan juga alasan keharaman BPJS dari segi ketidaksesuaiannya dengan syariah mengenai kewajiban negara untuk menjamin kesehatan seluruh rakyatnya secara gratis. Karena Rasulullah SAW dahulu sebagai kepala negara telah menjamin kesehatan seluruh rakyatnya, seperti menyediakan thabib (dokter), tanpa memungut biaya apa pun dari rakyat. (Taqiyuddin An Nabhani, Muqaddimah Ad Dustur, 2/18).
Karena itu, BPJS tidak mungkin disyariahkan menjadi BPJS Syariah dengan hanya menghilangkan unsur-unsur riba, maisir, atau gharar, selama obyek akadnya berupa janji/komitmen (at ta’ahhud), selama ketentuan akadnya tak sesuai dengan akad pertanggungan (al dhamaan) dalam Islam, dan selama masih ada pemungutan dana dari masyarakat. Yang benar menurut syariah, BPJS wajib dihapuskan secara total, termasuk menghapuskan pemungutan dana dari masyarakat, dan negara wajib menjamin kesehatan seluruh rakyatnya secara gratis. Wallahu a’lam.
Premi iuran BPJS
Menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI), premi atau iuran dari peserta BPJS statusnya harus jelas kedudukannya. Sebab, selama ini BPJS tidak memiliki rincian soal itu.
MUI menilai, asuransi yang berlandaskan prinsip syariah harus menjelaskan soal bentuk, jumlah iuran, akad atau premi. Kalau tidak ada unsur tersebut, maka sebuah asuransi dalam pandangan Islam bisa dikatakan mengandung gharar.
Sementara gharar berarti pertaruhan atau mengandung ketidakjelasan, sehingga dalam hukum ekonomi Islam tidak diperbolehkan.
Baca juga: Pasar Modal dan Pasar Uang dalam Konsep Syariah
Status premi
Menurut MUI, BPJS kesehatan harus menjabarkan secara rinci tentang premi yang dibayarkan peserta BPJS itu menjadi milik BPJS sendiri, milik negara, atau milik peserta?
Dalam sistem asuransi syariah, iuran atau premi dianggap sebagai hibah kelompok peserta asuransi. Dengan demikian, BPJS maupun perusahaan asuransi syariah memiliki kedudukan sebagai wakil kelompok secara kolektif.
Saat risiko terjadi, sebuah perusahaan asuransi syariah hanya berperan sebagai kepanjangan tangan dari peserta kolektif kepada individu. Ini yang dinamakan konsep asuransi syariah.
Investasi BPJS
Menurut MUI, BPJS kesehatan haram jika pengelolaan iuran atau premi dari peserta dikelola atau disalurkan menggunakan cara deposito, saham, dan cara-cara pengelolaan keuangan di bank non-syariah.
Premi yang dikelola atau disalurkan ke sektor halal menjadi penilaian MUI terhadap BPJS. Pasalnya, potensi riba bisa terjadi apabila didepositokan di bank atau lembaga keuangan yang memberikan bunga.
Dari ketiga alasan tersebut, MUI akhirnya mengeluarkan fatwa bahwa BPJS Kesehatan itu haram. Fatwa haram MUI terhadap BPJS kesehatan diharapkan bisa mengakomodasi kepentingan peserta dengan pengelolaan yang sesuai dengan syariah.
Simak berita: Ini Konsep Bunga Bank Menurut Pandangan Ekonomi Syariah
Tanya:
Ustadz, BPJS Kesehatan telah difatwakan haram oleh MUI dengan alasan adanya gharar, riba, dan maisir. Bagaimana pandangan Ustadz terhadap fatwa tersebut? .
Jawab :
Kami sependapat dengan fatwa MUI yang mengharamkan BPJS tersebut, karena BPJS sekarang faktanya adalah asuransi konvensional. Maka MUI mengharamkan BPJS dengan alasan-alasan yang digunakan untuk mengharamkan asuransi konvensional (at ta`miin), yaitu adanya unsur gharar (ketidakpastian, uncertainty), riba (bunga), dan maisir (judi/spekulasi).
Alasan-alasan itu memang ada pada fakta BPJS saat ini. Misalnya, dana premi (iuran) yang dibayarkan peserta BPJS ternyata diinvestasikan dalam usaha-usaha non halal, yaitu deposito dan obligasi konvensional yang berbunga (riba). Selain itu, dana surplus dan defisit underwriting dalam BPJS ternyata dikelola dengan basis gharar dan pinjaman berbunga (riba).
Namun demikian, alasan-alasan tersebut menurut kami belum lengkap. Setidaknya dapat ditambahkan dua alasan. Pertama, perlu ditambahkan alasan yang lebih mendasar untuk haramnya asuransi konvensional, yaitu akadnya yang memang tak sesuai syariah, bukan sekadar karena adanya gharar, riba, dan maisir. Kedua, perlu ditambahkan alasan keharaman BPJS dari segi ketidaksesuaiannya dengan hukum Islam mengenai jaminan kesehatan seluruh rakyat secara gratis oleh negara.
Yang pertama, yaitu ketidaksesuaian akad asuransi konvensional dengan syariah, terdapat pada dua aspek. Aspek pertama, obyek akad (ma’quud ‘alaihi) asuransi konvensional tak sesuai syariah. Karena obyek akad dalam muamalah yang sah hanya dua, yaitu barang (al ‘ain), seperti dalam akad jual-beli, dan jasa (al manfa’ah), seperti dalam akad jasa tenaga kerja (ijarah al ajiir). Sementara obyek akad asuransi konvensional, adalah janji/komitmen (at ta’ahhud) atau pertanggungan (al dhamanah), yang tak dapat dikategorikan sebagai barang ataupun jasa. Maka akad asuransi konvensional adalah akad batil. (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam, hlm. 182).
Aspek kedua, akad asuransi konvensional tak sesuai dengan ketentuan-ketentuan akad pertanggungan/jaminan (al dhamaan) dalam Islam, yaitu terdapat 3 (tiga) pihak; penanggung (dhamin), tertanggung (madhmun ‘anhu), dan penerima tanggungan (madhmun lahu), di mana terjadi penggabungan tanggungan (dhamm al dzimmah) pihak tertanggung menjadi tanggungan pihak penanggung, dan pihak penerima tanggungan tidak membayar apa-apa untuk mendapatkan dana pertanggungan. Sementara dalam asuransi konvensional, hanya ada dua pihak (bukan tiga pihak), yaitu perusahaan asuransi sebagai penanggung (dhamin), dan peserta asuransi sebagai penerima tanggungan (madhmun lahu). Tak ada pihak tertanggung (madhmun ‘anhu). Selain itu, dalam asuransi konvensional tak terjadi penggabungan tanggungan peserta asuransi dengan tanggungan perusahaan asuransi, karena peserta asuransi tidak punya tanggungan apa-apa kepada pihak lain. Dan juga, dalam asuransi konvensional pihak penerima tanggungan harus membayar kepada penanggung. Sedang dalam Islam penerima tanggungan tidak membayar apa-apa. Maka dari itu, asuransi konvensional haram hukumnya. (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam, hlm. 185).
Yang kedua, perlu ditambahkan juga alasan keharaman BPJS dari segi ketidaksesuaiannya dengan syariah mengenai kewajiban negara untuk menjamin kesehatan seluruh rakyatnya secara gratis. Karena Rasulullah SAW dahulu sebagai kepala negara telah menjamin kesehatan seluruh rakyatnya, seperti menyediakan thabib (dokter), tanpa memungut biaya apa pun dari rakyat. (Taqiyuddin An Nabhani, Muqaddimah Ad Dustur, 2/18).
Karena itu, BPJS tidak mungkin disyariahkan menjadi BPJS Syariah dengan hanya menghilangkan unsur-unsur riba, maisir, atau gharar, selama obyek akadnya berupa janji/komitmen (at ta’ahhud), selama ketentuan akadnya tak sesuai dengan akad pertanggungan (al dhamaan) dalam Islam, dan selama masih ada pemungutan dana dari masyarakat. Yang benar menurut syariah, BPJS wajib dihapuskan secara total, termasuk menghapuskan pemungutan dana dari masyarakat, dan negara wajib menjamin kesehatan seluruh rakyatnya secara gratis. Wallahu a’lam.