Membongkar Kekeliruan Orientalis dalam Mengkaji Islam

Diskursus Orientalisme dewasa ini telah menyita sedikit banyak perhatian kaum Musliminin. Hal ini terbukti dari banyaknya kajian-kajian yang membahas seluk beluk dan sepak terjang Orientalis dan metode-metode mereka dalam mengembangkan konsep Orientalisme sekarang.

Perhatian ini sungguh merupakan hal yang wajar, karena berkat laju pergulatan Orientalisme yang juga ikut memberkan warna “pekat” dalam Islam, ternyata melahirkan konsep-konsep baru dalam Islam yang sejatinya merupakan buah dari bibit-bibit pemikiran orientalis, dan buah-buah simalakama bagi Muslimin lainnya dibelahan dunia manapun.

Bibit-bibit itu, dewasa ini bahkan dianggap sebagai perkembangan Islam kontemporer[1]; wajah baru Islam dalam mengikuti perubahan zaman seperti liberalisme, pluralisme dan lain-lain. Seperti apa Orientalisme yang telah merubah wajah Islam tersebut?

Secara bahasa, orientalisme berasal dari kata orient, lawan dari kata occident. Jika occident berarti barat, maka orient berarti timur, maka arti dari orientalisme adalah segala yang hal yang berkaitan dengan ketimuran. Mannan bukhari, setelah menganalisis beberapa pengertian orentalisme, memberikan dua defenisi secara istilah atas kata orientalisme:

Pertama: jika dilhat secara luas, maka , orientalisme merupakan semua hal yang berkaitan dengan bangsa-bangsa di dunia timur dan lingkungannya. Jadi berdasar pada pengertian ini cakupan orientalis antara lain: bidang kepurbakalaan (archeology), sejarah (history), bahasa (linguistic), agama (religion), kesusastraan (literatules), keturunan (ethnology), adat istiadat (costums), kekuasaan (politic), kehidupan (economic), dan lingkungan (flora dan fauna).

Kedua: secara sempit, orientalisme adalah kegiatana penyelidikan atas ketimuran dari barat mengenai agama-agama di timur utamanya tentang agama Islam.

Pada kenyataannya, kegiatan orientalisme semenjak awal telah mengacu pada pengertian secara sempit tersebut, hal ini dapat dilihat dari karya-karya orientalis yang mengambil pembahasan pokok mengenai Islam, kenabian Muhammad, otentitas Al-Qur’an sebagai Wahyu tuhan beserta kevalidan metode penafsirannya, membahas juga tentang pokok-pokok keyakinan dan bentuk-bentuk ibadah dalam Islam, perkembangan kekuasaan, sekte-sekte dan berbagai permasalahan lainnya dalam Islam.[2]

Dua pengertian tersebut,setidaknya harus dikaitkan dengan tiga hal yang menjadi esensi dari makna orientalisme senyatanya yang telah berkembang, ini dilakukan agar orientalisme yang dibahas menjadi jelas. Ketiga esensi itu -sebagaimana yang disimpulkan oleh Mannan Buckhari- sebagai berikut:

1. Dalam kajian orientalisme, metode yang dipergunakan adalah metode barat, sehingga segala sesuatunya dinilai dan diukur dari kaca mata orang barat.[3]

2. Semangat awal dari lahirnya orientalisme ini salah satunya adalah merubah Islam sebagai ajaran yang lebih rasional dari agama lain, bahkan terkesan menentang ajaran lain.[4]

3. Seperti yang diungkapkan oleh Edward Said, bahwa orientalisme berkembang untuk melestarikan kekuasaan orang barat di wilayah timur dengan kedok hendak memperbaiki dan memajukan politik dan pemikiran. Jika ada yang bersikap objektif dan ilmiah, maka orientalis macam itu tidak lebih banyak dari orientalis-orientalis yang ada.

Orientalisme,dengan sepak terjangnya hingga sekarang, membuktikan ketiga hal yang telah dirumuskan oleh mannan Bukhari. Bahwa apa yang mereka perjuangkan bukan semata-mata sebagai proyek ilmiah sebagai suatu disiplin ilmu yang mendasarkan pada metode-metode baku dan diakui oleh banyak orang. Lebih dari itu, orientalisme ternyata menjadi senjata ampuh orang-orang barat (baca: anti Islam) untuk menyerang umat Muslimin tanpa melakukan kontak fisik. Hal ini pun dikuatkan dengan sejarah perkembangan orientalisme –yang telah dipaparkan oleh kelompok lalu- dan beberapa karasteristik para orientalis yang juga telah disimpulkan oleh Mannan al-Bukhari:

1. Orientalisme memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan kolonialisme. Dapat dilihat dair fakta bahwa semua Negara barat (penjajah) memiliki organisasi orientalisme. Ketika ruang lingkup colonial makin luas, makin meluas pula kajian dan penyelidikan orientalisme

2. Orientalisme juga erat kaitannya dengan kristenisasi, hal itu terbutki dengan semakin membengkaknya jumlah kaum nasrani yang me-spesialisasikan diri mereka dalam sekolah kepasturan untuk mengkaji kitab-kitab perjanjian lama dan baru, kemudian mereka dipersiapkan secara khusus, bekerja sama dengan orientalis yahudi, untuk mempelajari bahasa Arab, Islam dan kehidupan umat Muslimin dengan tujuan beragam, antara lain mengkaji hal-hal yang kemungkinan besar dapat dijadikan sebagai masalah-masalah keagamaan yang berpotensi untuk mengaburkan dan mengotori citra Islam, menimbulkan perselisihan dan pertengkaran sesame umat Islam.

3. Kajian orentalisme tidak memiliki kajian yang valid, jarang mengkomparasikan datanya secara adil dengan data-data yang telah ada, sehingga nilai ke-ilmiah-annya rendah dan objektifitasnya tidak dapat dipertanggung jawabkan secara mutlak, utamanya kajian-kajian tentang Islam

4. Menurut orientalis sendiir, kajian orientalisme adalah kajian yang paling potensial dalam politik dunia barat untuk melawan Islam dan kaum Musliminin.[5]
Dalam tulisan ini, akan dipaparkan beberapa tafsiran orientalis mengenai Islam serta titik lemahnya, dalam bahasan “akidah Islam”, “sosok Muhammad” dan “otentitas al-Qur’an sebagai wahyu”, sebagai bukti kerancuan penafsiran mereka atas konsep Islam yang kini telah dijadikan pembahasan-pembahasan yang popular disebut sebagai kajian Islam kontemporer dan untuk menguatkan atas pernyataan-pernyataan yang telah dijelaskan sebelumnya.
http://aang-zaeni.blogspot.com/2017/01/membongkar-kekeliruan-orientalis-dalam.html

Tafsir Orientalisme tentang Islam

1. Konsep Akidah Islam

Kajian tafsir yang paling popular yang telah ditelorkan ole ide-ide orientalisme adalah bahwa pada dasarnya semua agama sama, yaitu berisi ajaran-ajaran yang mengajak kepada kebaikan dan memiliki tuhan yang sama. Untuk membenarkan argumentasi itu, mereka berkutat pada dua pembagian agama, yaitu dimensi esoteric (batin) dan eksoteris. Bagi pendukung teori ini, wilayah esoteric dianggap lebih tinggi disbanding eksoteris. Istilah eksoteris dimaknai sebagai pemahaman tuhan pada tingkat esensi[6]. Jadi pada kesimpulannya, para orientalis yang menyebarkan konsep ini ingin mengatakan bahwa, pada dasarnya keberagaman yang harus disadarkan adalah bahwa esensi ajaran dari semua agama itu sama, yaitu mengimani tuhan yang dipersepsikan sebagai satu-satunya realitas akhir, yang mutlak, yang tidak terbatas dan maha sempurna, sementara wilayah eksoteris dimana wajah agama itu berbeda-beda tidak perlu dipermasalahkan, karena sekali lagi, yang dituju dari semua agama itu adalah pemahaman “tuhan yang ada” tanpa mempersoalkan apakah agamanya yahudi, nashrani atau pun Islam. inilah, pada kaijan Islam kontemporer sekarang disebut sebagai konsep trasendentalis.

Tokoh-tokoh transendentalis diantaranya adalah frithojf, martin lings, yang lalu diminati oleh intelektual Muslimin, seperti sayyed hossein nashr, nurchalis majid dan Said Aqil Siradj [7].

konsep seperti ini kemudian merabambah lebih jauh lagi dan menjadi gerakan atau pemahaman prularisme yang dewasa ini banyak diperjuangkan oleh “Muslim” Indonesia. Adian husaini dalam bukunya “Islam liberal, sejarah, konsepsi, penyimpangan dan jawabannya” memberikan sebuah pemaparan khusus mengenai masalah prularisme.

Dalam buku tersebut ia menyatakan bahwa, orang-orang yang berkoar dengan konsep prularisme selalu mendasari pernyataan tersebut dengan ayat al-baqarah ayat 62 dan al-maidah 69. Dua ayat ini menurut mereka memberikan legitimasi, bahwa agama apa pun pada dasarnya benar dan dapat dijadikan jalan menuju keselamatan. Dalam bahasa Anand Krishna, paham penyamaan agama dikatakan sebagia berikut:

“jalan bisa berbeda, jelas berbeda, orang iran ke mekkah tidak harus lewat Indonesia. Orang Indonesia ke mekkah tidak harus lewat cina. Orang india ke mekkah tidak harus lewat amerika. Orang mesir ke mekkah tidak harus lewat eropa. Orang eropat ke mekkah tidak harus lewat Australia. Jalan berbeda, jelas-jelas berbeda, tetapi apabila kita menganggap tujuan pun berbeda, maka sesungguhnya kita musyrik. Justru kita yang menduakan Allah menduakan tuhan[8]

Sejumlah pakar dalam bidang ke-Islaman, dan cendekiwan Muslimin di Indonesia ternyata juga menggunakan dua ayat ini, untuk membenarkan konsep pluralism mereka, bahkan terkesan lebih radikal. Sebut saja Alwi Shihab, dalam bukunya Islam inklusif mengatakan:

“prinsip lain yang digariskan oleh Al-Qur’an, adalah pengakuan eksistensi orang-orang yang berbuat baik dalam setiap komunitas beragama, dan dengan begitu, layak memperoleh pahala dari tuhan. Lagi-lagi prinsip ini memperkokoh ide mengenai pluralism keagamaan dan menolak eksklusivisme. Dalam pengertian lain, eksklusivisme keagamaan tidak sesuai dengan semangat al-Qur’an sebab, al-Qur’an tidak membeda-bedakan antara satu komunitas agama dari lainnya. Prinsip ini digariskan oleh dua ayat al-Qur’an, sebuah eksposisi yang jarang sekali terjadi sebuah ayat al-Qur’an, tampil dua kali dan hampir mirip kata perkata, yang menyatakan, “sesungguhnya mereka telah beriman, yahudi, Kristen, dan kaum shabi’in, mereka percaya pada tuhan dan hari akhir dan berbuat kebaikan, akan menerima pahala dari tuhan mereka. Mereka tidak akan merugi dan tidak berduka cita (al-Baqarah : 62 dan al-Maidah 69)

Sementara itu, dengan gaya lebih berani lagi, konsep pluralisme juga didengungkan oleh salah satu tokoh dari gerakan Muslimin yang cukup besar di Indonesia, KH Said Aqil Siradj, dengan mempersamakan konsepsi tauhid antara Islam, Kristen dan Yahudi, dalam sebuah tulisannya yang berjudul laa ilaaha illallah juga” ia mengatakan:

“Agama yang membawa misi tauhid adalah Yahudi, Nasrani, dan Islam. ketiga agama tersebut datang dari tuhan melalui seorang Rasul dan Nabi pilihan. Agama yahudi diturunkan melalui musa, nasrani diturunkan melalui isa (yesus) dan Islam melalui Muhammad. Kedekatan ketiga agama samawi yang sampai saat ini masih di anut oleh umat manusia itu semakin tampak jika dilihat dari genealogi ketiga utusan (musa Isa dan Muhammad) yang bertemu pada Ibrahim (Abraham). Ketiga agama tersebut mengakui Ibrahim sebagai “the foundation father’s” bagi agama tauhid. Singkatnya, ketiga agama tersebut sama-sama memiliki komitmen untuk menegakkan kalimat Tauhid… dari ketiga macam tauhid di atas, tauhid kanisah Ortodoks Syiria tidak memiliki perbedaan yang berarti dengan Islam.[9]

Cendekiawan yang tak kalah hebatnya dalam mengusung konsep pluralisme agama ini, bahkan sangat digandrungi oleh banyak kalangan remaja adalah nurkhalis majid, atau yang lebih popular dengan nama cak nur. Dalam buku teologi inklusif cak nur. Sukidi menguraikan bangunan epistomologi teologi inklusif cak nur. Dalam buku tersebut ia mengatakan:

“bangunan epistemology teologi inklusif cak nur diawali dengan tafsiran al-Islam sebagai sikap pasrah kehadirat Tuhan. Kepasrahan ini, kata ca knur, menjadi karateristik pokok semua agama yang benar. Inilah world view al-Qur’an, bahkan semua agama yang benar adalah al-Islam, yakni sikap berserah diri ke hadirat tuhan (al-ankabut : 46)

Pernyataan di atas memberitahu bahwa, klasifikasi seseoarng sebagai Muslimin adalah “keberpasrahan” kita terhadap tuhan. Jadi intinya ca knur ingin menyatakan bahwa meski dalam agama apapun, asal konsep keberpasrahan pada tuhan itu ada, maka dapat dikatakan sebagai Islam, dan dianggap benar serta amalan kebajikannya dapat diterima, sebagaimana ayat yang mendasarinya.[10]

Teologi pluralis cak nur yang dijelaskan panjang lebar oleh sukidi, pada akhirnya melahirkan sebuah kesimpulan yang telah dipergunakan oleh banyak orang yang mengagumi dia, berikut ungkapan tersebut:

“sebagai sebuah pandangan keagamaan, pada dasarnya Islam bersifat inklusif dan merentangkan tafsirannya ke arah yang semakin pluralis. Sebagai contoh, filsafat perennial yang belakangan banyak dibicarakan dalam dialog antar agama di Indonesia merentangkan pandangan pluralis dengan mengatakan bahwa setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi keimana terhadap tuhan yang sama. Ibarat roda, pusat roda itu adalah tuhan,dan jari-jari itu adalah jalan dari berbagai agama. Filsafat perennial juga membagi agama pada level esoteric dan eksoterik. Satu agama berbeda dengan agama lain dalam level eksoterik, tetapi relative sam dalam level esoteriknya, oleh karena itu ada istilah “satu tuhan banyak jalan.

2. Sosok Nabi Muhammad

Konsep mereka mengenai islam, tentunya sangat berkaitan erat dengan pandangan mereka atas Muhammad sebagai penegak ajaran islam ini, Muhammad yang dikalangan muslim dikenal sebagai manusia yang ma’sum, teladan sepanjang zaman, dan Nabi serta Rasul terkhir penyempurna ajaran Tuhan, bagaimana pandangan mereka:

terdapat beberapa orientalis yang memakai pendekatan berbeda dalam memandang Muhammad sebagai seorang yang tidak pantas dianggap sebagai Nabi diantaranya:

1. Rodinson menganggap ada kontradiksi intern dalam jiwa Muhammad, berdasarkan teori historisisme psikoanalisa Freud[11]. Beberapa sifat Muhammad saling bertentangan, seperti sifat Nabi sehat dan tenang, berpikir sebelum melakukan, melaksanakan perdagangannya secara efisien, memiliki kemampuan untuk mengetahui kapan waktu mengulur waktu dan kapan harus memperketat serta kapan harus melakukan tindakan untuk keberhasilan rencananya. Sifat-sifat ini bertentangan dengan sifat-sifat nabi; tempramen yang gugup, penuh gairah agresif, gelisah. Tidak sabar menginginkan sesuatu yang tidak mungkin. Keadaan seperti ini membawa krisis nerveus.[12]

Keadaan-keadaan seperti itu juga didampingi dengan kemampuan beliau dalam membuat-ramalan-ramalan masa depan yang dapat dipercaya oleh masyarakat. Hal itu karena sejak kecilnya, Muhammad mempunyai bakat seperti Shaman dan ahli magis yang bisa membuat ramalan-ramalan, maka dia melakukan pertapaan kemudian berfatwa, lambat laun menyatakan dirinya sebagai nabi. Pergerakan-pergerakannya pun dimulai dengan dasar tujuan merubah tatanan diri beliau yang memang “kurang beruntung” dibanding keluarga-keluarganya yang kaya dan terpandang sebagai pemuka bangsa arab waktu itu[13]

2. Aloys Sprenger memandang bahwa Muhammad terkena penyakit jiwa, ini dibuktikan dengan fakta sejarah bahwa nabi sering berteriak hysteria tiba-tiba. Senada dengan itu, gustav Weil menganggap Muhammad terkena epilepsy. Hal ini, menurut Margoliouth melihat fenomena keadaan jiwa Muhammad ketika menerima wahyu, misalnya: bercucuran keringat, pusing dan kadang-kadang jatuh pingsan

Grunbeaum menjelaskan bahwa ajaran Yahudi dan Kristen merupakan instrument bagi Muhammad dalam membentuk ide-ide kenabiannya. Begitu juga dengan anggapan A. Jeffery, bahwa bible merupakan pengetahuan awal Muhammad yang dijadikan basis bagi doktrin kerasulannya. Pengetahuan tentang Nabi, Rasul dan kitab suci, ajarang mengenai wahyu dan ilham serta malaikat, merupakan, pengetahuan yang sudah popular dalam masyarakat arab sebelum atau menjelang kerasulan Muhammad[14]. Jadi secara tidak langsung orientalis yang beranggapan demikian menuduh Muhammad sebagai penjiplak ajaran-ajaran yahudi dan Nashrani yang sudah dulu ada di tengah-tengah masyarakat arab waktu itu.

3. Kewahyuan al-Qur’an

Tuduhan atas Nabi Muhammad sebagai penjiplak dari ajaran-ajaran yahudi dan nasrani tentunya berimbas pada keotentikan al-Qur’an., kebanyakan para orientalis menganggap bahwa al-qur;an hanya sekumpulan tulisan yang disadur dari berbagai kitab suci lainnya, seperti yang kembali dikatakan oleh k.Hitti dalam bukunya islam and wets:

Sumber-sumber al-Qur’an itu jelas- orang-orang kafir Kristen, Yahudi dan arab. Hijaz sendiri terdiri dari beberapa wilayah yahudi walau tidak ada satu pun wilayah Kristen, tetapi di situ terdapat sejumlah budak dan pedagang Kristen, wilayah itu dikelilingi oleh berbagai pusat peribadatan di mana gagasan Kristen bisa terserap dalamnya. Nabi Muhammad sendiri memiliki dua orang budak Habsyi (ethopia sekarang) yaitu Muazzin beliau, Bilal, dan anak angkat beliau di belakang hari, Zaid. Beliau juga mempunyai seorang istri beragama Kristen, mariyah al-Qibtiyyah dan seorang isteri beragama yahudi safiyah, keturunan dari salah satu suku yahudi di madinah yang beliau taklukkan

Secara mafhumya, hitti dalam tulisan tersebut, ingin mengatakan bahwa, Muhammad berpeluang besar untuk membuat al-Qur’an dengan mengumpulkan data-datanya dari ajaran yahudi dan nasrani dari orang-orang terdekat mereka. Hal ini lebih dibuktikan lagi dengan pernyataan hitti, bahwa banyak dari cerita al-Qur’an itu sama dengan cerita yang ada dalam kitab-kitab suci lainnya, meski jalan ceritanya agak berbeda, namun format awal cerita tetap sama, seperti cerita nabi yusuf dengan zulaikha, keperawanan Maryam, dan lain-lain. Jadi kesimpulannya hitti menuduh bahwa al-Qur’an hanya warisan yahudi-kristen yang diarabisasikan dan di nasionalisasikan.

Berangkat dari pemahaman seperti itu, maka sungguh merupakan hal yang wajar jika, para orientalis mencoba menerjemahkan al-Qur’an dengan serampangan dan sangat keluat dari makna sebenarnya meski itu hanya sebatas makna teksnya. Sudah jelas, tujuan mereka adalah untuk merusak citra al-qur’an sebagai inti ajaran islam. bahkan bukhari mannan menyimpulkan setidaknya ada tiga tujuan qur’an yang diterjemahkan oleh orentalis:

1. Menyatukan kesatuan berpikir untuk menyerang Islam. karena mereka sepakat bahwa tidak ada gunanya memerangi umat islam lewat militer.

2. Menyalahkan dan menjelekkan al-Qur’an agar semakin memperkuat bahwa muslim hanyalah orang-orang yang murtad dari Kristen

3. Untuk mengkristenkan umat islam secara massal dengan mengemukakan poin-poin kelemahan yang ada dalam al-Qur’an[15].

Salah satu al-Qur’an terjemahan orientalis yang memang secara zahir dibuat untuk menjelekkan islam adalah qur’an terjamahan George sale dengan judul “the Kuran or the Kuran of Muhammad”. Buku ini telah disebarkan semenja abad XVII (1734)

Dalam mukkadimahnya saja, sudah banyak tuduhan dan dakwaan terhadao islam. pengantarnya diberi judul Premenly discourse, salah satunya disebutkan:

“al-Qur’an bukan wahyu dan bukan mukjizat. Di dalam al-Qur’an banyak sekali kekeliruan dan satu sama lain, saling kontradikisi. Kebanyakan isinya dicungkil dari ajaran Yahudi, tetapi dalam pembagian dan pengaturan serta susunan surat dan ayat-ayatnya. Lebih dari itu, dalam al-Qur’an juga mengatakan bahwa dalam al-Qur’an banyak sekali pengulangan dan cerita dongeng kuno.

“Muhammad sendiri adalah pengarang al-Qur’an itu sendiri, rancangan dibantu orang lain. Ini adalah masalah yang tidak diragukan lagi dan telah disepakati oleh semua orang, karena tidak adanya protes atau usulan dari para sahabatnya”

Kemudian George sale menukil ayat 103 surat an-Nahl dan 4 surat al-Furqan[16].

Anggapan orientalis atas al-Qur’an sebagai tulisan copy-paste dari bible (taurat dan injl), banyak diamini oleh cendikia-cendikia muslim kontemporer, hal ini dibuktikan dengan fakta bahwa tidak sedikit dari mereka menafsirkan al-Qur’an dengan metode hermneutik yang pada hakikatnya adalah metodologi untuk menafsirkan al-Qur’an[17]

Analisis Titik Lemah Tafsir Orientalis

1. Konsep akidah Islam

Konsep tentang akidah islam yang diungkapkan oleh para orientalisme dan perkembangannya yaitu menyamakan semua agama, atas dasar tuhan tunggal yang maha esa, utamanya atas ajaran samawi, pada dasarnya sudah mejadi perhatian ulama-ulama islam zaman ini, hingga sudah terdapat bantahan-bantahan lugas yang diberikan atas konsep yang serampangan itu. Salah satu ‘alim Islam pada masa ini, yang menaruh perhatiannya terhadap perkembangan pemikiran seperti ini adalah Naquib al-Attas. Menurut beliau konsep tuhan pada level esoteric seperti anggapan kalangan transendentalis adalah konsep yang keliru. Pengakuan adanya tuhan saja tidak cukup. Karenya, iblis juga mengakui tuhan sebagai satu-satunya realitas akhir, yang mutlak, yang tidak terbatas, dan maha sempurna. Jadi, memahami tuhan hanya sebagai esensi (tuhan sebagai satu-satunya realitas akhir, yang mutlak, yang tidak terbatas, dan maha sempurna) masih bisa sesat.

Dalam islam konsep tuhan bukan hanya mengakuinya sebagai satu-satunya realitas akhir, yang mutlak, yang tidak terbatas dan maha sempurna. Namun, menurut islam, pengakuan terhadapnya harus juga diikuti sekaligus dengan pengakuan tidak menyukutukannya dan tunduk kepadanya dengan cara, metode, jalan dan bentuk yang dipersetujui olehNya, seperti yang ditunjukkan oleh para Rasul yang telah diutusNya.

Jadi secara mafhum, al-Attas ingin mengatakan bahwa jika hanya mengakui tuhan tetapa mengingkari cara, metode, jalan, dan bentuk yang diajarkan tuhan melalui nabi-Nya, seseorang itu akan disebut kafir. Orang seperti ini tidak benar-benar berserah diri kepada-Nya.[18] Sementara dalam al-Qur’an sudah sangat jelas, Allah menunjukkan bahwa jalan, ajaran yang dia Ridhai Adalah jalan ke-islaman, dan Islam tidak membenarkan adanya pendua’an, tidak menghendaki adanya tuduhan bahwa Dia memilik anak, sebagaimana agama yahudi dan nasrani ajarkan, lalu, jika dalam tatanan tauhid yang paling esensial dalam tiap agama, islam berbeda dengan yang lainnya, bagaimana mungkin tuhan semua agama sama?

Pernyataan yang lugas tersebut, kemudian dilengkapi oleh murid beliau sendiri yang sekarang tergabung dalam INSIST, sebuah perkumpulan yang didirikan memang bertujuan untuk menghalau pemikiran-pemikiran yang berkembang dari konsep-konsep orientalis. Fahmi zarkasyi dalam sebuah tulisannya yang berjudul “kontradiktif” memberikan sebuah penjelasan yang sangat logis, bahwa pada dasarnya semua ajaran agama yang ada memiliki bangunan spiritual, utamanya dalam ranah “ketuhanan”, yang saling berbeda bahkan kontra-diksi, bahkan atheis sekalipun, ia lalu mengatakan:

“jika bagi seorang yang Bergama tuhan itu ada, sedangkan bagi Atheis tuhan itu tidak ada; jika dalam ajaran suatu agama Tuhan itu Maha Esa sedangkan bagi penganut ajaran lain Tuhan itu Tiga atau lebih; jika Tuhan bagi satu agama adalah satu dan tidak seperti manusia sedang dalam kepercayaan lain ada dua; laki dan wanita; dan seterusnya; menurut law of no-Contradiction tidak mungkin semua benar atau semua salah. Yang benar pasti satu”.
Jadi, pluralisme atau transendialisme adalah konsep yang kontradiktif, secara logis, teologis ataupun social. Hal ini pun sudah diingatkan jauh-jauh hari oleh ulama kenama’an Indonesia, alim pertama yang menjadi Ketua MUI, buya Hamka berfatwa:

“siapa pun yang mengatakan semua agama sama, dia pasti tidak beragama[19]”

Begitu juga dengan konsep yang ditawarkan oleh aqil siradj. Menurut penulis sendiri, apa yang dikatakan oleh tokoh yang pernah menjabat sebagai ketua pbnu ini memang benar, bahwa ajaran Yahudi, nasrhani dan islam, merupakan agama yang satu, agama yang lahir dari millah Ibrahim, agama tauhid, yaitu agama islam sendiri. Namun lain halnya dengan yahudi dan nasrhani sekarang yang menurut ajaran islam telah dirubah dan diselewengkan. Perbedaannya sangat jelas dan perbedaan itulah menjadi salah satu tugas ajaran islam yang dibawah oleh nabi Muhammad, untuk memperbaiki dan menyempurnakan.

Jelasnya perbedaan antara ketiga ajaran itu, telah diungkapkan secara baik oleh adian husaini, ia mengatakan bahwa:

“Membandingkan konsepsi teologis kaum Kristen dan konsepsi tauhid islam sangatlah jauh sekali bedanya. Maka tidak benar pendapat Said Aqiel Siradj bahwa tidak ada perbedaan yang berarti antara konsepsi Tauhid Islam dan Kristen Ortodoks. Penggunaan istilah “Tauhid” untuk konsepsi Teologis Kristen juga sangat tidak tepat..”

Kemudian beliau memberikan contoh perbedaan fundamental antara konsepsi islam dan Kristen, seperti kasus penyaliban Isa AS. Dalam kasus ini terdapat perbedaan fundamental antara Bibel dan al-Qur’an. Dalam buku Tanya jawab Syahadat Iman Katolik, hlm 53 disebutkan:

“Kitab suci, misalnya Yohannes 19, menceritakan bahwa Yesus sungguh mati di kayu salib, Yohannes sendiri yang melihat itu dan ia memberikan kesaksiannya dan kesaksian itu benar (Yoh 19:35, 21:24). Para rasul, berkat anugrah Roh kudus, berkhotbah dan bersaksi tentang kematian Yesus (Lih.Kis 3:12-15, 5:29:32). Tak mungkinlah suatu yang bohong akan ditulis dalam kitab suci, dan dapat bertahan berabad-abad lamanya. Dan tidak masuk akal sehatlah bila begitu banyak orang yang rela mati hanya demi sesuatu yang bohong".

Cerita penyaliban Isa A.S. versi Injil itu dibantah keras oleh al-Qur’an:

“Dan karena ucapan mereka “sesungguhnya kami telah membunuh al-Masih putra maryam, Rasul Allah”. Padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak pula menyalibnya. Tetapi (yang mereka bunuh ialah orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) isa, benar-benar dalam keraguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang yang mereka bunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka. Mereka tidak pula yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah isa” (an-Nisaa’: 157).

Dan masih banyak lagi cerita-cerita yang menunjukkan terdapat perbedaan yang lebar dan saling bertentangan antara al-Qur’an dan injil. Sebuah pernyataan menarik juga dilontarkan dalam al-Qur’an, bahwa setiap muslim memang diperintahkan untuk beriman kepada kitab-kitab yang diturunkan Allah, kitab Taurat diturunkan pada nabi Musa, kitab Injil diturunkan pada nabi Isa. Namun berimannya muslim terhadap kitab-kitab tersebut tidak lantas membuat mereka harus mempercayai dan mengikuti isi ajarannya serta apa yang terdapat didalamnya sebagaimana keberimanan dan kepatuhan yang diberikan kepada al-Qur’an, hal ini, sebagaimana yang dicontohkan oleh adian husaini, juga sangat jelas dan gambling; seperti gambaran Nabi Daud dalam injil yang sungguh tidak terhormat. Dalam Samuel 11:2-5 dilanjutkan dengan ayat 14-17:

“sekali peristiwa dalam satu petang, ketika Dawud bangun dari tempat pembaringannya lalu berjalan-jalan di atas sotoh istana, tampak padanya dari atas sotoh sana itu seorang wanita mandi; wanita itu sangat elok rupanya. Lalu dawud menyuruh orang bertanya tentang wanita itu dan orang itu berkata: “itu adalah Batsyeba binti Eliam, istri orang het itu”. Sesudah itu, dawud menyuruh orang mengambil dia. Wanita itu datang kepadanya, lalu Dawud tidur dengan dia. Wanita itu baru selesai membersihkan diri dari kenajisannya. Kemudian pulanglah wanita itu ke rumahnya. Memberitahukan kepada Dawud, “aku mengandung”.

“Paginya Dawud menulis surat kepada Yoab dan mengirimkannya dengan perantaraan Uria. Ditulisnya dalam surat itu, “tempatkanlah Uria dibarisan depan dalam pertempuran yang paling hebat, kemudian kamu mundurkan diri dari padanya, supaya ia terbunuh mati”. Pada waktu itu Yoab mengepung kota Raba, ia menyuruh Uria pergi ke tempat yang diketahuinya ada lawan gagah perkasa. Ketika orang-orang kota itu keluar menyerang dan berperang melawan Yoab, maka gugurlah beberapa orang dari tentara, dari anak buah Daud; juga Uria, orang Het itu, mati”.

Bandingkan dengan pernyataan al-Qur’an atas Nabi Dawud A.S dengan kalimat yang singkat namun sangat indah:

“Bersabarlah atas segala apa yang mereka katakana, dan ingatlah Hamba kami Dawud yang mempunyai kekuatan. Sesungguhnya ia amat taat kepada Allah. (Shaad:7)

Dua cerita tentang satu tokoh yang sama dalam kitab injil dan al-Qur’an sangat jelas perbedaanya. Maka jika orang-orang orientalis yang menanamkan konsep agama sama, lalu diikuti oleh perkembangan paham-paham selanjutnya seperti pluralisme itu menekankan kesamaan konsep tauhid dan ajaran, apakah dengan begitu kita juga harus mengakui cerita Nabi Daud dalam injil yang sungguh sangat melecehkan itu?

Sementara itu, jika kembali merujuk kepada pendapat nur khalis majid sebagaimana yang telah diterangkan diatas, dengan membenarkan konsep persamaan agamanya didasarkan pada arti harfiah dari islam itu sendiri, maka sepintas lalu, tidak ada yang salah, hal ini pun di akui oleh al-Attas sendiri: dalam bukunya islam dan sekularisme, al-Attas menyatakan semua manusia dalam kehidupannya tidak dapat terlepas dari suatu din, karena secara fitrah mereka semuanya berserah diri dan patuh pada Allah swt. As la ma, itulah mengapa, dalam al-Qur’an agama-agama lain juga di sebut sebagai din. Namun perbedaan yang jelas justru tampak pada titik ini, jika nur khalis majid mengartikan keberpasrahan itu untuk menunjukkan kesamaan semua agama, tapi al-Attas mengartikan kepberpasrahan itu untuk menunjukkan keistimewaan islam dan perbedaannya dibanding agama-agama lain. Perbedaan ini juga menunjukkan betapa dangkalnya pemahaman nur khalis atas makna aslama (keberpasrahan) yang menjadi inti ajaran islam.

Al-Attas menyatakan bahwa, bentuk keberpasrahan kepada sang pencipta bersumber dari millah Ibrahim, keberpasrahan yang menuntut diri untuk percaya, yakin dan patuh atas hukum tingkah laku, dan sikap yang dikehendaki oleh Tuhan. Millah ini kemudian diikuti oleh agama-agama samawi selanjutnya, sehingga dalam hal ini orang yahudi dan nasrani mendahului islam, sehingga mereka disebut juga sebagai muslim. Namun kemudian agama-agama lain seperti din- Ahlu’l kitab mengembangkan agama yang mencampurkan tradisi-tradisi kebudayaan mereka sendiri dengan tradisi-tradisi yang didasarkan pada wahyu. Keberpasrahan yang mereka tunjukkan selanjutnya adalah keberpasrahan yang terpaksa, inilah yang tidak di kehendaki sebagaimana dalam firman Allah:

“Laa ikraha fiddin”
Ayat ini tidak hanya menunjukkan bahwa seseorang hendaknya tidak memaksakan agamanya, tetapi dalam arti juga bahwa bahkan dirinya juga harus tunduk dan menyerahkan , dirinya dengan sepenuh hati dan dengan kemauan dan menyukai serta menyenangi penyerahan dirinya. Penyerahan diri yang terpaksa menunjukkan keangkuhan, penentangan, pemberontakan dan merupakan suatu ke-salahpercaya-an, dan salah satu dari bentuk ketidakpercayaan (kufr)[20].

Berdasarkan ini, maka dapat difahami, bahwa pengertian as la ma yang dikehendaki oleh kata islam tidak sesempit yang dikatakan oleh nur khalis, akan tetapi penyerahan diri dengan suka cita, dengan kesadaran tinggi, yaitu penyerahan diri sejati yang disempurnakan oleh Rasulullah sebagai teladan bagi manusia, karena penyerahan diri tersebut adalah bentuk penyerahan diri dari semua Nabi dan Rasul sebelum dia, dan bentuk penyerahan diri yang diridhai, diwahyukan dan diperintahkan oleh Allah. Jadi inti dasar dari agama sejati adalah bukan kepercayaan, tetapi lebih asais adalah penyerahan diri, karean penyerahan diri itu menegaskan dan menguatkan kepercayaan atau keimanan sejati,

2. Sosok Nabi Muhammad

Seluruh anggapan atas nabi Muhammad oleh Mohammad Natsir Mahmud dianggap sebagai anggapan yang berdasarkan historisisme, yaitu menentukan nilai dengan mencari asal-usulnya secara empiric yang didasarkan fakta-fakta sejarah yang ada. Pertanyaannya, apakah pendekatan ini cocok dalam memandang sosok Muhammad sebagai nabi yang termasuk ranah metafisik??

Sebelum melangkah lebih jauh perlu dijelaskan dengan cukup mendetail apa itu historisisme. Istilah historisme berakar dari makna kata history. History berasal dari bahasa Yunani : history yang artnya : mempelajari. Dalam bahasa Indonesia disebut sejarah. Sedangkan pengertian sejarah mencakup dua kegunaan:

1. Keterangan yang disajikan mengenai peristiwa dan tindakan masa lalu manusia.

2. Cerita-cerita yang disajikan mengenai masa lampau serta cara penelitiannya, dengan jalan mana ditemukan dan dikonstruksi[21].

Kajian historisisme dalam memandang sosok Nabi Muhammad, menurut analisis penulis, lebih condong kepada pengertian kedua, yaitu meneliti dan mendeskripsikan apa yang telah terjadi atau lebih jauh lagi sebab sesuatu telah terjadi. Hal ini bisa terlihat pada perkembangan kajian historisme yang kemudian hari hanya didasarkan pada data-data yang bisa dinalar secara empirik dan deskriptif sebagai mana defenisi-definisi yang diberikan oleh pakar historisisme kontemporer.

Salah satunya definisi yang diberikan olehFeiblman (abad ke 19), ia mengatakan :

“….. Historisisme merupakan kepercayaan, bahwa kebenaran, arti dan nilai sesuatu adalah dasar untuk suatu penilaian ditemukan dalam sejarahnya[22]

Dapat dipahami, bahwa historisisme adalah mencari kausalitas atau apa yang menjadi penyebab suatu perisitiwa sejarah. Mencari kausalitas dalam sejarah adalah tidak mungkin tanpa memahami asal-usulnya. Tentunya jika demikian maka kausalitas yang hendak dicari adalah suatu yang dapat dideskripsikan secara empiric karena seseoarang tidak bisa memberi nilai jika itu tidak empirik. Karena itu maka mencari asal-usul penyebab historisisme tidak terdapat dalam dunia metafisis atau pada dunia yang ahistoris, melainkan asal usulnya harus dicari dalam lingkungan empiric.

Pemahaman yang jelas atas historisisme sebelumnya sudah memberikan kesimpulan bahwa menelisik Muhammad sebagai seorang nabi, seorang utusan Tuhan, seorang yang diberikan wahyu dari Zat yang maha kuasa dengan metode historisisme ini akan menemukan kesulitan –jika memang tidak dikatakan sebagai mustahil. Hal ini sesuai dengan anlisis Moh. Natsir Mahmud, beliau mengatakan:

“pendekatan Historisisme sering mengalami kesulitan dalam mencari sumber (dari lingkungan sosial religious) dari apa yang diteliti. Karena itu, mereka seringkali mengemukakan argument bias atau dugaan tanpa fakta akurat. Kata-kata yang sering dipakai berkenaan dengan hal itu, misalnya: probable, possible, alleged, dan semacamnya. Kesemuanya berarti “kemungkinan”. Rodinson, misalnya menggunakan kata “probable” ketika menjelaskan “kemungkinan” Nabi memiliki banyak pengetahuan mistik sebagai sarana dalam berhubungan dengan yang ghaib. Dia menggunakan kata “perhaps” ketika menjelaskan bahwa Nabi Muhammad “kemungkinan” bisa membuat ramalan-ramalan untuk mengungguli kaum politisi mekah. D.S. Margoliouth menggunakan kata “probability” dalam menjelaskan “kemungkinan” Nabi Muhammad terkena epilepsy. William Muir, menurut Patrick O’Hair juga banyak menggunakan kata yang mengandung bias, misalnya kata : pretended dan alleged. Kata tersebut digunakan untuk menolak kewahyuan al-Qur’an. Jhon Wansburgh menggunakan kata “possibility” ketika menjelaskan “kemungkinan Nabi Muhammad menerima dan memodifikasi al-Qur’an yang bersumber dari hasil polemic Yahudi-Muslim…[23]

Adanya indikasi ini diperparah dengan kesimpulan mereka yang susah untuk diterima, karena jika diperhatikan argument-argumen mereka rapuh seperti yang dikatakan sebelumnya, tanpa fakta yang akurat. Hasil dari analisis dengan metode yang tidak benar penulis rasa sudah cukup untuk menolak hasinya, sebagus apapun itu, namun untuk lebih menunjukkan betapa rapuhnya argument tersebut ada baiknya kita temukan titik-titik rapuh itu dengan logika sederhana:

Tuduhan bahwa Nabi Muhammad adalah orang yang memiliki dua kepribadian yang saling kontradiktif, atau secara frontal memiliki pribadi tidak normal, atau tuduhan beliau adalah orang yang memiliki penyakit jiwa, dan epilepsy sungguh tak bisa diterima, logikanya, jika ada orang stress – tak perlu sampai jadi orang gila- berkata sesuatu, maka satu pun orang yang normal tentu tidak akan menghiraukan perkataan tersebut, meski perkataan orang yang memiliki gangguan jiwa tersebut ada benarnya, begitu juga dengan apa yang dihasilkan dari penyakit epilepsy, lalu bagaimana bisa ajaran Muhammad yang diikuti dan disepakati oleh berjuta-juta orang, yang telah menciptakan perdaban yang belum ada tandingannya hingga sekarang dikatakan sebagai hasil dari ide-ide dasar yang tersembunyi dari seorang yang memiliki kepribadian yang tidak normal, orang yang memiliki penyakit epilepsy??. Kenyataannya ini juga yang disoroti oleh maryam jamelah dalam menyikapi pernyataan-pernyataan yang nyeleneh ini, ia mengatakan:

“kebenaran kerasulan Muhammad terbukti dari kenyataan bahwa beliau melakukan perubahan besar-besaran dalam kehidupan sebagian besar ummat manusia di dunia dan menegakkan rasa cinta, kesetiaan dan pengabdian hingga akhir hayat beliau demi kepentingan berjuta-juta ummat manusia selama empat belas abad. …. Beliau berhasil melaksanakan semua yang beliau ajarkan. Dan bukti paling sempurna atas kebenaran beliau adalah bahwa orang-orang yang paling dekat dengan beliau- Ahl al-Bait (sanak kerabat beliau)- percaya sepenuhnya atas kebenaran ucapan beliau dan sangat menaruh rasa hormat atas sifat-sifat dan tingkah laku beliau[24].

Secara mafhumnya, maryam jamelah ingin mengatakan bahwa orang yang berkepribadian tidak normal, seorang yang ambisius, yang terkena penyakit epilepsy bahkan terganggu kejiwaannya, tidak akan mungkin membuat sebuat tatanan masyarakat yang sangat baik, tidak mungkin memiliki sifat-sifat terpuji dan tidak mungkin dipercaya oleh orang-orang banyak apalagi dengan keluarga terdekatanya karena tentunya mereka sangat sering melihat perikehidupannya.

3. Kewahyuan al-Qur’an

Tuduhan terhadap non keontentikan al-Qur’an yang dilemparkan orientalis, berdasarkan pemaparan sebelumnya, semua bertitik tolak pada anggapan bahwa al-Qur’an hanya jiplakan dari kitab-kitab sebelumnya. Pada dasarnya setiap umat muslim pun sepakat bahwa agama samawi; Islam Yahudi dan Nasrhani memang berasal dari satu millah, yaitu millah Ibrahim. Juga tidak ada yang membantah bahwa al-Qur’an sendiri menyuruh tiap muslim mengakui nabi-nabi dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelumnnya[25]. Namun fakta itu tidak menunjukkan bahwa apa yang terdapat dalam al-Qur’an merupakan saduran dari ktiab injil, kitab yang diyakini oleh non muslim sebagai kitab taurat dan injil. Setidaknya ada beberapa argument yang menenjukkan titik lemah sekaligus bantahan atas anggapan orientalis yang mengatakan al-Qur’an adalah kitab yang ditulis oleh nabi Muhammad dengan mengambil ajaran-ajaran dalam al-Qur’an, antara lain:

1. Pada dasarnya Al-Qur’an memang relative banyak menyebutkan dua agama tersebut, tapi tidak sepenuhnya memberikan konfirmasi dan persetujuan bahkan lebih pada member kritikan terhadap kedua agama tersebut. Karena itu, oleh fuck, salah satu orientalis sendiri sangat menyangsikan kevalidan akan penerimaan atas salah satu dari kedua agama tersebut dijadikan sebagai sumber al-Qur’an. Terlalu banyak hal-hal fundamental yang saling bertolak belakang antara isi al-Qur’an dan injil. Seperti cerita-cerita Nabi antara al-Qur’an dan injil.[26] Selain itu, al-Qur’an membahas hal-hal yang sangat luas jauh lebih luas dari injil; seperti al-Qur’an mengajarkan keseimbangan dalam mencari kesejahteraan hidup duniawi dan ukhrawi (28;77). Al-Qur’an mengajarkan agar berdo’a memperoleh kehidupan yang baik di dunia dan di akhirat. Al-Qur’an juga mengajarkan pola keseimbangan antara kehidupan sosial yang diwujudkan dalam kewajiban zakat, adab sopan santun dalam pergaulan sosial (49 :10-12). Al-Qur’an mengajarkan agar tidak mengisolir diri, baik dalam pergaulan sosial maupun antar suku dan bangsa (49; 13). Dalam soal penyelidikan dan penelitian ilmiah, al-Qur’an menganjurkan pengamatan empiric. Al-Qur’an memerintahkan agar menggunakan pengamatan indrawi, observasi (7 : 179, 32 : 28, 10 : 68, 30 : 32). Islam mendorong untuk menggunakan akal dan nalar untuk memikirkan fenomena alam semesta (3 : 190-192)[27].

Fakta ini menunjukkan bahwa kebijakan Allah menurunkan al-Qur’an sebagai penyempurna dari syariat-syariat terdahulu terbukti dengan cakupan al-Qur’an yang begitu luas.

2. Jika Nabi Muhammad dianggap telah mencari naskah-naskah bible yang disembunyikan oleh orang-orang yahudi untuk dipelajari sebagaimana anggapam A.T. Welch. Maka anggapan ini sangat lemah karena perjanjian lama baru diterjemahkan ke dalam bahasa arab pada tahun 900 M dan perjanjian baru diterjemahkan pada tahun 1171 M. berarti berabad-abad setelah wafatnya Nabi Muhammad[28]. Adapun orientalis yang beranggapan bahwa ayat-ayat injil itu diketahui secara lisan oleh Nabi Muhammad juga sangat lemah, karena dalam ayat-ayat empiric terdapat banyak perbedaan yang menunjukkan kebenaran al-Qur;an dan kesalahan ayat-ayat injil,

Dalam bukunya: Asal Usul Manusia Menurut Bibel, Qur’an dan Sains[29], Bucaille secara khusus membandingkan asal-usul manusia dalam ilmu pengetahuan, al-Qur’an dan Bible. Karya ini membuktikan kebenaran ayat al-Qur’an yang selaras dengan sains moderen.

Bucaille menyimpulkan bahwa bible banyak mengandung ketidak-selarasan dengan ilmu pengetahuan moderen dewasa ini, karena masalah penciptaan alam dan manusia serta fenomena alam lainnya dicantumkan dalam Bible menurut apa yang dibayangkan oleh manusia pada saat teks bible ditulis. Sebaliknya, al-Qur’an mengajukan ayat-ayat kauniyah yang tidak ada yang bertentangan dengan fakta-fakta ilmiah dewasa ini meskipun sejak 14 abad yang lalu. Berdasarkan kesimpulan itu, Bucaille menolak anggapan bahwa al-Qur’an adalah jiplakan dari bible. Ia mengatakan:

“… jika benar Muhammad adalah pengarang al-Qur’an (suatu teori yang didukung sementara orang), akan sulit melihat bagaimana dia menyensor kesalahan-kesalahan ilmiah di dalam bible yang berhubungan dengan topic-topik yang begitu beragam dan selanjutnya menghapus kesalahan-kesalahan tersebut ketika menyusun teksnya sendiri dengan tema-tema yang sama”.[30]

3. Jika al-Qur’an memang jiplakan dari injil, maka harusnya nasib al-Qur’an tidak beda jauh dari bible yang harus direvisi tiap siding konsili yang dilakukan oleh pembesar-pembesar kristiani, harusnya terdapat kesalahan-kesalahan yang sama ditemukan dalam al-Qur;an dan injil.

Berdasarkan argumen bantahan di atas, maka tidak perlu lagi diragukan bahwa hermenutik bukanlah metode yang tepat untuk menafsirkan al-Qur’an sebagai teks-teks ajaran islam yang tidak bisa dilepaskan dari ke-Wahyuan-nya dan criteria-kriteria tafsir yang telah ada. Lebih jauh lagi, Nur kholis dalam bukunya “pengantar ilmu hermeneutika” menuliskan perbedaan-perbedaan metodologi tafsir islam dengan hermenuetika[31]:

1. Hermenutika menjadikan subjetivitas sebagai sandaran utama, menggunakan prinsip “menduga” dan memandang teks bukan sebagai fenomena bahasa yang merupakan alat komunikasi objektif. Sedangkan tafsir merupakan metode penjelasan untuk menuju maksud objektif dari pemilik teks yang memang mengfungiskan teks itu sebagai alat komunikasi antara dirinya dan pembaca

2. Tafsir diikat oleh disiplin ilmu lainnya utamanya dalam kaidah-kaidah bahasa dan ilmu asbab an-Nuzul, sedangkan hermeneutika mengartikan teks tanpa prasyarat penguasaan terhadap keilmuan lainnya yang mendukung

3. Fungsi tafsir adalah sebagai perantara untuk memahami maksud pengarang teks, sedangkan dalam hermeneutikan, pemahaman dapat berubah sesuai dengan perkembangnya obsesi dan keinginan atau ambisi pembaca

Catatatn Kaki

[1] Akan dijelaskan secara mendetail dalam halaman selanjutnya

[2] Mannan Bukhari, menyingkap Tabir Orientalisme, (amzah, Jakarta, 2006) hlm. 7

[3] Hal ini berimplikasi pada pandangan orang, baik itu Muslimin atau non Muslimin, yang memakai pandangan barat tanpa komparasi sedikit pun atau kritik, metodologi, bisa dikategorikan sebagai orientalis

[4] ibid

[5] Ibid, hlm. 23

[6] Ismali thaib,Oksidentalis versus orientalis (Beirut, Yogyakarta, 2011) hlm, 13
[7] Ibid 14

[8] Terdapat pada republika, 3 Agustus 2000, di kutip dari Islam liberal, sejarah konsepsi, penyimpangan dan jawabannya, adian husaini (gema insane, Jakarta, 2003), hlm. 85

[9] Bambang nursena, Menuju dialog tealogis Kristen-Islam, yayasan Andi : Yogyakarta,2001, hlm. 165-169. Dikutip dari Islam liberal…. hlm 85

[10] Ibid 105

[11] Freud menyatakan bahwa manusia selalu bertentangan dengan masyarakat, kebudayaan dan peradaban. Bahwa memang manusialah yang membentuk peradaban dan kebudayaan, namun justru peradaban dan kebudayaan tersebut menekan jiwa agresifitas manusia sebagai individu yang memiliki nafsu bawaan. Karena perdaban dan kebudayaan menjadi patokan normative yang menentukan apa yang harus diperbuat manusia dan apa yang harus dilarang. Patokan normatik yang bertentangan dengan jiwa agresif manusia merupakan “garnesium” dalam diri manusia yang disebut Freud dengan super ego.

[12] ibid

[13] Ibid, hlm. 92
[14] Ibid, hlm. 93

[15] Dari W. Montgomery watt, the influence of islam on medieval Europe, edinbrugh 1972, hlm. 77, dikutip dari buku mannan bukhari hlm. 55

[16] Kata pengantar itu telah diterjemahkan ke bahasa arab dengan judul Maqalah fi al-Islam. dikutip dari mannan al-Bukhari hlm 57

[17] Perdebatan hermeneutic sudah sangat panjang lebar di kelas dalam mata pelajaran tafsir orientalis yang diampu oleh ust. Sa’ad Abdul Wachid, jadi penulis rasa tidak perlu berpanjang lebar dalam menjelaskan pengertian hermeneutic ini.

[18] Ismail Thaib, Oksidentalis Versus Orientalis (kitab Beirut, Yogyakarta, 2011), hlm. 14
[19] Ibid, hlm. 30

[20] Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme (PIMPIN, bandung, 2010), hlm. 80

[21] Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme Al-Qur’an di mata Barat, sebuah kajian Evaluatif (semarang: DIMAS, t.tt) hlm, 65

[22] Ibid hlm, 68
[23] Moh. Natsir Mahmud menjelaskan panjang lebar hal ini, dalam sebuah evaluasi atas metode orientalis dalam membantah ke-nabian Muhammad dan ke-wahyuan al-Qur’an. Orientalisme, al-Qur’an dimata barat… (semarang; DIMAS, t.tt) hlm. 122

[24]
[25] Al-Maidah : 44

[26] Faktanya telah kami jelaskan sebelumnya

[27] Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang menunjukkan betapa luasnya cakupan al-Qur’an dibanding dengan kitab-kitab terdahulu, Moh. Natsir Mahmud, oreintalis… hlm. 187

[28] Teradapat dalam Studies in islam karya Canon Sell, dikutip dari Moh. Natsir Mahmud, orientalis… hlm. 221

[29] Terjemahan dari What is the origin of man? The Answer of Sciene and Holy scriptures.
[30] Ibid. hlm, 229

[31] Nur Kholis, pengantar Ilmu Hermeneutika (Yogyakarta; Univ. Ahmad Dahlan, 2008) hlm. 10

Subscribe to receive free email updates: