Aliran Ahlu Sunnah Wal-jamaah Yang Didirikan Abu Mansur Al-Maturidi | Al-Maturidiyah

Aliaran Maturidiyah adalah Aliran seperti Asy’ariyah yang masih tergolong Ahlu Sunnah wal Jamaah. Pendirinya adalah Muhammad bin Muhammad Abu Mansur al-Maturidi. Maturidi semasa hidupnya dengan Asy’ari, hidup di Basrah (Irak). Asy’ari adalah pengikut mazhab Syafiiyyah, sedang pengikut Maturidi adalah orang-orang Hanafiyah. Boleh jadi ada perbedaan pendapat antara kedua orang tersebut, karena adanya perbedaan pendapat antara Syafi’I dan Abu Hanifah sendiri.

Al-Maturidi mendasarkan pikiran-pikirannya dalam soal-soal kepercayaan kepada pikiran-pikiran Imam Abu Hanifah yang tercantum dalam kitabnya Al-Fiqh Al-Akbar dan Al-Fiqh al-Absat dan memberikan ulasan-ulasannya terhadap kedua kitab tersebut.

Maturidi dan Asy’ari, kedua-duanya menentang aliran Mu’tazilah. Hanya Asy’ari menghadapi pusatnya, yaitu di Basrah, sedang Maturidi menghadapi cabang Mu’tazilah di negerinya yang mengulang-ulang pikiran-pikiran Mu’tazilah di Basrah. Karena itu tidak mengherankan kalau pendapat kedua orang tersebut berdekatan, tetapi tidak sama, sehingga Muhammad Abduh mengatakan bahwa soal-soal yang diperselisihkan antara keduanya tidak lebih dariapada sepuluh soal yang kesemuanya tidak prinsipil dan hanya perbedaan istilah, selain karena persamaan lawan tersebut, juga karena tujuan kedua orang tersebut sama, yaitu membela kepercayaan-kepercayaan yang ada dalam al-Qur’an dan dalam usahanya tersebut keduanya mengikatkan diri kepada kepercayaan-kepercayaan itu.[1]

Tetapi apabila diselidiki labih lanjut, kita akan mengetahui perbedaan antara Asy’ari dan Maturidi lebih jauh lagi, baik dalam cara maupun hasil pemikirannya, karena Maturidi dan golongannya memberikan kekuasaan luas kepada akal lebih daripada yang diberikan Asy’ari.

Berdasarkan gambaran di atas, maka yang menjadi pembahasan dalam tulisan ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana sejarah timbulnya Maturidiyah? 2. Siapa itu Abu Mansur al-Maturidi? 3. Bagaimana pokok-pokok ajarannya?
http://aang-zaeni.blogspot.com/2017/01/aliran-ahlu-sunnah-wal-jamaah-yang.html

Sejarah Timbulnya Al-Maturidiyah

Al-Maturidi merupakan salah satu aliran yang muncul karena persoalan teologi dalam islam. Aliran ini muncul sebagai bentuk perlawanan/ reaksi terhadap paham Mu’tazilah yang sama halnya dengan al-Asy’ari dan muncul hampir bersamaan dengan menurunnya popularitas ajaran Mu’tazilah dikalangan khalifah Abbasiyah. Penentang aliran ini di Bashrah dipimpin oleh Abu Hasan al-Asy’ari dan yang berada di Samarkand dipimpin oleh Abu Mansur al-Maturidi.[2]

Wilayah Samarkand pada waktu al-Maturidi berada di sana merupakan salah satu kawasan peradaban yang maju, menjadi pusat kehidupan intelektual disamping pusat perkembangan sekte-sekte keagamaan, baik di lingkungan muslim maupu non muslim.

Negeri Samarkand merupakan tempat diskusi dalam ilmu fiqih dan ushul fiqih. Diskusi di bidang fiqih berlangsung antara pendukung mazhab Hanafi dan mazhab Syafi’i. berbagai kelompok masyarakat senantiasa menghidupkan diskusi di masjid-masjid.

Ketika perselisihan antara fuqaha bersama muhaddisin dan Mu’tazilah semakin sengit, diskusi berjalan dalam ilmu kalam, fiqih dan ushul fiqih. Al-Maturidi hidup di tengah-tengah perlombaan berlangsung ketat dalam rangka menghasilkan pemikiran dan penalaran.

Ulama mazhab Hanafi menetapkan bahwa kesimpulan yang dicapai oleh al-Maturidi sepenuhnya sama dengan apa yang dikemukakan oleh Abu Hanifah dalam bidang aqidah. Hal itu dapat dilihat pada beberapa pendapat yang ditinggalkan oleh Abu Hanifah dengan pandangan-pandangan Abu Mansur al-Maturidi dalam karya-karyanya. Dengan alasan ini juga, ulama menetapkan bahwa pendapat-pendapat Abu Hanifah dalam bidang aqidah merupakan akar yang menjadi landasan pemikiran Abu Mansur al-Maturidi.

Ulama Irak dan sekitarnya menaruh perhatian terhadap perkembangan pemikiran Abu Haifah dalam fiqih dan kurang menaruh perhatian terhadap kajian pemikirannya di bidang aqidah, karena mereka merasa cukup dengan pemikiran fuqaha dan muhaddisin yang telah menyebar luas di kalangan mereka, kemudian pada akhirnya mereka merasa cukup dengan pemikiran Asy’ariyah.

Berbeda dengan mereka, ulama kawasan Ma Wara al-Nahr, di samping menaruh perhartian khusus terhadap perkembangan pemikiran fiqihnya, mempunyai perhatian khusus terhadap pemikirannya dalam bidang aqidah, memberikan komentar dan memperjelasnya, serta menguatkannya dengan dalil rasional dan analogi silogisme (ilmu mantiq).

Jelas bahwa Abu Mansur al-Maturidi membangun pemikiran-pemikirannya di bidang aqidah berdasarkan riwayat dari Abu Hanifah yang terdapat dalam berbagai risalah yang ia riwayatkan darinya dan mengembangkannya secara mendetail. Ia juga merujukkan pemikiran yang tidak tersebut di dalamnya kepada pemikian yang ada di dalamnya. Ia mementapkan berbagai ketentuan syara’ dengan dalil-dalil rasional yang logis dan argumentasi yang tidak diragukan lagi keabsahannya.

Salah satu pengikut penting dari al-Maturidi adalah Abu al-Yusr Muhammad al-Bazdawi (421-493 H). Nenek al-Bazdawi adalah murid dari al-Maturidi, dan al-Bazdawi mengetahui ajaran-ajaran al-Maturidi dari orang tuanya. Al-bazdawi sendiri mempunyai murid-murid dan salah seorang dari mereka adalah Najm al-Din Muhammad al-Nasafi (460-537 H).

Seperti al-Baqillani dan al-Juwaeni, al-Bazdawi tidak pula sefaham dengan al-Maturidi. Antara kedua pemuka Maturidiyah ini, terdapat perbedaan faham sehingga boleh dikatakan bahwa dalam aliran Maturidiyah terdapat dua golongan, yakni golongan Samarkand yaitu pengikut-pengikut al-Maturidi sendiri. Dan golongan Bukhara yaitu pengikut-pengikut al-Bazdawi. Golongan Samarkand mempunyai faham-faham yang lebih dekat kepada faham kepada pendapat-pendapat al-Asy’ari.

Pendiri Aliran Almaturidiyah: Abu Mansur Al-Maturidi

Nama lengkap Al-Maturidi adalah Imam Muhammad bin Muhammad bin Mahmud Al-Hanafi Al-Mutakallimun Abu Mansur Al-Maturidi Al-Samarkandi.[3] Dia lahir di Maturid, sebuah kota kecil di Samarkand (termasuk daerah Uzbekistan sekarang), yang tanggal kelahirannya sulit dilacak, diperkirakan pada pertengahan abad ke-3 hijriyah.[4] Tetapi wafat Al- Maturidi, disebutkan oleh banyak referensi adalah pada tahun 333 hijriyah.[5]

Al-Maturidi sebagai pendiri aliran Maturidiyah, adalah seorang ahli fiqih mazhab Hanafi, belajar fiqih Hanafi pada dua orang ulama besar mazhab Hanafi, yaitu Muhammad bin Muqatil Ar-Rozi (w. 248 H), dan Nushair bin Yahya al-Balkhi (w. 228 H). Ia mempunyai hubungan nasab dengan sahabat Nabi Muhammad saw, yaitu Abu Ayub Al-Anshori, yang rumahnya ditempati oleh Nabi Muhammad saw pada hari-hari awal berada di Madinah setelah hijrah.

Adapun kitab-kitab kajian yang disusun dalam bidangnya adalah Kitab Ta’wil al-Qur’an, Kitab Ma’khuz al-Syara’I, Kitab al-Jadal, Kitab al-Ushul fi Ushul al-Din, Kitab al-Maqalat fi al-Kalam, Kitab al-Tauhid, kitab al-Radd Awa’il al-Abdillah li al-Ka’bi, Kitab Radd Tahdzib al-Jadal Li al-Ka’bi, kitab Radd al-Ushul al-Khamsah Li Abi Muhammad al-Bahili, Radd Kitab al-Imamah Li Ba’dhi al-Rawafidh dan al-Radd Ala al-Qaramihah.[6]

Pokok-pokok Ajaran Aliran Almatrudiyah
  • 1). Sifat-sifat Tuhan
Dalam soal sifat-sifat Tuhan terdapat persamaan antara al-Asy’ari dan al-Matuiridi. Baginya Tuhan juga mempunyai sifat-sifat. Maka menurut pendapatnya, Tuhan mengetahui bukan dengan zat-Nya, tetapi mengetahui dengan Pengetahuan-Nya dan berkuasa bukan dengan zat-Nya.[7]
  • 2). Kebebasan Manusia
Dalam soal perbuatan manusia, al-Maturidi sependapat dengan golongan Mu’tazilah bahwa manusia yang mewujudkan perbuatan-perbuatannya.[8] Dengan demikian ia mempunyai faham qadariyah dan bukan faham jabariyah atau kasb Asy’ari.
  • 3). Al-Shalah wa al-Ashlah
Sama dengan al-Asy’ari, al-Maturidi menolak ajaran mu’tazilah tentang al-Shalah wa al-Ashlah. Al-Maturidi berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu.[9]
  • 4). Pelaku Dosa Besar
Mengenai soal dosa besar al-Maturidi sefaham dengan al-Asy’ari yaitu bahwa orang yang berdosa besar masih tetap mukmin, dan soal dosa besarnya akan ditentukan Tuhan kelak di akhirat.[10] Ia pun menolak faham posisi menengah kaum Mu’tazilah.
  • 5). Janji dan Ancaman
Dalam soal al-Wa’ad wa al-Wa’id al-Maturidi sepaham dengan Mu’tazilah. Janji-janji dan ancaman-ancaman Tuhan, tak boleh tidak mesti terjadi kelak.[11]
  • 6). Kalam Allah
Al-Maturidi sepaham dengan al-Asy’ari bahwa kalam Allah itu qadim.[12] Dalam pendapatnya juga al-Maturidi menjelaskan bahwa kalam Allah itui terbagi dalam dua bentuk, pertama; kalam nafsi yaitu kalam yang ada pada zat inilah yang bersifat qadim. Kalam nafsi menjadi sifat Tuhan sejak zaman azali dan manusia tidak dapat mengetahui hakikatnya. Kemudian yang kedua adalah kalam lafdzi, yaitu kalam yang tersusun dari huruf dan suara. Kalam inilah jenis kalam manusia.[13]
  • 7). Anthropomorphisme
Al-Maturidi sepaham dengan mu’tazilah bahwa Tuhan tidak dapat dikatakan memiliki sifat-sifat jasmani. Jika ada ayat-ayat al-Qur’an yang menggambarkan bahwa Tuhan memliki sifat-sifat jasmani, maka ia harus ditakwilkan.[14]
  • 8). Keadilan Tuhan
Dalam hal ini al-Maturidi sepaham dengan Mu’tazilah bahwa perbuatan manusia bukanlah perbuatan Tuhan, akan tetapi perbuatan manusia sendiri. Jika manusia dihukum atas perbuatan yang dikehendakinya dan dilakukan bukan dengan paksaan, tetapi dengan kebebasan yang diberikan Tuhan kepadanya. Maturidi Bukhara berpendapat bahwa perbuatan manusia atas kehendak Tuhan.[15]
  • 9). Kewajiban Mengetahui Tuhan
Menurut Maturidi, akal bisa mengetahui kewajiban untuk mengetahui Tuhan, seperti yang diperintahkan oleh Allah dalam al-Qur’an untuk menyelidiki langit, bumi, dan lain-lain. Akan tetapi meskipun akal semata-mata sanggup mengetahui Tuhan, namun ia tidak sanggup mengetahui dengan sendirinya hukum taklifi.[16]
  • 10). Melihat Tuhan di Akhirat
Dalam persoalan ini, Maturidi sepaham dengan Asy’ari bahwa Tuhan akan dapat dilihat oleh manusia dengan mata kepala di akhirat nanti. Karena sesuatu yang dilihat itu adalah yang wujud. Al-Bazdawi menegaskan bahwa Tuhan dapat dilihat sungguhpun tidak mempunyai bentuk, tidak mengambil tempat dan tidak terbatas.
  • 11). Peran Akal dan Fungsi Wahyu
Dalam persoalan akal dan fungsi wahyu ada dua pokok yang dibicarakan, pertama mengenai Tuhan dan kedua mengenai baik dan jahat. Persoalan pertama terbagi dua yaitu mengenai Tuhan dan mengenai kewajiban Tuhan. Dan masalah kedua juga terbagi dua yaitu mengetahui baik dan buruk dan kewajiban mengerjakan perbuatan baik dan menjauhi perbuatan jahat.[17]

Bagi al-Maturidi, akal dapat mengetahui tiga persoalan pokok yaitu mengenai Tuhan, kewajiban mengetahui Tuhan dan mengetahui baik dan yang jahat. Sedangkan kewajiban berbuat baik dan menjauhi kejahatan hanya dapat diketahui melalui wahyu.[18]

Kesimpulan

1. Aliran al-Maturidi muncul sebagai bentuk perlawanan/ reaksi terhadap paham Mu’tazilah yang sama halnya dengan al-Asy’ari dan muncul hampir bersamaan dengan menurunnya popularitas ajaran Mu’tazilah dikalangan khalifah Abbasiyah.

2. Nama lengkap Al-Maturidi adalah Imam Muhammad bin Muhammad bin Mahmud Al-Hanafi Al-Mutakallimun Abu Mansur Al-Maturidi Al-Samarkandi. Dia lahir di Maturid, dan diperkirakan pada pertengahan abad ke-3 hijriyah. Tetapi wafat Al- Maturidi, disebutkan oleh banyak referensi adalah pada tahun 333 hijriyah. Al-Maturidi adalah pendiri aliran Maturidiyah dan seorang ahli fiqih mazhab Hanafi.

3. Pokok-pokok ajarannya

a. Sifat-sifat Tuhan; Tuhan mempunyai sifat-sifat.

b. Kebebasan manusia; Manusia yang mewujudkan perbuatannya.

c. Al-Shalah wa as-Ashlah; Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu.

d. Pelaku dosa besar; Orang yang berdosa besar tetap mukmin dan dosa besarnya akan ditentukan Tuhan kelak di akhirat.

e. Janji dan ancaman; Janji-janji dan ancaman-ancaman Tuhan tak boleh tidak, mesti terjadi kelak.

f. Kalam Allah; kalam Allah itu Qadim.

g. Anthropomorphisme; Tuhan tidak dapat dikatakan memiliki sifat-sifat jasmani.

h. Keadilan Tuhan; Perbuatan manusia bukanlah perbuatan Tuhan, akan tetapi perbuatan manusia itu sendiri.

i. Kewajiban mengetahui Tuhan; Akal bisa mengetahui kewajiban untuk megetahui Tuhan.

j. Melihat Tuhan di akhirat; Tuhan akan dapat dilihat oleh manusia dengan mata kepala sendiri.

k. Peran akal dan fungsi wahyu; Mengenai Tuhan dan mengenai baik dan buruk.


DAFTAR PUSTAKA

Amin, Ahmad. Dhuhrul Islam, (Kairo: Maktabah al-Nahdah al-Misriyah), 1964

Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Islam, Jilid 3 (Jakarta: Ichtiar baru Van Hoeve), 1994

Hanafi, Ahmad. Teologi Islam (Ilmu Kalam), (Cet.XII; Jakarta: Bulan Bintang), 2001

Hasan, Muhammad Tholhah. Ahlu Sunnah Wal-jama’ah Dalam Persepsi Dan Tradisi NU, (Cet.III; Jakarta: Lantabora Press), 2005

Nasution, Harun. Teologi Islam; Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Cet.V; Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia), 1986

Zahrah, Imam Muhammad Abu. Aliran Politik dan Aqidah Dalam Islam, (Cet.I; Jakarta: Logos), 1996

Th.Housman,M. et.al, First Ensiklopedia Of Islam 1913-1916, Vol. V (Leiden: E.J.Brill), 1987

Catatan Kaki

[1] Ahmad Hanafi, Teologi Islam (Ilmu Kalam), (Cet.XII; Jakarta: Bulan Bintang, 2001), h.79

[2] Ahmad Amin, Dhuhrul Islam, (Kairo: Maktabah al-Nahdah al-Misriyah, 1964), h. 91

[3] M.Th.Housman, et.al, First Ensiklopedia Of Islam 1913-1916, Vol. V (Leiden: E.J.Brill, 1987), h.414
[4] Op. cit, h.78

[5] Muhammad Tholhah Hasan, Ahlu Sunnah Wal-Jama’ah Dalam Persepsi Dan Tradisi NU, (Cet.III; Jakarta: Lantabora Press, 2005), h. 24

[6] Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Islam, Jilid 3 (Jakarta: Ichtiar baru Van Hoeve, 1994), h. 207

[7] Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-aliran Sejarah Analissa Perbandingan, (Cet.V; Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986), h. 76

[8] Ibid, h. 77
[9] Ibid, h. 77

[10] Ibid, h. 77
[11] Ibid, h. 77

[12] Ibid, h. 146
[13] Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Op.cit, h. 130
[14] Harun Nasution, Op.cit, h. 206
[15] Ibid, h. 127
[16] Ibid, h. 130

[17] Ibid, h. 80
[18] Ibid, h. 89-90

Subscribe to receive free email updates: