Mata Kuliah Hukum Tata Negara Islam Sistem Pemerintahan Bani Umayyah Dlm Kaitannya dengan Pengangkatan Khalifah Menggunakan Sistem
A. PENDAHULUAN
Khilafah bani umayyah didirikan oleh muawiyah bin abi sofyan. Pemerintahan ini yang pada awalnya bersifat demokratis berubah menjadi monarchihelidetis (kerajaan yang turun temurun). Kekhalifahan muawiyyah diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan pemilihan ataupun dengan cara suara terbanyak. Muawiyyah tetap menggunakan istilah khilafah, namun dia memberikan interpretasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut. Dia menyebutkan khalifah Allah dalam pengertian “penguasa” yang diangkat oleh Allah.
Masa pemerintahan umayah – 90 tahun
Masa kekuasaan = 41-132 H (661-750 M)
Pusat pemerintahan – dipindah ke Damaskus
Jumlah khalifah = 14 khalifah
Khalifah pertama = Muawiyyah bin Abi Sufyan
Khalifah terakhir = Marwan II
B. MASA KEKUASAAN MUA'WIYYAH
Politik pemerintaha seperti ini dimulai dengan masa kekuasaan Muawiyyah. Imam as-Zuhri menyatakan bahwa pada masa Rasululah saw dan khulafaurrosyidin yang empat, berlaku hokum bahwa seorang kafir tidak mewarisi seorang muslim dan demikian pula seorang muslim tidak mewarisi seorang kafir. Tapi Muawiyyah, pada masa pemerintahannya, telah bertindak mewariskan seorang muslim dari seorang kafir tapi tidak mewariskan seorang kafir dari seorang muslim. Ketentuan yang berupa bid’ah (sesuatu yang diada-adakan dalam agama) ini telah dibatalka kemudian oleh Umar bin Abdul Aziz, dimasa pemerintahannya, namun Hisyam bin Abdul Malik telah mengembalikan sebagaimana keadaannya yang semula, yakni seperti di masa Mu’awiyyah.
Ibnu Katsir berkata bahwa Mu’awiyyah juga telah mengganti Sunnah Rasul saw. Dan para Khulafaurrosyidun dalam urusan diyat (denda) pembunuhan terhadap seorang non-Muslim yang telah mengikat perjanjian dengan Negara islam, jumlahnya sama dengan diyat seorang muslim. Tapi Mu’awiyyah menguranginya sampai setengahnya dan ia mengambil setengahnya yang lain bagi dirinya sendiri.
Dan masih ada lagi bid’ah yang buruk lainnya muncul di masa Mu’awiyyah, yaitu bahwa Mu’awiyyah sendiri dan para pejabatnya yang lain, dengan perintahnya, melaksanakan kebiasaan mengumpat dan mencaci pribadi Sayyidina Ali dalam pidato-pidato mereka di atas mimbar-mimbar kaum muslimin. Bahkan, lebih dari itu, mereka melaknatnya sedangkan ia adalah anggot kerabat Rasulullah yang paling cintai dan paling dekat dengan hati beliau yang suci, dari atas mimbar Masjid Nabawi dan di depan Raudhah nabawiyyah, disaat-saat putra-putra sayidina Ali dan kerabatnya yang terdekat mendengar kutukan-kutukan ini dengan teling-telinga mereka.
Mengumpat seseorang setelah wafatnya adalah hal yang berlawanan dengan akhlak kemanusiaan, apalagi dengan syari’at. Oleh karena itu ketika Umar bin Abdul aziz memegang kekuasaan, ia segera menggantikan kebiasaan ini, sebagaimana ia telah mengganti kebiasaan-kebiasaan buruk lainnya yang telah dilaksanakan dan kebiasaan dan dibiasakan oleh keluarganya (bani Umayyah). Maka ia pun melarang pelaknatan terhadap sayidina Ali dan, sebagai penggantinya, ia memerintahkan agar dibacakan ayat-ayat Al-Qur’an yang suci : “sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan dan memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang kamu dari perbuatan keji, jenubfjarab dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil” (QS. 16 : 90).
Demikian pula Mu’awiyyah telah melanggar kitab Allah dan sunnah Rasul dengan pelanggaran yang nyata-nyatanya dalam soal pembagian harta rampasan perang. Kitab Allah dan sunah Rasul-Nya, keduanya menetapkan keharusan menyetorkan seperlima harta rampasan perang itu ke baitul maal dan pembagian empat perlima sisanya di antara anggota tentara yang telah terjun dalam perang dan ikut dalam pertempuran. Tapi mu’awiyyah telah memerintahkan agar emas dan perak hasil rampasan perang itu disisihkan. Kemudian ia mengambilnya untuk dirinya sendiri. Baru setelah itu, ia membagi-bagi sisa harta itu sesuai dengan aturan syari’at.
Demikian pula, demi tujuan-tujuan politisnya, mu’awiyyah telah melakukan pelanggaran terhadap salah satu hal penting yang tidak diragukan dalam syariat yang suci. Yaitu ketika ia menasabkan Ziyad bin Sumarriyah sebagai saudaranya dan menghubungkannya dengan nasab mu’awiyyah sendiri.
Karena itulan, maka ummul mukminin ummu habibah isteri Nabi Muhammad. Dengan tegas menolak mengakuio ziyad sebagai saudaranya, dan oleh sebab itu pula ia tidak mau bertemu dengannya tanpa hijab.
Demikian pula mu’awiyyah telah menjadikan pejabat-pejabatnya kebal hukum dan ia menolaknya dengan penolakan yang keras untuk meminta pertanggungjawaban mereka sesuai hokum-hukum syariat atas perbuatan aniaya dan pelanggaran batas yang mereka lakukan. Pada suatu peristiwa, pejabatnya di kota Bashrah, Abdullah bin Amr bin Ghilan. Berpidato di masjid, lalu ia dilempari batu oleh seseorang dan iapun memerintahkan para pengawalnya untuk menangkap orang itu dan memotong tangannya. Meskipun syariat tidak memandang perbuatan itu sebagai suatu kejahatan yang pelakunya dihukum dengan potongan tangan. Orang itu kemudian memohon pertolongan muawiyyah. Tapi Muawiyyah berkata kepadanya : “tidak ada jalan untuk menuntut bawals dari wakil-wakilku. Tapi aku akan memberimu diyat (denda hukuman) atas kejahatan tersebut.” Dan iapun membayarkan diyat itu kepadanya. Dari baitul-maal.
Setelah semuanya ini, Mu’awiyah mengutus orang ini pula (Busr bin Abi Arthaah) sebagai pemimpin satu pasukan ke negeri Hamadan yang pada nmasa itu masih berada di bawah kekuasaan Sayyidina Ali, dan ia pun melakukan, di samping kezaliman-kezalimannya yang lain, suatu perbuatan aniaya yang besar sekali dengan memperbudak kaum wanita muslimat yang ditangkap pada peperangan itu.padahal syari’at Islam tidak membenarkan perbuatan seperti ini sama sekali.
Dan semua itu seakan-akan merupakan pengumuman dan izin bagi para pejabat dan para jendral bentuk, dengan kebebasan sepenuhnya, melakukan terror terhadap rakyat dan tidak mengikuti suatu batasan apa pun diantara batas-batasan syari’ah dalam urusan-urusan pemerintahan. Demikian pula, di masa itu tersebar luaslah cerita-cerita tentang pemenggalan kepala-kepala manusia dan mengirimkannya dari suatu tempat ke tempat lain, sebagaimana tersebar dikalangan kaum muslimin cara-cara pembunuhan yang paling keji, pelanggaran kehormatan jasad-jasad orang mati, pencincagan dan sebagainya yang memang sudah terkenal dalam masa jahiliyah dan diharamkan oleh Islam secara keras dan telah dihentikannya sama sekali.
Kepala pertama yang dipenggal dalam islam ialah kepala Ammar bin Yasir r.a. yang kedua, setelah itu, ialah Amr bin Hamk, ia termasuk seorang sahabat Rasulullah saw, namun ia juga termasuk diantara orang-orang yang ikut dalam pembunuhan Sayyidina Usman.
Dan mereka melakukan tindakan yang biadab seperti itu pula terhadap Muhammad bin Abi Bakr (putra Abubakar as-Siddiq r.a.) di Mesir. Pada waktu itu ia adalah wali negeri Mesir yang ditunjuk oleh Ssayyidina Ali. Dan ketika Mu’awiyah berhasil menguasai negeri itu, ia pun membunuhnya kemudian meletakkan jasadnya dalam perut bangkai seekor himar dan kemudian membakarnya.
Perlakuan terhadap Abdullah bin Zubair dan kawan-kawannya, Abdullah bin Shafwan dan Umarah bin Hazm, lebih keji lagi dan lebih mirip perbuatan jahiliyah. Kepala-kepala mereka dipenggal dan dikirim dari Makkah ke Madinah kemudian ke Damsyik dan pertontonkan di setiap tempat, jasad-jasad mereka digantungkan beberapa hari di atas tiang-tiang gantungan di Makkah sampai membusuk.
Tanpa memandang kejahatan yang telah diperbuat dengan jasad orang-orang itu setelah mereka mati dan betapa orang-orang itu adalah orang-orang yang besar dan berjasa, pertanyaan yang perlu diajukan ialah:”apakah Islam membolehkan perbuatan keji seperti itu, bahkan terhadap seorang kafir pun?!”
C. KESIMPULAN
Masa Khilafah Rosyidah (Khilafah yang adil dan bijaksana) merupakan suatu nikmat terbesar yang dimanifestasikan dalam system Pemerintahan teladan dan tidak ada tandingannya.
Pada masa sesudahnya, khususnya pada masa dinasti Bani Umayyah, mereka telah merubah system pemerintahan dari khilafah menjadi system kerajaan. Diantaranya yaitu:
- Perubahan aturan pengangkatan Khalifah
- Perubahan cara hidup para Khulafa
- Perubahan KOndisi Baitul mal
- Hilangnya kemerdekaan mengeluarkan pendapat
- hilangnya kebebasan peradilan
- Berakhirnya pemerintahan berdasarkan musyawarah
- Munculnya kefanatikan kesukuan/Ashobiyah Qoumiyah
- Hilangnya kekuasaan Hukum.
D. BUKU-BUKU REFERENSI
- Abul A’la Al-Maududi “KHILAFAH DAN KERAJAAN” yentang evaluasi kritis atas sejarah dan pemerintahan Islam, Penerbit MIZAN,Bandung 1994.
- Dr Badri Yatim.M.A, SEJARAH PERADABAN ISLAM,Di terbitkan : PT Raja Grafindo persada, Jakarta,2001
- As-Syuyuti, tarikh al-Khulafa, al-Hukumiyah Lahore, Pakistan, 1370 H .