Manusia adalah hamba Allah (abdullah) dan sekaligus pemimpin (khalifatullah filardh). Sebagai hamba, kewajibannya adalah beribadah, mengabdi kepada Allah SWT, menjalankan semua perintahNya dan menjauhi Segala laranganNya. Sebagai khalifah, tugasnya adalah meneruskan risalah kenabian, yaknii mengelola bumi dan seisinya. Keduanya terkait, tidak terpisah, dan saling menunjang. Mencapai salah satunya. Dengan mengabaikan yang lain, adalah kemustahilan. Keduanya juga terikat oleh konteks kesejarahan yang senantiasa bergeser. Inilah amanah suci setiap insan.
Kristalisasi pemikiran keagamaan yang menggejala dalam bentuk kesatuan antara pengalaman dan pengamalan yang tak terpisahkan antara unsur Iman, Islam dan Ihsan dalam sistem keberagamaan lazim disebut Ahlussunah Wal Jama’ah (Aswaja).
Apakah Aswaja hanya milik NU semata, ataukah semua aliran pemikiran dalam Islam-hususnya menyangkut aqidah-berhak menyandang predikat Aswaja? sejak dahulu hingga sekarang masih tetap dibicarakan semua kalangan paham dalam kerangka Islam-kecuali Syi’ah-Klaim ini pada dasarnya sah-sah saja, namun Aswaja memiliki ciri-ciri tertentu yang mampu mengukur keabsahan sebuah paham apakah masuk dalam kategori Aswaja atau tidak.
Secara etimologi kata Ahlussunah Wal Jama’ah terdiri dari tiga kata, yaitu: Ahli (pengikut), sunnah (jalan, tempat berlalu, ajaran) dan jamaa’ah (Kumpul, kelompok). Dalam pandangan lain kata sunah terkadang disamakan dengan “Tharekat” (jalan, ajaran), walaupun secara prinsipil keduanya terdapat perbedaan. Sunnah biasanya lebih merujuk pada sesuatu yang dinukil dari Rosulullah, sedangkan tharekat bersumber dari pada syaikh.
Dengan demikian maka Aswaja menurut bahasa diartikan sebagai pengikut/jalan kebenaran di dalam Agama yang harus ditempuh/dilewati karena telah disepakati kebenaranya oleh para mujtahid (ahlu al-haq).
satu yaitu Ahlussunah Wal Jama’ah, sebagaimana termaktub dalam sabda sucinya: “Sataftariqu Ummaty Ala Tsalatsin Wa Sab’ina Firqah, Fawahidatan Fil Jannah Wa Tsintani Wa Sab’una Fin Nar”. Qiila : “Man Hum Ya Rasulallah ?”, Qaala : “Ahlussunah Wal Jamaah”, dalam suatu riwayat “ Ma Ana Alahi Al-Yauma Wa Ashaby”. Umatku, kata Nabi, Akan berpecah belah menjadi 73 golongan, hanya satu yang akan masuk Surga, sementara yang 72 golongan akan masuk Neraka. Kemudian Para Sahabat bertanya ”Siapa yang akan masuk Surga itu Ya Rasulullah?”, Yaitu, jawab Nabi Ahlussunah Wal Jama’ah, dalam riwayat lain, yaitu kelompok yang mengikuti perilakuku dan sahabat-sahabatku sebagaimana hari ini.”. Hadits ini diriwayatkan oleh antara lain Thabrani, At-Turmudhi dan lainnya.
Atas dasar bahwa Aswaja merupakan kerangka paham yang berdasarkan kepada pernyataan Nabi tentang Islam yang benar, yaitu: Ma Ana Alahi Wa Ashaby yakni, Islam sebagaimana yang dicontohkan Rosulullah dan para sahabatnya maka kalangan NU merumuskan ajaran Aswaja sebagai sebuah ajaran keagamaan yang mendasar pada sumber Islam, yaitu Al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Rumusan Aswaja ini bukan berarti membangun agama baru namun lebih sebagai upaya penyelamat umat manusia dari kesesatan atau bid’ah, agar tetap dalam bingkai Islam sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi dan Sahabat.
Aswaja adalah golongan yang tetap dan tidak menyimpang dari Rasulullah SAW dan para sahabatnya, Golongan ini satu pendapat di dalam masalah aqidah(ushuluddien) dan hanya sedikit terdapat perbedaan dalam hal syari’ah(fiqh/furu’uddien), namun tidak terjadi saling menganggap fasiq dan sesat terhadap yang lain. Para ulama memberi batasan sederhana untuk memudahkan pengertian, bahwa Aswaja ialah golongan umat Islam yang dalam masalah aqidah mengikuti madzhab Imam Abu Hasan Al-Asy’ari (260- 324 H) dan Imam Abu Mansur Al-Maturidi (wafat : 333 H). Ini tidak berarti, bahwa kedua imam tersebut adalah yang menciptakan pertama kali ajaran aqidah Aswaja, namun kedua–duanya hanyalah mengkodifikasikanya sesuai dengan sunnah Rasulullah SAW dan thariqoh para sahabat. Bahkan Al-asy’ari dalam hal ini banyak mendasarkan pada masalah-masalah aqidah yang telah dirumuskan oleh Imam Malik dan Imam Syafi’i.
Adapun di dalam masalah syari’ah, Aswaja mengikuti rumusan yang telah dicetuskan oleh salah satu dari Imam Abu Hanifah (80–150 H), Imam Malik (91 –179 H), Imam Syafi’I (150–204H), dan Imam Ahmad Bin Hanbal (164–241), keempat Imam itu didalam berijtihad menyimpulkan hukum-hukum menggunakan dalil-dalil dari Al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas.
Kenapa mengikuti salah satu dari keempat imam tersebut? sebagaimana dikatakan oleh Imam Sholeh, karena hanya empat imam tersebut yang ajaranya dikodifikasikan secara utuh dan lengkap serta di riwayatkan secara berturut-turut dengan silsilah sanad yang langsung sampai kepada ulama muta’akhirin.
Sementara dalam masalah tasawuf (ahlak) mengikuti antara lain Imam Al –Junaid Al- Baghdadi, Imam Al- Ghazali dan Imam-imam lain yang masih dalam satu sistem pemikiran seperti Imam Abdul Qadir Al – Jailani, Imam Syuhrowardi, Imam Ma’ruf Al – Kharkhi, Imam Bahauddin Al- Naqsabandi dan lain- lain.
Adapun tentang perkembangan Aswaja di Indonesia, kiranya dapat dilihat dari sudut pengamalan ajaran Islam oleh masyarakat Indonesia terutama di pulau jawa. Kalau diamati secara lebih jauh, dapat diduga bahwa ajaran Aswaja sudah cukup lama berkembang di Indonesia, bahkan bersamaan dengan masuknya Islam di Indonesia. Para Wali penyebar Islam di Indonesia menunjukkan adalah penganut setia Aswaja, yang dilanjutkan oleh para ulama –semisal, KH. Nawawi Al-Bantani (1813 –1897), KH. Khotib Minangkabau dan ulama-ulama pesantren menjelang abad ke 19 sampai sekarang, semuanya dalam pengembangan ajaran Aswaja di Indonesia mempunyai andil yang cukup besar. Rumusan Aswaja ini dapat diperinci lagi bahwa dalam memahami agama dari sumber-sumbernya para pengikut Aswaja, terutama NU sebagai suatu ihtiar untuk membentuk kepribadian Bangsa yang bersifat suni menggunakan pendekatan atau sikap yang populis yakni sikap yang menjaga nilai nilai lama yang masih baik sembari mengambil tradisi yang lebih baik dan sesuai dengan kebutuhan, Al-Mukhafadhatu Alal Qadimis Shalih Wa Al- Akhdhu Bil Jadidil Ashlah, yakni sikap yang : Tawasuth (moderat, tidak ekstrim kanan ataupun kiri,Adamuth Thathorruf), I’tidal (selaras, adil), Tasamuh (toleran), Tawazun (seimbang antara urusan dunyawi dan ukhrowi), dan Amar Ma’ruf Nahi Munkar (fungsi kontrol, korektif, saran dan kritik).
Dalam sikap tawasuth diharapkan menjadi umat atau kelompok yang menjadi panutan, bertindak lurus, adil dan selalu menghindari sikap ekstrim (tatharruf). Dengan tasamuh diharapkan menyadari kehidupan yang heterogen, menyadari perbedaan (ihtilaf) dalam hal apaun sebagai suatu keniscayaan dan sunatullah. Dengan Tawazun, diharapkan menjadi kelompok yang memiliki keseimbangan, baik dalam pengabdiaan kepada Allah, manusia dan lingkungannya, serta pandai menyelaraskan kepentingan masa lalu, kini dan yang akan datang, Ini berarti menghargai sejarah dan berwawasan kedepan. Sementara Amar Ma’ruf Nahi Munkar, membuktikan perlunya kepekaan sosial, untuk memotivasi perbuatan baik dan mencegah semua bentuk kejahatan atau hal-hal yang menjerumuskan dan merendahkan nilai-nilai kemanusiaan.
Sikap-sikap diatas merupakan nilai-nilai yang ditawarkan oleh NU kepada Bangsa Indonesia agar mampu hidup ditengah-tengah gempuran globalisasi–westernisasi, dan tetap hidup dalam bingkai Aswaja, melalui penegakan ahlakul karimah dengan penuh rasa persahabatan, baik Islamiyah Wathaniyah maupun Basyariyah sebagai mana misi utama kerasulan Muhamad SAW sebagai rahmat sekalian alam, Rahmatan Lil ‘Alamin.
Sebagaimana ditetapkan dalam khittah 1926, Aswaja (Ahlussunnah wal jamaah) adalah cara berfikir, bersikap, dan bertindak bagi warga Nahdliyin.
Sikap dasar itu yang menjadi watak IPNU, dengan watak keislamannya yang mendalam dan dengan citra keindonesiaannya yang matang.
Cara Berfikir.
Cara berfikir menurut IPNU sebagai manifestasi ahlussunah wal jama’ah adalah cara berfikir teratur dan runtut dengan memadukan antara dalil naqli (yang berdasar al-Qur’an dan Hadits) dengan dalil aqli (yang berbasis pada akal budi) dan dalil waqi’i (yang berbasis pengalaman).
Karena itu, di sini IPNU menolak cara berpikir yang berlandaskan pada akal budi semata, sebagaimana yang dikembangkan kelompok pemikir bebas (liberal tingkers) dan kebenaran mutlak ilmu pengetahuan dan pengalaman sebagaimana yang dikembangkan kelompok pemikir materialistis (paham kebendaan).
Demikian juga IPNU menolak pemahaman zahir (lahir) dan kelompok tekstual (literal), karena tidak memungkinkan memahami agama dan kenyataan social secara mendalam.
Cara Bersikap.
IPNU memandang dunia sebagai kenyataan yang beragam. Karena itu keberagaman diterima sebagai kenyataan. Namun juga bersikap aktif yakni menjaga dan mempertahankan kemajemukan tersebut agar harmonis (selaras), saling mengenal (lita’aarofu) dan memperkaya secara budaya.
Sikap moderat (selalu mengambil jalan tengah) dan menghargai perbedaan menjadi semangat utama dalam mengelola kemajemukan tersebut. Dengan demikian IPNU juga menolak semua sikap yang mengganggu keanekaragaman atau keberagaman budaya tersebut. Pluralitas, dalam pandangan IPNU harus diterima sebagai kenyataan sejarah.
Cara Bertindak.
Dalam bertindak, Aswaja mengakui adanya kehendak Allah (taqdir) tetapi Aswaja juga mengakui bahwa Allah telah mengkaruniai manusia pikiran dan kehendak. Karena itu dalam bertindak, IPNU tidak bersikap menerima begitu saja dan menyerah kepada nasib dalam menghadapi kehendak Allah, tetapi berusaha untuk mencapai taqdir Allah dengan istilah kasab (usaha).
Namun demikian, tidak harus berarti bersifat antroposentris (mendewakan manusia), bahwa manusia bebas berkehendak. Tindakan manusia tidak perlu di batasi dengan ketat, karena akan dibatasi oleh alam, oleh sejarah. Sementara Allah tidak dibatasi oleh faktor-faktor itu. Dengan demikian IPNU tidak memilih menjadi sekuler, melainkan sebuah proses pergerakan iman yang mengejawantah dalam seluruh aspek kehidupan.