Jihad dalam Konteks Kekinian
Aksi jihat yang dilakukan oleh sebagaian umat Islam menambah corengan hitam kepada pada agama Islam sebagai “agama teroris”, mereka melaksanakan apa yang diperintahkan dalam Al-Qur’an yaitu untuk memerangi segala kekufuran dan kesyirikan di muka bumi ini. Akan tetapi jikan apa yang didapat dari hasil berjihad memerangi kekufuran dan kemusyrikan agama Islam di cap sebagai agama teroris hal itu perlu dikaji kembali sampai dimanakah umat islam memaknai jihat di jalan Allah.
Baca Juga > Islam Bukan Agama Kekerasan
Usaha optimal untuk mengendalikan hawa nafsu dalam rangka mentaati Allah atau lebih dikenal dengan (mujahadatun nafsi), seperti makna kata jihad dalam sabda Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam ;
Dari tiga puluh enam ayat al-Quran yang mengandung (sekitar) tiga puluh sembilan kata j-h-d dengan segala derivasinya, tidak lebih sepuluh ayat yang terkait dengan perang. Selebihnya kata tersebut merujuk kepada segala aktivitas lahir dan batin, serta upaya intens dalam rangka menghadirkan kehendak Allah di muka bumi ini, yang pada dasarnya merupakan pengembangan nilai-nilai moralitas luhur, mulai penegakan keadilan hingga kedamaian dan kesejahteraan umat manusia dalam kehidupan ini. Pemaknaan ini didukung sepenuhnya oleh Hadits Rasulullah semisal dalam Musnad Imam Ahmad yang menegaskan bahwa mujahid adalah orang yang bersungguh-sungguh melawan subyektivitas kedirian demi untuk menaati ajaran Allah.
Baca Juga > Islam Adalah Agama Yg Moderat
Dalam ungkapan lain, jihad adalah kesungguhan hati untuk mengerahkan segala kemampuan untuk membumikan nilai-nilai dan ajaran Islam dalam kehidupan. Pada tataran ini, beribadah dengan tulus dan penuh kesungguhan serta interaksi sesama manusia yang dijalani dengan jujur dan tulus merupakan jihad.
Dalam perspektif al-Quran dan Sunnah, perwujudannya sangat beragam dan berspektrum sangat luas menjangkau segala aktivitas selama dasar dan tujuannya berada dalam bingkai ajaran dan moralitas luhur agama.
Makna jihad menjadikan ajaran ini sebagai kekuatan simbol bagi ketekunan, kerja keras dan keberhasilan dalam sejarah Islam. Jihad merupakan ajaran yang dapat mengantarkan umat Islam sebagai khalifah Allah yang mengisi kehidupan dengan peradaban agung dalam berbagai aspeknya. Peradaban Islam dari saat ke saat adalah konkretisasi darijihad. Dari jihad semacam itu, umat Islam menggapai puncak prestasi dalam pengembangan ilmu pengetahuan –baik aqli maupun naqli –.
Sekaligus pembumiannya dalam kehidupan sepanjang sejarah yang dilalui. Namun dalam sejarah itu pula, jihad mengalami reduksi yang awalnya terkait erat dengan kondisi tertentu yang menuntut penekanan jihad padabentuk pertahanan dan pembelaan diri. Hal ini berhubungan dengan keadaan di masa sebelum hingga kedatangan Islam, di mana tanah Arab berada dalam state of war yang sejatinya juga merupakan karakteristik umum dunia sebelum abad modern. Kondisi semacam itu menjadikan tiap-tiap komunitas harus terlibat dalam peperangan untuk melindungi dan menyelamatkan diri agar tidak diserang terlebih dulu oleh kelompok lain. Saat kedatangan Islam, fenomena kehidupan semacam itu terus berlangsung menjadi bagian kehidupan umat. Dengan demikian, ketika Rasulullah dan umat Islam hijrah ke Madinah, dan mereka diizini untuk melakukan perlawanan terhadap kaum politeis, jihad dititikberatkan pada upaya mempertahankan diri dari ancaman dan serangan mereka yang terus membayang-bayangi umat Islam dari saat ke saat. Pada sisi ini, perlawanan Muslim awal itu tidak terlepas dari ayat-ayat qital atau pedang yang turun saat itu.
Menyikapi ayat pedang yang terdapat di antaranya dalam surat al-Hajj 39 dan surat al-Baqarah 190-194 itu, para ulama Sunni dan Syiah nyaris sepakat, jihad (yang berhubungan dengan qital, pen) diberlakukan untuk mempertahankan teritorial, kehidupan, dan properti. Jihad-qital dibolehkan untuk melawan invasi atau ancaman, dan diperlukan untuk menjamin kebebasan dalam dakwah Islam. Mereka juga sepakat bahwa jihad-qital harus didasarkan pada intensi yang tulus dengan tujuan semata-mata mendekatkan diri dan mengharap kerelaan Allah, serta serangannya tidak boleh mengarah kepada penduduk sipil. Konkritnya, dalam prespektif ulama moralitas luhur harus menjadi dasar dalam jihad, mulai dari awal hingga akhir, mulai dari niat, tujuan, hingga pelaksanaannya.
Pada saat yang sama mereka berbeda pendapat mengenai hubungan ayat-ayat pedang tersebut dengan ayat-ayat lain yang menjelaskan signifikansi kesabaran dan sejenisnya yang turun sebelum itu. Sebagian ulama menjelaskan, ayat-ayat pedang tersebut menaskh (menghapus) ayat-ayat yang menyerukan kesabaran, kepemaafan, dan seumpamanya sehingga ayat-ayat tersebut tidak berlaku lagi. Pendapat ini dibantah ulama lainnya dengan argumentasi bahwa ayat yang mendorong umat Islam untuk bersikap sabar –semisal ayat 109 al-Baqarah merupakan ayat muhkam yang tidakdapat dimansukh. Dalam konteks itu al-Jabiri menegaskan, ayat 106 al-Baqarah tentang nasikh-mansukh yang sering dijadikan dasar bagi ulama untuk menaskh ayat yang menyerukan kesabaran dan kepemaafaan itu sejatinya tidak bermakna naskh. Justru ayat-ayat qital dalam perspektif al-Baqarah 106 melalui ungkapan nunsiha yang berarti mengakhirkan menunjukkan bahwa perintah qital merupakan kewajiban yang pelaksanaannya diakhirkan setelah umat Islam memiliki kemampuan untuk melawan serangan kaum politeisyang menyerang umat Islam. Dengan demikian, kendati qital mendapat legitimasi, ayat-ayat mengenai keharusan umat Islam untuk berpegang pada etika-moral luhur, dan jihad dalam makna luas, tetap berlaku. Bahkan melalui pengaitan qital dengan jihad, umat Islam dituntut untuk tetap berpegang teguh dengan keluhuran akhlak kendati saat melakukan perlawanan yang bersifat fisik.
Jihat dengan mengangkat senjata pada era globalisasi ini di pandang kurang relevan dengan kondisi saat ini, karana masyarakat dunia pada era sekarang lebih beradab dibanding pada jaman jahiliyah (kebodohan). Jihad yang lebih utama dilakukan adalah jihad memerangi hawa nafsu, sebab hawa hafsu syetan lah yang menjadi penyebab terganggunya stabilitas baik nasional maupaun internasional. Peperangan baik antar Negara, suku bangsa, atau antar agama adalah timbul dari pribadi masing-masing yang meluas menjadi pertikaian mengglobal.
“Menurut penulis jihad dapat bermakna melakukan atau tidak melakukan sesuatu karena Allah”
Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Pesan-Pesan Universal Islam untuk Kemanusiaan, Terjemahan (Bandung: Mizan, 2003)
A. PendahuluanIslam kenyataan dalam era global ini sebagai agama yang termaginalkan, tertindas dan terampas hak-haknya. Hal itu merupakan pemicu bagi agamawan-agmawan yang mempunyai gairah keberagamaan yang tinggi timbul rasa ingin mengembalikan kejayaan Islam yang pernah diraih pada beberapa abad yang lalu dengan menegakkan syariat-syariat Islam satunya adalah berjihad, mereka melancarkan serangan-serangan pada kekufuran, syirik tanpa pandang bulu. Namun kadang mereka tidak menghiraukan bahwa yang menjadi sasaran dari aksi jihadnya terdapat orang-orang yang tidak berdosa, baik dari kalangan anak-anak atau dari kalangan sekeyakinan.
Aksi jihat yang dilakukan oleh sebagaian umat Islam menambah corengan hitam kepada pada agama Islam sebagai “agama teroris”, mereka melaksanakan apa yang diperintahkan dalam Al-Qur’an yaitu untuk memerangi segala kekufuran dan kesyirikan di muka bumi ini. Akan tetapi jikan apa yang didapat dari hasil berjihad memerangi kekufuran dan kemusyrikan agama Islam di cap sebagai agama teroris hal itu perlu dikaji kembali sampai dimanakah umat islam memaknai jihat di jalan Allah.
B. Pembahasan
- 1). Pengertian Jihad
Baca Juga > Islam Bukan Agama Kekerasan
Usaha optimal untuk mengendalikan hawa nafsu dalam rangka mentaati Allah atau lebih dikenal dengan (mujahadatun nafsi), seperti makna kata jihad dalam sabda Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam ;
Ketika seorang pemuda meminta izin beliau untuk berjihad dan beliau menanyakan, "Apakah kedua orang tuamu asih hidup?", ia menjawab," Ya", beliau bersabda," optimalkanlah baktimu terhadap mereka. (HR.Bukhari).Islam menegaskan, jihad selain merupakan salah satu inti ajaran Islam, juga tidak bisa disimplifikasi sebagai sinonim kata qital dan harb (perang). Sementara perang selalu merujuk kepada pertahanan diri dan perlawanan yang bersifat tindakan bersifat fisik, jihad memiliki makna yang kaya nuansa. Demikian pula, sementara qital sebagai terma keagamaan baru muncul di periode Medinah, jihad telah menjadi dasar teologis sejak periode Mekkah.
Dari tiga puluh enam ayat al-Quran yang mengandung (sekitar) tiga puluh sembilan kata j-h-d dengan segala derivasinya, tidak lebih sepuluh ayat yang terkait dengan perang. Selebihnya kata tersebut merujuk kepada segala aktivitas lahir dan batin, serta upaya intens dalam rangka menghadirkan kehendak Allah di muka bumi ini, yang pada dasarnya merupakan pengembangan nilai-nilai moralitas luhur, mulai penegakan keadilan hingga kedamaian dan kesejahteraan umat manusia dalam kehidupan ini. Pemaknaan ini didukung sepenuhnya oleh Hadits Rasulullah semisal dalam Musnad Imam Ahmad yang menegaskan bahwa mujahid adalah orang yang bersungguh-sungguh melawan subyektivitas kedirian demi untuk menaati ajaran Allah.
Baca Juga > Islam Adalah Agama Yg Moderat
Dalam ungkapan lain, jihad adalah kesungguhan hati untuk mengerahkan segala kemampuan untuk membumikan nilai-nilai dan ajaran Islam dalam kehidupan. Pada tataran ini, beribadah dengan tulus dan penuh kesungguhan serta interaksi sesama manusia yang dijalani dengan jujur dan tulus merupakan jihad.
- 2). Tujuan Jihad
Dalam perspektif al-Quran dan Sunnah, perwujudannya sangat beragam dan berspektrum sangat luas menjangkau segala aktivitas selama dasar dan tujuannya berada dalam bingkai ajaran dan moralitas luhur agama.
Makna jihad menjadikan ajaran ini sebagai kekuatan simbol bagi ketekunan, kerja keras dan keberhasilan dalam sejarah Islam. Jihad merupakan ajaran yang dapat mengantarkan umat Islam sebagai khalifah Allah yang mengisi kehidupan dengan peradaban agung dalam berbagai aspeknya. Peradaban Islam dari saat ke saat adalah konkretisasi darijihad. Dari jihad semacam itu, umat Islam menggapai puncak prestasi dalam pengembangan ilmu pengetahuan –baik aqli maupun naqli –.
Sekaligus pembumiannya dalam kehidupan sepanjang sejarah yang dilalui. Namun dalam sejarah itu pula, jihad mengalami reduksi yang awalnya terkait erat dengan kondisi tertentu yang menuntut penekanan jihad padabentuk pertahanan dan pembelaan diri. Hal ini berhubungan dengan keadaan di masa sebelum hingga kedatangan Islam, di mana tanah Arab berada dalam state of war yang sejatinya juga merupakan karakteristik umum dunia sebelum abad modern. Kondisi semacam itu menjadikan tiap-tiap komunitas harus terlibat dalam peperangan untuk melindungi dan menyelamatkan diri agar tidak diserang terlebih dulu oleh kelompok lain. Saat kedatangan Islam, fenomena kehidupan semacam itu terus berlangsung menjadi bagian kehidupan umat. Dengan demikian, ketika Rasulullah dan umat Islam hijrah ke Madinah, dan mereka diizini untuk melakukan perlawanan terhadap kaum politeis, jihad dititikberatkan pada upaya mempertahankan diri dari ancaman dan serangan mereka yang terus membayang-bayangi umat Islam dari saat ke saat. Pada sisi ini, perlawanan Muslim awal itu tidak terlepas dari ayat-ayat qital atau pedang yang turun saat itu.
Menyikapi ayat pedang yang terdapat di antaranya dalam surat al-Hajj 39 dan surat al-Baqarah 190-194 itu, para ulama Sunni dan Syiah nyaris sepakat, jihad (yang berhubungan dengan qital, pen) diberlakukan untuk mempertahankan teritorial, kehidupan, dan properti. Jihad-qital dibolehkan untuk melawan invasi atau ancaman, dan diperlukan untuk menjamin kebebasan dalam dakwah Islam. Mereka juga sepakat bahwa jihad-qital harus didasarkan pada intensi yang tulus dengan tujuan semata-mata mendekatkan diri dan mengharap kerelaan Allah, serta serangannya tidak boleh mengarah kepada penduduk sipil. Konkritnya, dalam prespektif ulama moralitas luhur harus menjadi dasar dalam jihad, mulai dari awal hingga akhir, mulai dari niat, tujuan, hingga pelaksanaannya.
Pada saat yang sama mereka berbeda pendapat mengenai hubungan ayat-ayat pedang tersebut dengan ayat-ayat lain yang menjelaskan signifikansi kesabaran dan sejenisnya yang turun sebelum itu. Sebagian ulama menjelaskan, ayat-ayat pedang tersebut menaskh (menghapus) ayat-ayat yang menyerukan kesabaran, kepemaafan, dan seumpamanya sehingga ayat-ayat tersebut tidak berlaku lagi. Pendapat ini dibantah ulama lainnya dengan argumentasi bahwa ayat yang mendorong umat Islam untuk bersikap sabar –semisal ayat 109 al-Baqarah merupakan ayat muhkam yang tidakdapat dimansukh. Dalam konteks itu al-Jabiri menegaskan, ayat 106 al-Baqarah tentang nasikh-mansukh yang sering dijadikan dasar bagi ulama untuk menaskh ayat yang menyerukan kesabaran dan kepemaafaan itu sejatinya tidak bermakna naskh. Justru ayat-ayat qital dalam perspektif al-Baqarah 106 melalui ungkapan nunsiha yang berarti mengakhirkan menunjukkan bahwa perintah qital merupakan kewajiban yang pelaksanaannya diakhirkan setelah umat Islam memiliki kemampuan untuk melawan serangan kaum politeisyang menyerang umat Islam. Dengan demikian, kendati qital mendapat legitimasi, ayat-ayat mengenai keharusan umat Islam untuk berpegang pada etika-moral luhur, dan jihad dalam makna luas, tetap berlaku. Bahkan melalui pengaitan qital dengan jihad, umat Islam dituntut untuk tetap berpegang teguh dengan keluhuran akhlak kendati saat melakukan perlawanan yang bersifat fisik.
C. PenutupPada dasarnya semua orang melakukan jihat adalah bertujuan untuk menuju jalan yang di ridloi Allah SAW, namun kadang ada sesuatu yang dilupakan yaitu sesuatu yang baik mennurut kita belum tentu baik murut Allah dan bagi sesame umat-Nya. Memaknai Al-Qur’an hanya dari segi tekstualitasnya dapat kadang tidak cocok ketika diterapkan dalam kehdiupan politik, social budaya bahkan agama. Maka dari itu dalam memaknai kitabullah harus di kaji dari sisi tekstulalias, karena dengan hal tersebut akan dapat diketahui situasi dan kondisi dimana akan diterapkan atau ditetapkan hukum sesuai dengan kultur atau budaya yang dimiliki suatu daerah.
Jihat dengan mengangkat senjata pada era globalisasi ini di pandang kurang relevan dengan kondisi saat ini, karana masyarakat dunia pada era sekarang lebih beradab dibanding pada jaman jahiliyah (kebodohan). Jihad yang lebih utama dilakukan adalah jihad memerangi hawa nafsu, sebab hawa hafsu syetan lah yang menjadi penyebab terganggunya stabilitas baik nasional maupaun internasional. Peperangan baik antar Negara, suku bangsa, atau antar agama adalah timbul dari pribadi masing-masing yang meluas menjadi pertikaian mengglobal.
“Menurut penulis jihad dapat bermakna melakukan atau tidak melakukan sesuatu karena Allah”
D. Daftar PustakaAhmad Syantut Khalid, Al-Muslimun wa At-Tarbiyah Al-‘Askariyah, Era Intermedia. Laweyan. 2006.
Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Pesan-Pesan Universal Islam untuk Kemanusiaan, Terjemahan (Bandung: Mizan, 2003)