Perkawinan Lintas Agama Menurut Islam (Fiqh Kontemporer)
PENDAHULUAN
Perkawinan adalah ekspresi percintaan yang paling beradab. Akan tetapi dua insan yang memiliki keyakinan berbeda tidak memiliki kesempatan untuk mewujudkan impiannya. Atas nama agama, perkawinan yang dilakukan antar insan yang berbeda keyakinan itupun ditentang dan dicap haram. Dengan begitu perkawinan menjadi simbol antagonisme. Semua itu hanya karena satu sebab yaitu beda agama.
Islam melarang adanya perkawinan lintas agama dan ini dinarasikan secara sistematis, sejak dari Al-Quran, penafsiran Al-Quran sampai fiqih sebagai praktik hukumnya. Hal ini dikarenakan adanya mafsadah-mafsadah yang dikhawirkan oleh banyak pihak.
PEMBAHASAN
Menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dalam pasal 1 merumuskan pengertian perkawinan adalah sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perjanjian dalam perkawinan ini mengandung tiga (3) karakter yang khusus, yaitu :
Perkawinan antar agama adalah ikatan lahir dan bathin antara seorang pria dengan seorang wanita yang karena berbeda agama menyebabkan tersangkutnya dua peraturan yang berlainan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan perkawinan sesuai dengan hukum agamanya masing-masing dengan tujuan untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
a). Laki-laki muslim dengan perempuan ahli kitab.
Pada dasarnya laki-laki muslim diperbolehkan mengawini perempuan ahli kitab berdasarkan pengkhususan QS al-Maidah: 5 Allah berfirman yang Artinya : Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik, makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat Termasuk orang-orang merugi.
Dapat dikatakan bahwa ayat-ayat tersebut adalah umum dan ditakhsisoleh surat al-Maidah: 5, atau bahwa kata-kata musyrikat ini tidak meliputi Ahli Kitab sama sekali menurut bahasa Al-Qur’an.
Pengertian ahli kitab ini disini mengacu pada 2 agama besar sebelum islam, yakni Yahudi dan Nasrani. Ibnu Rusyd menulis bahwa para ulama sepakat akan kehalalan mengawini perempuan ahli kitab dengan syarat ia merdeka. Sedangkan mengenai ahli kitab yang budak dan ahli kitab yang berstatus tawanan para ulama berbeda pendapat.
Ibnu Munzhir berkata: Tidak ada dari sahabat yang mengharamkan (laki-laki muslim mengawini perempuan ahli kitab).
Adapun pendapat fuqaha 4 madzhab sunni adalah sebagai berikut:
Bahkan tidak dimakruhkan sama sekali, hal ini di dasrakan pada surat al-Maidah ayat 5. Dengan syarat perempuan ahli kitab itu merdeka (tidak budak), karena lafazh al-muhshanaat yang dimaksudakan adalah perempuan merdeka
2). Perempuan muslim dengan laki-laki nonmuslim.
Semua ulama bersepakat bahwa perempuan muslimah tidak diperbolehkan (haram) kawin dengan laki-laki non muslim, baik ahli kitab maupun musyrik. Pengharaman tersebut selain didasarkan pada surat al-Baqarah : 221 juga didasarkan pada surat al Mumtahanah: 10.
Artinya: Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.(QS.Albaqarah:221), yang Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman Maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.(QS. Mumtahanah:10)
Asy-Sayyid Sabiq menyebutkan beberapa argumen tentang diharamkannya wanita muslimah menikah dengan laki-laki nonmuslim sebagai berikut:
Orang kafir tidak boleh menguasai orang Islam, hal ini didasarkan pada surat an-Nisa’: 141, yang Artinya: (yaitu) orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada dirimu (hai orang-orang mukmin). Maka jika terjadi bagimu kemenangan dari Allah mereka berkata: "Bukankah Kami (turut berperang) beserta kamu?" dan jika orang-orang kafir mendapat keberuntungan (kemenangan) mereka berkata: "Bukankah Kami turut memenangkanmu, dan membela kamu dari orang-orang mukmin?" Maka Allah akan memberi keputusan di antara kamu di hari kiamat dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.
Para ulama sepakat mengharamkan laki-laki muslim menikah dengan perempuan penyembah berhala (musyrik). Perempuan musyrik disini mencakup penyembah berhala (al-watsaniyyah), ateis (zindiqiyyah), perempuan murtad, penyembah api dan sebagainya.
Satu hal membedakan antara perempuan musyrik dengan perempuan ahli kitab, menurut As-Sayyid Sabiq adalah bahwa perempuan musyrik tidak memiliki agama yang berkhianat, mewajibkan berbuat amanah, memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran. Apa yang dikerjakan dan pergaulannya dipengaruhi ajaran-ajaran kemusyrikan yakni khurafat dan spekulasi (teologis) atau lamunan dan bayangan yang dibisikkan syetan. Inilah yang bisa menyebabkan ia mengkhianati suaminya dan merusak akidah anak-anaknya. Sementara perempuan ahli kitab mengimani Allah dan menyembahnya, beriman kepada nabi, hari akhirat dan menganut agama yang mewajibkan berbuat baik dan mengharamkan kemungkaran.
4). Laki-laki muslim dengan perempuan Shabi’ah, Majusi dan lainnya.
Selain menyebut yahudi dan nasrani, Al-Qur’an juga beberapa kali menyebutkan pemeluk agama Shabi’ah (QS al-Baqarah: 62, QS al-Maidah: 69, al-Hajj: 17), majusi (QS al-Hajj: 17), serta orang-orang yang berpegang pada suhuf (lembaran kitab suci).
Penyebutan agama-agama ini mungkin sangat terkait dengan agama-agama yang pernah berkembang dan dikenal dalam masyarakat Arab pada saat itu. Al-Qur’an mungkin tidak pernah bersentuhan dengan pengalaman masyarakat Asia Timur (India-Cina) secara langsung, maka agama-agama semisal Hindu, Budha atau Konghucu tidak terakomodasi. Penyebutan agama-agama diatas dalam Al-Qur’an timbul pertanyaan: bagaimana hukumnya seorang laki-laki mengawini perempuan perempuan pemeluk agama tersebut ?
Mengenai perempuan Shabi’ah para Fuqaha madzhab Hanafi berpendapat bahwa mereka sebenarnya termasuk ahli kitab hanya saja kitabnya sudah disimpangkan dan palsu. Mereka disamakan dengan pemeluk yahudi dan nasrani sehingga laki-laki mukmin boleh mengawininya. Sedangkan para Fuqaha Syafi’iyah dan Hanbaliyah membedakan antara ahli kitab dan penganut agama Shabi’ah. Menurut mereka orang-orang yahudi dan nasrani sependapat dengan Islam dalam hal-hal pokok agama yaitu membenarkan rasul-rasul dan mengimani kitab-kitab Allah. Barang siapa yang berbeda darinya dalam hal pokok-pokok agama (termasuk Shabi’ah) maka ia bukanlah termasuk golongannya. Oleh karena itu, hukum mengawininya juga seperti mengawini penyembah berhala yakni haram.
Adapun mengawini perempuan Majusi Abdurrahman bin Auf berkata: “Perlakukanlah mereka (pemeluk Majusi) seperti memperlakukan Ahli kitab.” Logikanya mereka bukan ahli kitab dan haram mengawininya. Tetapi Abu Tsur berependapat bahwa mengawini perempuan Majusi adalah halal karena agama mereka juga diakui dengan diberlakukannya membayar jizyah (pajak) sebagaimana yang diberlakukan kepada orang yahudi dan nasrani.
Sementara mengawini perempuan yang berkitab diluar yahudi, nasrani, majusi dan shabi’ah juga ada dua (2) pendapat. Pertama, Menurut Ulama madzhab Hanafi menyatakan barang siapa memeluk agama samawi dan baginya suatu kitab suci seperti suhuf Ibrahim dan Dawud maka adalah sah mengawini mereka selagi tidak syirik. Karena mereka berpegang pada sebuah kitab Allah maka dipersamakan dengan orang yahudi dan nasrani. Sedangkan Kedua, Menurut ulama madzhab Syafi’i dan Hanbali tidak membolehkan, alasannya karena kitab-kitab tersebut hanya berisi nasehat-nasehat dan perumpamaan-perumpamaan, serta sama sekali tidak memuat hukum sehingga tidak disebut kitab hukum.
Pengaturan mengenai perkawinan antar agama
menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
Menurut pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut yaitu perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Yang dimaksud dengan hukum agamanya dan kepercayaannya itu termasuk juga ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya tersebut sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Hal ini berarti undang-undang menyerahkan kepada masing-masing agama untuk menentukan cara-cara dan syarat-syarat pelaksanan perkawinan tersebut disamping cara-cara dan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh negara.
Jadi apakah suatu perkawinan dilarang atau tidak, atau apakah para calon mempelai telah memenuhi syarat-syarat atau belum disamping tergantung kepada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan juga ditentukan oleh hukum agamanya masing-masing.
Pasal 8 (f) UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku , dilarang kawin.
Dari ketentuan pasal 8 (f) tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa disamping ada larangan-larangan yang secara tegas disebutkan didalam UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan peraturan-peraturan lainnya juga ada larangan-larangan yang bersumber dari hukum masing-masing agamanya.
Oleh karena didalam UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan tidak terdapat adanya larangan terhadap perkawinan antar agama, maka tahap terakhir yang menentukan ada tidaknya larangan terhadap perkawinan antar agama tersebut adalah hukum agama itu sendiri. Berdasarkan pasal 2 ayat (1) jo 8 (f) UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, dapat disimpulkan bahwa untuk menentukan diperbolehkan atau tidaknya perkawinan antar agama tergantung kepada hukum agama itu sendiri. Pembuat undang-undang agaknya menyerahkan persoalan tersebut sepenuhnya kepada ketentuan agama masing-masing pihak
Dari UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, dapat disimpulkan bahwa untuk menentukan diperbolehkan atau tidaknya perkawinan antar agama tergantung kepada hukum agama itu sendiri. UU menyerahkan sepenuhnya pada agama tentang perkawinan antar agama tersebut
PUSTAKA
Suhadi, 2006, Kawin Lintas Agama, Yogyakarta, LkiS
Ridlo Rosyid, Tafsir al Manar juz 6, Darul Fikr, Beirut Libanon
Qardhawi Yusuf, 1995, Fatwa Fatwa Kontemporer jilid 1, Jakarta, Gema Insani Press.
[1] Yusuf Qardlawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer jilid 1, hal 586
[2] Dr. Irwan Abdullah, Kawin Lintas Agama, hal 41
[3] Ibid hal 43
PENDAHULUAN
Perkawinan adalah ekspresi percintaan yang paling beradab. Akan tetapi dua insan yang memiliki keyakinan berbeda tidak memiliki kesempatan untuk mewujudkan impiannya. Atas nama agama, perkawinan yang dilakukan antar insan yang berbeda keyakinan itupun ditentang dan dicap haram. Dengan begitu perkawinan menjadi simbol antagonisme. Semua itu hanya karena satu sebab yaitu beda agama.
Islam melarang adanya perkawinan lintas agama dan ini dinarasikan secara sistematis, sejak dari Al-Quran, penafsiran Al-Quran sampai fiqih sebagai praktik hukumnya. Hal ini dikarenakan adanya mafsadah-mafsadah yang dikhawirkan oleh banyak pihak.
PEMBAHASAN
A.Definisi perkawinanPerkawinan yang istilah agama disebut nikah ialah melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antar kedua belah pihak, dengan dasar sukarela dan keridhaan kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman dengan cara-cara yang di ridhai oleh Allah SWT.
Menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dalam pasal 1 merumuskan pengertian perkawinan adalah sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perjanjian dalam perkawinan ini mengandung tiga (3) karakter yang khusus, yaitu :
- Perkawinan tidak dapat dilakukan tanpa unsur sukarela dari kedua belah pihak.
- Kedua belah pihak yang mengikat persetujuan perkawinan itu saling mempunyai hak untuk memutuskan perjanjian tersebut berdasarkan ketentuan yang sudah ada hukum-hukumnya.
- Persetujuan perkawinan itu mengatur batas-batas hukum mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak.
Perkawinan antar agama adalah ikatan lahir dan bathin antara seorang pria dengan seorang wanita yang karena berbeda agama menyebabkan tersangkutnya dua peraturan yang berlainan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan perkawinan sesuai dengan hukum agamanya masing-masing dengan tujuan untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
B. Hukum nikah beda agama dalam fiqihSecara umum dari penjelasan diatas terdapat hukum tentang pengharaman perkawinan muslim dengan non muslim. Hanya ada beberapa pengecualian terutama akibat ketentuan khusus dari QS al-Maidah ayat 5, menjadikan pergeseran dari tingkat hukum haram menjadi makruh, mubah, atau lainnya.
a). Laki-laki muslim dengan perempuan ahli kitab.
Pada dasarnya laki-laki muslim diperbolehkan mengawini perempuan ahli kitab berdasarkan pengkhususan QS al-Maidah: 5 Allah berfirman yang Artinya : Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik, makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat Termasuk orang-orang merugi.
Dapat dikatakan bahwa ayat-ayat tersebut adalah umum dan ditakhsisoleh surat al-Maidah: 5, atau bahwa kata-kata musyrikat ini tidak meliputi Ahli Kitab sama sekali menurut bahasa Al-Qur’an.
Pengertian ahli kitab ini disini mengacu pada 2 agama besar sebelum islam, yakni Yahudi dan Nasrani. Ibnu Rusyd menulis bahwa para ulama sepakat akan kehalalan mengawini perempuan ahli kitab dengan syarat ia merdeka. Sedangkan mengenai ahli kitab yang budak dan ahli kitab yang berstatus tawanan para ulama berbeda pendapat.
Ibnu Munzhir berkata: Tidak ada dari sahabat yang mengharamkan (laki-laki muslim mengawini perempuan ahli kitab).
Adapun pendapat fuqaha 4 madzhab sunni adalah sebagai berikut:
- Madzhab Hanafi
- Madzhab Maliki
- Mengawini perempuan ahli kitab baik di dar al-harb maupun dzimmiyah hukumnya makruh mutlak. Hanya saja kemakruhan yang di dar al-harb kualitasnya lebih berat.
- Memandang tidak makruh mutlak sebab dzohir/membolehkan secara mutlak. Tetapi tetap saja makruh karena digantungkan kemakruhannya berkait dengan dar al-Islam, sebab perempuan ahli kitab tetap boleh minum khamr, memakan babi dan sebagainya.
- Madzhab Syafi'i
- Calon suami tidak ada niat untuk mengajak calon istri untuk masuk Islam.
- Masih ada perempuan muslimah yang shalihah
- Apabila tidak mengawini perempuan ahli kitab ia akan terperosok kedalam perbuatan zina.
- Madzhab Hanbali
Bahkan tidak dimakruhkan sama sekali, hal ini di dasrakan pada surat al-Maidah ayat 5. Dengan syarat perempuan ahli kitab itu merdeka (tidak budak), karena lafazh al-muhshanaat yang dimaksudakan adalah perempuan merdeka
2). Perempuan muslim dengan laki-laki nonmuslim.
Semua ulama bersepakat bahwa perempuan muslimah tidak diperbolehkan (haram) kawin dengan laki-laki non muslim, baik ahli kitab maupun musyrik. Pengharaman tersebut selain didasarkan pada surat al-Baqarah : 221 juga didasarkan pada surat al Mumtahanah: 10.
Artinya: Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.(QS.Albaqarah:221), yang Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman Maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.(QS. Mumtahanah:10)
Asy-Sayyid Sabiq menyebutkan beberapa argumen tentang diharamkannya wanita muslimah menikah dengan laki-laki nonmuslim sebagai berikut:
Orang kafir tidak boleh menguasai orang Islam, hal ini didasarkan pada surat an-Nisa’: 141, yang Artinya: (yaitu) orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada dirimu (hai orang-orang mukmin). Maka jika terjadi bagimu kemenangan dari Allah mereka berkata: "Bukankah Kami (turut berperang) beserta kamu?" dan jika orang-orang kafir mendapat keberuntungan (kemenangan) mereka berkata: "Bukankah Kami turut memenangkanmu, dan membela kamu dari orang-orang mukmin?" Maka Allah akan memberi keputusan di antara kamu di hari kiamat dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.
- Laki-laki kafir dan ahli kitab tidak akan mau mengerti agama istrinya yang muslimah, malah sebaliknya mendustakan kitab dan mengingkari ajaran nabinya.
- Dalam rumah tangga campuran pasangan suami isrti tidak mungkin tinggal dan hidup bersama karena perbedaan yang jauh.
Para ulama sepakat mengharamkan laki-laki muslim menikah dengan perempuan penyembah berhala (musyrik). Perempuan musyrik disini mencakup penyembah berhala (al-watsaniyyah), ateis (zindiqiyyah), perempuan murtad, penyembah api dan sebagainya.
Satu hal membedakan antara perempuan musyrik dengan perempuan ahli kitab, menurut As-Sayyid Sabiq adalah bahwa perempuan musyrik tidak memiliki agama yang berkhianat, mewajibkan berbuat amanah, memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran. Apa yang dikerjakan dan pergaulannya dipengaruhi ajaran-ajaran kemusyrikan yakni khurafat dan spekulasi (teologis) atau lamunan dan bayangan yang dibisikkan syetan. Inilah yang bisa menyebabkan ia mengkhianati suaminya dan merusak akidah anak-anaknya. Sementara perempuan ahli kitab mengimani Allah dan menyembahnya, beriman kepada nabi, hari akhirat dan menganut agama yang mewajibkan berbuat baik dan mengharamkan kemungkaran.
4). Laki-laki muslim dengan perempuan Shabi’ah, Majusi dan lainnya.
Selain menyebut yahudi dan nasrani, Al-Qur’an juga beberapa kali menyebutkan pemeluk agama Shabi’ah (QS al-Baqarah: 62, QS al-Maidah: 69, al-Hajj: 17), majusi (QS al-Hajj: 17), serta orang-orang yang berpegang pada suhuf (lembaran kitab suci).
Penyebutan agama-agama ini mungkin sangat terkait dengan agama-agama yang pernah berkembang dan dikenal dalam masyarakat Arab pada saat itu. Al-Qur’an mungkin tidak pernah bersentuhan dengan pengalaman masyarakat Asia Timur (India-Cina) secara langsung, maka agama-agama semisal Hindu, Budha atau Konghucu tidak terakomodasi. Penyebutan agama-agama diatas dalam Al-Qur’an timbul pertanyaan: bagaimana hukumnya seorang laki-laki mengawini perempuan perempuan pemeluk agama tersebut ?
Mengenai perempuan Shabi’ah para Fuqaha madzhab Hanafi berpendapat bahwa mereka sebenarnya termasuk ahli kitab hanya saja kitabnya sudah disimpangkan dan palsu. Mereka disamakan dengan pemeluk yahudi dan nasrani sehingga laki-laki mukmin boleh mengawininya. Sedangkan para Fuqaha Syafi’iyah dan Hanbaliyah membedakan antara ahli kitab dan penganut agama Shabi’ah. Menurut mereka orang-orang yahudi dan nasrani sependapat dengan Islam dalam hal-hal pokok agama yaitu membenarkan rasul-rasul dan mengimani kitab-kitab Allah. Barang siapa yang berbeda darinya dalam hal pokok-pokok agama (termasuk Shabi’ah) maka ia bukanlah termasuk golongannya. Oleh karena itu, hukum mengawininya juga seperti mengawini penyembah berhala yakni haram.
Adapun mengawini perempuan Majusi Abdurrahman bin Auf berkata: “Perlakukanlah mereka (pemeluk Majusi) seperti memperlakukan Ahli kitab.” Logikanya mereka bukan ahli kitab dan haram mengawininya. Tetapi Abu Tsur berependapat bahwa mengawini perempuan Majusi adalah halal karena agama mereka juga diakui dengan diberlakukannya membayar jizyah (pajak) sebagaimana yang diberlakukan kepada orang yahudi dan nasrani.
Sementara mengawini perempuan yang berkitab diluar yahudi, nasrani, majusi dan shabi’ah juga ada dua (2) pendapat. Pertama, Menurut Ulama madzhab Hanafi menyatakan barang siapa memeluk agama samawi dan baginya suatu kitab suci seperti suhuf Ibrahim dan Dawud maka adalah sah mengawini mereka selagi tidak syirik. Karena mereka berpegang pada sebuah kitab Allah maka dipersamakan dengan orang yahudi dan nasrani. Sedangkan Kedua, Menurut ulama madzhab Syafi’i dan Hanbali tidak membolehkan, alasannya karena kitab-kitab tersebut hanya berisi nasehat-nasehat dan perumpamaan-perumpamaan, serta sama sekali tidak memuat hukum sehingga tidak disebut kitab hukum.
Pengaturan mengenai perkawinan antar agama
menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
- Perkawinan dianggap sah apabia diakui oleh negara. Diakui oleh negara berarti harus telah memenuhi syarat-syarat dan acara-acara yang ditentukan oleh hukum positif.
- Mengenai perkawinan antar agama apabila kita teliti pasal-pasal dan penjelasan UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, kita tidak menemukan ketentuan yang mengatur secara tegas mengenai masalah perkawinan antar agama tersebut, disamping itu apabila kita teliti maka kita hanya dapat menyimpulkan bahwa tidak ada satu pasalpun baik secara tersurat maupun tersirat yang melarang dilakukannya perkawinan antar agama.
- Mengenai pasal perkawinan tersebut hanya ada 2 pasal yang bisa dijadikan sebagai pedoman, yaitu :
Menurut pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut yaitu perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Yang dimaksud dengan hukum agamanya dan kepercayaannya itu termasuk juga ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya tersebut sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Hal ini berarti undang-undang menyerahkan kepada masing-masing agama untuk menentukan cara-cara dan syarat-syarat pelaksanan perkawinan tersebut disamping cara-cara dan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh negara.
Jadi apakah suatu perkawinan dilarang atau tidak, atau apakah para calon mempelai telah memenuhi syarat-syarat atau belum disamping tergantung kepada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan juga ditentukan oleh hukum agamanya masing-masing.
Pasal 8 (f) UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku , dilarang kawin.
Dari ketentuan pasal 8 (f) tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa disamping ada larangan-larangan yang secara tegas disebutkan didalam UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan peraturan-peraturan lainnya juga ada larangan-larangan yang bersumber dari hukum masing-masing agamanya.
Oleh karena didalam UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan tidak terdapat adanya larangan terhadap perkawinan antar agama, maka tahap terakhir yang menentukan ada tidaknya larangan terhadap perkawinan antar agama tersebut adalah hukum agama itu sendiri. Berdasarkan pasal 2 ayat (1) jo 8 (f) UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, dapat disimpulkan bahwa untuk menentukan diperbolehkan atau tidaknya perkawinan antar agama tergantung kepada hukum agama itu sendiri. Pembuat undang-undang agaknya menyerahkan persoalan tersebut sepenuhnya kepada ketentuan agama masing-masing pihak
KESIMPULAN
Masalah
Hukum
|
Hukum
|
Dasar
Hukum
|
Alasan
|
Muslim x Musyrik
|
Haram
|
Al-Baqaroh
:221
|
Beda agama
|
Muslim x Ahli
kitab
|
Boleh
|
Al-Maidah: 5
|
Sama
keyakinan
|
Muslim x Non
Muslim
|
Haram
|
Al-Baqarah:
221
|
Beda agama
|
Dari UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, dapat disimpulkan bahwa untuk menentukan diperbolehkan atau tidaknya perkawinan antar agama tergantung kepada hukum agama itu sendiri. UU menyerahkan sepenuhnya pada agama tentang perkawinan antar agama tersebut
PUSTAKA
Suhadi, 2006, Kawin Lintas Agama, Yogyakarta, LkiS
Ridlo Rosyid, Tafsir al Manar juz 6, Darul Fikr, Beirut Libanon
Qardhawi Yusuf, 1995, Fatwa Fatwa Kontemporer jilid 1, Jakarta, Gema Insani Press.
[1] Yusuf Qardlawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer jilid 1, hal 586
[2] Dr. Irwan Abdullah, Kawin Lintas Agama, hal 41
[3] Ibid hal 43