=>Teks Khutbah Jum'at Isra Mi'raj: Aktualisasi Nilai-Nilai Isra Mi'raj dalam Konteks Kehidupan Multikultural<= Salah satu peristiwa penting dalam sejarah peradaban umat Islam adalah perjalanan Isra Mi’raj yang dialami oleh Nabi Muhammad Saw. Sebuah perjalanan spiritual yang luar biasa, di mana nilai-nilai yang terpancar dari peristiwa tersebut tetap saja akan aktual sepanjang zaman. Wajar, jika kemudian setiap tanggal 27 Rajab, peristiwa Isra Mi’raj itu selalu diperingati oleh umat Islam dan dijadikan momentum untuk mengktualisasikan kembali nilai-nilai yang tekandung di dalamnya. Terlebih sekarang ini kita telah digoncang oleh berbagai kasus kekerasan dan sederet praktik de-moralisasi, mulai dari kekerasan atas nama agama, kekerasan terhadap TKI, aksiterorisme, mafia peradilan, korupsi, konflik internal partai politik, kebocoran soal, nyontek massal dan sebagainya.
Baca Juga=>Peran Masjid Sebagai Media dan Pusat Dakwah
Hemat penulis, paling tidak ada empat nilai yang fundamental yang penting dari peristiwa tersebut, yaitu: Pertama, peristiwa Isra, -yang berarti perjalanan Nabi Muhammad Saw malam hari dari Masjidil Haram Mekah ke Masjil Aqsha Palistina-, memberikan isyarat bahwa manusia perlu membangun komunikasi sosial-horisontal. Di situ, perjalanan Nabi Saw masih bersifat horisontal dari bumi ke bumi, yang disimbolkan dari masjid ke masjid, yakni masjid al-Haram Makkah ke Masjid al-Aqsha Palestina. Maka, mestinya masjid sebagai simbol sentra kegiatan dan keberagamaan umat Islam harus ditransformasikan kedalam kehidupan sosial. Umat Islam harus mampu membangun relasi sosial yang harmoni di tengah kehidupan global yang serba kompetitif. Bukankah al-dîn mu’amalah?. Artinya, bukankah agama itu salah satu intinya adalah bagaimana seseorang bisa berinteraksi secara baik dengan sesama.
Keislaman seseorang jangan hanya diukur ketika di masjid. Sebab tidak jarang sewaktu di masjid seseorang tampak khusyuk shalatnya, namun begitu keluar dari masjid malah nyolong sandal. Saat sholat, ia tampak khusyuk, begitu di kantor atau ruang kerja, nilai khusyukan sholat ia tinggalkan. Akibatnya, ia melakukan korupsi dan manipulasi. Ada pula orang rajin ke masjid, namun dengan tetangganya tidak bisa rukun, bahkan memelihara konflik berkepanjangan. Keberagamaan yang seperti itu jelas keberagamaan yang semu dan tidak otentik. Sebab salah satu keberagamaan yang hakiki, ditandai dengan kemampuan seseorang untuk menjalin komunikasi sosial yang baik dengan para tetangga.
Baca Juga=>Hikmah Isra Mi'raj Dlm Kehidupan Sehari Hari
Di samping itu, perjalanan isra Nabi Saw dari dari Masjidil Haram Mekah ke Masjidil Aqsha Palistina juga memberi isyarat bahwa mestinya antara masjid satu dengan masjid yang lain, harus ada sinergi dan harmoni dalam membangun kegiatan dakwah dan pendidikan. Jangan sampai masjid justru dijadikan upaya untuk membentuk idiologi sektoral yang sempit, yang justru merusak ukhuwwah umat Islam. Misalnya, dengan mudah orang lalu mengkafirkan, atau mem-bid’ahkan terhadap kelompok lain yang berbeda, apalagi untuk menanamkan ideologi “keislaman sempit” yang anti Pancasila dan NKRI. Mestinya kita ini semakin “Islami”, semakin cinta Indonesia. We are moslem-Indonesian, and Indonesian-Moslem.
Kedua, peristiwa mi’raj, di mana Nabi Saw kemudian naik ke Sidratul Muntaha, berjumpa dengan Allah Swt. Perjalanan spiritual itu memberikan pelajaran penting bahwa manusia harus melakukan “transedensi”, dengan mendekatkan diri kepada Allah Swt, sehingga terhindar dari jebakan kehidupan materialisme, yang seringkali membuat manusia kalap dan lupa diri, sehingga melakukan tindakan pelanggaran hukumyang banyak merugikan orang lain.
Sebagai makhluk homo religius, manusia harus mampu membangun relasi yang harmoni dengan Tuhan. Dengan begitu, maka sifat-sifat Tuhan sebagai Dzat yang Maha Kasih dan sumber kebaikan, harus kita terjemahkan dalam kehidupan aktual sehari-hari. Nilai-nilai kejujuran harus tetap kita perjuangkan, untuk melawan segala bentuk demoralisasi. Kita sangat prihatin dan sedih, ketika kejujuran tidak lagi diperhatikan. Fenomena “nyontek berjama’ah” pada waktu Ujian Akhir Nasional adalah potret buram bagi dunia pendidikan yang telah dikotori oleh praktik menipulasi. Falsafah Jawa yang menyatakan “soposing jujur bakale mujur” (barang siapa yang jujur akan beruntung) telah dicampakkan sedemikian rupa, dan diganti dengan “soposing jujur malah kojur” (barang siapa yang jujur akan hancur). Waliyâdzulbillâh mindzâlik. Ketahuilah bahwa kejujuran akan membawa ketenangan dan kedamaian. Kita mungkin memang bisa membohongi puluhan orang, ratusan bahkan ribuan orang, namun kita tidak bisa membohongi diri kita sendiri, apalagi membohongi Tuhan.
Ketiga, setelah Nabi Muhammad menjalani mi’raj (naik) keatas, beliau berjumpa dengan Tuhan, sebuah pengalaman spiritual yang sangat indah. Namun luar biasa, Nabi Saw kemudian masih mau turun kembali untuk menyampaikan pesan-pesan Tuhan kepada umatnya, demi keselamatan umatnya. Seandainya Nabi Saw itu orang yang egois, niscaya beliau enggan turun lagi bumi. Bukankah saat itu Nabi Saw telah berada dalam puncak kenikmatan spiritual yang sangat indah? Sebuah pertemuan antara al-habib (pencinta) danal-mahbub (kekasih) yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Itu cermin bahwa beliau adalah manusia paripurna (insan kamil) dan seorang sufi yang otentik, yang bukan hanya shalih (baik pribadi dirinya), tetapi juga mushlih (membuat orang lain jadi baik).
Peristiwa itu juga memberi pelajaran penting bahwa kita tidak boleh terjebak pada kesalehan ritual-spiritual semu. Sebab kesalehan yang otentik adalah manakala seseorang bisa membangun relasi yang harmonis dan seimbang, antara dirinya denganTuhan (hablun min Allah),dan dirinya dengan sesama manusia (habl min al-nas), termasuk alam lingkungan sekitarnya (hablma’a al-bi’ah).
Keempat, dalam Isra Mi’raj, Nabi Saw mendapat perintah yang sangat penting yaitu perintah shalat. Sedemikian pentingnya shalat, sehingga perintah itu diterima langsung oleh Nabi, Saw tanpa perantara. Shalat adalah tiang agama, barangsiapa yang menegakkan shalat berarti menegakkan agama, barangsiapa yang meninggalkan shalat berarti menghancurkan agama. Demikian, sabda Nabi Saw dalam hadisnya. Namun hal yang lebih penting lagi adalah bagaimana kita memaknai ulang pesan moral dalam ritual shalat tersebut. Jangan kita terjebak pada shalat seremonial, tanpa makna. Al-Qur’an mengkrtik orang-orang yang shalat sebagai pendusta agama dan masih akan celaka, jika mereka sâhûn (lalai akan pesan moral di balik ajaran shalat (Q.S, al-Ma’un: 3-4). Seolah Allah Swt berpesan kepada kita, wahai umat Islam, kalian itu ma’af“ jengkang-jenngking” (baca: sujud-rukuk), tidak ada gunanya, jika tidak membuahkan kesadaran moral dalam hidup kalian. Jadi, ritualitas itu harus membuahkan kesalehan moral.
Shalat sesungguhnya mengajarkan kepada kita semua akan pentingnya disiplin waktu. Kalau begitu, ciri kebaikan shalat seseorang adalah disiplin waktu, yang kemudian diterapkan dalam dunia kerjanya. Di dalam shalat terkandung pesan ke-tawadlu’an (rendah hati), sebab betapa kita rela meletakkan kepala yang kita hargai ketempat sujud. Kesombongan dan kepongahan bukan sifat orang yang baik shalatnya. Shalat mengajarkan kita akan pentingnya menebar nilai kedamaian dan keharmonisan. Bukankah ketika kita mengakhiri shalat, kita selalu mengucap salam (assalamu’alaikum), sambil menoleh ke kanan dan kekiri? Seolah Tuhan berkata kepada kita semua: ”Wahai hamba-Ku, kalian Aku perbolehkan kembali kepada aktifitas duniamu lagi, tapi tolong ya, tebarkan salam damai dan kasih sayang pada sekelilingmu. Jangan menebar teror dan meledakkan bom. Sebab hal itu bertentangan dengan pesan salam di akhir shalatmu”. Jangan pula kalian korupsiya, sebab hal itu membuat rakyat semakin sengsara. Akhirnya, semoga melalui teks khutbah jum'at isra mi'raj kita semua dapat mengambil berbagai pelajaran penting dari peristiwa Isra Mi’raj dan mengaktualisasikan dalam kehidupan sosial. Wa Allahu a’lam bish-shawwab.