<Membangun Budaya Muhasabah (Social Control)>Islam telah meletakan posisi muhasabah (social control) sebagai aspek penting dalam membangun kehidupan masyarakat. Social control merupakan bagian amar ma’ruf dan nahyi munkar yang harus dilakukan oleh siapapun baik perorangan maupun kelompok. Fungsi social control tersebut adalah meletakan sebuah perkara kembali pada relnya, mengembalikan posisi yang salah menjadi benar, dan meneguhkan yang sudah benar untuk secara konsisten dilaksanakan. Banyak peristiwa yang pernah terjadi pada masa Rasulullah saw dan para sahabatnya yang dapat menjadi ibrah/pelajaran dan teladan bagi kita.
Di antara peristiwa itu adalah :
1. Rasulullah pernah dinasihati oleh Hubab bin Mundzir dalam menentukan posisi pasukan di medan perang Badar. Menurut pandangan Hubab, Rasulullah keliru dalam strategi meletakan posisi pasukan. Begitu pula saat Rasulullah saw (sebagai kepala Negara masyarakat Islam di Madinah) menandatangani perjanjian Hudaibiyah. Mayoritas sahabat saat itu menunjukkan ketidaksetujuannya terhadap isi perjanjian itu, yang menurut mereka sangat tidak adil dan berat sebelah. Adapun pada perang Hunain, para sahabat Anshar menampakkan rasa kecewa yang mendalam tatkala Rasulullah saw memberikan ghanimah (harta rampasan perang) kepada para pemimpin Quraisy yang baru masuk Islam(al-muallafatu qululubuhum) dan tidak memberikan satu bagian pun untuk mereka, kaum Anshar.
2. Peristiwa yang terjadi pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Khaththab. Para sahabat mengkritik khalifah/amirul mu’minin (kepala Negara) Umar yang memerintah saat itu disebabkan pembagian kain yang berasal dari Yaman. Mereka melihat Umar memakai kain pembagian tersebut lebih lebar dari bagian mereka. Begitu pula Umar bin Khaththab pernah diprotes seorang wanita yang menentang kebijakan khalifah Umar yang melakukan pembatasan terhadap mahar pernikahan. Pada saat yang lain, para sahabat melakukan protes keras terhadap kebijakan khalifah Umar yang tidak membagikan tanah Syam, Irak, dan Mesir setelah negeri-negeri tersebut ditaklukkan dan menjadi bagian wilayah Islam saat itu.
Bagaimanakah sikap Rasulullah saw dan para khalifah dalam menghadapi berbagai kritikan dan protes (aktivitas muhasabah/amar ma’ruf nahyi munkar) yang dilontarkan masyarakat saat itu? Pertanyaan ini menjadi sangat penting dikarenakan peristiwa-peristiwa tersebut di atas akan menjadi tolok ukur dan standar rujukan bagi umat Islam dalam berperilaku tatkala melihat aktivitas yang menurut pandangan mereka “tidak benar”. Keberadaan Rasulullah dan para shahabat menjadi contoh bagi umat Islam dalam mempraktekkan seluruh isi kandungan Al-Qur’an Al-Karim.
PERLU ADA STANDAR/TOLOK UKUR KRITIK
Keberadaan standar/tolok ukur nilai dalam melakukan aktivitas merupakan perkara yang sangat penting. Jika tidak terdapat standar tersebut maka setiap orang “merasa berhak” dan “merasa benar”untuk melakukan aktivitas berdasarkan kemauan masing-masing individu dan mengklaim bahwa perbuatan tersebut benar dan baik. Islam tidak menganut faham freedom of speech sebagaimana yang terdapat dalam faham HAM dan demokrasi Barat yang menyatakan setiap orang bebas untuk bicara apa saja, dimana saja, dan kapan apa saja. Faham inilah yang pada ujungnya melahirkan istilah kebebasan (pers) untuk mendapatkan informasi dan menyampaikan informasi, baik dilakukan secara bertanggung jawab atau tidak bertanggung jawab.
Dalam pandangan Islam, sebuah kritik, protes, maupun sekedar saran/usulan yang dialamatkan kepada para penguasa sebagai upaya amar ma’ruf dan nahyi munkar (social control) harus memiliki standar yang jelas. Tanpa tolok ukur yang jelas dan benar maka sebuah kritik, protes, maupun sekedar saran cenderung untuk disalah gunakan dan dimanfaatkan untuk kepentingan sesaat dalam koridor hawa nafsu. Hal ini akan berdampak pada biasnya nilai sebuah aktivitas yang dilakukan siapa pun, baik penguasa ataupun rakyat. Persoalan inilah yang acapkali terjadi dalam kehidupan masyarakatmodern saat ini yang menerapkan menganut faham freedom of speech itu. Hal ini berdampak pada sangat relatifnya nilai sebuah perbuatan, siapa yang benar dan siapakah yang salah? Pendapat penguasa ataukah pendapat masyarakat (rakyat)? Masing-masing pihak mengklaim pendapatnyalah yang paling benar. Jika hal ini terjadi maka konflik diametral merupakan hal yang tidak bisa dihindari karena masing-masing pihak bersikukuh dengan pendapatnya dan mengklaim pendapatnya benar.
Dalam Islam, standar/tolok ukur perbuatan (aktivitas) bagi setiap anggota masyarakat, siapapun dia, apapun kedudukannya dalam stratifikasi sosial masyarakat adalah sama pijakkannya, yaitu Al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw yang dapat dimaknai secara sederhana sebagai syariat Islam. Rakyat dan penguasa merujuk pada tolok ukur yang sama, yaitu halal dan haram, baik dan benar menurut aturan syariat Islam. Dengan standar inilah, komunikasi antara rakyat dan penguasa dapat dilakukan secara rasional, seimbang, dan bertanggung jawab. Rakyat dan penguasa dapat saling beradu argumentasi dan jika terjadi deadlock maka persoalan tersebut diajukan ke Mahkamah Madzalim (sekelompok ulama mujtahid) semodel dengan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memutus masalah sengketa itu. Mahkamah inilah yang memiliki integritas untuk menyelesaikan perkara antara penguasa dan rakyat. Mahkamah inilah yang akan memutuskan pihak mana yang lebih mendekati pada hukum Allah swt. Dalam kaitan inilah Allah Swt. Berfirman:
“Kemudian, jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan RasulNya (As-Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS. An-nisaa (4): 59).
Dengan tolok ukur/standar yang sama dan pasti maka sebuah kritik, protes, maupun sekedar saran/usulan akan menjadikan dialog antara rakyat dan penguasa bisa dibangun secara patut, santun, dan konstruktif. Melalui ketepatan argumentasi Al-Quran surat An-Nisaa (4) ayat 4 yang dibacakan seorang wanita yang protes terhadap kebijakan penguasa (khalifah) mengenai pembatasan mahar pernikahan, maka khalifah Umar membatalkan kebijakannya dan Umar berkata: “Benarlah pendapat wanita itu dan Umar telah keliru”. Tanpa rasa malu dan sungkan seorang kepala Negara bersedia mengakui dan menyatakan kekeliruannya. Dalam menghadapi protes para sahabat terhadap bagian pakaian khalifah Umar lebih lebar dibandingkan dengan bagian sahabat yang lainnya, maka Umar ra meminta Abdullah, anaknya, untuk menjelaskan. Abdullah pun menyatakan bahwa pakaian Umar adalah bagian khalifah yang ditambah dengan bagiannya yang dihadiahkan kepada ayahandanya. Adapun dalam masalah pemberian harta ghanimah kepada para muallaf Quraisy, Rasulullah saw. merespon para sahabat Anshar dengan sabdanya:
“Wahai kaum Anshar, apakah kalian jengkel karena tidak menerima sekelumit sampah keduniaan yang tidak ada artinya itu? Dengan sampah itu aku hendak menjinakkan satu kaum yang baru saja memeluk Islam? Demi Allah, yang jiwaku berada dalam gengamanNya, seandainya orang-orang lain berjalan di lereng gunung yang lain, aku pasti turut berjalan di lereng gunung yang ditempuh kaum Anshar. Jika bukan karena hijrah, maka tentu aku adalah orang Anshar”. Lalu Rasulullah berdoa, “Yaa Allah, limpahkanlah rahmatMu kepada kaum Anshar, kepada anak-anak kaum Anshar, dan kepada cucu-cucu kaum Anshar...”. Mendengar ucapan Rasul saw. seperti itu, kaum Anshar menangis sampai-sampai janggut mereka basah karena linangan air mata yangtidak berhenti turun. Mereka lalu menjawab, “Kami puas bertuhankan Allah swt. dan menerima Rasulullah saw. sebagai jatah ghanimah”.
Berkenaan dengan kritik Hubab bin Mundzir dalam strategi perang Badar, maka Rasulullah menerima pendapat Hubab tersebut lantaran beliau saw. melihat bahwa Hubab adalah seorang ahli dalam strategi pertempuran di medan Badar. Dalam perang Uhud, mayoritas para sahabat, terutama yang muda, menghendaki pertempuran di luar kota Madinah dan menyongsong serbuan kaum Quraisy di sana. Beliau menyetujuinya meskipun beliau memiliki pendapat sebaliknya.Pada perjanjian Hudaibiyah, beliau tetap bertahan dalam menghadapi protes dan kritikan pedas para sahabat. Rasulullah saw menerima seluruh isi perjanjian itu karena semata-mata hal tersebut merupakan perintah wahyu Allah swt yang baru beliau terima.
Oleh sebab itu, menjadi sangat jelas di dalam Islam bahwa muhasabah dalam kerangka amar ma’ruf dan nahyi munkar (social control) tersebut merupakan hal yang harus dibangun secara konstruktif, argumentatif dengan menggunakan standard dan tolok ukur nilai yang pasti, yaitu Al-Quran dan sunnah Rasulullah saw. Islam tidak memperkenankan seorang muslim, baik sebagai rakyat ataupun penguasa melakukan asal kritik dan asal bicara, sebab setiap pembicaraan seorang muslimdicatat oleh para malaikat Allah dan suatu saat nanti akan dimintai pertanggungjawabannya (akuntanbilitas) dalam kehidupan setelah kematian. Hal inilah yang mengikat seorang muslim untuk senantiasa bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya.
Semoga kita senantiasa memahami apa yang kita lontarkan, baik ucapan maupun tindakan, karena kita sadar bahwa semua pada akhirnya akan dimintai pertanggung jawabannya pada suatu saat nanti disisi Allah swt.Pada saat itu tidak ada lagi kesempatan bagi kita untuk berkelit dan memperbaikinya, atau menolaknya karena semua bukti amal perbuatan kita terdokumentasi secara rapi dan apik oleh para malaikat Allah yang senantiasa mengamati dan mencatat seluruh perbuatan kita.Inilah keimanan yang produktif dan konstruktif yang memengaruhi perilaku seorang muslim sehingga ia senantiasa berhati-hati untuk melakukan ucapan dan tindakan. Semoga Allah swt. melindungi dan memimpin kita.