Sejarah Tentang Ilmu Tajwid, Pengertian Tajwid dan Qira'at, Serta Hubungan Qira'at dan Tajwid
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan kalamullah yang Allah SWT wahyukan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril. Di dalam kitab suci ini terangkum berbagai kekuasaan Allah SWT tentang segala yang ada di bumi maupun di langit.
Kitab suci Al-qur’an merupakan kitab terakhir dan penyempurna bagi kitab-kitab sebelumnya, sehingga kaedah dalam membaca dan menjaganya pun telah Allah atur dan benar-benar harus diperhatikan.
Dari sini sangat penting kita mendalami pengetahuan tentang Ilmu Tajwid (kaedah serta cara-cara membaca Al-Qur’an) dan wajib kiranya kita memelihara bacaan al-Quran dari kesalahan dan perubahan serta memelihara lisan (mulut) dari kesalahan membaca.
Sama halnya dengan Al-Qur’an, Ilmu Tajwid (kaedah serta cara-cara membaca Al-Qur’an) juga berkembang secara bertahap sejak zaman Khulafa Ar-Rasyidin sampai pada zaman modern seperti sekarang ini. Tentunya dalam perkembangan Ilmu Tajwid dari zaman Khulafa Ar-Rasyidin sampai pada zaman modern, ada perawi-perawi dan pencetus perkembangan Ilmu Tajwid tersebut.
B. Rumusan Masalah
Dari sedikit uraian di atas, dapat kita ketahui bahwa sejarah perkembangan Ilmu Tajwid tidak lepas dari peranan para Khulafa Ar-Rasyidin dan ulama-ulama pada zaman tersebut sampai zaman sekarang. Sangat penting pengetahuan tentang Ilmu Tajwid, jadi sangat urgent kiranya kita ketahui dan dan kita pelajari tentang sejarah Ilmu Tajwid serta perkembangannya.
PEMBAHASAN
A. Sejarah Ilmu Tajwid
Pengertian Tajwid menurut bahasa (ethimologi) adalah: memperindah sesuatu. Sedangkan menurut istilah, Ilmu Tajwid adalah pengetahuan tentang kaedah serta cara-cara membaca al-Quran dengan sebaik-baiknya.
Tujuan ilmu tajwid adalah memelihara bacaan al-Quran dari kesalahan dan perubahan serta memelihara lisan (mulut) dari kesalahan membaca. Belajar ilmu tajwid itu hukumnya fardu kifayah, sedangkan membaca al-Quran dengan baik (sesuai dengan ilmu tajwid) itu hukumnya Fardu ‘Ain.
Asal Kata Tajwid yaitu dari kata Bahasa Arab jawwada-yujawwidu-tajwiidan mengikuti wazan taf’iil yang berarti membuat sesuatu menjadi bagus. Jika dibincangkan kapan bermulanya ilmu Tajwid, maka kenyataan menunjukkan bahwa ilmu ini telah bermula sejak dari al-Qur’an itu diturunkan kepada Rasulullah SAW. Ini karena Rasulullah SAW sendiri diperintah untuk membaca al-Qur’an dengan tajwid dan tartil seperti yang disebut dalam surat al-Muzammil ayat 4.
وَرَتِّلِ الْقُرْآَنَ تَرْتِيلًا
Ini menunjukkan bahwa pembacaan al-Qur’an bukanlah suatu ilmu hasil dari Ijtihad (fatwa) para ulama' yang diolah berdasarkan dalil-dalil dari al-Qur’an dan Sunnah, tetapi pembacaan al-Qur’an adalah suatu yang Taufiqi (diambil terus) melalui riwayat dari sumbernya yang asli, yaitu sebutan dan bacaan Rasulullah SAW.
Para sahabat r.a adalah orang-orang yang amanah dalam mewariskan bacaan ini kepada generasi umat Islam selanjutnya. Mereka tidak akan menambah atau mengurangi apa yang telah mereka pelajari itu, karena rasa takut mereka yang tinggi kepada Allah SWT dan begitulah juga generasi setelah mereka.
Baca Juga : Alquran Dalam Pandangan Napoleon Bonaparte
Perlu diketahui bahwa pada masa Rasulullah صلى الله عليه وسلم dan Khulafaur Rasyidin belum ada mushaf al-Qur’an seperti yang ada sekarang ini. Pada saat itu al-Qur’an ditulis dalam bahasa Arab yang belum ada tanda bacanya sebagaimana tulisan Arab saat ini. Jangankan harakat fathah (baris atas), kasrah (baris bawah), dhommah (baris depan), dan sukun (tanda wakaf, mati), bentuk serta tanda titik-koma (tanda baca) saja tidak ada. Ilmu tajwid pun belum ada dan bahkan Al-Qur’an juga baru dibukukan sepeninggal Rasulullah صلى الله عليه وسلم.
Walau bagaimanapun, apa yang dikira sebagai penulisan ilmu Tajwid yang paling awal ialah ketika bermulanya kesadaran perlunya Mushaf Utsmaniah yang ditulis oleh Sayyidina Utsman itu diletakkan titik-titik kemudiannya, baris-baris bagi setiap huruf dan perkataannya. Gerakan ini telah diketuai oleh Abu Aswad Ad-Duali dan Al-Khalil bin Ahmad Al-Farahidi. Karena pada masa itu Khalifah umat Islam memikul tugas untuk berbuat demikian ketika umat Islam mulai melakukan-kesalahan dalam bacaan.
Ini karena semasa Sayyidina Utsman menyiapkan Mushaf al-Qur’an dalam enam atau tujuh buah. Beliau telah membiarkannya tanpa titik-titik huruf dan baris-barisnya karena memberi keluasan kepada para sahabat dan tabi’in pada masa itu untuk membacanya sebagaimana yang mereka telah ambil dari Rasulullah SAW sesuai dengan Lahjah (dialek) bangsa Arab yang bermacam-macam. Tetapi setelah berkembang luasnya agama Islam ke seluruh tanah Arab serta jatuhnya Roma dan Parsi ke tangan umat Islam pada tahun 1 dan 2 Hijriah, bahasa Arab mulai bercampur dengan bahasa penduduk-penduduk yang ditaklukkan umat Islam. Ini telah menyebabkan berlakunya kesalahan yang banyak dalam penggunaan bahasa Arab dan begitu juga pembacaan al-Qur’an. Maka al-Qur’an Mushaf Utsmaniah telah diusahakan untuk menghindari kesalahan-kesalahan dalam membacanya dengan penambahan baris dan titik pada huruf-hurufnya bagi karangan ilmu qira’at yang paling awal sepakat, yang diketahui oleh para penyelidik ialah apa yang telah dihimpun oleh Abu 'Ubaid Al-Qasim Ibnu Salam dalam kitabnya "Al-Qira’at" pada kurun ke-3 Hijriah.
Akan tetapi ada yang mengatakan, apa yang telah disusun oleh Abu 'Umar Hafs Ad-Duri dalam ilmu Qira’at adalah lebih awal. Pada kurun ke-4 Hijriah pula, lahir Ibnu Mujahid Al-Baghdadi dengan karangannya "Kitabus Sab'ah", dimana beliau adalah orang yang mula-mula mengasingkan qira’at kepada tujuh imam bersesuaian dengan tujuh perbedaan dan Mushaf Utsmaniah yang berjumlah tujuh naskah. Kesemuanya pada masa itu karangan ilmu tajwid yang paling awal, barangkali tulisan Abu Mazahim Al-Haqani dalam bentuk qasidah (puisi) ilmu tajwid pada akhir kurun ke-3 Hijriah adalah yang terulung. Sejarah berbicara pemberian tanda baca (syakal) berupa titik dan harakat (baris) baru mulai dilakukan ketika Dinasti Umayyah memegang tampuk kekuasaan kekhalifahan Islam atau setelah 40 tahun umat Islam membaca al-Qur’an tanpa ada syakal.
Baca Juga : Hakekat Tauhid dan Konsekuensi Keislaman
Pemberian titik dan baris pada mushaf al-Qur’an ini dilakukan dalam tiga fase. Pertama, pada zaman Khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan. Saat itu, Muawiyah menugaskan Abdul Aswad Ad-Duali untuk meletakkan tanda baca (i’rab) pada tiap kalimat dalam bentuk titik untuk menghindari kesalahan membaca.
Fase kedua, pada masa Abdul Malik bin Marwan (65 H), khalifah kelima Dinasti Umayyah itu menugaskan salah seorang gubernur pada masa itu, Al Hajjaj bin Yusuf, untuk memberikan titik sebagai pembeda antara satu huruf dengan lainnya. Misalnya, huruf baa’ dengan satu titik di bawah, huruf ta dengan dua titik di atas, dan tsa dengan tiga titik di atas. Pada masa itu, Al Hajjaj minta bantuan kepada Nashr bin ‘Ashim dan Hay bin Ya’mar.
Pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan ini, wilayah kekuasaan Islam telah semakin luas hingga sampai ke Eropa. Karena kekhawatiran adanya bacaan al-Qur’an bagi umat Islam yang bukan berbahasa Arab, diperintahkanlah untuk menuliskan al-Qur’an dengan tambahan tanda baca tersebut. Tujuannya agar adanya keseragaman bacaan al-Qur’an baik bagi umat Islam yang keturunan Arab ataupun non-Arab (‘ajami).
Perkembangan zaman masih banyak orang Islam yang masih kesulitan membacanya. Baru kemudian pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah, diberikan tanda baris berupa dhamah, fathah, kasrah, dan sukun untuk memperindah dan memudahkan umat Islam dalam membaca al-Qur’an. Pemberian tanda baris ini mengikuti cara pemberian baris yang telah dilakukan oleh Khalil bin Ahmad Al Farahidy, seorang ensiklopedi bahasa Arab terkemuka kala itu. Menurut sebuah riwayat, Khalil bin Ahmad juga yang memberikan tanda hamzah, tasydid, dan ismam pada kalimat-kalimat yang ada.
Kemudian, pada masa Khalifah Al-Makmun, para ulama selanjutnya berijtihad untuk semakin mempermudah orang untuk membaca dan menghafal al-Quran, khususnya bagi orang selain Arab, dengan menciptakan tanda-tanda baca tajwid yang berupa isymam, rum, dan mad. Ilmu tajwid pun lahir karena hasil ijtihad para ulama masa itu. Lalu mereka juga membuat tanda lingkaran bulat sebagai pemisah ayat dan mencantumkan nomor ayat, tanda-tanda wakaf (berhenti membaca), ibtida (memulai membaca), menerangkan identitas surah di awal setiap surah yang terdiri atas nama, tempat turun, jumlah ayat, dan jumlah ‘ain.
Tanda-tanda lain yang dibubuhkan pada tulisan al-Quran adalah tajzi’, yaitu tanda pemisah antara satu Juz dan yang lainnya, berupa kata ‘juz’ dan diikuti dengan penomorannya dan tanda untuk menunjukkan isi yang berupa seperempat, seperlima, sepersepuluh, setengah juz, dan juz itu sendiri.
Dengan adanya tanda-tanda tersebut, kini umat Islam di seluruh dunia, apa pun ras dan warna kulit serta bahasa yang dianutnya, mereka mudah membaca al-Quran. Ini semua berkat peran para ulama di atas dalam membawa umat menjadi lebih baik, terutama dalam membaca al-Quran. Dalam Alquran surah Al-Hijr (15) ayat 9, Allah berfirman, ”Sesungguhnya, Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an dan Kami pula yang menjaganya.” Ayat ini memberikan jaminan tentang kesucian dan kemurnian al-Qur’an selama-lamanya hingga akhir zaman dari pemalsuan. Karena itu, banyak umat Islam, termasuk di zaman Rasulullah صلى الله عليه وسلم, yang hafal al-Qur’an. Dengan adanya umat yang hafal al-Qur’an maka al-Qur’an pun akan senantiasa terjaga hingga akhir zaman.
Selanjutnya, demi memudahkan umat membaca al-Qur’an dengan baik, mushaf al-Qur’an pun dicetak sebanyak-banyaknya setelah melalui tashih (pengesahan dari ulama-ulama yang hafal al-Qur’an). Dan al-Qur’an pertama kali dicetak pada tahun 1530 Masehi atau sekitar abad ke-10 H di Bundukiyah (Vinece). Namun, kekuasaan gereja memerintahkan agar Al-Qur’an yang telah dicetak itu dibasmi. Kemudian, Hankelman mencetak al-Qur’an di Kota Hamburg (Jerman) pada tahun 1694 M atau sekitar abad ke-12 H.[1] Kini, al-Qur’an telah dicetak di berbagai negara di dunia.
B. Pengertian Tajwid
Tajwīd (تجويد) secara harfiah bermakna melakukan sesuatu dengan elok dan indah atau bagus dan membaguskan, tajwid berasal dari kata Jawwada (جوّد-يجوّد-تجويدا) dalam bahasa Arab. Dalam ilmu Qiraah, tajwid berarti mengeluarkan huruf dari tempatnya dengan memberikan sifat-sifat yang dimilikinya. Jadi ilmu tajwid adalah suatu ilmu yang mempelajari bagaimana cara membunyikan atau mengucapkan huruf-huruf yang terdapat dalam kitab suci al-Qur’an maupun bukan.
Sebagian besar ulama mengatakan, bahwa tajwid itu adalah suatu cabang ilmu yang sangat penting untuk dipelajari sebelum mempelajari ilmu qira’at alqur’an. Ilmu tajwid adalah pelajaran untuk memperbaiki bacaan alqur’an. Ilmu tajwid itu diajarkan sesudah pandai membaca huruf Arab dan telah dapat membaca alqur’an sekedarnya.
Adapun masalah-masalah yang dikemukakan dalam ilmu ini adalah makharijul huruf (tempat keluar-masuk huruf), shifatul huruf (cara pengucapan huruf), ahkamul huruf (hubungan antar huruf), ahkamul maddi wal qasr (panjang dan pendek ucapan), ahkamul waqaf wal ibtida’ (memulai dan menghentikan bacaan) dan al-Khat al-Utsmani.
Pengertian lain dari ilmu tajwid ialah menyampaikan dengan sebaik-baiknya dan sempurna dari tiap-tiap bacaan ayat al-Quran. Para ulama menyatakan bahwa hukum bagi mempelajari tajwid itu adalah fardhu kifayah tetapi mengamalkan tajwid ketika membaca al-Qur’an adalah fardhu ain atau wajib kepada lelaki dan perempuan yang mukallaf atau dewasa.
Untuk menghindari kesalahpahaman antara tajwid dan qira’at, maka perlu diketahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan tajwid, pendapat sebagaian ulama memberikan pengertian tajwid sedikit berbeda namun pada intinya sama sebagaimana yang dikutip Hasanuddin.[2]
Secara bahasa, tajwid berarti al-tahsin atau membaguskan. Sedangkan menurut istilah yaitu, mengucapkan setiap huruf sesuai dengan makhrajnya menurut sifat-sifat huruf yang mesti diucapkan, baik berdasarkan sifat asalnya maupun berdasarkan sifat-sifatnya yang baru.Sebagian ulama yang lain mendefinisikan tajwid sebagai berikut :
Sebagaimana yang telah kita pahami mengenai pengertian qiraat bahwa qiraat adalah Ilmu yang mempelajari tentang cara atau metode membaca (pengucapan) lafal atau kalimat al-Qur’an beserta perbedaan-perbedaanya yang disandarkan kepada orang yang menukilnya (imam), seperti yang menyangkut aspek kebahasaan; I’raab, hadzf, isbat, fashl, washl yang diperoleh dengan cara periwayatannya.
D. Hubungan Qira’at dengan Tajwid
Dari pengertian tajwid dan qiraat diatas terdapat hubungan antara keduanya, bahwa tajwid dan qiraat adalah cara atau metode pengucapan lafal-lafal atau huruf di dalam al-Qur’an, tajwid lebih bersifat teknis dengan upaya memperindah bacaan al-Qur’an, dengan cara membunyikan huruf-huruf al-Qur’an sesuai dengan makhraj serta sifat-sifatnya. Adapun qira’at lebih substansial, yaitu pengucapan lafaz-lafaz al-Qur’an, kalimat ataupun dialek kebahasaan.
E. Kesimpulan
Dari uraian singkat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa tajwid telah dikenal pada masa Rasulullah SAW, karena pada saat itu masyarakat sudah tahu cara membaca al-Qur’an dengan benar. Adapun hubungan qira’at dengan tajwid ialah, tajwid lebih bersifat teknis dengan upaya memperindah bacaan al-Qur’an dengan cara membunyikan huruf-huruf al-Qur’an sesuai dengan makhraj serta sifat-sifatnya. Adapun qira’at lebih substansial, yaitu pengucapan lafaz-lafaz al-Qur’an, kalimat ataupun dialek kebahasaan. Jadi berbicara tentang tajwid tidak turut pula ketinggalan untuk berbicara qira’at juga.
PUSTAKA
RS Abdul Aziz. 1991 Tafsir Ilmu Tafsir, Jakarta: Balai Pustaka.
Tarib Moh.Sejarah Ilmu Tajwid.http://refrensiaku-ku.blogspot.com: Diakses pada tanggal 30 April 2014, Pukul 08.00.
Zulfidar Akaha. Abduh. 1996 Al-Qur’an dan Qiroat. Jakarta: Pustaka Al-Kautsara.
[1] RS Abdul Aziz, Tafsir Ilmu Tafsir (1991: 49)
[2] Abduh Zulfika akaha, Al-Qur’an dan Qiroat, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar), hal. 44
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan kalamullah yang Allah SWT wahyukan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril. Di dalam kitab suci ini terangkum berbagai kekuasaan Allah SWT tentang segala yang ada di bumi maupun di langit.
Kitab suci Al-qur’an merupakan kitab terakhir dan penyempurna bagi kitab-kitab sebelumnya, sehingga kaedah dalam membaca dan menjaganya pun telah Allah atur dan benar-benar harus diperhatikan.
Dari sini sangat penting kita mendalami pengetahuan tentang Ilmu Tajwid (kaedah serta cara-cara membaca Al-Qur’an) dan wajib kiranya kita memelihara bacaan al-Quran dari kesalahan dan perubahan serta memelihara lisan (mulut) dari kesalahan membaca.
Sama halnya dengan Al-Qur’an, Ilmu Tajwid (kaedah serta cara-cara membaca Al-Qur’an) juga berkembang secara bertahap sejak zaman Khulafa Ar-Rasyidin sampai pada zaman modern seperti sekarang ini. Tentunya dalam perkembangan Ilmu Tajwid dari zaman Khulafa Ar-Rasyidin sampai pada zaman modern, ada perawi-perawi dan pencetus perkembangan Ilmu Tajwid tersebut.
B. Rumusan Masalah
Dari sedikit uraian di atas, dapat kita ketahui bahwa sejarah perkembangan Ilmu Tajwid tidak lepas dari peranan para Khulafa Ar-Rasyidin dan ulama-ulama pada zaman tersebut sampai zaman sekarang. Sangat penting pengetahuan tentang Ilmu Tajwid, jadi sangat urgent kiranya kita ketahui dan dan kita pelajari tentang sejarah Ilmu Tajwid serta perkembangannya.
PEMBAHASAN
A. Sejarah Ilmu Tajwid
Pengertian Tajwid menurut bahasa (ethimologi) adalah: memperindah sesuatu. Sedangkan menurut istilah, Ilmu Tajwid adalah pengetahuan tentang kaedah serta cara-cara membaca al-Quran dengan sebaik-baiknya.
Tujuan ilmu tajwid adalah memelihara bacaan al-Quran dari kesalahan dan perubahan serta memelihara lisan (mulut) dari kesalahan membaca. Belajar ilmu tajwid itu hukumnya fardu kifayah, sedangkan membaca al-Quran dengan baik (sesuai dengan ilmu tajwid) itu hukumnya Fardu ‘Ain.
Asal Kata Tajwid yaitu dari kata Bahasa Arab jawwada-yujawwidu-tajwiidan mengikuti wazan taf’iil yang berarti membuat sesuatu menjadi bagus. Jika dibincangkan kapan bermulanya ilmu Tajwid, maka kenyataan menunjukkan bahwa ilmu ini telah bermula sejak dari al-Qur’an itu diturunkan kepada Rasulullah SAW. Ini karena Rasulullah SAW sendiri diperintah untuk membaca al-Qur’an dengan tajwid dan tartil seperti yang disebut dalam surat al-Muzammil ayat 4.
وَرَتِّلِ الْقُرْآَنَ تَرْتِيلًا
"Bacalah al-Quran itu dengan tartil (perlahan-lahan)."Kemudian Nabi Muhammad SAW mengajar ayat-ayat tersebut kepada para sahabat dengan bacaan yang tartil. Di dalam beberapa buku tajwid disebutkan bahwa Istilah tajwid muncul ketika seseorang bertanya kepada khalifah ke-empat, ‘Ali bin Abi Thalib tentang firman Allah yang terdapat dalam surat al-Muzammil ayat 4 tersebut kemudian Beliau menjawab bahwa yang dimaksud dengan kata tartil adalah tajwiidul huruuf wa ma’rifatil wuquuf yang berarti membaca huruf-hurufnya dengan bagus (sesuai dengan makhraj dan shifat) dan tahu tempat-tempat waqaf.
Ini menunjukkan bahwa pembacaan al-Qur’an bukanlah suatu ilmu hasil dari Ijtihad (fatwa) para ulama' yang diolah berdasarkan dalil-dalil dari al-Qur’an dan Sunnah, tetapi pembacaan al-Qur’an adalah suatu yang Taufiqi (diambil terus) melalui riwayat dari sumbernya yang asli, yaitu sebutan dan bacaan Rasulullah SAW.
Para sahabat r.a adalah orang-orang yang amanah dalam mewariskan bacaan ini kepada generasi umat Islam selanjutnya. Mereka tidak akan menambah atau mengurangi apa yang telah mereka pelajari itu, karena rasa takut mereka yang tinggi kepada Allah SWT dan begitulah juga generasi setelah mereka.
Baca Juga : Alquran Dalam Pandangan Napoleon Bonaparte
Perlu diketahui bahwa pada masa Rasulullah صلى الله عليه وسلم dan Khulafaur Rasyidin belum ada mushaf al-Qur’an seperti yang ada sekarang ini. Pada saat itu al-Qur’an ditulis dalam bahasa Arab yang belum ada tanda bacanya sebagaimana tulisan Arab saat ini. Jangankan harakat fathah (baris atas), kasrah (baris bawah), dhommah (baris depan), dan sukun (tanda wakaf, mati), bentuk serta tanda titik-koma (tanda baca) saja tidak ada. Ilmu tajwid pun belum ada dan bahkan Al-Qur’an juga baru dibukukan sepeninggal Rasulullah صلى الله عليه وسلم.
Walau bagaimanapun, apa yang dikira sebagai penulisan ilmu Tajwid yang paling awal ialah ketika bermulanya kesadaran perlunya Mushaf Utsmaniah yang ditulis oleh Sayyidina Utsman itu diletakkan titik-titik kemudiannya, baris-baris bagi setiap huruf dan perkataannya. Gerakan ini telah diketuai oleh Abu Aswad Ad-Duali dan Al-Khalil bin Ahmad Al-Farahidi. Karena pada masa itu Khalifah umat Islam memikul tugas untuk berbuat demikian ketika umat Islam mulai melakukan-kesalahan dalam bacaan.
Ini karena semasa Sayyidina Utsman menyiapkan Mushaf al-Qur’an dalam enam atau tujuh buah. Beliau telah membiarkannya tanpa titik-titik huruf dan baris-barisnya karena memberi keluasan kepada para sahabat dan tabi’in pada masa itu untuk membacanya sebagaimana yang mereka telah ambil dari Rasulullah SAW sesuai dengan Lahjah (dialek) bangsa Arab yang bermacam-macam. Tetapi setelah berkembang luasnya agama Islam ke seluruh tanah Arab serta jatuhnya Roma dan Parsi ke tangan umat Islam pada tahun 1 dan 2 Hijriah, bahasa Arab mulai bercampur dengan bahasa penduduk-penduduk yang ditaklukkan umat Islam. Ini telah menyebabkan berlakunya kesalahan yang banyak dalam penggunaan bahasa Arab dan begitu juga pembacaan al-Qur’an. Maka al-Qur’an Mushaf Utsmaniah telah diusahakan untuk menghindari kesalahan-kesalahan dalam membacanya dengan penambahan baris dan titik pada huruf-hurufnya bagi karangan ilmu qira’at yang paling awal sepakat, yang diketahui oleh para penyelidik ialah apa yang telah dihimpun oleh Abu 'Ubaid Al-Qasim Ibnu Salam dalam kitabnya "Al-Qira’at" pada kurun ke-3 Hijriah.
Akan tetapi ada yang mengatakan, apa yang telah disusun oleh Abu 'Umar Hafs Ad-Duri dalam ilmu Qira’at adalah lebih awal. Pada kurun ke-4 Hijriah pula, lahir Ibnu Mujahid Al-Baghdadi dengan karangannya "Kitabus Sab'ah", dimana beliau adalah orang yang mula-mula mengasingkan qira’at kepada tujuh imam bersesuaian dengan tujuh perbedaan dan Mushaf Utsmaniah yang berjumlah tujuh naskah. Kesemuanya pada masa itu karangan ilmu tajwid yang paling awal, barangkali tulisan Abu Mazahim Al-Haqani dalam bentuk qasidah (puisi) ilmu tajwid pada akhir kurun ke-3 Hijriah adalah yang terulung. Sejarah berbicara pemberian tanda baca (syakal) berupa titik dan harakat (baris) baru mulai dilakukan ketika Dinasti Umayyah memegang tampuk kekuasaan kekhalifahan Islam atau setelah 40 tahun umat Islam membaca al-Qur’an tanpa ada syakal.
Baca Juga : Hakekat Tauhid dan Konsekuensi Keislaman
Pemberian titik dan baris pada mushaf al-Qur’an ini dilakukan dalam tiga fase. Pertama, pada zaman Khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan. Saat itu, Muawiyah menugaskan Abdul Aswad Ad-Duali untuk meletakkan tanda baca (i’rab) pada tiap kalimat dalam bentuk titik untuk menghindari kesalahan membaca.
Fase kedua, pada masa Abdul Malik bin Marwan (65 H), khalifah kelima Dinasti Umayyah itu menugaskan salah seorang gubernur pada masa itu, Al Hajjaj bin Yusuf, untuk memberikan titik sebagai pembeda antara satu huruf dengan lainnya. Misalnya, huruf baa’ dengan satu titik di bawah, huruf ta dengan dua titik di atas, dan tsa dengan tiga titik di atas. Pada masa itu, Al Hajjaj minta bantuan kepada Nashr bin ‘Ashim dan Hay bin Ya’mar.
Pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan ini, wilayah kekuasaan Islam telah semakin luas hingga sampai ke Eropa. Karena kekhawatiran adanya bacaan al-Qur’an bagi umat Islam yang bukan berbahasa Arab, diperintahkanlah untuk menuliskan al-Qur’an dengan tambahan tanda baca tersebut. Tujuannya agar adanya keseragaman bacaan al-Qur’an baik bagi umat Islam yang keturunan Arab ataupun non-Arab (‘ajami).
Perkembangan zaman masih banyak orang Islam yang masih kesulitan membacanya. Baru kemudian pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah, diberikan tanda baris berupa dhamah, fathah, kasrah, dan sukun untuk memperindah dan memudahkan umat Islam dalam membaca al-Qur’an. Pemberian tanda baris ini mengikuti cara pemberian baris yang telah dilakukan oleh Khalil bin Ahmad Al Farahidy, seorang ensiklopedi bahasa Arab terkemuka kala itu. Menurut sebuah riwayat, Khalil bin Ahmad juga yang memberikan tanda hamzah, tasydid, dan ismam pada kalimat-kalimat yang ada.
Kemudian, pada masa Khalifah Al-Makmun, para ulama selanjutnya berijtihad untuk semakin mempermudah orang untuk membaca dan menghafal al-Quran, khususnya bagi orang selain Arab, dengan menciptakan tanda-tanda baca tajwid yang berupa isymam, rum, dan mad. Ilmu tajwid pun lahir karena hasil ijtihad para ulama masa itu. Lalu mereka juga membuat tanda lingkaran bulat sebagai pemisah ayat dan mencantumkan nomor ayat, tanda-tanda wakaf (berhenti membaca), ibtida (memulai membaca), menerangkan identitas surah di awal setiap surah yang terdiri atas nama, tempat turun, jumlah ayat, dan jumlah ‘ain.
Tanda-tanda lain yang dibubuhkan pada tulisan al-Quran adalah tajzi’, yaitu tanda pemisah antara satu Juz dan yang lainnya, berupa kata ‘juz’ dan diikuti dengan penomorannya dan tanda untuk menunjukkan isi yang berupa seperempat, seperlima, sepersepuluh, setengah juz, dan juz itu sendiri.
Dengan adanya tanda-tanda tersebut, kini umat Islam di seluruh dunia, apa pun ras dan warna kulit serta bahasa yang dianutnya, mereka mudah membaca al-Quran. Ini semua berkat peran para ulama di atas dalam membawa umat menjadi lebih baik, terutama dalam membaca al-Quran. Dalam Alquran surah Al-Hijr (15) ayat 9, Allah berfirman, ”Sesungguhnya, Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an dan Kami pula yang menjaganya.” Ayat ini memberikan jaminan tentang kesucian dan kemurnian al-Qur’an selama-lamanya hingga akhir zaman dari pemalsuan. Karena itu, banyak umat Islam, termasuk di zaman Rasulullah صلى الله عليه وسلم, yang hafal al-Qur’an. Dengan adanya umat yang hafal al-Qur’an maka al-Qur’an pun akan senantiasa terjaga hingga akhir zaman.
Selanjutnya, demi memudahkan umat membaca al-Qur’an dengan baik, mushaf al-Qur’an pun dicetak sebanyak-banyaknya setelah melalui tashih (pengesahan dari ulama-ulama yang hafal al-Qur’an). Dan al-Qur’an pertama kali dicetak pada tahun 1530 Masehi atau sekitar abad ke-10 H di Bundukiyah (Vinece). Namun, kekuasaan gereja memerintahkan agar Al-Qur’an yang telah dicetak itu dibasmi. Kemudian, Hankelman mencetak al-Qur’an di Kota Hamburg (Jerman) pada tahun 1694 M atau sekitar abad ke-12 H.[1] Kini, al-Qur’an telah dicetak di berbagai negara di dunia.
B. Pengertian Tajwid
Tajwīd (تجويد) secara harfiah bermakna melakukan sesuatu dengan elok dan indah atau bagus dan membaguskan, tajwid berasal dari kata Jawwada (جوّد-يجوّد-تجويدا) dalam bahasa Arab. Dalam ilmu Qiraah, tajwid berarti mengeluarkan huruf dari tempatnya dengan memberikan sifat-sifat yang dimilikinya. Jadi ilmu tajwid adalah suatu ilmu yang mempelajari bagaimana cara membunyikan atau mengucapkan huruf-huruf yang terdapat dalam kitab suci al-Qur’an maupun bukan.
Sebagian besar ulama mengatakan, bahwa tajwid itu adalah suatu cabang ilmu yang sangat penting untuk dipelajari sebelum mempelajari ilmu qira’at alqur’an. Ilmu tajwid adalah pelajaran untuk memperbaiki bacaan alqur’an. Ilmu tajwid itu diajarkan sesudah pandai membaca huruf Arab dan telah dapat membaca alqur’an sekedarnya.
Adapun masalah-masalah yang dikemukakan dalam ilmu ini adalah makharijul huruf (tempat keluar-masuk huruf), shifatul huruf (cara pengucapan huruf), ahkamul huruf (hubungan antar huruf), ahkamul maddi wal qasr (panjang dan pendek ucapan), ahkamul waqaf wal ibtida’ (memulai dan menghentikan bacaan) dan al-Khat al-Utsmani.
Pengertian lain dari ilmu tajwid ialah menyampaikan dengan sebaik-baiknya dan sempurna dari tiap-tiap bacaan ayat al-Quran. Para ulama menyatakan bahwa hukum bagi mempelajari tajwid itu adalah fardhu kifayah tetapi mengamalkan tajwid ketika membaca al-Qur’an adalah fardhu ain atau wajib kepada lelaki dan perempuan yang mukallaf atau dewasa.
Untuk menghindari kesalahpahaman antara tajwid dan qira’at, maka perlu diketahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan tajwid, pendapat sebagaian ulama memberikan pengertian tajwid sedikit berbeda namun pada intinya sama sebagaimana yang dikutip Hasanuddin.[2]
Secara bahasa, tajwid berarti al-tahsin atau membaguskan. Sedangkan menurut istilah yaitu, mengucapkan setiap huruf sesuai dengan makhrajnya menurut sifat-sifat huruf yang mesti diucapkan, baik berdasarkan sifat asalnya maupun berdasarkan sifat-sifatnya yang baru.Sebagian ulama yang lain mendefinisikan tajwid sebagai berikut :
“Tajwid ialah mengucapkan huruf (al-Qur’an) dengan tertib menurut yang semestinya, sesuai dengan makhraj serta bunyi asalnya, serta melembutkan bacaannya sesempurna mungkin tanpa berlebihan ataupun dibuat-buat”. Rasulullah bersabda : "Bacalah olehmu Al-Qur'an, maka sesungguhnya ia akan datang pada hari kiamat memberi syafaat/pertolongan ahli-ahli Al-Qur'an (yang membaca dan mengamalkannya)." (HR. Muslim).Rasulullah bersabda : "Orang yang paling baik di antara kamu ialah orang yang belajar Al-qur’an dan mengajarkannya kepada orang lain." (HR. Bukhori). Sebelum mulai mempelajari ilmu tajwid sebaiknya kita mengetahui lebih dahulu bahwa setiap ilmu ada sepuluh asas yg menjadi dasar pemikiran kita. Berikutnya dikemukakan 10 asas Ilmu Tajwid :
- Pengertian tajwid menurut bahasa : Memperelokkan sesuatu. Menurut istilah ilmu tajwid : Melafazkan setiap huruf dari makhrajnya yang betul serta memenuhi hak-hak setiap huruf.
- Hukum mempelajari ilmu tajwid adalah Fardhu Kifayah dan mengamalkannya yakni membaca Al-Quran dengan bertajwid adalah Fardhu 'Ain bagi setiap muslimin dan muslimat yang mukallaf.
- Tumpuan perbincangannya: Pada kalimah-kalimah Al-Qur’an.
- Kelebihannya : Ia adalah semulia mulia ilmu karena ia langsung berkaitan dengan kitab Allah (Al-Qur’an).
- Penyusunnya : Imam-Imam Qira’at.
- Faedahnya : Mencapai kejayaan dan kebahagiaan serta mendapat rahmat dan keridhaan Allah di dunia dan akhirat, Insya-Allah.
- Dalilnya : Dari Kitab Al-Qur’an dan Hadis Nabi SAW
- Nama Ilmu : Ilmu Tajwid.
- Masalah yang diperbaincangkan : Mengenai kaedah-kaedah dan cara-cara bacaannya secara keseluruhan yang memberi pengertian hukum-hukum cabangan.
- Matlamatnya : Memelihara lidah daripada kesalahan membaca ayat-ayat suci Al-Quran ketika membacanya, membaca sejajar dengan penurunannya yang sebenarnya dari Allah SWT.
Sebagaimana yang telah kita pahami mengenai pengertian qiraat bahwa qiraat adalah Ilmu yang mempelajari tentang cara atau metode membaca (pengucapan) lafal atau kalimat al-Qur’an beserta perbedaan-perbedaanya yang disandarkan kepada orang yang menukilnya (imam), seperti yang menyangkut aspek kebahasaan; I’raab, hadzf, isbat, fashl, washl yang diperoleh dengan cara periwayatannya.
D. Hubungan Qira’at dengan Tajwid
Dari pengertian tajwid dan qiraat diatas terdapat hubungan antara keduanya, bahwa tajwid dan qiraat adalah cara atau metode pengucapan lafal-lafal atau huruf di dalam al-Qur’an, tajwid lebih bersifat teknis dengan upaya memperindah bacaan al-Qur’an, dengan cara membunyikan huruf-huruf al-Qur’an sesuai dengan makhraj serta sifat-sifatnya. Adapun qira’at lebih substansial, yaitu pengucapan lafaz-lafaz al-Qur’an, kalimat ataupun dialek kebahasaan.
E. Kesimpulan
Dari uraian singkat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa tajwid telah dikenal pada masa Rasulullah SAW, karena pada saat itu masyarakat sudah tahu cara membaca al-Qur’an dengan benar. Adapun hubungan qira’at dengan tajwid ialah, tajwid lebih bersifat teknis dengan upaya memperindah bacaan al-Qur’an dengan cara membunyikan huruf-huruf al-Qur’an sesuai dengan makhraj serta sifat-sifatnya. Adapun qira’at lebih substansial, yaitu pengucapan lafaz-lafaz al-Qur’an, kalimat ataupun dialek kebahasaan. Jadi berbicara tentang tajwid tidak turut pula ketinggalan untuk berbicara qira’at juga.
PUSTAKA
RS Abdul Aziz. 1991 Tafsir Ilmu Tafsir, Jakarta: Balai Pustaka.
Tarib Moh.Sejarah Ilmu Tajwid.http://refrensiaku-ku.blogspot.com: Diakses pada tanggal 30 April 2014, Pukul 08.00.
Zulfidar Akaha. Abduh. 1996 Al-Qur’an dan Qiroat. Jakarta: Pustaka Al-Kautsara.
[1] RS Abdul Aziz, Tafsir Ilmu Tafsir (1991: 49)
[2] Abduh Zulfika akaha, Al-Qur’an dan Qiroat, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar), hal. 44