Khutbah Pertama:
اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الأزْمَانِ وَالآنَاءِ، فَلاَ ابْتِدَاءَ لِوُجُوْدِهِ وَلاَ انْتِهَاءَ، يَسْتَوِيْ بِعِلْمِهِ السِّرُّ وَالْخَفَاءُ، القَائِلِ: وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا. أَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ الْكَبِيْرُ المُتَعَالِ، المُنَزَّهُ عَنِ الشَّبِيْهِ وَالْمِثَالِ، الَّذِيْ يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ كُلُّ شَيْءٍ فِي الْغُدُوِّ وَالآصَالِ. وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الَّذِيْ حَذَّرَنَا مِنْ دَارِ الفُتُوْنِ، المُنَزَّلُ عَلَيْهِ: إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُوْنَ. اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ خَاتَمِ الأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ وَعَلَى آلِهِ الطَّيِّبِيْنَ وَأَصْحَابِهِ الأَخْيَارِ أَجْمَعِيْنَ. أَمَّا بَعْدُ. فَيَا عِبَادَ اللهِ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ.
Hadirin sidang Jum’at yang dirahmati Allah SWT
Waktu demikian cepat berlalu, bulan demi bulan pun terus berganti. Hingga tanpa terasa, kini kita sudah berada di tegah-tengah bulan dan tahun yang baru, yakni Muharram 1438 H. Seiring pergantian waktu dan pergerakan tahun itu, marilah kita semakin meningkatkan rasa syukur dan taqwa kita kepada Allah SWT. Karena tak pernah satu detik pun waktu yang kita lalui, kecuali di situ ada nikmat-nikmat Ilahi. Dan tiada pernah masa berganti, kecuali nikmat Allah senantiasa menyertai.
Berbicara tentang Muharram, atau tentang peristiwa hijrah, atau tentang tahun baru Islam, rasanya sudah tidak ada lagi hal yang baru bagi kita. Karena setiap tahun kita sudah sangat mengetahui hal-ihwal terkait bulan pertama dalam kalender Islam tersebut. Dan melalui mimbar Jum’at ini, Khathib hanya ingin sedikit mengingatkan kembali peristiwa yang amat penting dalam sejarah Islam itu, sembari menyelami lebih jauh tentang hakikat dan hikmah-hikmah yang bisa kita petik di dalamnya.
Hadirin jama’ah Jum’at yang berbahagia!
Sejarah telah mencatat, bahwa orang pertama yang mengukuhkan peristiwa hijrah Nabi sebagai tonggak awal dalam sistem kalender umat Islam adalah Umar bin Khattab RA, yakni ketika beliau menjabat sebagai Khalifah ke-2 menggantikan Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq RA. Peristiwa ini tepatnya terjadi pada tahun ke-17 sejak hijrahnya Rasulullah SAW dari Makkah ke Madinah. Namun demikian, perlu kita ketahui, bahwa Sayidina Umar bukanlah figur pemimpin yang suka memaksakan pendapatnya pribadi di antara sahabat-sahabat Nabi yang lain. Beliau adalah orang yang selalu bermusyawarah terlebih dahulu setiap kali ada persoalan menyangkut umat, termasuk dalam merumuskan sistem kalender Islam. Dalam proses musyawarah menentukan kalender Islam tersebut, ada yang berpendapat, bahwa sistem penanggalan Islam sebaiknya berpijak pada tahun kelahiran Rasulullah. Ada juga yang mengusulkan, bahwa awal diangkatnya Rasulullah SAW sebagai utusan Allah merupakan waktu yang paling tepat dalam menentukan awal kalender Islam. Bahkan, ada pula yang melontarkan ide agar bulan wafatnya Rasulullah SAW dijadikan sebagai titik awal perhitungan kalender Islam.
Baca Juga>Naskah Khutbah Jumat: Moral Ideal Seorang Pemimpin
Dari beberapa usulan tersebut, Sayidina Umar lebih condong kepada pendapat Sayidina Ali bin Abi Thalib RA, yang lebih mengunggulkan peristiwa hijrah Nabi dari Mekkah ke Madinah sebagai tonggak sejarah paling penting dibanding peristiwa lainnya dalam sejarah Islam. Sebagaimana argumentasi atau alasan yang beliau kemukakan, bahwa “kita membuat penanggalan umat Islam berdasarkan pada peristiwa hijrah, karena hijrah merupakan simbol pembatas antara yang hak dengan yang batil.” Peristiwa ini (yakni, awal penentuan kalender Islam) terjadi pada tanggal 1 Muharam, bertepatan dengan hari Jum’at, tanggal 16 Juli 622 M.
Hadirin sidang Jum’at yang dirahmati Allah SWT
Jika kita mengulas sejarah, sesungguhnya ada sesuatu yang unik dalam sistem kalender Hijriah. Karena dalam catatan sejarah, peristiwa hijrahnya Nabi dari Mekkah ke Madinah sesungguhnya terjadi pada bulan Rabiul Awal, bukan pada bulan Muharram. Lalu pertanyaannya adalah, mengapa justeru bulan Muharram yang dijadikan sebagai tonggak pertama bagi awal penanggalan Islam, bukan bulan Rabiul Awal?.
Di dalam kitab-kitab Tarikh atau sejarah Islam, banyak dijelaskan bahwa Nabi bertolak dari Mekkah menuju Madinah terjadi pada hari Kamis terakhir di bulan Shafar, dan keluar dari tempat persembunyiannya di Gua Tsur pada awal bulan Rabiul Awal, bertepatan dengan hari Senin tanggal 13 September 622. Adapun bulan Muharram yang akhirnya dipilih sebagai bulan pertama dalam kalender hijriyah, ini karena di bulan Muharram-lah sesungguhnya Nabi pertama kali ber’azam (merencanakan) untuk hijrah. Dengan pertimbangan, karena pada bulan itu Rasulullah SAW telah selesai dari seluruh rangkaian ibadah haji, juga dikarenakan bulan Muharram termasuk salah satu dari 4 bulan haram yang sangat dimuliakan, bahkan Rasulullah SAW sendiri menyebutnya dengan nama “Syahrullah (Bulan Allah)”, sebagaimana diungkap dalam sabdanya:
أفضلُ الصّيام بعدَ رمضانَ شهرُ الله المُحرَّمُ
“Sebaik-baik puasa di luar bulan suci Ramadhan adalah puasa di Bulan Allah, yaitu bulan Muharram”. (Hadist diriwayatkan oleh Imam Muslim).
Hadirin jama’ah Jum’at yang berbahagia!
Hijrahnya Nabi dari Mekkah ke Madinah merupakan peristiwa penting yang di dalamnya tersimpan suatu kebijaksanaan sejarah (sunnatullah) agar kita senantiasa mengambil hikmah, meneladani, dan mentransformasikan nilai-nilai dan ajaran Rasulullah SAW (sunnatur-rasul) di dalamnya. Setidaknya, ada 3 hal utama dari rangkaian peristiwa hijrah yang amat penting untuk kita transformasikan dalam konteks kehidupan kita sekarang.
Pertama, adalah transformasi keummatan. Artinya, bahwa nilai penting atau tujuan utama hijrahnya Rasulullah beserta kaum muslim adalah dalam rangka menyelamatkan nasib umat manusia. Mengingat peristiwa hijrah selalu dilatarbelakagi oleh fenomena penindasan dan kekejaman yang dilakukan oleh orang-orang kaya (kapitalis) dan penguasa terhadap masyarakat kecil yang lemah. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa transformasi keummatan ditujukan untuk mewujudkan suatu tatanan masyarakat yang lebih baik, baik di bidang ekonomi, maupun sosial dan politik.
Kemudian yang Kedua, adalah transformasi kebudayaan. Artinya, peristiwa hijrah telah sangat nyata mampu mengentaskan masyarakat dari kebudayaan Jahiliyah menuju kebudayaan yang Islami. Jika sebelum hijrah kebebasan masyarakat dipasung oleh struktur budaya feodal dan otoritarian yang amat destruktif, maka setelah hijrah hak-hak asasi mereka dijamin dalam kepastian hukum dan perundang-undangan (syari’ah). Dan sejak itu, pelanggaran terhadap aspek syari’ah ini dianggap sebagai satu bentuk penyangkalan seseorang terhadap keimanan atau keislamannya sendiri. Bahkan lebih dari itu, pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia, yang nyata-nyata telah dilindungi dan diatur dalam ajaran Islam, akan dikenai sanksi hukum yang tujuannya tak lain untuk mengembalikan keutuhan moral dan martabat manusia secara universal.
Ketiga, adalah transformasi keagamaan. Transformasi inilah yang dapat dikatakan sebagai pilar utama keberhasilan dakwah Rasulullah. Persahabatan beliau dan kaum Muslim dengan kalangan Non-Muslim (Yahudi dan Nasrani), sesungguhnya merupakan kekuatan utama dari suksesnya misi kerasulan yang diemban oleh Rasulullah. Dari catatan sejarah kita ketahui, bahwa orang yang pertama kali menunjukkan sekaligus mengakui ‘tanda-tanda kerasulan’ pada diri Nabi, adalah justeru seorang pendeta Nasrani yang bertemu tatkala Nabi dan pamannya, Abu Thalib, berdagang ke Syria. Kemudian, pada hijrah pertama dan kedua (ke Abesinia), pun kaum Muslim ditolong oleh raja Najasy yang beragama Nasrani. Dan pada saat beliau membangun kepemimpinan di Madinah, kaum Muslim bersama kaum Yahudi dan Nasrani, saling bahu-membahu dalam ikatan persaudaraan dan perjanjian yang damai. Karena itulah, pada masa kepemimpinan Nabi dan sahabat, Islam telah berhasil mengeluarkan undang-undang secara tertulis yang melindungi kaum Nasrani dan Yahudi, dan umat manusia pada umumnya.
Hadirin sidang Jum’at yang dirahmati Allah!
Akhirnya, tanpa terasa umur kita telah bertambah satu tahun. Itu berarti jatah hidup kita semakin berkurang dan semakin mendekatkan kita kepada “rumah masa depan”, yakni alam kubur atau kematian. Oleh karenanya, penting bagi kita melakukan muhasabah (introspeksi diri) tentang langkah-langkah dan sepak terjang kita selama ini. Karena kita sejatinya hanya punya waktu 5 hari:
Hari pertama, yaitu masa lalu yang telah kita lewati (dalam hal ini kita perlu bertanya: apakah masa lalu itu sudah kita isi dengan hal-hal yang dapat mengantarkan kita pada ridho Allah?). Hari kedua, yaitu hari yang sedang kita jalani saat ini (yang harus betul-betul kita gunakan untuk hal-hal yang bermanfaat bagi keselamatan kita di dunia maupun akhirat). Hari ketiga, yaitu hari yang akan datang (yakni hari yang kita sendiri tidak pernah tahu apakah hari itu masih milik kita atau bukan). Hari keempat, yaitu hari ketika nyawa kita dijemput oleh Malaikat Maut (dalam hal ini kita patut bertanya: apakah kita sudah siap dengan perbekalan amal kita?). Dan Hari kelima, yaitu hari dihitungnya amal kita di hadapan Allah SWT (di mana kita tidak pernah tahu, apakah kelak kita akan mendapatkan raport yang baik dengan tangan kanan yang akan menempatkan kita di surga, ataukah mendapat raport dengan tangan kiri kita, yang menunjukan keburukan dan menempatkan kita di neraka). Maka, menutup khutbah ini, tepat sekali apa yang dikatakan oleh Imam Hasan al-Basri, seorang imam besar dari generasi ulama tabi’in: “Wahai manusia, sesungguhnya engkau hanyalah sekumpulan hari. Jika setiap hari itu berkurang, maka berkurang pula jatah hidupmu.” Umar bin Khathab RA juga berkata, “Hisablah diri kalian sendiri sebelum kalian dihisab.” [ ]
أعوذ بالله من الشيطان الرجيم. ومن يُهَاجِرْ في سبيل الله يَجِدْ في الأرض مُرَاغَمًا كَثِيْرًا وَسَعَةً, ومَنْ يَخْرُجْ مِن بيته مهاجرا إلى الله ورسوله ثمّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ على الله وكان الله غفورا رحيما.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ, وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ, وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَاسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.
Khutbah Kedua:
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ ذِيْ الفَضْلِ وَالْإِنْعَامِ، فَضَّلَ شَهْرَ الْمُحَرَّمِ عَلَى غَيْرِهِ مِنْ شُهُوْرِ العَامِ، وخَصَّهُ بِمَزِيْدٍ مِنَ الفَضْلِ وَالكَرَمِ وَالْإِنْعَامِ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُوَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ فِي رُبُوْبِيَّتِهِ وَأُلُوْهِيَّتِهِ, وَأَسْمَائِهِ وَصِفَاتِهِ, كَمَا قَالَ تَعَالَى: (تَبَارَكَ اسْمُ رَبِّكَ ذِي الْجَلالِ وَالإِكْرَامِ)، وَأَشْهَدُ أَنَّ محمداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ البَرَرَةِ الكِرَامِ، وَسَلَّمَ تَسْلِيْماً كَثِيْرًا, أَمَّا بَعْدُ: فَيَا أَيُّهَا النَّاسُ, اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ.
نَسْأَلُ اللهَ تعالى أَنْ يَرْزُقَنَا وَإِيَّاكُمْ خَشْيَتَهُ فِي الغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ، وَأَنْ يَجْعَلَنَا وَإِيَّاكُمْ مِنْ عِبَادِهِ المُتَّقِيْنَ, وَأَنْ يَهْدِيَنَا جَمِيْعاً سَوَاءَ السَّبِيْلِ، وَصَلُّوْا وَسَلِّمُوْا عَلَى سيدنا مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللهِ, كَمَا أَمَرَكُمُ اللهُ فِي كِتَابِهِ الكريم: ﴿إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً﴾. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سيدنا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سيدنا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَيْتَ عَلَى سيدنا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سيدنا إِبْرَاهِيْمَ، وَبَارِكْ عَلَى سيدنا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سيدنا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سيدنا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سيدنا إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الأَئِمَّةِ المَهْدِيِّيْنَ: أَبِيْ بَكْرٍ الصِّدِّيْقِ، وَعُمَرَ الفَارُوْقِ، وَعُثْمَانَ ذِيْ النُوْرَيْنِ، وَأَبِي الحَسَنَيْنِ عَلِي، وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ الصَّحَابَةِ أَجْمَعِيْنَ، وَعَنِ التَابِعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، وَعَنَّا مَعَهُمْ بِمَنِّكَ وَكَرَمِكَ وَإِحْسَانِكَ يَا أَكْرَمَ الأَكْرَمِيْنَ.
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ الأَحْيَآءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ, إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مَجِيْبُ الدَّعَوَاتِ. اللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَالْمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ الْمُوَحِّدِيْنَ الْمُخْلِصِيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ الْمُسْلِمِيْنَ ودَمِّرْ أَعْدَآئَنَا وَأَعْدَآءَ الدِّيْنِ وأَعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. اَللَّهُمَّ آمِنَّا فِي أَوْطَانِنَا وَأَصْلِحْ أَئِمَّتَنَا وَوُلَاةَ أُمُوْرِنَا وَاجْعَلْ وِلَايَتَنَا فِيْمَنْ خَافَكَ وَاتَّقَاكَ وَاتَّبَعَ رِضَاكَ، اَللَّهُمَّ وَفِّقْ وَلِيَّ أَمْرِنَا لِمَا تُحِبُّ وَتَرْضَاه وَأَعِنْهُ عَلَى البِرِّ وَالتَقْوَى وَسَدِّدْهُ فِي أَقْوَالِهِ وَأَعْمَالِهِ يَا ذَا الجَلَالِ وَالإِكْرَامِ، رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
يا عِبَادَ اللهِ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيْتَآءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ, وَاذْكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَاسْئَلُوْهُ مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكم, وَلَذِكرُ اللهِ أَكْبَرُ, وَاللهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ.