Contoh Teks Khutbah Jumat Singkat 2 Lembar: Memfungsikan Hati Sebagai Rumah Tuhan (Baitullah)
Khutbah Pertama :
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ كَانَ بِعِبَادِهِ خَبِيْرًا بَصِيْرًا، تَبَارَكَ الَّذِيْ جَعَلَ فِي السَّمَاءِ بُرُوْجًا وَجَعَلَ فِيْهَا سِرَاجًا وَقَمَرًا مُنِيْرًا. أَشْهَدُ اَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وأَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وُرَسُولُهُ الَّذِيْ بَعَثَهُ بِالْحَقِّ بَشِيْرًا وَنَذِيْرًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا. أَمَّا بَعْدُ؛ فَيَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَقُوا اللهَ, وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍّ, وَاتَّقُوا اللهَ, إِنَّ اللهَ خَبِيْرٌ بِمَا تَعْمَلُوْنَ.
Hadirin sidang Jum’at rahimakumullah!
Mengawali khutbah pada siang hari ini, ada satu kisah menarik dalam kitab Thaharatul Qulub wal Khudhu’ li ’Allaami al-Ghuyub karya seorang ulama sufi, al-‘Arif billah Syeikh Abdul Aziz bin Ahmad bin Said ad-Darainiy RA. Kisah tersebut berdasarkan pengalaman yang dialami oleh sufi lain yang bernama Syeikh Abdul Warid bin Zubad RA. Dikisahkan, bahwa Syeikh Abdul Warid dalam satu waktu pernah melakukan perjalanan dari satu kota ke kota lain, naik-turun dari satu bukit ke bukit lain, menyusuri pegunungan dan perkampungan di berbagai tempat yang dikunjungi, dalam rangka mencari ilmu dan hikmah dari para ulama sufi. Hingga satu ketika di sebuah puncak gunung, Syeikh Abdul Warid bertemu seorang kakek tua yang buta dan tuli serta tidak memiliki sepasang kaki dan tangan. Kakek itu sedang beribadah dengan sangat khusuk. Setelah Syeikh Abdul Warid mendekat, ia mendengar sang kakek sedang mengucapkan puji-pujian kepada Allah SWT: “ya ilaahi wa ya sayyidi (wahai Tuhanku dan Tuanku), matta’tani bijawaarihii haitsu syi’ta (Kau anugerahkan anggota tubuh untukku pada saat yang Engkau kehendaki), wa akhadztaha haitsu syi’ta (dan Kau ambil kembali semuanya saat Kau inginkan), wa tarakta lii husnadzonni fiika, ya birru ya washuul (namun Engkau tetap membuatku dapat selalu berbaik sangka pada-Mu, wahai Dzat yang Maha Baik dan Maha Menyampaikan Maksud).
Syeikh Abdul Warid lalu bertanya dalam hati: “Aneh sekali kakek ini, kebaikan apakah gerangan yang telah Allah berikan?, dan Allah telah menyampaikan tujuan apa kepadanya, bukankah ia telah tuli dan buta sehingga tidak bisa melakukan banyak hal?. Tiba-tiba sang kakek berkata kepada Syeikh Abdul Warid hingga ia sangat terkejut karena kakek yang buta dan tuli itu ternyata mengetahui apa yang tengah ia pikirkan. Kakek itu berkata: ilaika anni ya baththool, alaisa taraka lii qolban ya’rifuhu? wa lisaanan yadzkuruhu? fahuwa na’iimu ad-daaraini jami’an (akan aku jelaskan kepadamu kebahagiaan apa yang telah aku dapatkan wahai lelaki asing. Bukankah Tuhan telah menganugerahkan qalb/hati kepadaku yang dengan hati itu aku dapat selalu mengenal-Nya?, bukankah Tuhan juga telah memberiku lidah sehingga dengan lidah itu aku mampu untuk selalu mengagungkan-Nya?, ketahuilah, semua itu adalah nikmat dunia dan akhirat yang tak terhingga.
Hadirin jama’ah Jum’at yang berbahagia!
Kisah di atas sungguh mengandung hikmah dan pelajaran yang sangat menakjubkan. Bagaimana tidak?, dari seorang kakek tua yang buta, tuli dan cacat, kita dapat mengambil satu pelajaran yang sangat berharga. Di mana hati nurani (qalb) adalah sesuatu yang ada dalam diri manusia yang selalu takut dan tunduk kepada Allah. Hati adalah organ manusia yang penuh dengan pancaran cahaya ilahi, sebagai anugerah terbesar dari Allah SWT melebihi anugerah apapun. Apalah arti kesempurnaan fisik dan materi, jika ternyata hati yang kita miliki adalah hati yang tumpul; hati yang keras; hati yang tidak terisi oleh pancaran cahaya ilahi. Betapa dalam kisah tersebut sang kakek mengingatkan kita agar tidak terperangkap dalam perspesi dan standar kebahagiaan duniawi yang lebih cenderung bersifat materi, di mana semakin materi itu dikejar justeru akan semakin membuat kita merasa hampa dan terasing, bahkan kita kehilangan diri kita sendiri. Maka sudah seharusnya hati itu kita hidupkan agar dapat berperan penting dalam diri kita, bukan hanya akal dan nafsu belaka. Hati yang dimaksud di sini adalah hati dalam pengertian ruhani, bukan hati dalam pengertian organ tubuh yang berwujud fisik.
Kaum muslimin yang dirahmati Allah SWT!
Dalam memahami konsep hati ini, kita terlebih dahulu perlu membedakan hati dalam arti fisik dan hati dalam arti ruhani. Hati dalam arti fisik menurut hadits Nabi adalah mudghoh (segumpal darah) yang sangat berpengaruh bagi kesehatan diri setiap manusia. Apabila kondisi segumpal darah itu baik, maka akan baiklah seluruh bagian tubuhnya, sebaliknya, apabila segumpal darah itu rusak maka akan rusaklah seluruh bagian tubuh tersebut. Dalam hal ini, ulama berbeda pendapat mengenai makna kata mudghoh. Sebagian ulama menafsirkannya sebagai organ bagian dalam manusia yang disebut liver, sebagian yang lain menafsirkannya dengan jantung.
Adapun hati dalam pengertian ruhani, seorang ulama besar sekaligus Filosof Muslim, Syeikh Muhammad bin Ibrahim bin Yahya al-Qawami al-Syirazy, yang bergelar ‘Shadr al-Din’ dan lebih populer dengan sebutan Mulla Shadra (lahir: 979-80 H/ 1571-72 M), dalam salah satu kitabnya yang berjudul Mafatihul Ghaib, ia menjelaskan bahwa hati dalam pengertian ruhani memiliki 3 (tiga) macam tingkatan. Di mana antara manusia yang satu dengan manusia yang lain bisa saja berada dalam tingkatan yang berbeda.
Tingkatan hati yang pertama disebut Qalb. Qalb, sesuai dengan arti harfiyahnya: “bolak balik”, memiliki sifat tidak stabil. Masih selalu terjadi tarik menarik antara dorongan kebaikan dan keburukan. Coba sejenak kita renungkan, bagaimana dengan kondisi diri kita?. Apakah kita sering berada dalam kondisi ini, yakni tarik menarik antara yang hak dengan yang batil?. Misalnya, ibadah kita laksanakan dengan baik, namun di sisi lain kemaksiatan juga masih sering kita lakukan. Atau, kadang dalam bekerja kita kerap muncul keinginan untuk melakukan kecurangan setiap kali ada kesempatan, meski di saat yang sama kita juga masih mengingat akan dosa. Lalu akhirnya kita menjadi bingung dan ragu-ragu apakah mau melakukan atau tidak. Di sini terjadi tarik menarik antara qalb dan nafsu. Jika yang terjadi adalah demikian, maka sesungguhnya tingkatan hati kita masih berada dalam posisi ini. Oleh karenanya, kita dianjurkan agar di dalam shalat di akhir bacaan tasyahud akhir kita memohon kepada Allah dengan membaca do’a: Ya muqalliba al-quluub, tsabbit qalbii ‘alaa diinika (wahai Dzat yang maha membolak-balik hati, mantapkanlah hati kami dalam meniti agama-Mu).
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah!
Kemudian, tingkatan hati yang kedua disebut al-fuad. Makna al-fuad sebenarnya lebih dekat kepada makna ‘aql. Yakni hati yang sudah mampu mempertimbangkan secara matang sisi baik dan buruk dari setiap perbuatan; hati yang sudah berani secara tegas memilih jalan kebaikan dan meninggalkan jalan keburukan; hati yang lebih mengedepankan suara kebenaran dan menanggalkan kebatilan.
Adapun hati yang berada dalam tingkatan ketiga atau tingkatan yang paling tinggi adalah al-lub. Lub adalah hati yang selain sudah mampu memilih kebaikan dan meninggalkan keburukan, juga telah terisi dengan kesadaran bahwa setiap kebaikan yang dilakukan adalah bentuk kecintaannya kepada Allah SWT, sebagai upaya untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Hati pada tingkatan inilah yang dimaksudkan dalam kisah si kakek di atas. Yakni, hati yang sudah benar-benar mengenal Tuhannya; hati yang telah terisi dengan pancaran nur ilahi. Hati seperti inilah yang kemudian dalam dunia tasawuf sering disebut dengan istilah “baitullah” (singgasana Allah). Dalam hal ini, perlu dipahami secara berbeda antara baitullah yang ada dalam diri manusia dan baitullah dalam pengertian Ka’bah yang menjadi kiblat sekaligus pusat kegiatan ritual ibadah haji.
Istilah baitullah dan haji, sesungguhnya mengandung 2 (dua) makna: makna syar’i dan makna hakiki. Haji dalam pengertian syar’i sebagaimana yang sudah sangat kita pahami, adalah perjalanan ibadah ke baitullah. Adapun haji dalam makna hakiki adalah perjalanan manusia ke dalam dirinya sendiri untuk sampai pada tingkatan hati yang sempurna, yakni lub. Karena lub inilah yang merupakan inti dari baitullah yang simbolisasinya berupa Ka’bah yang berada di Tanah Suci Mekkah. Maka, perjalanan ibadah haji ke Mekkah yang begitu berat, dengan keharusan memiliki kesiapan mental, fisik, pengetahuan, dan waktu yang matang, adalah “simbol” betapa sulitnya seseorang mencapai tingkatan lub yang notabene ada dalam dirinya sendiri, sehingga diperlukan perjuangan secara terus-menerus.
Baca Juga : Naskah Khutbah Jum'at Islam Bukan Agama Kekerasan
Mudah-mudahan, bagi saudara-saudara kita kaum Muslim yang telah melaksanakan haji ke Tanah Suci bisa mengambil pelajaran berharga dari ibadahnya tersebut. Bahwa, selain untuk memenuhi kewajiban syar’i, perjalanan haji yang lebih hakiki sesungguhnya adalah perjalanan ke dalam dirinya sendiri untuk menghidupkan lub atau hati nurani sehingga terisi oleh pancaran cahaya ilahi. Sehingga semua pikiran, sikap, dan perbuatannya senantiasa mencerminkan sifat-sifat ilahi. Demikian pula bagi kita yang belum memiliki kesempatan melaksanakan haji secara syar’i, masih ada kesempatan untuk mencapai derajat haji secara hakiki, yakni dengan senantiasa melatih diri agar hati kita sampai pada tingkatan yang paling tinggi, yaitu lub yang tak lain merupakan baitullah. Sehingga hati kita penuh dengan pancaran cahaya Ilahi; hati yang telah betul-betul mengenal Tuhannya dengan baik. Dalam konteks inilah, hujjatul Islam Imam al-Ghazali RA menyatakan: man ‘arafa nafsahu fa qod ‘arafa rabbahu (barang siapa yang mampu mengenali dirinya (yakni, hatinya telah sampai pada tingkatan lub), maka sesungguhnya ia telah mengenal Tuhannya.
Akhirnya, mengakhiri khutbah ini, marilah kita sama-sama berdo’a dan terus berusaha, jika hari ini hati kita masih berada dalam tingkatan qalb, semoga esok hati kita bisa meningkat menjadi al-fuad, dan lusa bisa sampai pada tingkatan lub. Dan semoga hati kita tidak termasuk hati yang mati atau hati yang buta. Yakni hati yang sudah tidak lagi merasa bersalah setiap kali melakukan dosa dan kesalahan. Sebagai firman Allah SWT (QS. al-Hajj: 46) ;
أَفَلَمْ يَسِيْرُوْا فِي الأَرْضِ فَتَكُوْنَ لَهُمْ قُلُوْبٌ يَعْقِلُوْنَ بِهَا أَوْ آذَانٌ يَسْمَعُوْنَ بِهَا فَإِنَّهَا لاَ تَعْمَى الأَبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوْبُ الَّتِيْ فِي الصُّدُوْرِ
“Maka apakah mereka tidak mampu berjalan (dan mengambil pelajaran) di muka bumi, padahal mereka memiliki hati yang dengan hati itu mereka seharusnya dapat memahami; juga mempunyai telinga yang dengan telinga itu mereka seharusnya dapat mendengar?!, sesungguhnya bukanlah karena mata mereka yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang ada di dalam dada mereka”.
Dalam ayat lain (QS. al-Jatsiyah: 23), Allah SWT juga berfirman;
أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيْهِ مِنْ بَعْدِ اللهِ أَفَلاَ تَذَكَّرُوْنَ
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhan, dan Allah membiarkannya tersesat, juga Allah mengunci pendengaran dan hatinya serta menutup penglihatannya?!, siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya tersesat), tidakkah kamu dapat mengambil pelajaran?.”
Demikian Contoh Teks Khutbah Jumat Singkat 2 Lembar: Memfungsikan Hati Sebagai Rumah Tuhan (Baitullah) ini, semoga bermanfaat.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ, وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ, وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَاسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.
Khutbah Kedua :
الْحَمْدُ الَّذِيْ خَلَقَ الْخَلْقَ لِيَعْبُدُوْهُ، وَأَبَانَ آيَاتِهِ لِيَعْرِفُوْهُ، وَسَهَّلَ لَهُمْ طَرِيْقَ اْلوُصُوْلِ إِلَيْهِ لِيَصِلُوْهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ، وَأَشْهَدُ أَنَّ نَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، أَرْسَلَهُ اللهُ بِاْلهُدَى وَدِيْنِ اْلحَقِّ لِيَكُوْنَ لِلْعَالَمِيْنَ نَذِيْرًا، أَمَّا بَعْدُ, فَيَا أَيُّهَا النَّاسُ, اِتَّقُوا اللهََ حَقَّ تُقَاتِهِ, وَاعْلَمُوْا أَنََّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَّى بِمَلآئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ, وَقَالَ تَعَالَى إِنََّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ يَآأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَنْبِيَآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَتِكَ الْمُقَرَّبِيْنَ, وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ, وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَاأَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ الأَحْيَآءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ, إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مَجِيْبُ الدَّعَوَاتِ. اللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَِّ الشِّرْكَ وَالْمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ الْمُوَحِّدِيْنَ الْمُخْلِِصِيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ الْمُسْلِمِيْنَ ودَمِّرْ أَعْدَآئَنَا وَأَعْدَآءَ الدِّيْنِ وأَعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. اللَّهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا الْبَلاََءَ وَالْوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَالْمِحَنَ وَسُوْءَ الْفِتْنَةِ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنا إِنْدُوْنِيْسِيَا خَآصَّةً وَعَنْ سَائِرِ الْبُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَآمَّةً يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. عِبَادَ اللهِ! إِنََّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيْتَآءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ, وَاذْكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَاسْئَلُوْهُ مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكم, وَلَذِكرُ اللهِ أَكْبَرُ, وَاللهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ.
Khutbah Pertama :
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ كَانَ بِعِبَادِهِ خَبِيْرًا بَصِيْرًا، تَبَارَكَ الَّذِيْ جَعَلَ فِي السَّمَاءِ بُرُوْجًا وَجَعَلَ فِيْهَا سِرَاجًا وَقَمَرًا مُنِيْرًا. أَشْهَدُ اَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وأَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وُرَسُولُهُ الَّذِيْ بَعَثَهُ بِالْحَقِّ بَشِيْرًا وَنَذِيْرًا، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا. أَمَّا بَعْدُ؛ فَيَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَقُوا اللهَ, وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍّ, وَاتَّقُوا اللهَ, إِنَّ اللهَ خَبِيْرٌ بِمَا تَعْمَلُوْنَ.
Hadirin sidang Jum’at rahimakumullah!
Mengawali khutbah pada siang hari ini, ada satu kisah menarik dalam kitab Thaharatul Qulub wal Khudhu’ li ’Allaami al-Ghuyub karya seorang ulama sufi, al-‘Arif billah Syeikh Abdul Aziz bin Ahmad bin Said ad-Darainiy RA. Kisah tersebut berdasarkan pengalaman yang dialami oleh sufi lain yang bernama Syeikh Abdul Warid bin Zubad RA. Dikisahkan, bahwa Syeikh Abdul Warid dalam satu waktu pernah melakukan perjalanan dari satu kota ke kota lain, naik-turun dari satu bukit ke bukit lain, menyusuri pegunungan dan perkampungan di berbagai tempat yang dikunjungi, dalam rangka mencari ilmu dan hikmah dari para ulama sufi. Hingga satu ketika di sebuah puncak gunung, Syeikh Abdul Warid bertemu seorang kakek tua yang buta dan tuli serta tidak memiliki sepasang kaki dan tangan. Kakek itu sedang beribadah dengan sangat khusuk. Setelah Syeikh Abdul Warid mendekat, ia mendengar sang kakek sedang mengucapkan puji-pujian kepada Allah SWT: “ya ilaahi wa ya sayyidi (wahai Tuhanku dan Tuanku), matta’tani bijawaarihii haitsu syi’ta (Kau anugerahkan anggota tubuh untukku pada saat yang Engkau kehendaki), wa akhadztaha haitsu syi’ta (dan Kau ambil kembali semuanya saat Kau inginkan), wa tarakta lii husnadzonni fiika, ya birru ya washuul (namun Engkau tetap membuatku dapat selalu berbaik sangka pada-Mu, wahai Dzat yang Maha Baik dan Maha Menyampaikan Maksud).
Syeikh Abdul Warid lalu bertanya dalam hati: “Aneh sekali kakek ini, kebaikan apakah gerangan yang telah Allah berikan?, dan Allah telah menyampaikan tujuan apa kepadanya, bukankah ia telah tuli dan buta sehingga tidak bisa melakukan banyak hal?. Tiba-tiba sang kakek berkata kepada Syeikh Abdul Warid hingga ia sangat terkejut karena kakek yang buta dan tuli itu ternyata mengetahui apa yang tengah ia pikirkan. Kakek itu berkata: ilaika anni ya baththool, alaisa taraka lii qolban ya’rifuhu? wa lisaanan yadzkuruhu? fahuwa na’iimu ad-daaraini jami’an (akan aku jelaskan kepadamu kebahagiaan apa yang telah aku dapatkan wahai lelaki asing. Bukankah Tuhan telah menganugerahkan qalb/hati kepadaku yang dengan hati itu aku dapat selalu mengenal-Nya?, bukankah Tuhan juga telah memberiku lidah sehingga dengan lidah itu aku mampu untuk selalu mengagungkan-Nya?, ketahuilah, semua itu adalah nikmat dunia dan akhirat yang tak terhingga.
Hadirin jama’ah Jum’at yang berbahagia!
Kisah di atas sungguh mengandung hikmah dan pelajaran yang sangat menakjubkan. Bagaimana tidak?, dari seorang kakek tua yang buta, tuli dan cacat, kita dapat mengambil satu pelajaran yang sangat berharga. Di mana hati nurani (qalb) adalah sesuatu yang ada dalam diri manusia yang selalu takut dan tunduk kepada Allah. Hati adalah organ manusia yang penuh dengan pancaran cahaya ilahi, sebagai anugerah terbesar dari Allah SWT melebihi anugerah apapun. Apalah arti kesempurnaan fisik dan materi, jika ternyata hati yang kita miliki adalah hati yang tumpul; hati yang keras; hati yang tidak terisi oleh pancaran cahaya ilahi. Betapa dalam kisah tersebut sang kakek mengingatkan kita agar tidak terperangkap dalam perspesi dan standar kebahagiaan duniawi yang lebih cenderung bersifat materi, di mana semakin materi itu dikejar justeru akan semakin membuat kita merasa hampa dan terasing, bahkan kita kehilangan diri kita sendiri. Maka sudah seharusnya hati itu kita hidupkan agar dapat berperan penting dalam diri kita, bukan hanya akal dan nafsu belaka. Hati yang dimaksud di sini adalah hati dalam pengertian ruhani, bukan hati dalam pengertian organ tubuh yang berwujud fisik.
Kaum muslimin yang dirahmati Allah SWT!
Dalam memahami konsep hati ini, kita terlebih dahulu perlu membedakan hati dalam arti fisik dan hati dalam arti ruhani. Hati dalam arti fisik menurut hadits Nabi adalah mudghoh (segumpal darah) yang sangat berpengaruh bagi kesehatan diri setiap manusia. Apabila kondisi segumpal darah itu baik, maka akan baiklah seluruh bagian tubuhnya, sebaliknya, apabila segumpal darah itu rusak maka akan rusaklah seluruh bagian tubuh tersebut. Dalam hal ini, ulama berbeda pendapat mengenai makna kata mudghoh. Sebagian ulama menafsirkannya sebagai organ bagian dalam manusia yang disebut liver, sebagian yang lain menafsirkannya dengan jantung.
Adapun hati dalam pengertian ruhani, seorang ulama besar sekaligus Filosof Muslim, Syeikh Muhammad bin Ibrahim bin Yahya al-Qawami al-Syirazy, yang bergelar ‘Shadr al-Din’ dan lebih populer dengan sebutan Mulla Shadra (lahir: 979-80 H/ 1571-72 M), dalam salah satu kitabnya yang berjudul Mafatihul Ghaib, ia menjelaskan bahwa hati dalam pengertian ruhani memiliki 3 (tiga) macam tingkatan. Di mana antara manusia yang satu dengan manusia yang lain bisa saja berada dalam tingkatan yang berbeda.
Tingkatan hati yang pertama disebut Qalb. Qalb, sesuai dengan arti harfiyahnya: “bolak balik”, memiliki sifat tidak stabil. Masih selalu terjadi tarik menarik antara dorongan kebaikan dan keburukan. Coba sejenak kita renungkan, bagaimana dengan kondisi diri kita?. Apakah kita sering berada dalam kondisi ini, yakni tarik menarik antara yang hak dengan yang batil?. Misalnya, ibadah kita laksanakan dengan baik, namun di sisi lain kemaksiatan juga masih sering kita lakukan. Atau, kadang dalam bekerja kita kerap muncul keinginan untuk melakukan kecurangan setiap kali ada kesempatan, meski di saat yang sama kita juga masih mengingat akan dosa. Lalu akhirnya kita menjadi bingung dan ragu-ragu apakah mau melakukan atau tidak. Di sini terjadi tarik menarik antara qalb dan nafsu. Jika yang terjadi adalah demikian, maka sesungguhnya tingkatan hati kita masih berada dalam posisi ini. Oleh karenanya, kita dianjurkan agar di dalam shalat di akhir bacaan tasyahud akhir kita memohon kepada Allah dengan membaca do’a: Ya muqalliba al-quluub, tsabbit qalbii ‘alaa diinika (wahai Dzat yang maha membolak-balik hati, mantapkanlah hati kami dalam meniti agama-Mu).
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah!
Kemudian, tingkatan hati yang kedua disebut al-fuad. Makna al-fuad sebenarnya lebih dekat kepada makna ‘aql. Yakni hati yang sudah mampu mempertimbangkan secara matang sisi baik dan buruk dari setiap perbuatan; hati yang sudah berani secara tegas memilih jalan kebaikan dan meninggalkan jalan keburukan; hati yang lebih mengedepankan suara kebenaran dan menanggalkan kebatilan.
Adapun hati yang berada dalam tingkatan ketiga atau tingkatan yang paling tinggi adalah al-lub. Lub adalah hati yang selain sudah mampu memilih kebaikan dan meninggalkan keburukan, juga telah terisi dengan kesadaran bahwa setiap kebaikan yang dilakukan adalah bentuk kecintaannya kepada Allah SWT, sebagai upaya untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Hati pada tingkatan inilah yang dimaksudkan dalam kisah si kakek di atas. Yakni, hati yang sudah benar-benar mengenal Tuhannya; hati yang telah terisi dengan pancaran nur ilahi. Hati seperti inilah yang kemudian dalam dunia tasawuf sering disebut dengan istilah “baitullah” (singgasana Allah). Dalam hal ini, perlu dipahami secara berbeda antara baitullah yang ada dalam diri manusia dan baitullah dalam pengertian Ka’bah yang menjadi kiblat sekaligus pusat kegiatan ritual ibadah haji.
Istilah baitullah dan haji, sesungguhnya mengandung 2 (dua) makna: makna syar’i dan makna hakiki. Haji dalam pengertian syar’i sebagaimana yang sudah sangat kita pahami, adalah perjalanan ibadah ke baitullah. Adapun haji dalam makna hakiki adalah perjalanan manusia ke dalam dirinya sendiri untuk sampai pada tingkatan hati yang sempurna, yakni lub. Karena lub inilah yang merupakan inti dari baitullah yang simbolisasinya berupa Ka’bah yang berada di Tanah Suci Mekkah. Maka, perjalanan ibadah haji ke Mekkah yang begitu berat, dengan keharusan memiliki kesiapan mental, fisik, pengetahuan, dan waktu yang matang, adalah “simbol” betapa sulitnya seseorang mencapai tingkatan lub yang notabene ada dalam dirinya sendiri, sehingga diperlukan perjuangan secara terus-menerus.
Baca Juga : Naskah Khutbah Jum'at Islam Bukan Agama Kekerasan
Mudah-mudahan, bagi saudara-saudara kita kaum Muslim yang telah melaksanakan haji ke Tanah Suci bisa mengambil pelajaran berharga dari ibadahnya tersebut. Bahwa, selain untuk memenuhi kewajiban syar’i, perjalanan haji yang lebih hakiki sesungguhnya adalah perjalanan ke dalam dirinya sendiri untuk menghidupkan lub atau hati nurani sehingga terisi oleh pancaran cahaya ilahi. Sehingga semua pikiran, sikap, dan perbuatannya senantiasa mencerminkan sifat-sifat ilahi. Demikian pula bagi kita yang belum memiliki kesempatan melaksanakan haji secara syar’i, masih ada kesempatan untuk mencapai derajat haji secara hakiki, yakni dengan senantiasa melatih diri agar hati kita sampai pada tingkatan yang paling tinggi, yaitu lub yang tak lain merupakan baitullah. Sehingga hati kita penuh dengan pancaran cahaya Ilahi; hati yang telah betul-betul mengenal Tuhannya dengan baik. Dalam konteks inilah, hujjatul Islam Imam al-Ghazali RA menyatakan: man ‘arafa nafsahu fa qod ‘arafa rabbahu (barang siapa yang mampu mengenali dirinya (yakni, hatinya telah sampai pada tingkatan lub), maka sesungguhnya ia telah mengenal Tuhannya.
Akhirnya, mengakhiri khutbah ini, marilah kita sama-sama berdo’a dan terus berusaha, jika hari ini hati kita masih berada dalam tingkatan qalb, semoga esok hati kita bisa meningkat menjadi al-fuad, dan lusa bisa sampai pada tingkatan lub. Dan semoga hati kita tidak termasuk hati yang mati atau hati yang buta. Yakni hati yang sudah tidak lagi merasa bersalah setiap kali melakukan dosa dan kesalahan. Sebagai firman Allah SWT (QS. al-Hajj: 46) ;
أَفَلَمْ يَسِيْرُوْا فِي الأَرْضِ فَتَكُوْنَ لَهُمْ قُلُوْبٌ يَعْقِلُوْنَ بِهَا أَوْ آذَانٌ يَسْمَعُوْنَ بِهَا فَإِنَّهَا لاَ تَعْمَى الأَبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوْبُ الَّتِيْ فِي الصُّدُوْرِ
“Maka apakah mereka tidak mampu berjalan (dan mengambil pelajaran) di muka bumi, padahal mereka memiliki hati yang dengan hati itu mereka seharusnya dapat memahami; juga mempunyai telinga yang dengan telinga itu mereka seharusnya dapat mendengar?!, sesungguhnya bukanlah karena mata mereka yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang ada di dalam dada mereka”.
Dalam ayat lain (QS. al-Jatsiyah: 23), Allah SWT juga berfirman;
أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيْهِ مِنْ بَعْدِ اللهِ أَفَلاَ تَذَكَّرُوْنَ
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhan, dan Allah membiarkannya tersesat, juga Allah mengunci pendengaran dan hatinya serta menutup penglihatannya?!, siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya tersesat), tidakkah kamu dapat mengambil pelajaran?.”
Demikian Contoh Teks Khutbah Jumat Singkat 2 Lembar: Memfungsikan Hati Sebagai Rumah Tuhan (Baitullah) ini, semoga bermanfaat.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ, وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ, وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَاسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.
Khutbah Kedua :
الْحَمْدُ الَّذِيْ خَلَقَ الْخَلْقَ لِيَعْبُدُوْهُ، وَأَبَانَ آيَاتِهِ لِيَعْرِفُوْهُ، وَسَهَّلَ لَهُمْ طَرِيْقَ اْلوُصُوْلِ إِلَيْهِ لِيَصِلُوْهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ، وَأَشْهَدُ أَنَّ نَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، أَرْسَلَهُ اللهُ بِاْلهُدَى وَدِيْنِ اْلحَقِّ لِيَكُوْنَ لِلْعَالَمِيْنَ نَذِيْرًا، أَمَّا بَعْدُ, فَيَا أَيُّهَا النَّاسُ, اِتَّقُوا اللهََ حَقَّ تُقَاتِهِ, وَاعْلَمُوْا أَنََّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَّى بِمَلآئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ, وَقَالَ تَعَالَى إِنََّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ يَآأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَنْبِيَآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَتِكَ الْمُقَرَّبِيْنَ, وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ, وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَاأَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ الأَحْيَآءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ, إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مَجِيْبُ الدَّعَوَاتِ. اللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَِّ الشِّرْكَ وَالْمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ الْمُوَحِّدِيْنَ الْمُخْلِِصِيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ الْمُسْلِمِيْنَ ودَمِّرْ أَعْدَآئَنَا وَأَعْدَآءَ الدِّيْنِ وأَعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. اللَّهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا الْبَلاََءَ وَالْوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَالْمِحَنَ وَسُوْءَ الْفِتْنَةِ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنا إِنْدُوْنِيْسِيَا خَآصَّةً وَعَنْ سَائِرِ الْبُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَآمَّةً يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. عِبَادَ اللهِ! إِنََّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيْتَآءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ, وَاذْكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَاسْئَلُوْهُ مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكم, وَلَذِكرُ اللهِ أَكْبَرُ, وَاللهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ.