TEORI NADZM (STRUKTUR KEBAHASAAN) DALAM DISKURSUS
I’JAZ AL-QUR’AN MENURUT ABDUL QAHIR AL-JURJANI
A. Pendahuluan
Fakta sejarah menunjukkan, bahwa al-Qur’an diturunkan ke muka bumi secara evolutif (tadrij) atau berangsur-angsur selama lebih kurang 23 tahun. Hal ini mengisyaratkan bahwa al-Qur’an sejak pertama kali diturunkan, ia berdialog sekaligus merespons prilaku masyarakat Arab saat dakwah Islam disampaikan. Indikasi ini dapat dilihat dari style atau gaya bahasa (uslub) yang digunakan oleh al-Qur’an dalam mengungkapkan pesan-pesannya yang sangat beragam. Gaya bahasa (uslub) al-Qur’an tersebut secara umum meliputi: keserasian dalam hal tata-bunyi; dapat dipahami oleh kalangan ahli maupun masyarakat awam; dapat dicerna oleh akal dan perasaan; formulasi dan narasinya yang sangat akurat; variasi dan pola penyusunan kalimat yang sangat kaya dan variatif; menghimpun gaya tuturan secara global; dan penggunaan kata yang efisien dan efektif.[1]
Terkait gaya ungkapan dalam al-Qur’an itu, Nasr Hamid Abu Zaid misalnya, berpandangan bahwa aspek-aspek balaghah merupakan elemen puncak dari bahasa. Maka tidak mengherankan apabila aspek balaghah itu diletakkan begitu istimewa dalam banyak pendapatnya. Sebab, ungkapan-ungkapan al-Qur’an yang bernuansa balaghah itu dapat menjadi jembatan yang menghubungkan rasio manusia yang terbatas dengan dimensi Ilahiyah yang tak terbatas, metafisik, adikodrati, bahkan dapat mengatasi ruang dan waktu. Hal ini berdasarkan pada satu kenyataan tentang hakikat bahasa itu sendiri, yakni bahasa sebagai “simbol” yang tentunya memiliki “acuan”. Karena itu, tidak mengherankan apabila dalam al-Qur'an banyak ditemukan ungkapan yang bersifat metaforik-simbolik atau bernuansa balaghah.[2]
Dengan demikian, aspek balaghah begitu penting, lebih-lebih dalam kajian al-Qur’an, termasuk dalam diskursus i’jaz al-Quran. Demikian pula eksplorasi terkait teori-teori atau konsep balaghah merupakan hal yang tidak bisa diabaikan. Di antara sekian banyak tokoh utama penyusun teori atau konsep balaghah ini adalah Abdul Qahir al-Jurjani (w. 471 H/1078 M).
B. Biografi dan Konteks Historis Pemikiran Abdul Qahir al-Jurjani
Abdul Qahir al-Jurjani dilahirkan di Jurjan, salah satu kota terkenal yang terletak di antara Thabaramtan dan Khurasan. Ia mempelajari ilmu nahwu dari Abu Hasan Muhammad bin Hasan (putera dari saudara perempuan Abu Ali Al-Farisi yang sangat terkenal). Sedangkan dalam bidang sastra dan kritik sastra, ia belajar kepada al-Qadhi Ali bin Abdul Aziz al-Jurjani.[4]
Kitab-kitab yang pernah ditulis oleh al-Jurjani cukup banyak, di antaranya: Dalail al-I’jaz, Asrar al-Balaghah, ar-Risalah as-Syafiyah, Kitabu I’jaz al-Qur’an al-Kabir wa as-Shaghir, Syarh al-Idhah li Abi Ali al-Farisi, Kitab al-Jumal, Kitab al-‘Awamil al-Miah, Tafsir Surat al-Fatihah, dan lain-lain. Al-Jurjani meninggal pada tahun 471 H.[5]
Pada abad ketiga hijriyah, kajian i’jaz al-Qur’an, di mana aspek balaghah merupakan salah satu unsurnya, menjadi obyek pelemik di kalangan kaum muslim yang bertujuan membela dan mempertahankan ideologi dan faham mereka masing-masing, seperti kitab Ta’wîl Musykilat al-Qur’ân karya Ibn Qutaibah, Maqalat al-Islamiyin karya Abi al-Hasan al-Asy’ari, Hujaj al-Nubuwwah karya al-Jahidz, dan al-Intishâr karya Abi al-Hasan al-Khiyath. Di kalangan ulama tafsir, ada juga yang mengkaji aspek i’jaz al-Qur’an, seperti al-Thabari dalam Jâmi’ al-Bayân dan Majâz al-Qurân yang ditulis oleh Abu ‘Ubaidah. Dari kalangan ulama bahasa muncul seperti, al-Farra (w.207 H), Abu ‘Ubaidah (w. 210 H), al-Ahfasy (w.215 H), al-Zujaj (w. 311H), Abi Ja’far al-Nuhhas (w. 338), dan lainnya.[7]
Polemik yang paling keras dalam masalah ini terjadi di kalangan mutakallimin, terutama dengan kemunculan faham Mu’tazilah. Bermula dari pendapat Labid bin A’sham, seorang Yahudi, yang menganggap Taurat adalah makhluk, maka demikian pula al-Qur’an adalah makhluk. Pendapat tersebut kemudian diikuti oleh Thalut ibn Ukhtah, Banan bin Sam’an, al-Ja’d bin Dirham. Dari ketiga pengikut Labid bin A’sham tersebut, al-Ja’d bin Dirhamlah yang paling keras melakukan provokasi terhadap pendapatnya, bahkan secara terbuka, ia mengingkari al-Qur’an dan menolak beberapa isi kandungannya. Menurutnya, al-Qur’an sesungguhnya tidak memiliki kemukjizatan, karena sebenarnya manusia mampu membuat semisal al-Qur’an, bahkan lebih indah dari al-Qur’an sendiri. Abu Ishaq Ibrahim al-Nadzam, seorang pengikut faham Mu’tazilah menganggap i’jaz al-Qur’ân bukan terletak pada al-Qur’an sendiri, tetapi terletak pada faktor eksternal al-Qur’an, yaitu kehendak Allah yang membuat lemah dan tidak berdaya masyarakat Arab untuk membuat semisal al-Qur’an, meskipun sesungguhnya mereka mampu membuatnya (al-sharfah).[8]
Menanggapi sikap pemikir Mu’tazilah di atas, Abdul Qahir al-Jurjani (w. 471 H) dengan kitab Dalâil al-I’jâz, menolak pandangan itu. Ketidaksetujuannya itu ditunjukkan bukan sekedar karena perbedaan latar belakang madzhab, tetapi lebih merupakan teriakan atas kesalahan basis epistemologis Mu’tazilah dalam teologinya. Jika ketidakmampuan mereka (masyarakat Arab) untuk menandingi al-Qur’an itu bukan karena keberadaan al-Qu’an yang mukjizat, tetapi karena dimasukkannya ketidakmampuan ke dalam diri mereka, dan dihalanginya tekad dan pikiran mereka dari kemungkinan untuk mengarang pembicaraan yang semisal dengan al-Qur’an, sehingga keadaan mereka seperti orang yang kehilangan pengetahuan tentang sesuatu yang sebelumnya mereka ketahui atau orang yang dihalangi dari sesuatu yang sebelumnya bisa mereka capai, maka seharusnya al-Qur’an itu tidak membuat mereka kagum, juga tidak akan muncul tanda-tanda ketakjuban dari diri mereka. Hal ini sebagaimana ia terangkan dalam kitabnya: Bukankah Anda melihat jika seorang Nabi mengatakan kepada kaumnya, “Mukjizatku adalah meletakkan tanganku ini di atas kepalaku pada saat ini, sementara kalian semua tidak akan mampu meletakkan tangan kalian di atas kepala kalian” kemudian terjadi seperti yang dikatakannya. Apakah yang dikagumi oleh kaumnya? Peletakan tangannya di atas kepalanya atau ketidakmampuan mereka untuk meletakkan tangan mereka di atas kepala?.[9]
Dengan argumentasi yang cukup menarik dan logis, melalui konsep an-nadzm, kategori mukjizat al-Qur’an dalam pandangan al-Jurjani menjadi sangat jelas, bahwa aspek kemukjizatan bahasa al-Qur’an adalah nyata dan bukan karena faktor masyarakat Arab “dipalingkan” kemampuannya untuk membuat semisal al-Qur’an sebagaimana dikemukakan oleh penganut paham as-sharfah.
C. Konsep Nadzm (Struktur Kebahasaan) dalam I’jaz al-Qur’an
a) Al-Qur’an mengandung mukjizat dari aspek balaghah
Secara garis besar, penjelasan al-Jurjani mengenai hal ini ia kemukakan melalui 2 (dua) argumentasi atau pembuktian, yaitu:[13]
1) دلائل أحوالهم, yakni bukti ketidakmampuan masyarakat Arab untuk merespons tantangan al-Qur’an agar mereka membuat semisal al-Qur’an meskipun hanya 1 surat yang paling pendek sekalipun.
2) دلائل أقوالهم, yakni bukti berupa pengakuan-pengakuan atau kesaksian mereka sendiri yang banyak terekam dalam dokumen sejarah ketika al-Qur’an diturunkan dan ayat-ayatnya banyak dibacakan, sebagaimana diceritakan dalam beberapa riwayat berikut ini:
Pokok-pokok pikiran al-Jurjani mengenai masalah ini ia kemukakan secara rinci dan argumentatif dalam kitabnya “Dalail al-I’jaz”,[14] yang secara umum menyangkut hal-hal sebagai berikut:[15]
1) Adanya ayat-ayat di dalam al-Qur’an yang berisi tantangan kepada masyarakat Arab agar mereka membuat semisal al-Qur’an meski hanya satu surat yang paling pendek sekali pun, hal ini mengindikasikan bahwa aspek nadzam (struktur atau susunan kebahasaan) al-Qur’an merupakan suatu kemukjizatan tersendiri di tengah ketinggian penguasaan masyarakat Arab dalam bidang bahasa dan sastra. Karena tidak mungkin Allah memberikan tantangan kepada mereka dengan sesuatu yang tidak mereka miliki dan kuasai sebelumnya, yakni dalam penguasaan bahasa dan sastra.
2) Fakta bahwa al-Qur’an menggunakan kosakata-kosakata atau lafadz bahasa Arab yang sama dan telah mereka gunakan dalam kehidupan mereka sendiri, ini pun cukup membuktikan bagaimana kemukjizatan al-Qur’an dalam hal struktur atau penataan kebahasaannya yang sangat tinggi dan tak tertandingi bahkan oleh masyarakat pengguna bahasa itu sendiri.
3) Penataan al-Qur’an yang sangat rapi dan tepat dalam mengguna-kan huruf-huruf hidup (الحركات), huruf-huruf mati (السكنات), potongan-potongan pembicaraan atau jeda (الوقف; المقاطع; الفواصل), hal ini seolah mengimbangi bahkan melampaui penguasaan mereka dalam hal al-qawafi yang biasa mereka gunakan dalam tradisi syi’r.
4) Pemakaian dan penataan huruf-huruf di dalam al-Qur’an yang seluruhnya sangat ringan, tepat, dan indah diucapkan. Bahkan termasuk huruf-huruf yang dalam tradisi syi’r mereka sangat dihindari karena biasanya cukup berat diucapkan.
5) Penempatan kosakata (mendahulukan satu kata dan mengakhir-kan kata lainnya) hingga soal tatanan i’rab yang sangat tepat dan istimewa.
Hal-hal tersebut cukup menjadi bukti yang sangat logis dan argumentatif bahwa aspek nadzm (struktur dan susunan kebahasaan) al-Qur’an merupakan satu kemukjizatan tersendiri yang tidak dapat ditandingi bahkan oleh masyarakat penutur bahasa itu sendiri.
c) Karakteristik dan Essensi Nadzm dalam al-Qur’an
Terkait hal ini, al-Jurjani mengemukakan beberapa pandangan sebagai berikut:[16]
1) Nadzm (struktur atau susunan kebahasaan) pada hakikatnya adalah bagaimana membuat ungkapan-ungkapan yang sekiranya dapat mengungkap seluruh maksud pihak pembicara secara fasih dan sempurna, sekaligus memastikan maksud-maksud tersebut dapat ditransfer kepada pihak pendengar. Hal ini tentunya hanya dapat dilakukan jika si pembicara mampu menguasai seluruh kompleksitas makna yang akan diungkapkan, serta mampu menata struktur bahasa secara tertib dan tepat sebagaimana struktur dan kompleksitas makna yang ada di dalam pikiran si pembicara tersebut.
2) Dalam konsep nadzm, ada yang disebut dengan nadzm al-huruf (tatanan huruf yang membentuk kata) dan nadzm al-kalimat (tatanan kata yang membentuk jumlah/kalimat). Nadzm al-huruf hanya berkaitan dengan “keruntutan bunyi” yang pada dasarnya tidak terkait dengan “makna”. Artinya, apabila struktur atau runtutan huruf-huruf yang membentuk kata itu (yang berdiri sendiri) diubah atau dibolak-balik pun tidak berimplikasi pada kerusakan makna. Dengan kata lain, makna baru dihasilkan ketika kata-kata tersebut dirangkaikan dalam satu struktur yang lebih tinggi, yakni an-nadz al-kalimat. Karenanya, penataan nadzm al-kalimat harus benar-benar tepat.
3) Untuk menjelaskan keunggulan nadzm al-kalimat yang digunakan oleh al-Qur’an, di dalam kitabnya al-Jurjani mengemukakan beberapa contoh, antara lain ulasannya terhadap QS. Al-An’am: 100 berikut ini (وجعلوا لله شركاءَ الجنَّ). Terkait redaksi ayat tersebut, al-Jurjani menjelaskan hal-hal sebagai berikut:
Penetapan al-Qur’an sebagai kitab suci berbahasa Arab yang bernilai sastra sangat tinggi telah memposisikannya sebagai teks linguistik. Sebagai teks linguistik, kajian terhadap aspek nadzm al-Qur’an (struktur atau susunan kebahasaan al-Qur’an) merupakan suatu keniscayaan, sebagai alat bantu memahami dan mengetahui maksud-maksudnya yang universal. Sejak masa klasik, kajian tentang aspek kebahasaan al-Qur’an ini sesungguh-nya telah sangat akrab diperbincangkan oleh para tokoh, termasuk al-Jurjani. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa al-Jurjani dengan konsep nadzmiyah-nya telah memberikan pondasi-pondasi penting bagi interpretasi al-Quran, sekaligus mengungkap sisi kemukjizatannya dari sudut kebahasaan yang sampai saat ini masih sangat dikagumi dan senantiasa dikaji oleh tokoh-tokoh kontemporer. [ ]
DAFTAR PUSTAKA
Alwy Amru, Majaz: Telaah Pemikiran Abdul Qahir al-Jurjani, http://alwyamru. blogspot.com (Diakses: 27 Oktober 2013).
Barkah, Abdul Ghani M. Sa’d, al-I’jaz al-Qur’ani, Kairo: Maktabah Wahbah, 1989.
Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab, Kairo: Darul Ma’arif, (t.t.), (versi software: http://rowea.blogspot.com/2011/04/pdf.html)
al-Jurjani, Abdul Qahir, Dalail al-I’jaz, Mathba’ah al-Manar: 1331 H.
Majma’ al-Lughah al-Arabiyyah bi Mishr, Mu’jam al-Wasith.
Ar-Rumi, Fahd bin Abdurrahman bin Sulaiman, Khashaish al-Qur’an al-Karim, Riyadh: Maktabah at-Taubah, (t.t.).
[1] Alwy Amru, Majaz: Telaah Pemikiran Abdul Qahir al-Jurjani, http://alwyamru. blogspot.com (Diakses: 27 Oktober 2013).
[2] Ibid.
[3] Dr. Abdul Ghani M Sa’d Barkah, al-I’jaz al-Qur’ani, Kairo: Maktabah Wahbah, 1989, hlm. 169.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Alwy Amru, Majaz: Telaah Pemikiran Abdul Qahir al-Jurjani.
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Lihat: Qamus al-Muhith, hlm. 1500, dan Lisan al-Arab, Juz 12, hlm. 578.
[11] Al-Mu’jam al-Wasith, Majma’ al-Lughah al-Arabiyyah bi Mishr, Juz 2, hlm. 941.
[12] Lihat: Dr. Abdul Ghani M Sa’d Barkah, al-I’jaz al-Qur’ani, Kairo: Maktabah Wahbah, 1989, hlm. 169.
[13] Penjelasan lebih rinci tentang masalah ini dapat dibaca dalam: Dr. Abdul Ghani M Sa’d Barkah, al-I’jaz al-Qur’ani, Kairo: Maktabah Wahbah, 1989, hlm. 170-172.
[14] Lihat: Abdul Qahir al-Jurjani, Dalail al-I’jaz, Mathba’ah al-Manar: 1331 H, hlm. 294 dst.
[15] Lihat: Dr. Abdul Ghani M Sa’d Barkah, al-I’jaz al-Qur’ani, hlm. 185-190.
[16] Lihat: Ibid., hlm. 190-205.
[17] Lihat: Abdul Qahir al-Jurjani, Dalail al-I’jaz, Mathba’ah al-Manar: 1331 H, hlm. 223.
I’JAZ AL-QUR’AN MENURUT ABDUL QAHIR AL-JURJANI
A. Pendahuluan
Fakta sejarah menunjukkan, bahwa al-Qur’an diturunkan ke muka bumi secara evolutif (tadrij) atau berangsur-angsur selama lebih kurang 23 tahun. Hal ini mengisyaratkan bahwa al-Qur’an sejak pertama kali diturunkan, ia berdialog sekaligus merespons prilaku masyarakat Arab saat dakwah Islam disampaikan. Indikasi ini dapat dilihat dari style atau gaya bahasa (uslub) yang digunakan oleh al-Qur’an dalam mengungkapkan pesan-pesannya yang sangat beragam. Gaya bahasa (uslub) al-Qur’an tersebut secara umum meliputi: keserasian dalam hal tata-bunyi; dapat dipahami oleh kalangan ahli maupun masyarakat awam; dapat dicerna oleh akal dan perasaan; formulasi dan narasinya yang sangat akurat; variasi dan pola penyusunan kalimat yang sangat kaya dan variatif; menghimpun gaya tuturan secara global; dan penggunaan kata yang efisien dan efektif.[1]
Terkait gaya ungkapan dalam al-Qur’an itu, Nasr Hamid Abu Zaid misalnya, berpandangan bahwa aspek-aspek balaghah merupakan elemen puncak dari bahasa. Maka tidak mengherankan apabila aspek balaghah itu diletakkan begitu istimewa dalam banyak pendapatnya. Sebab, ungkapan-ungkapan al-Qur’an yang bernuansa balaghah itu dapat menjadi jembatan yang menghubungkan rasio manusia yang terbatas dengan dimensi Ilahiyah yang tak terbatas, metafisik, adikodrati, bahkan dapat mengatasi ruang dan waktu. Hal ini berdasarkan pada satu kenyataan tentang hakikat bahasa itu sendiri, yakni bahasa sebagai “simbol” yang tentunya memiliki “acuan”. Karena itu, tidak mengherankan apabila dalam al-Qur'an banyak ditemukan ungkapan yang bersifat metaforik-simbolik atau bernuansa balaghah.[2]
Dengan demikian, aspek balaghah begitu penting, lebih-lebih dalam kajian al-Qur’an, termasuk dalam diskursus i’jaz al-Quran. Demikian pula eksplorasi terkait teori-teori atau konsep balaghah merupakan hal yang tidak bisa diabaikan. Di antara sekian banyak tokoh utama penyusun teori atau konsep balaghah ini adalah Abdul Qahir al-Jurjani (w. 471 H/1078 M).
B. Biografi dan Konteks Historis Pemikiran Abdul Qahir al-Jurjani
- 1). Biografi Abdul Qahir al-Jurjani
Abdul Qahir al-Jurjani dilahirkan di Jurjan, salah satu kota terkenal yang terletak di antara Thabaramtan dan Khurasan. Ia mempelajari ilmu nahwu dari Abu Hasan Muhammad bin Hasan (putera dari saudara perempuan Abu Ali Al-Farisi yang sangat terkenal). Sedangkan dalam bidang sastra dan kritik sastra, ia belajar kepada al-Qadhi Ali bin Abdul Aziz al-Jurjani.[4]
Kitab-kitab yang pernah ditulis oleh al-Jurjani cukup banyak, di antaranya: Dalail al-I’jaz, Asrar al-Balaghah, ar-Risalah as-Syafiyah, Kitabu I’jaz al-Qur’an al-Kabir wa as-Shaghir, Syarh al-Idhah li Abi Ali al-Farisi, Kitab al-Jumal, Kitab al-‘Awamil al-Miah, Tafsir Surat al-Fatihah, dan lain-lain. Al-Jurjani meninggal pada tahun 471 H.[5]
- 2). Konteks Historis Pemikiran Abdul Qahir al-Jurjani
Pada abad ketiga hijriyah, kajian i’jaz al-Qur’an, di mana aspek balaghah merupakan salah satu unsurnya, menjadi obyek pelemik di kalangan kaum muslim yang bertujuan membela dan mempertahankan ideologi dan faham mereka masing-masing, seperti kitab Ta’wîl Musykilat al-Qur’ân karya Ibn Qutaibah, Maqalat al-Islamiyin karya Abi al-Hasan al-Asy’ari, Hujaj al-Nubuwwah karya al-Jahidz, dan al-Intishâr karya Abi al-Hasan al-Khiyath. Di kalangan ulama tafsir, ada juga yang mengkaji aspek i’jaz al-Qur’an, seperti al-Thabari dalam Jâmi’ al-Bayân dan Majâz al-Qurân yang ditulis oleh Abu ‘Ubaidah. Dari kalangan ulama bahasa muncul seperti, al-Farra (w.207 H), Abu ‘Ubaidah (w. 210 H), al-Ahfasy (w.215 H), al-Zujaj (w. 311H), Abi Ja’far al-Nuhhas (w. 338), dan lainnya.[7]
Polemik yang paling keras dalam masalah ini terjadi di kalangan mutakallimin, terutama dengan kemunculan faham Mu’tazilah. Bermula dari pendapat Labid bin A’sham, seorang Yahudi, yang menganggap Taurat adalah makhluk, maka demikian pula al-Qur’an adalah makhluk. Pendapat tersebut kemudian diikuti oleh Thalut ibn Ukhtah, Banan bin Sam’an, al-Ja’d bin Dirham. Dari ketiga pengikut Labid bin A’sham tersebut, al-Ja’d bin Dirhamlah yang paling keras melakukan provokasi terhadap pendapatnya, bahkan secara terbuka, ia mengingkari al-Qur’an dan menolak beberapa isi kandungannya. Menurutnya, al-Qur’an sesungguhnya tidak memiliki kemukjizatan, karena sebenarnya manusia mampu membuat semisal al-Qur’an, bahkan lebih indah dari al-Qur’an sendiri. Abu Ishaq Ibrahim al-Nadzam, seorang pengikut faham Mu’tazilah menganggap i’jaz al-Qur’ân bukan terletak pada al-Qur’an sendiri, tetapi terletak pada faktor eksternal al-Qur’an, yaitu kehendak Allah yang membuat lemah dan tidak berdaya masyarakat Arab untuk membuat semisal al-Qur’an, meskipun sesungguhnya mereka mampu membuatnya (al-sharfah).[8]
Menanggapi sikap pemikir Mu’tazilah di atas, Abdul Qahir al-Jurjani (w. 471 H) dengan kitab Dalâil al-I’jâz, menolak pandangan itu. Ketidaksetujuannya itu ditunjukkan bukan sekedar karena perbedaan latar belakang madzhab, tetapi lebih merupakan teriakan atas kesalahan basis epistemologis Mu’tazilah dalam teologinya. Jika ketidakmampuan mereka (masyarakat Arab) untuk menandingi al-Qur’an itu bukan karena keberadaan al-Qu’an yang mukjizat, tetapi karena dimasukkannya ketidakmampuan ke dalam diri mereka, dan dihalanginya tekad dan pikiran mereka dari kemungkinan untuk mengarang pembicaraan yang semisal dengan al-Qur’an, sehingga keadaan mereka seperti orang yang kehilangan pengetahuan tentang sesuatu yang sebelumnya mereka ketahui atau orang yang dihalangi dari sesuatu yang sebelumnya bisa mereka capai, maka seharusnya al-Qur’an itu tidak membuat mereka kagum, juga tidak akan muncul tanda-tanda ketakjuban dari diri mereka. Hal ini sebagaimana ia terangkan dalam kitabnya: Bukankah Anda melihat jika seorang Nabi mengatakan kepada kaumnya, “Mukjizatku adalah meletakkan tanganku ini di atas kepalaku pada saat ini, sementara kalian semua tidak akan mampu meletakkan tangan kalian di atas kepala kalian” kemudian terjadi seperti yang dikatakannya. Apakah yang dikagumi oleh kaumnya? Peletakan tangannya di atas kepalanya atau ketidakmampuan mereka untuk meletakkan tangan mereka di atas kepala?.[9]
Dengan argumentasi yang cukup menarik dan logis, melalui konsep an-nadzm, kategori mukjizat al-Qur’an dalam pandangan al-Jurjani menjadi sangat jelas, bahwa aspek kemukjizatan bahasa al-Qur’an adalah nyata dan bukan karena faktor masyarakat Arab “dipalingkan” kemampuannya untuk membuat semisal al-Qur’an sebagaimana dikemukakan oleh penganut paham as-sharfah.
C. Konsep Nadzm (Struktur Kebahasaan) dalam I’jaz al-Qur’an
- 1). Definisi Nadzm
- 2). Teori Nadzm Menurut Al-Jurjani dalam Diskursus I’jaz al-Qur’an
a) Al-Qur’an mengandung mukjizat dari aspek balaghah
Secara garis besar, penjelasan al-Jurjani mengenai hal ini ia kemukakan melalui 2 (dua) argumentasi atau pembuktian, yaitu:[13]
1) دلائل أحوالهم, yakni bukti ketidakmampuan masyarakat Arab untuk merespons tantangan al-Qur’an agar mereka membuat semisal al-Qur’an meskipun hanya 1 surat yang paling pendek sekalipun.
2) دلائل أقوالهم, yakni bukti berupa pengakuan-pengakuan atau kesaksian mereka sendiri yang banyak terekam dalam dokumen sejarah ketika al-Qur’an diturunkan dan ayat-ayatnya banyak dibacakan, sebagaimana diceritakan dalam beberapa riwayat berikut ini:
- Riwayat dari Utbah bin Rabi’ah: suatu hari ia pernah bergegas mendatangi Nabi SAW dengan membawa berbagai persoalan yang akan ia lontarkan ke hadapan Nabi SAW untuk membantah keterangan-keterangannya sekaligus agar Nabi SAW meninggalkan dakwahnya. Kemudian Nabi SAW membacakan surat “Fusshilat” di hadapan Utbah, hingga ia spontan terperangah lalu pulang kepada kaumnya dan mengatakan bahwa ia telah mendengar “perkataan” yang sebelumnya sama sekali belum pernah ia dengar perkataan yang serupa dalam hal ketinggian bahasa yang digunakan. Ia kemudian mengatakan: وما هو بالشعر ولا بالسحر ولا بالكهانة(dan perkataan itu tidaklah mungkin sebuah syair, sihir, ataupun kata-kata ramalan).
- Riwayat seputar masuk Islamnya Abi Dzar: bahwa suatu hari saudara laki-laki Abi Dzar, Anis, pernah pergi ke Makkah dan bertemu dengan Nabi SAW. Kemudian ia pulang dan bercerita kepada Abi Dzar, bahwa ia telah mendengar ayat-ayat al-Quran dari Nabi SAW dan telah mencocokkannya dengan bacaan-bacaan atau perkataan para penyair namun ia tidak menemukan satu perkataan penyair manapun yang cocok. Ia pun telah mendengarkan banyak perkataan para ahli ramal, namun al-Quran ternyata sangat berbeda dan tidak bisa disamakan dengan perkataan ahli ramal tersebut. Sungguh, Nabi SAW adalah seorang yang benar dan jujur, sedangkan musuh-musuhnya adalah pendusta.
Pokok-pokok pikiran al-Jurjani mengenai masalah ini ia kemukakan secara rinci dan argumentatif dalam kitabnya “Dalail al-I’jaz”,[14] yang secara umum menyangkut hal-hal sebagai berikut:[15]
1) Adanya ayat-ayat di dalam al-Qur’an yang berisi tantangan kepada masyarakat Arab agar mereka membuat semisal al-Qur’an meski hanya satu surat yang paling pendek sekali pun, hal ini mengindikasikan bahwa aspek nadzam (struktur atau susunan kebahasaan) al-Qur’an merupakan suatu kemukjizatan tersendiri di tengah ketinggian penguasaan masyarakat Arab dalam bidang bahasa dan sastra. Karena tidak mungkin Allah memberikan tantangan kepada mereka dengan sesuatu yang tidak mereka miliki dan kuasai sebelumnya, yakni dalam penguasaan bahasa dan sastra.
2) Fakta bahwa al-Qur’an menggunakan kosakata-kosakata atau lafadz bahasa Arab yang sama dan telah mereka gunakan dalam kehidupan mereka sendiri, ini pun cukup membuktikan bagaimana kemukjizatan al-Qur’an dalam hal struktur atau penataan kebahasaannya yang sangat tinggi dan tak tertandingi bahkan oleh masyarakat pengguna bahasa itu sendiri.
3) Penataan al-Qur’an yang sangat rapi dan tepat dalam mengguna-kan huruf-huruf hidup (الحركات), huruf-huruf mati (السكنات), potongan-potongan pembicaraan atau jeda (الوقف; المقاطع; الفواصل), hal ini seolah mengimbangi bahkan melampaui penguasaan mereka dalam hal al-qawafi yang biasa mereka gunakan dalam tradisi syi’r.
4) Pemakaian dan penataan huruf-huruf di dalam al-Qur’an yang seluruhnya sangat ringan, tepat, dan indah diucapkan. Bahkan termasuk huruf-huruf yang dalam tradisi syi’r mereka sangat dihindari karena biasanya cukup berat diucapkan.
5) Penempatan kosakata (mendahulukan satu kata dan mengakhir-kan kata lainnya) hingga soal tatanan i’rab yang sangat tepat dan istimewa.
Hal-hal tersebut cukup menjadi bukti yang sangat logis dan argumentatif bahwa aspek nadzm (struktur dan susunan kebahasaan) al-Qur’an merupakan satu kemukjizatan tersendiri yang tidak dapat ditandingi bahkan oleh masyarakat penutur bahasa itu sendiri.
c) Karakteristik dan Essensi Nadzm dalam al-Qur’an
Terkait hal ini, al-Jurjani mengemukakan beberapa pandangan sebagai berikut:[16]
1) Nadzm (struktur atau susunan kebahasaan) pada hakikatnya adalah bagaimana membuat ungkapan-ungkapan yang sekiranya dapat mengungkap seluruh maksud pihak pembicara secara fasih dan sempurna, sekaligus memastikan maksud-maksud tersebut dapat ditransfer kepada pihak pendengar. Hal ini tentunya hanya dapat dilakukan jika si pembicara mampu menguasai seluruh kompleksitas makna yang akan diungkapkan, serta mampu menata struktur bahasa secara tertib dan tepat sebagaimana struktur dan kompleksitas makna yang ada di dalam pikiran si pembicara tersebut.
2) Dalam konsep nadzm, ada yang disebut dengan nadzm al-huruf (tatanan huruf yang membentuk kata) dan nadzm al-kalimat (tatanan kata yang membentuk jumlah/kalimat). Nadzm al-huruf hanya berkaitan dengan “keruntutan bunyi” yang pada dasarnya tidak terkait dengan “makna”. Artinya, apabila struktur atau runtutan huruf-huruf yang membentuk kata itu (yang berdiri sendiri) diubah atau dibolak-balik pun tidak berimplikasi pada kerusakan makna. Dengan kata lain, makna baru dihasilkan ketika kata-kata tersebut dirangkaikan dalam satu struktur yang lebih tinggi, yakni an-nadz al-kalimat. Karenanya, penataan nadzm al-kalimat harus benar-benar tepat.
3) Untuk menjelaskan keunggulan nadzm al-kalimat yang digunakan oleh al-Qur’an, di dalam kitabnya al-Jurjani mengemukakan beberapa contoh, antara lain ulasannya terhadap QS. Al-An’am: 100 berikut ini (وجعلوا لله شركاءَ الجنَّ). Terkait redaksi ayat tersebut, al-Jurjani menjelaskan hal-hal sebagai berikut:
- Lafadz “ja'aluu” merupakan fi’il (kata kerja) yang membutuhkan 2 buah maf’ul atau obyek (dalam ayat ini yang berperan sebagai maf’ul adalah lafadz شركاء dan الجنّ). Biasanya, dalam konteks tuturan bahasa Arab, ayat itu lazimnya dibaca: “وجعلوا الجنَّ شركاءَ لله”. Namun al-Qur’an tidak menggunakan nadzm sebagaimana umumnya itu. Hal ini karena al-Qur’an bermaksud mengungkap seluruh kekayaan “dimensi makna” yang terkandung dalam nadzm yang digunakannya tersebut (وجعلوا لله شركاءَ الجنَّ), di mana seluruh kekayaan makna itu tidak akan diperoleh jika menggunakan nadzm pada umumnya (وجعلوا الجنَّ شركاءَ لله).
- Tegasnya, apabila al-Qur’an menggunakan nadzm yang umum digunakan وجعلوا الجنَّ شركاءَ لله, maka makna yang dikandungnya akan menjadi sempit dan terbatas, karena sejatinya Allah tidak boleh dipersekutukan dengan apapun, bukan hanya terbatas pada jin.[17]
Penetapan al-Qur’an sebagai kitab suci berbahasa Arab yang bernilai sastra sangat tinggi telah memposisikannya sebagai teks linguistik. Sebagai teks linguistik, kajian terhadap aspek nadzm al-Qur’an (struktur atau susunan kebahasaan al-Qur’an) merupakan suatu keniscayaan, sebagai alat bantu memahami dan mengetahui maksud-maksudnya yang universal. Sejak masa klasik, kajian tentang aspek kebahasaan al-Qur’an ini sesungguh-nya telah sangat akrab diperbincangkan oleh para tokoh, termasuk al-Jurjani. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa al-Jurjani dengan konsep nadzmiyah-nya telah memberikan pondasi-pondasi penting bagi interpretasi al-Quran, sekaligus mengungkap sisi kemukjizatannya dari sudut kebahasaan yang sampai saat ini masih sangat dikagumi dan senantiasa dikaji oleh tokoh-tokoh kontemporer. [ ]
DAFTAR PUSTAKA
Alwy Amru, Majaz: Telaah Pemikiran Abdul Qahir al-Jurjani, http://alwyamru. blogspot.com (Diakses: 27 Oktober 2013).
Barkah, Abdul Ghani M. Sa’d, al-I’jaz al-Qur’ani, Kairo: Maktabah Wahbah, 1989.
Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab, Kairo: Darul Ma’arif, (t.t.), (versi software: http://rowea.blogspot.com/2011/04/pdf.html)
al-Jurjani, Abdul Qahir, Dalail al-I’jaz, Mathba’ah al-Manar: 1331 H.
Majma’ al-Lughah al-Arabiyyah bi Mishr, Mu’jam al-Wasith.
Ar-Rumi, Fahd bin Abdurrahman bin Sulaiman, Khashaish al-Qur’an al-Karim, Riyadh: Maktabah at-Taubah, (t.t.).
[1] Alwy Amru, Majaz: Telaah Pemikiran Abdul Qahir al-Jurjani, http://alwyamru. blogspot.com (Diakses: 27 Oktober 2013).
[2] Ibid.
[3] Dr. Abdul Ghani M Sa’d Barkah, al-I’jaz al-Qur’ani, Kairo: Maktabah Wahbah, 1989, hlm. 169.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Alwy Amru, Majaz: Telaah Pemikiran Abdul Qahir al-Jurjani.
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Lihat: Qamus al-Muhith, hlm. 1500, dan Lisan al-Arab, Juz 12, hlm. 578.
[11] Al-Mu’jam al-Wasith, Majma’ al-Lughah al-Arabiyyah bi Mishr, Juz 2, hlm. 941.
[12] Lihat: Dr. Abdul Ghani M Sa’d Barkah, al-I’jaz al-Qur’ani, Kairo: Maktabah Wahbah, 1989, hlm. 169.
[13] Penjelasan lebih rinci tentang masalah ini dapat dibaca dalam: Dr. Abdul Ghani M Sa’d Barkah, al-I’jaz al-Qur’ani, Kairo: Maktabah Wahbah, 1989, hlm. 170-172.
[14] Lihat: Abdul Qahir al-Jurjani, Dalail al-I’jaz, Mathba’ah al-Manar: 1331 H, hlm. 294 dst.
[15] Lihat: Dr. Abdul Ghani M Sa’d Barkah, al-I’jaz al-Qur’ani, hlm. 185-190.
[16] Lihat: Ibid., hlm. 190-205.
[17] Lihat: Abdul Qahir al-Jurjani, Dalail al-I’jaz, Mathba’ah al-Manar: 1331 H, hlm. 223.