Contoh Teks Khutbah Idul Adha: Makna Idul Adha Dalam Dimensi Hubungan Ketuhanan (Ilahiyah) dan Kemanusiaan (Insaniyah)

Contoh Teks Khutbah Idul Adha: Makna Idul Adha Dalam Dimensi Hubungan Ketuhanan (Ilahiyah) dan Kemanusiaan (Insaniyah)

Khuthbah Pertama:

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
اللهُ اَكْبَرْ (5×) اللهُ اَكْبَرْ (4×) - اَللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيْرًا, وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلًا, لَاإِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ, صَدَقَ وَعْدَهُ, وَنَصَرَعَبْدَهْ, وَأَعَزَّ جُنْدَهُ وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ, لَاإِلَهَ إِلَّا اللهُ وَلَانَعْبُدُ اِلاَّ اِيَّاهُ, مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُوْنَ.
اَلْحَمْدُ لِلَّه الَّذِى بَسَطَ لِعِبَادِهِ مَوَاعِدَ اِحْسَانِهِ وَاِنْعَامِهِ, وَأَعَادَ عَلَيْنَا فِى هَذِهِ الْايَّامِ عَوَائِدَ بِرِّهِ وَاِكْرَامِهِ, اَحْمَدُهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَلَى جَزِيْلِ اِفْضَالِهِ وَاِمْدَادِهِ, وَاَشْكُرُهُ عَلَى كَمَالِ جُوْدِهِ وَحُسْنِ وِدَادِهِ بِعِبَادِهِ. أَشْهَدُ أَنْ لَا اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لَاشَرِيْكَ لَهُ فِى مُلْكِهِ وَبِلاَدِهِ, وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اَشْرَفُ عِبَادِهِ وَزُهَادِهِ, وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ خَيْرِ خَلْقِهِ, وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ الطَّاهِرِيْنَ مِنْ بَعْدِهِ. أَمَّا بَعْدُ.
فَيَا اَيُّهَا النَّاسُ… أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. فَبَادِرُوا بِإِحْيَاءِ سُنَة اَبِيْكُمْ اِبْرَاهِيْمَ عَلَيْهِ الصلاة والسَّلَامُ بِمَا تُرِيْقُوْنَهُ مِنَ الدِّمَاءِ فِى هَذَا الْيَوْمِ الْعَظِيْمِ. اَللهُ أَكْبَرُ- اَللهُ أَكْبَرُ- اَللهُ أَكْبَرُ - وَلِلَّهِ الْحَمْدُ.

Hadirin Jama’ah Idul Adha yang dirahmati Allah SWT

Alhamdulillah, pada pagi hari yang sangat berbahagia ini kita masih diberikan banyak kenikmatan oleh Allah SWT, yang sampai kapan pun kenikmatan-kenikmatan itu tak pernah bisa kita hitung jumlahnya. Di antara begitu banyak kenikmatan Allah tersebut, (sekaligus begitu banyak pula kita mengabaikan kenikmatan-kenikmatan itu), adalah nikmat berupa kesehatan yang kita rasakan saat ini, baik kesehatan jasmani maupun ruhani, terutama nikmat berupa iman dan Islam yang terpatri di dalam hati. Sehingga oleh karenanya kita dapat sama-sama berkumpul di masjid ini sembari mengumandangkan takbir, tahlil, dan tahmid, sebagai upaya taqarrub (mendekatkan diri) kita kepada Allah Dzat Yang Maha Suci. Oleh karenanya pada kesempatan ini, marilah kita sama-sama meningkatkan rasa syukur dan taqwa kita kepada Allah SWT dengan sepenuh hati. Seraya kita niatkan hari ini sebagai upaya menata kembali perjalanan hidup yang sudah kita lalui, dengan bercermin kepada kualitas ketaatan dan ketabahan Nabiyullah Ibrahim AS saat menjalani berbagai ujian dan cobaan dari Allah Yang Maha Tinggi.

Kaum Muslimin dan Muslimat yang dimuliakan Allah SWT

Hari ini adalah hari yang dipenuhi berkah, hari bersejarah bagi seluruh umat Islam se dunia. Hari ini merupakan hari kemenangan Nabiyullah Ibrahim AS, seorang penemu konsep tauhid dalam berketuhanan. Sebuah penemuan maha penting di jagad raya, yang nilainya tak pernah bisa tertandingi oleh penemuan-penemuan lain, bahkan dibandingkan penemuan para saintis atau ilmuan yang paling modern sekalipun. Karena berkat konsep tauhid yang ditemukan Nabiyullah Ibrahim AS itu, manusia dapat memposisikan eksistensi dirinya secara tepat dan benar di tengah-tengah luasnya alam semesta, baik sebagai ‘abdullah (hamba Allah) maupun sebagai khalifatullah di muka bumi. Setelah Nabiyullah Ibrahim AS menyadari bahwa Allah SWT adalah The Absolute One (Dzat Yang Maha Tunggal), maka sejak itu pula manusia tidak pernah dibenarkan memuja dan menyembah kepada selain Allah. Ajaran tauhid atau “monoteisme” yang diprakarsai oleh Nabiyullah Ibrahim AS telah secara nyata mengangkat derajat dan martabat manusia atas alam semesta dan segala isinya, bukan malah sebaliknya.

Ma’asyiral Muslimin yang dirahmati Allah SWT

Saat ini merupakan moment yang tepat untuk merenungkan kembali perjuangan Nabiyullah Ibrahim AS, di dalam upayanya menemukan satu-satunya Tuhan, yakni Allah SWT. Di mana beliau telah bersusah payah melatih alam pikiran dan kebatinannya untuk mengenali Allah, Dzat Yang Paling Berkuasa Atas Alam Semesta. Upaya tersebut tentunya merupakan sesuatu yang teramat sulit dan bahkan rumit jika ditinjau dari sudut ‘aqliyah (pendekatan rasional). Apalagi jika kita membandingkan posisi Nabiyullah Ibrahim AS sebagai manusia yang berada dalam dimensi alam materi-kebendaan (‘alam syahadah-hissiyyah), sedangkan Allah sendiri adalah Tuhan Yang Maha Sirriy dan berada di tempat yang tak pernah dapat digapai oleh indera manusia. Tentunya, Nabiyullah Ibrahim AS mampu melewati proses tersebut melalui berbagai tahapan berpikir dan perenungan yang sangat panjang, serta melalui proses latihan dan penempaan jiwa yang berat. Peristiwa tersebut sebagaimana diabadikan oleh Allah SWT di dalam Firman-Nya (Surat: Al-An’am, Ayat: 75-79),

وَكَذَلِكَ نُرِي إِبْرَاهِيمَ مَلَكُوتَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَلِيَكُونَ مِنَ الْمُوقِنِينَ. فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ رَأَى كَوْكَبًا قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَا أُحِبُّ الْآفِلِينَ. فَلَمَّا رَأَى الْقَمَرَ بَازِغًا قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَئِنْ لَمْ يَهْدِنِي رَبِّي لَأَكُونَنَّ مِنَ الْقَوْمِ الضَّالِّينَ. فَلَمَّا رَأَى الشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هَذَا رَبِّي هَذَا أَكْبَرُ فَلَمَّا أَفَلَتْ قَالَ يَا قَوْمِ إِنِّي بَرِيءٌ مِمَّا تُشْرِكُونَ. إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ. 

Dan demikianlah Kami telah perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi, agar dia termasuk orang yang yakin. (75) Ketika malam telah gelap, dia melihat bintang di langit (lalu) dia berkata: “Inilah Tuhanku”, tetapi tatkala bintang itu lenyap dia berkata: “Saya tidak suka kepada yang lenyap“ (76) Kemudian tatkala dia melihat bulan menampakkan dirinya dia berkata: “Inilah Tuhanku”. Tetapi setelah bulan itu menghilang dari pandangan, dia berkata: “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang yang tersesat.” (77) Kemudian saat ia melihat matahari terbit, dia berkata: “Inilah Tuhanku, inilah yang paling besar”. Maka tatkala matahari itu pun terbenam, dia berkata: “Wahai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian persekutukan. (78) Sesungguhnya aku menghadapkan diriku hanya kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi, seraya mengikuti agama yang benar, dan aku bukanlah orang-orang yang mempersekutukan Tuhan seperti kalian (79)

Hadirin wal Hadirat Rahimakumullah!

Selain sebagai penemu konsep tauhid dalam berketuhanan, beliau juga merupakan salah satu hamba Allah yang paling berhasil di dunia dalam menaklukkan nafsu duniawiyah-nya, demi memenangkan kecintaannya kepada Allah. Ketaatan dan keikhlasan Nabiyullah Ibrahim AS untuk menyembelih (mengurbankan) Ismail yang merupakan puteranya sendiri yang paling dicintai, yang notabene telah ditunggu-tunggu kelahirannya sejak lama, adalah bukti ketaatan dan kepasrahan total beliau kepada Allah. Itulah sesungguhnya hakikat dan makna ber-qurban, yakni keikhlasan atau kerelaan hati untuk melepaskan segala apapun yang paling dicintai, demi ketaatan dalam melaksanakan perintah dan ber-taqarrub kepada Allah.
http://aang-zaeni.blogspot.com/2017/02/contoh-teks-khutbah-idul-adha-makna.html

Qurban berarti sebuah tekad dan keberanian untuk meninggalkan atau “menyembelih” nafsu duniawiyah dalam rangka menghambakan diri secara total hanya kepada Allah. Karena kecintaan kita yang berlebihan terhadap dunia, hanya akan menjadi penghalang kedekatan kita kepada Allah. Sebagaimana hal ini pernah diterangkan oleh seorang ulama salafus shalih, Malik Bin Dinar Rahimahullah:

حبّ الدنيا رأس كلّ خطيئة 

“Kecintaan yang berlebihan terhadap dunia adalah sumber dari segala kesalahan.”

Oleh sebab itu kecintaan kita terhadap dunia haruslah “disembelih”, agar kita bisa semakin mendekat kepada Allah SWT. Islam tidak melarang umatnya untuk mencari rizki atau kepentingan-kepentingan duniawi, bahkan Allah pun sangat mencintai umat-Nya yang mau bersusah payah dalam mencari rizki yang halal, sebagaimana sabda Nabi SAW :

ِانَّ اللهَ تَعَالىَ يُحِبُّ أَنْ يَرَى عبدَه تَعِبًا فىِ طَلَبِ الْحَلاَلِ 

Sesungguhnya Allah sangat senang melihat hamba-Nya yang mau bersusah payah dalam mencari rizki atau sesuatu yang halal (HR. Ad-Dailami).

Islam hanya melarang kita memiliki sikap dan orientasi hidup terlalu “mencintai dunia”, sebab, jika hati dan pikiran seseorang sudah terpikat dan melekat dengan hal-hal yang bersifat duniawi, maka ia akan terdorong untuk melakukan dan menghalalkan segala cara demi meraih dunia tersebut.

Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah!

Hewan qurban yang kita sembelih pun hakikatnya hanyalah simbol yang tidak akan pernah dipedulikan dan dinilai oleh Allah jika tanpa didasari dengan niat yang tulus dan ikhlash, sebagaimana hal ini ditegaskan sendiri oleh Allah di dalam firman-Nya (Q.S. Al-Hajj: 37) ;

لَن يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَاوَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِن يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنكُمْ كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَاهَدَاكُمْ وَبَشِّرِالْمُحْسِنِينَ. 

“Daging-daging hewan yang disembelih berikut darahnya itu tidak akan pernah dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan kalianlah yang dapat menggapai keridhoan-Nya itu...”

Ibnu Abbas RA, seorang sahabat Nabi yang dikenal sebagai Turjumanul Qur’an (penterjemah al-Qur’an), dalam penjelasan-penjelasan tafsir beliau atas ayat-ayat al-Qur’an, sebagaimana dihimpun oleh Imam Abu Thohir Muhammad bin Yakub Al-Fairuzzabadi As-Syafi’iy dalam kitab: “Tanwirul Miqbas min Tafsiri Ibn ‘Abbas”, menafsirkan kata taqwa pada ayat di atas dengan “niat yang suci dan ikhlas”. Karena hanya dengan landasan niat yang suci dan ikhlaslah seseorang akan dapat mencapai ridho Allah, yakni bukan karena riya, keterpaksaan, kesombongan, ataupun maksud-maksud lain selain Allah.

Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah!

Qurban merupakan simbol ketaqwaan dan ketaatan kita kepada Allah SWT. Perintah qurban ini berawal dari wahyu Allah yang mengusik tidur Nabiyyullah Ibrahim AS. Allah menurun-kan wahyu-Nya melalui ru’yah shodiqoh kepada Nabi Ibrahim agar menyembelih putra satu-satunya yang bernama Ismail (atau yang dalam lidah orang Barat disebut Samuel). Ketika Ibrahim terbangun dari tidurnya, ia termenung bahwa apa yang terjadi dengan mimpinya hanyalah bisikan dari iblis yang menyesatkan, sebab bagi akalnya, sangat tidak mungkin Allah, Dzat Yang Maha Penyayang, memerintahkannya untuk menyembelih putranya sendiri yang sangat dicintai. Pada tahap ini Ibrahim AS merespon perintah Allah tersebut dengan metode ta’aqquliy (berpedoman kepada akalnya), hingga ia pun meragukan perintah tersebut lantaran tidak bisa diterima oleh akal sehat atau logika. Akan tetapi, ketika Allah kembali mengusiknya dengan mimpi yang sama hingga 3 kali berturut-turut, maka Ibrahim lalu segera mencampakkan akalnya tersebut, kemudian menggunakan hati dan keimanannya untuk menerima perintah Allah itu secara ta’abbudiy, sebagai wujud ketundukan dan kepatuhannya secara total kepada Allah SWT.

Baca Juga>Khutbah Idul Fithri Manusia Pengemban Amanat Rahmat Semesta

Di samping itu, ibadah qurban juga mengandung pesan kepada kita agar memiliki jiwa sosial dan peka terhadap penderitaan sesama. Pembagian daging qurban kepada kalangan fuqoro wal masaakin agar mereka dapat menikmati kegembiraan yang sama di hari raya ini, adalah simbol agar kita mau berbagi dengan mereka serta ikut meringankan penderitaannya, bukan hanya pada saat-saat tertentu seperti hari ini saja, akan tetapi setiap saat dan setiap waktu manakala kita diberikan rizki dan kemampuan oleh Allah. Apabila semangat ini terus menyala di hati setiap orang yang berqurban, maka insya Allah kemiskinan yang saat ini masih menjadi problem masyarakat dan bangsa ini akan dapat dientaskan.

Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah!

Kedua hal di atas, yakni penemuan Nabiyyullah Ibrahim AS atas konsep tauhid dan perintah penyembelihan terhadap anaknya yang kemudian diganti dengan kambing, merupakan satu pertanda bahwa ruang hidup di mana Nabiyullah Ibrahim AS hidup, adalah garis batas yang memisahkan kehidupan “brutal” dan kehidupan “ber-prikemanusiaan”. Penyembelihan terhadap Ismail yang kemudian diganti dengan kambing, merupakan tanda bahwa sejak saat itu tidak ada lagi proses penyembahan dengan cara pengorbanan manusia. Karena manusia adalah makhluk mulia yang tak pantas untuk dikorbankan, meski dilakukan dengan suka rela.

Pelajaran penting lain yang juga patut kita renungkan terkait perjuangan Nabiyullah Ibrahim AS, adalah seperti apa yang diingatkan oleh Allah SWT di dalam al-Qur’an (Al-Baqarah: 127)

وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيْمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيْلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ 

“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan pondasi Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): “Ya Tuhan kami, terimalah amalan kami, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.

Dalam firman-Nya tersebut, Allah SWT mengingatkan kita untuk meneladani prilaku Nabiyullah Ibrahim AS, terutama bagaimana beliau merawat dan merekonstruksi Ka’bah sebagai simbolisasi Rumah Allah (Baitullah). Sehingga, berbagai macam ibadah dan ritual peyembahan kepada Allah di sekitar Ka’bah pun akhirnya diberlakukan sampai sekarang sebagai sebuah kewajiban bagi seluruh umat Islam di dunia, yakni, ibadah Haji.

Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah!

Haji merupakan ibadah yang penuh dengan simbol-simbol. Oleh karenanya, jika ibadah haji dilaksanakan tanpa memahami makna hakiki yang terkandung di dalam simbol-simbol itu, maka amatlah percuma ibadah tersebut, karena hanya akan menyisakan kelelahan belaka. Kelelahan yang kering dari pemahaman.

Meskipun saat ini kita semua berada di masjid ini, di tempat yang jauh dari Tanah Suci, namun tidak berarti kita tidak bisa meneladani Nabiyullah Ibrahim AS melalui pelaksanaan ibadah haji. Karena keteladanan itu tidaklah semata-mata bersifat fisik. Namun sejatinya, keteladanan itu berada dalam semangat untuk terus berbuat baik tanpa mengenal batasan ruang dan waktu. Keteladanan atas hikmah ibadah haji dapat kita terapkan dalam kehidupan nyata sehari-hari, yaitu ketika kita berinteraksi dengan keluarga, tetangga, teman, saudara, masyarakat, dan umat manusia pada umumnya.

Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah!

Bila kita kaji, pelaksanaan ibadah haji yang dimulai dengan niat dan dibarengi dengan menanggalkan pakaian sehari-hari untuk digantikan dengan 2 helai kain putih yang disebut ihram, di balik ajaran tersebut sesungguhnya tersimpan banyak makna, diantaranya :

Pertama, pakaian yang selama ini kita pakai sehari-hari sangatlah identik dengan derajat dan status sosial manusia. Oleh sebab itu, ketika seorang muslim telah bertekad untuk berhaji dan menghadap kepada-Nya, maka ia harus segera menanggalkan “pakaian” yang berupa derajat dan status-status sosial tersebut, lalu diganti dengan busana ihram yang serba putih, sebagai pertanda bahwa manusia di hadapan Allah sejatinya adalah sama.

Kedua, yang dimaksud pakaian tidak hanya apa yang kita kenakan saat ini, namun juga semua “identitas” dan “profesi” yang menyelimuti diri manusia. Maka, identitas dan profesi itu pun hendaknya segera dilepaskan ketika menghadap Allah SWT. Karena Allah tidak pernah membeda-bedakan antara pejabat dan rakyat, antar penguasa dan hamba, antara pembantu dan majikan, antara petani, pedagang, nelayan, dan sebagainya. Semua itu dalam pandangan Allah adalah sama. Sabda Nabi SAW :

المسلمون إخوة لا فَضْلَ لِأَحَدٍ على أَحَدٍِ إلاّ بالتّقوى رواه الطبرانى 

Kaum muslim itu satu sama lain bersaudara, tiada seorangpun  yang lebih utama dari seorang yang lain, melainkan karena taqwanya (HR. Imam At-Tabhrani)

Ketiga, pakaian ihram mengingatkan manusia akan kondisi ketidak-berdayaannya di hadapan Allah. Karena nanti, ketika manusia berpulang kepada-Nya pun ia tidak akan membawa apa-apa kecuali kain putih yang menemaninya. Sebagai pertanda, bahwa seharusnya manusia hidup tidak diperbudak oleh nafsu duniawiyah untuk terus menumpuk kekayaan sepanjang hidupnya, karena semua itu pada saatnya akan ditinggalkan.

Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah! 

Adapun thowaf mengelilingi ka’bah sebanyak 7 putaran, adalah simbol kedekatan manusia dengan Sang Pencipta. Thowaf menyiratkan kondisi peleburan jiwa manusia untuk menyatu dengan Baitullah, seolah ke-dirian manusia hilang ditelan oleh kebesaran-Nya. Thowaf dapat diartikan “hilangnya diri manusia karena terhanyut dalam pusaran Energi Ilahi”. Thowaf adalah simbol hablum minallah yang hakiki.

Kemudian sa’i (berlari-lari kecil) dari Shofa ke Marwah, kita dapat memahaminya sesuai perspektif sejarah. Ketika Siti Hajar bersama puteranya, Ismail, ditinggalkan oleh Nabiyullah Ibrahim AS di tengah padang tandus, ia harus berjuang mempertahankan hidup dengan mencari air dari Shofa ke Marwah. Kehidupan memang sarat dengan perjuangan. Usaha atau ikhtiar adalah sebuah kewajiban. Demikianlah kodrat kehidupan. Hidup ini pada hakikatnya “suci”, dan tugas manusia adalah menjaga kesucian tersebut, sesuai dengan makna harfiah kata “Shofa” itu sendiri yang berarti “kemurnian” atau “kesucian”. Selain itu, hidup juga adalah “cita-cita” untuk membangun kebersamaan yang dilandasi oleh sikap murah hati, saling menghargai dan memaafkan, sebagaimana makna kata “Marwah” itu sendiri yang berarti “kemurahan, menghargai, dan memaafkan”.

Jika thowaf menggambarkan dimensi hubungan manusia dengan Tuhannya, maka sa’i menjelaskan bahwa dalam dimensi hubungan antar manusia, kehidupan harus dijalani sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan, yakni dengan menjalin interaksi dan komunikasi dengan baik antar sesama. Singkatnya, kehidupan ini harus dijalani dengan prinsip “keseimbangan” (tawassuth, tawazun, dan i’tidal), yakni menyeimbangkan antara dimensi ilahiyah (ketuhanan) dan insaniyah (kemanusiaan).

Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah!

Sedangkan padang Arafah yang merupakan tempat bagi jama’ah haji menunaikan wuquf, adalah tempat untuk “menggembleng” pribadi seorang muslim hingga ia mampu mengenali siapa sesungguhnya jati dirinya. Arafah, adalah ruang untuk ber-muhasabah (berintrospeksi diri) tentang: siapa, dari mana, dan hendak kemana manusia nantinya. Oleh karena itulah tempat itu dinamakan “Arafah” yang secara harfiyah berasal dari satu akar kata yang sama dengan “Ma’rifah”, yang berarti “mengetahui dan mengerti tentang hakikat”.

Ma’asyiral Muslimin yang dirahmati Allah! 

Demikianlah uraian Contoh Teks Khutbah Idul Adha : Makna Idul Adha Dalam Dimensi Hubungan Ketuhanan (Ilahiyah) dan Kemanusiaan (Insaniyah), semoga bermanfaat bagi kita semua. Dan semoga kita yang berada di tempat ini diberikan kesempatan oleh Allah untuk mengunjungi Tanah Suci. Demikian juga untuk saudara-saudara kita yang saat ini tengah berjuang menunaikan ibadah haji, semoga selalu diberikan kesehatan, ketabahan, dan keselamatan. Amien Ya Rabbal ‘Alamin.

أعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطنِ الرَّجِيْمِ. بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ. إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ. بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ. وَنَفَعَنِي وَاِيِّاكُمْ بما فيه مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاوَتَهُ اِنّهُ هُوَ السَّمِيْعُ اْلعَلِيْمُ. فَاسْتَغْفِرُوْه اِنَّهُ هُوَاْلغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

Khutbah Kedua:

اللهُ اَكْبَرْ (3×) اللهُ اَكْبَرْ (4×) اللهُ اَكْبَرْ كَبِيْرًا وَاْلحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا, وَسُبْحَانَ الله بُكْرَةً وَ أَصْيْلاً, لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ اَكْبَرْ, اللهُ اَكْبَرْ وَللهِ اْلحَمْدُ. اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ اِحْسَانِهِ, وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ, اَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَاَشْهَدُ اَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى اِلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا.
اَمَّا بَعْدُ. فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ... اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا اَمَرَكم وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَاكم, وَاعْلَمُوْا اَنَّ اللهّ اَمَرَكُمْ بِاَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ, وَثَـنَّى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ, وَقَالَ تَعاَلَى: اِنَّ اللهَ وَمَلآ ئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ, وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَتِكَ اْلمُقَرَّبِيْنَ, وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ اَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِىّ, وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ, وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.
اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ, وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ, اَلاَحْيآء مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ. اَللَّهُمَّ انْصُرْنَا فَاِنَّكَ خَيْرُ النَّاصِرِيْنَ, وَافْتَحْ لَنَا فَاِنَّكَ خَيْرُ الْفَاتِحِيْنَ, وَاغْفِرْ لَنَا فَاِنَّكَ خَيْرُ الْغَافِرِيْنَ, وَارْحَمْنَا فَاِنَّكَ خَيْرُ الرَّاحِمِيْنَ, وَارْزُقْنَا فَاِنَّكَ خَيْرُ الرَّازِقِيْنَ, وَاهْدِنَا وَنَجِّنَا مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِيْنَ. اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ لَنَا دِيْنَناَ الَّذِى هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِنَا, وَأَصْلِحْ لَنَا دُنْيَانَا الَّتِى فِيْهَا مَعَاشُنَا, وَأَصْلِحْ لَنَا آخِرَتَنَا الَّتِى فِيْهَا مَعَادُنَا, وَاجْعَلِ الْحَيَاةَ زِيَادَةً لَنَا فِى كُلِّ خَيْرٍ, وَاجْعَلِ الْمَوْتَ رَاحَةً لَنَا مِنْ كُلِّ شرٍّ. اَللَّهُمَّ مَتِّعْنَا بِأَسْمَاعِنَا وَأَبْصَارِنَا وَقُوَّتِنَا مَا أَحْيَيْتَنَا, وَاجْعَلْهُ الْوَارِثَ مِنَّا وَاجْعَلْهُ ثَأْرَنَا عَلَى مَنْ عَاداَنَا, وَلاَ تَجْعَلْ مُصِيْبَتَنَا فِى دِيْنِنَا, وَلاَ تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا, وَلاَ مَبْلَغَ عِلْمِنَا وَلاَ تُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لاَ يَرْحَمُنَا.
عِبَاد َاللهِ... اِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلاِحْسَانِ, وَإِيْتآءِ ذِى اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِِ وَاْلبَغْي, يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ, فاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ, وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ, وَاسْئَلُوْهُ مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكُمْ, وَلَذِكْرُ اللهِ اَكْبَرْ.
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته.

Subscribe to receive free email updates: