Contoh Naskah Khutbah Jumat Terbaik dan Terbaru: Moral Ideal Seorang Pemimpin


Khutbah Pertama:

اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ خَلَقَ الْخَلْقَ وَقَدَّرَ الأَشْيَاءَ، وَاصْطَفَى مِنْ عِبَادِهِ الرُّسُلَ وَالأَنْبِيَاءَ، بِهِمْ نَقْتَدِي وَبِهُدَاهُمْ نَهْتَدِي، أَحْمَدُهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِمَا هُوَ لَهُ أَهْلٌ مِنَ الحَمْدِ وَأُثْنِي عَلَيْهِ، وَأُومِنُ بِهِ وَأَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدَهُ، أَنْزَلَ عَلَيْهِ رَبُّهُ الْقُرْآنَ الْمُبِيْنَ, هُدًى وَنُوْرًا لِلْمُؤْمِنِيْنَ، وَجَعَلَ رِسَالَتَهُ رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ، صَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ وَعَلَى سَائِرِ الأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ, وَآلِ كُلٍّ وَالصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. أَمَّا بَعْدُ, فَيَا عِبَادَ اللهِ أُوْصِِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ.

Hadirin sidang Jum’at rahimakumulllah!

Beberapa hari ke depan, Insya Allah tepatnya pada tanggal 15 Februari 2017, kita akan kembali melaksanakan suksesi kepemimpinan untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Walikota dan Wakil Walikota untuk periode 5 tahun mendatang. Tentunya menjadi harapan kita bersama, bahwa siapapun yang terpilih, entah di wilayah provinsi maupun kota; baik di tingkat Pusat maupun di Daerah, adalah orang yang benar-benar amanah dan memiliki jiwa sebagai negarawan, bukan hanya sekedar politisi. Karena antara negarawan dan politisi adalah 2 hal yang berbeda. Sebagaimana dikemukakan oleh James Freeman Clarke (1810-1888), penulis dan pakar teologi asal Amerika, bahwa seorang negarawan lebih berpikir tentang bagaimana nasib generasi mendatang, sementara politisi hanya berpikir bagaimana memenangkan PILKADA, PILGUB, dan PILWALKOT yang akan datang. Di atas itu semua, hal yang sesungguhnya paling penting adalah, semoga pemilu demi pemilu yang telah dan akan selalu kita laksanakan, jangan sampai menjadi pemicu perpecahan dan rusaknya tatanan persatuan dan persaudaraan di tengah-tengah masyarakat. Seperti diungkapkan oleh KH. Mustofa Bisri/Gus Mus (Rois ‘Am Syuriyah PBNU) beberapa minggu lalu dalam nasehatnya kepada Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU), bahwa kita harus lebih berpikir tentang pentingnya jam’iyah (kebersamaan/persatuan) ketimbang hanya memikirkan kepentingan jama’ah (kelompok).     
http://aang-zaeni.blogspot.com/2017/02/contoh-naskah-khutbah-jumat-terbaru.html

Kaum Muslimin yang berbahagia!

Diskursus atau wacana pemikiran seputar pemimpin dan kepemimpinan di era modern, sejak penghujung abad yang lalu hingga sekarang telah banyak mencuat kembali ke permukaan. Sedikitnya hal ini disebabkan oleh 2 (dua) faktor. Pertama, banyak pemimpin dalam berbagai bidang dan tingkatan terlibat masalah pelanggaran moral. Kedua, sebagaimana dikemukakan banyak orang, mungkin karena usia dunia kita yang semakin menua, sehingga seolah-olah tak kuasa lagi melahirkan pemimpin-pemimpin besar (great leader) dan berintegritas seperti pada masa-masa silam. Kenyataan ini juga pernah dikritisi oleh Jeremie Kubicek, seorang pakar teori kepemimpinan dari London, Inggris, melalui bukunya yang kontroversial (2011), berjudul: “Leadership is Dead” (Kepemimpinan Telah Mati). Ia nyatakan dalam bukunya tersebut, bahwa pemimpin sekarang lebih banyak menuntut (getting), bukan memberi (giving); lebih banyak menikmati, ketimbang melayani; dan lebih banyak mengumbar janji, dari pada memberi bukti. Hal ini tentunya sangat bertentangan dengan makna dan hakikat kepemimpinan itu sendiri, sebagaimana diterangkan oleh Syaikh al-Khathib al-Baghdadiy dalam kitabnya “Tarikhu Baghdad” (10/187): bahwa diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, Nabi SAW pernah bersabda:

سَيِّدُ الْقَوْمِ خَادِمُهُمْ

“Seorang pemimpin adalah “pelayan” bagi masyarakat atau orang yang dipimpinnya.” (Penjelasan serupa juga diterangkan dalam kitab “Syarh az-Zarqani” dan kitab “al-Mawahib al-Laddunniyyah” karya al-Qasthalaniy, dengan keterangan bahwa kualitas sanad hadits tersebut adalah dha’if/lemah).

Hadirin sekalian hadaniyallahu wa iyyakum!

Secara lebih jauh, dalam kajian al-Fiqh as-Siyasi (Fiqih Politik Islam), aspek moral yang seharusnya menjadi dasar sekaligus tujuan dari setiap kebijakan dan tindakan seorang pemimpin adalah “kemaslahatan masyarakat”. Sebagaimana dinyatakan dalam salah satu kaidah kulliyyah (norma hukum universal):

تَصَرُّفُ الإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ 

(bahwa tindakan atau kebijakan pemimpin atas rakyatnya, terikat oleh kepentingan dan kemaslahatan rakyat yang dipimpinnya). 

Tegasnya, setiap prilaku dan kebijakan pemimpin wajib diorientasikan untuk kemashlahatan bangsa dan masyarakat, bukan kemashlahatan diri dan kelompoknya semata. Senada dengan makna kaidah di atas, Imam as-Syafi’i rahimahullahu ta’ala juga menyatakan (dalam Dr. Dhiyauddin al-Husaini, Majalah ar-Ra-id, 01/06/2013):

مَنْـزِلَةُ الإِمَامِ مِنَ الرَّعِيَّةِ مَنْـزِلَةُ الْوَلِيِّ مِنَ الْيَتِيْمِ. 

“Posisi (tanggungjawab) seorang pemimpin atas rakyatnya adalah sebagaimana posisi (tanggungjawab) orang yang diberi amanat memelihara anak-anak yatim”.

Hadirin sidang Jum’at yang dimuliakan Allah!

Kaidah di atas sesungguhnya diturunkan dari moral kepemimpinan Rasulullah SAW sebagaimana disebutkan dalam al-Quran. Firman Allah SWT dalam QS. at-Taubah [9]: 128 menyatakan:

لَقَدْ جَآءَكُمْ رَسُوْلٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيْزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيْصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِيْنَ رَؤُوْفٌ رَحِيْمٌ 

“Sungguh telah datang kepada kalian seorang Rasul dari kalangan kalian sendiri; begitu berat dirasakan olehnya penderitaan kalian; ia sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagi kalian; dan ia amat mengasihi dan menyayangi orang-orang mukmin.”

Berdasarkan ayat di atas, ada 3 sikap moral kepemimpinan Rasulullah SAW yang perlu dicermati dan diteladani oleh setiap pemimpin. Pertama, ‘azizun alaihi ma ‘anittum (artinya, amat berat dirasakan oleh Nabi apa yang menjadi beban penderitaan umat yang dipimpinnya). Dalam istilah modern, sikap ini disebut sense of crisis, yaitu rasa peka atas kesulitan rakyat yang ditunjukkan dengan kemampuan berempati dan simpati kepada pihak-pihak yang kurang beruntung. Secara kejiwaan, empati berarti kemampuan memahami dan merasakan kesulitan orang lain. Rasa empati pada gilirannya akan mendorong lahirnya sikap simpati, yaitu ketulusan memberi bantuan, baik moral maupun material, untuk meringankan penderitaan orang yang mengalami kesulitan.

Kedua, harishun `alaikum (artinya, Nabi sangat mendambakan agar umat yang dipimpinnya aman dan sentosa). Dalam istilah modern, sikap ini disebut sense of achievement, yaitu semangat dan perjuangan yang sungguh-sungguh, agar seluruh masyarakat yang dipimpinannya dapat meraih kemajuan dan kemakmuran.

Ketiga, raufun rahim (artinya, sikap mengasihi dan menyayangi). Allah SWT adalah Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Demikian pula Rasulullah SAW, juga merupakan manusia yang sangat pengasih dan penyayang. Maka sudah seharusnya bagi setiap mukmin, terutama mereka yang dipercaya menjadi pemimpin, meneruskan kasih sayang Allah dan Rasul-Nya itu dengan cara mencintai dan mengasihi orang lain, khususnya masyarakat yang dipimpinnya. Karena kasih sayang (rahmat) adalah pangkal dari segala kebaikan. Tanpa kasih sayang, sangat sulit dibayangkan seseorang bisa berbuat baik. Dalam hal ini, Imam al-Hafizh Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah at-Turmudzi, atau yang lebih dikenal dengan nama Imam at-Turmudzi, seorang ulama besar ahli hadits, murid dari Imam al-Bukhari dan Imam Muslim, di dalam kitab kumpulan haditsnya yang berjudul Sunan at-Turmudzi, ia meriwayatkan sebuah hadits dari Abdullah ibnu Umar RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

... إِرْحَمُوْا مَنْ فِي الأَرْضِ يَرْحَمُكُمْ مَنْ فِي السَّمَآءِ ... 

“Kasih sayangilah orang-orang yang di bumi, maka yang di langit akan mengasihimu”.

Kaum Muslimin yang dirahmati Allah!

Seorang mujaddid (ulama pembaharu) abad modern, Sayyid Muhammad Rasyid Ridha (penulis kitab tafsir al-Manar, murid dari Syaikh Muhammad Abduh, sekaligus pengembang pemikiran Syaikh Jamaluddin al-Afghani yang sangat terkenal dengan pertanyaannya yang monumental:“limaadza ta-akhara al-muslimuun wa taqaddama ghairuhum” (mengapa kaum muslim begitu terbelakang, sedangkan umat lain sedemikian maju?), ia menegaskan: bahwa ketiga sikap moral di atas WAJIB hukumnya bagi seorang pemimpin. Karena tanpa ketiga sikap moral tersebut, seorang pemimpin bisa dipastikan tidak akan bekerja untuk kepentingan rakyatnya, melainkan hanya untuk kepentingan dirinya sendiri, keluarga, dan kelompoknya semata. Semoga Allah SWT menganugerahkan kepada kita para pemimpin yang amanah, yang betul-betul memahami hakikat tugas dan kewajibannnya sebagai khaadimul ummah (pelayan masyarakat), dan mereka tentunya akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT kelak di akhirat. Amin Yaa Rabbal ‘Alamin. [ ]

أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ, )إِنَّا عَرَضْنَا الأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَالْجِبَالِ, فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الإِنْسَانُ, إِنَّهُ كَانَ ظَلُوْمًا جَهُوْلاً(.

“Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, semuanya enggan untuk memikul amanat itu lantaran mereka khawatir akan berbuat khianat, lalu dipikullah amanat itu oleh manusia, sesungguhnya manusia itu amat dzalim lagi bodoh”. (QS. al-Ahzab [33] : 72).
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ, وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ, وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَاسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.


اَلْحَمْدُ للهِ عَلَى إِحْسَانِهِ, وَالشُّكْرُ لَهُ عَلَى تَوْفِيْقِهِ وَامْتِنَانِهِ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاََّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنََّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إِلَى رِضْوَانِهِ. اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ, وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا. أَمَّا بَعْدُ, فَيَا أَيُّهَا النَّاسُ, اِتَّقُوا اللهََ حَقَّ تُقَاتِهِ, وَاعْلَمُوْا أَنََّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَّى بِمَلآئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ, وَقَالَ تَعَالَى إِنََّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ يَآأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَنْبِيَآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَتِكَ الْمُقَرَّبِيْنَ, وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ, وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَاأَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ الأَحْيَآءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ, إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مَجِيْبُ الدَّعَوَاتِ. اللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَِّ الشِّرْكَ وَالْمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ الْمُوَحِّدِيْنَ الْمُخْلِِصِيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ الْمُسْلِمِيْنَ ودَمِّرْ أَعْدَآئَنَا وَأَعْدَآءَ الدِّيْنِ وأَعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. اللَّهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا الْبَلاََءَ وَالْوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَالْمِحَنَ وَسُوْءَ الْفِتْنَةِ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنا إِنْدُوْنِيْسِيَا خَآصَّةً وَعَنْ سَائِرِ الْبُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَآمَّةً يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. عِبَادَ اللهِ! إِنََّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيْتَآءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ, وَاذْكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَاسْئَلُوْهُ مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكم, وَلَذِكرُ اللهِ أَكْبَرُ, وَاللهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ.

Subscribe to receive free email updates: