Bismillah, Al-hamdulillah, assholatuwwassalamu’ala rasulillah. Wa ba’du.
Bermadzhab, tidak bisa dipungkiri lagi, adalah merupakan kenyataan sosial. Madzhab tidak bisa dipisahkan dari praktek keagamaan sehari-hari ummat Islam, bukan hanya di Indonesia tetapi di seluruh pelosok dunia Islam.
Dalam hal ini, di tengah-tengah ummat Islam ada dua sisi pemikiran yang bertolak belakang dalam mensikapi madzhab. Satu sisi memandang bahwa taqlid pada madzhab tertentu hukumnya wajib bagi setiap muslim. Sisi pemikiran lain memandang bahwa bermadzhab merupakan perbuatan bi’ah yang diada-adakan dan tidak mempunyai dasar hukum yang kuat. Kelompok pertama menyatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup, sedang kelompok kedua menyarankan perlunya dibuka kembali pintu ijtihad, karena merupakan kebutuhan yang tidak bisa dihindari.
Maka kajian tentang madzhab, terutama madzhibul arba’ah yang banyak dianut ummat Islam di berbagai belahan bumi hingga saat ini sangatlah urgen, untuk memahami latar belakan, perkembangn, karakteristik dan corak serta perbandingan metode masing-masing madzhab dalam menyimpulkan hukum.
Ibarat pisau bermatu dua, kajian Perbandingan madzhab, insya Allah sangat bermanfaat, bukan saja akan mengikis fanatisme taqlid buta bermadzhab, tetapi juga menghilangkan sikap apriori dan antipati pada madzhab. Memang Islam selalu megajari kita agar menempatkan setiap urusan pada tempatnya, adil, tawazun dan proporsional.
Barang kali karena itulah buku kecil ini disusun, yang sebenarnya hanya merupakan catatan kecil penyusunnya dalam memberikan materi pembekalan untuk siswa akhir Pondok Modern Gontor, baik putra maupun putri. Semoga bermanfaat dan menjadi amal sholeh bagi kita semua. Amein.
Tentang Penjelasan Beberapa Istilah
MADZHAB arti bahasanya adalah :tempat yang dilalui (jalan), bisa juga diartikan pendirian (al- mu’taqodat). Menurut arti istilah adalah : Himpunan Pendapat salah seorang imam mujtahid tentang hukum suatu masalah, atau himpunan kaidah-kaidah istimbath yang dirumuskan oleh seorang imam mujtahid.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa madzhab adalah: hasil ijtihad seorang imam mujthaid mutlaq mustaqil tentang hukum suatu masalah atau tentang kaidah-kaidah istimbath. Dan bermadzhab adalah: mengikuti hasil ijtihad seorang imam tentang hukum suatu masalah (madzhab fiqih) atau tentang kaidah-kaidah istimbathnya (madzhab fikir/ushul fiqih).
Madzahib arba’ah adalah: Empat madzhab fiqih dari kalangan ahli sunnah yang masih bertahan dan diamalkan oleh sebagian besar kaum muslimin hingga saat ini. Yaitu: Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali.
Selain empat madzhab tersebut di kalangan ahli sunnah juga terdapat beberapa madzhab fiqih, sayangnya mereka kurung populer dan tidak banyak pengikutnya. Pendapat pendapat mereka tersebar di berbagai kitab fiqih namun tidak terhimpun dalam satu kitab. Diantaranya adalah : Dhohiri, Auza’I dan Laitsi.
LATAR BELAKANG DAN SEJARAH MADZHAB
1). Masyarakat Islam di Madinah telah berhasil membangun sebuah negara, karena itu memerlukan adanya lembaga hukum untuk mengatur kehidupan bermasyakat dan bernegara, hal ini menjadi salah satu sebab banyaknya ayat-ayat ahkam yang turun di Madinah, dibandingkan dengan yang turun di Makkah.
2). Ayat- ayat ahkam menurut Abdul Wahhab Kholaf hanya sekitar 5,8 % dari keseluruhan ayat al-qur’an (6360 ayat).
Perinciannya adalah :
- Ayat ibadah 140 ayat
- Ayat keluarga 70 ayat
- Ayat perekonomian 70 ayat
- Ayat kriminalitas 30 ayat
- Ayat hubungan muslim-non muslim 25 ayat
- Ayat peradilan 13 ayat
- Ayat hubungan kaya- miskin 10 ayat
- Ayat kenegaraan 10 ayat
Jumlah 368 ayat
Ayat ahkam tentang ibadah mempunyai porsi terbanyak, karena berfungsi untuk membentuk kepribadian individu muslim yang berkwalitas. Diikuti dengan ayat keluarga, karena keluarga yang sejahtera dan luhur merupakan dasar-dasar pembangunan masyarakat. Tentu saja harus ditopang dengan produktifitas ekonomi yang tinggi dan menciptakan situasi yang kondusif kepada masyarakat untuk membangun. Masyarakat yang bebas dari kriminalitas. Selanjutnya karena realitas menunjukkan bahwa keadaan masyarakat sangat mejemuk, perlu diatur hubungan antara muslim dan non muslim. Dan untuk intern mesyatakat Islam perlu diatur hubungan kaya dan miskin agar tidak ada kesenjangan sosial yang melemahkan sendi-sendi bermasyarakat. Dan yang terakhir, karena negara sebagai lembaga tertinggi yang mengatur kehidupan masyarakat, maka perlu diberikan legitimasi dengan aturan yang kongkrit.
3. Periode Perkembangan Hukun Islam
a). Periode Nabi: Pada periode ini al-qur’an turun secara berangsur-angsur, sesuai dengan kebutuhan dan kondisi. Dalam memecahkan suatu masalah bila ayat tidak turun maka Nabi berijtihad sendiri untuk menyelesaikan masalah, hal ini absah saja karena beliau memang ma’shum (terjaga dari kesalahan).
b). Periode Shahabat: Banyak negri yang dibuka dan diislamkan telah mencapai kemajuan peradaban materi lebih tinggi dari pada masyarakat Madinah (Persi dan Mesir sebagai contohnya), sehingga menimbulkan berbagai masalah yang jauh lebih rumit dan belum pernah ada pada zaman nabi Muhammad SAW. Para sahabat terpaksa melakukan ijtihad guna memberikan fatwa sebagai jawaban atas problematika ummat. Mereka juga mengadakan konsensus (ijma) terutama pada zaman Abu Bakar, sebelum kemudian mereka tersebar untuk berda’wah dan mengajar ke berbagai pelosok negri muslim.
Diantara fuqoha’ yang terkenal dari kalangan shohabat adalah: Umar bin Khottab, Ali bin Abi Tholib, zaid bin Tsabit, Abdullah bin Umar (Madinah), Abdullah bin Abbas (Makkah), Abdulah bin Mas’ud (Kufah), Anas bin Malik (Basroh), Mu’adz bin Jabal (Suriah) dan Abdullah bin ‘Amr bin Al-Ash (Mesir).
c). Periode Ijtihad : Daerah taklukan ummat Islam semakin luas, persoalan ummat semakin komplek pula. Para shahabat telah berhasil mengkader para tabi’in di berbagai madrasah yang mereka buat. Hadist dibukukan dan muncullah para fuqoha’ mujtahidin.
Diantara tabi’in yang terkenal sebagai fuqoha’ adalah: Sa’id ibnu Musayyap, ‘Urwqah bin Zubair, Al-Qosim bin Muhammd, Muhammad ibnu Syihab Az-Zuhri, Yahya ibnu Sa’ad dan Malik bin Anas di Madinah. Ikrimah, Mujahid, Soyan bin ‘Uyainah dan Muslim bin Kholid (gurunya Imam Syafi’I) di Makkah. Al-Qomah bin Qoid, Al-Qodhi Suraij, Ibrohim An-Nakh’I dan Hammad bin Abi Sulaiman (gurunya Imam Abu Hanifah) di Kufah. Yazid bin Habib dan laist bin Sa’ad di Mesir.
d). Periode taqlid/penutupan pintu ijtihad: Ketika madzhab semakin banyak bermunculan, dan menumbuhkan fanatisme yang kuat pada para pengikutnya, ditambah dengan pertentangan politik yang tajam dan tidak adanya ulama’ mujtahid yang sekaliber aimmah madzahib terdahulu, maka untuk kemashlahatan, para ulama dalam madzhab-madzhab mayoritas, dibantu penguasa yang ada menyatakan ditutupnya pintu ijtihad dan diwajibkannya taqlid kepada salah satu dari madzahib arba’ah yang sudah mapan.
MENGENAL CORAK MADZAHIBUL ARBA’AH
Tidak ada perbedaan prinsipil antara empat madzhab, pendapat-pendapat mereka berdekatan karena kedekatan faktor historis (hubungan antara murid dengan gurunya) disamping mereka semua masih berada dalam satu kelompok ahli sunnah.
Imam Syafi’I adalah murid dari Imam Malik sekaligus murid dari Abu Yusuf (pelanjut Imam Abu Hanifah), sedang Imam Ahmad bin Hambal adalah murid kesayangan Imam Syafi’i ketika berdomisili di Iraq. Meskipun demikian, masing-masing madzhab tetap mempunyai corak sendiri-sendiri yang dapat dibedakan satu dengan yang lainnya.
Madzhab Hanafi: dinisbahkan kepada Imam Abu Hamifah an Nu’man bin Tsabit, lahir di Kufah th. 700 M. dan wafat th. 767 M.
Corak madzhabnya : dikenal sebagai ahli ro’yi, karena mahir dalam menggunakan qiyas (analogi). Jauhnya jarak antara kufah dan Madinah menyebabkan sedikitnya para ahli hadist, disamping kompleksitas persoalan di Kufah sebagai kota perdagangan yang dekat dengan pusat Pemerintahan (Baghdad), dibanding dengan kota Madinah.
Imam Hanafi sendiri sangat berhati-hati dalam mengambil sunnah (hadist), karena pada saat itu banyak beredar hadist-hadist maudlu’ (palsu) akibat dari pergolakan politik dan banyaknya kelompok-kelompok yang sangat fanatik membela kepentingan sendiri. Beliau memang menerima hujjiah (kemungkinan dipakainya hujjah) hadist ahad bila memenuhi persyaratan Syuhroh (hadist masyhur ).
Diantara ucapan beliau yang terkenal sebelum wafat adalah: “ Inilah pendapat saya, dan bila ada orang lain yang membawa pendapat lebih kuat, maka itulah yang aku ikuti.”
Murid-murid Imam Abu Hanifah yang terkenal diantaranya adalah Abu Yusuf Ya’qub yang sempat menjadi hakim agung pada zaman pemerintahan Harun Ar-Rasyid, dan juga Muhammad bin Hasan As-Syaibaini, tokoh intelektual dan penulis buku-buku madzhab hanafi.
Saat ini madhab Hanafi dipakai di Turki, Suriah, Afganistan, Turkistan dan India.
Madzhab Maliki: dinisbahkan kepada Imam Malik bin Anas , lahir di Madinah th. 713 M. dan wafat th. 795 M. bergelar imamu ahli hadist, atau imamu daril hijrah. Beliau selama hidupnya tidak pernah meninggalkan kota Madinah kecuali untuk menunaikan ibadah hajji, karena kecintaan beliau kepada madinaturrasul tersebut.
Corak madzhabnya adalah madzhab hadist, karena Madinah memang menjadi pusat peredaran hadist, keluarga beliau juga terkenal sebagai perowi hadist, sehingga madzhabnya bercorak sebagai madzhab hadist. Al-Muwattho’ adalah kumpulan hadist yang disusun oleh Imam Malik, dan termasuk buku hadist yang pertama ditulis. Rijjalussanad dalam kitab ini kebanyakan adalah para hijaziyun.
Ketika Harun Ar-Rasyid bermaksud menjadikan buku ini sebagai rujukan utama dalam menentukan hukum fiqih, beliau menulak dan berkata :
إن أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم تفرقوا في الأمصار و عند كل قوم علم قإذا حملتهم على رأي و احد تكون فتنة.
“Sesungguhnya para shahabat nabi telah tersebar ke berbagai penjuru negri, dan pada setiap kaum mempunyai ilmu (fiqih) sendiri, maka jika engkau membawa mereka pada satu pendapat saja akan menjadi fitnah.”
Beliau mensyaratkan untuk pemakaian hadist ahad agar tidak bertentangan dengan tradisi orang Madinah, sehingga apabila ada perselisihan antara khobarul ahad dengan kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah penduduk Madinah, beliau lebih mengutamakan apa yang sudah menjadi tradisi di Madinah, karena hal itu dianggab sebagai bagian dari hadist mutawatir.
Diantra pengikut madzhab beliau yang terkenal adalah : As-Syafi’i, Yahya al-Andulusi, Ibnu Rusyd dll.
Pada saat ini madzhab Maliki berkembang di Maroko, Tunis, Tripoli, Mesir Selatan, Sudan, Bahroin dan Kuwait.
Madzhab Syafi’i: dinisbahkan kepada Muhmmad bin Idris As-Syafi’I. Lahir di Gaza tahun 767 M. beliau pernah berguru kepada Sofyan bin Uyainah dan Muslim bin Khokid di Makkah, lalu kepada Imam Malik bin Anas di Madinah dan kepada Abu Yusuf serta Imam Syaibani di Kufah. Pada tahun 814 M, beliau pindah ke Mesir dan wafat disana pada tahun 820 M.
Corak madzhabnya: adalah penggabungan antara fiqih hanafi (ahlu ro’yi) dan fiqih maliki (ahlu hadist). Imam Syafi’I adalah penulis Ushul Fiqih pertama dalam kitabnya : Ar-Risalah, Al-Umm dan Al-Mabsuth. Beliau juga terkenal dengan istilah qoul qodim (pendapat lama) dan qoul jadid (pendapat baru), sebagai wujud dinamika pemikiran ilmu fiqih.
Sumber hukum yang beliau pakai adalah: Al-Qur’an , As-Sunnah, Al-Ijma’ dan Qiyas. Sedang istihsan (hanafi) dan Masholihul Mursalah (maliki) beliau tolak. Tetapi beliau memakai istidlal sebagai ganti istihsan. Imam Syafi’I juga terkenal sebagai pembela hadist ahad yang shahih, maksunya setiap hadist yang shahih meskipun ahad bisa digunakan sebagai dasar hukum, tidak mesti memenuhi persyaratan syuhroh (hanafi) ataupun muwafaqah bi amali ahlil Madinah (Maliki). Karena itu sebagian ulama menyimpulkan bahwa pada akhir hayatnya Imam Syafi’I kembali kepada madzhab hadist, diantara ucapan beliau yang terkenal adalah
إذا صح الحديث قهو مذهبي واضربوا بقولي عرض الحائط
“Apa bila suatu hadist terbukti keshahihannya maka itulah madzhabku, dan tolaklah pendapatku (yang tertentangan dengan hadist tadi)”.
Diantara murid beliau yang terkenal adalah : Ahmad bin Hambal, Daud adh-Dhohiri, Ibnu Jarir At-Thobari, Al-Ghozali, Nawawi, Suyuthi, Abu Tsaur dll. Saat ini madzhab Syafi’I berkembang di Mesir, Palestina, Suriah, Libanon, Irak, Hijaz, India, Indonesia, Persia dan Yaman.
Madzhab Hambali: dinisbahkan kepada Ahmad bin Hambal, lahir di Baghdad tahun 780 M. dan wafat th, 855 M. Pada mulanya beliau belajar dan menghimpun hadist, kemudian berguru kepada Imam Syafi’I dan Abu Yusuf, wafatnya pada tahun 855 M.
Corak madzhabnya adalah: madzhab hadist, beliau juga menolak adanya ijma’ (konsesus) setelah berlalunya zaman shahabat. Dalam menggunakan qiyas (analogy) beliau sangat hati-hati, dan hanya menerima qiyas yang manshush ‘ala ‘illatihi (arguman sebabnya disebut dalam ayat atau hadist). Madzhab beliau lebih mengutamakan menggunakan hadist mursal dan aqwalusshahabat dari pada qiyas.
Diantara murid beliau ang terkenal adalah: Abul Wafa’ bin Aqil, Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah, Ibnu Qudama, Ibnu Taimiyah dll. Saat ini madzhab hambali dianut oleh penduduk Irak, Mesir, Palestina dan Arab Saudi.
e. Corak Madzhab lainnya: selain empat madzhab seperti tersebut diatas, masih ada beberapa madzhab fiqih yang terkenal baik di kalangan ahli sunnah maupun syi’ah, diantaranya adalah: madzhab adh-Dhohiri, yang didirikan oleh Daud bin Ali Al-Asfahani. Dinamakan Adh-Dhohiri karena madzhab ini hanya berpegang pada teks-teks lahir dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sementara itu ijma’ dan qiyas ditolak hujjahnya.
Sedangkan madzahib Syi’iyah dalam fiqih yang paling dekat dengan ahli sunnah adalah Az-Zaidiyah, imamnya bernama Zaid bin Ali Zainal Abidin (80–122 H) dengan bukunya yang terkenal al-Majmu’. Dan lainya adalah Imamiyah dan Isma’iliyah. Pada umumnya selain memakai al-Qur’an mereka hanya memakai hadist-hadist ahli bait. Ijma’ (konsensus) baru akan diterima bila berasal dari pendapat Ali bin Abi Tholib yang kemudian mendapat kesepakatan para shahabat. Fatwa-fatwa para imam mereka yang dua belas juga menjadi sumber hukum.
PERBEDAAN MANHAJUL ISTIMBATH
Corak yang mewarnai masing-masing madzhab, banyak bermuara pada perbedaan masing-masing madzhab dalam menerapkan metode menyimpulkan hukum (manhajul istimbath)
Secara umum masing-masing madzhab menyepakati bahwa sumber hukum yang mereka pakai adalah: Al-Qur’an dan As-Sunah. Dalam memahami dan menyimpulkan hukum dari ayat-ayat yang shorihah (muhkamah) mereka relatif sepakat seperti: “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian yang mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasiq” (Q.S. 24: 4)
Tetapi dalam memahami ayat-ayat muhtamalah, atau yang mempunyai kandungan lafadz musytarok, mereka sering berbeda kesimpulan, seperti: “Dan wanita-wanita yang dicerai, hendaknya mereka menunggu selam 3 quru’”.
Quru’ menurut Imam Syafi’i berarti masa suci, sedangkan menurut Imam Hanafi berarti masa haidh.
Selain itu ada juga yang lebih suka memahami lafadz-lafadz teks Al-Qur’an dan As-Sunnah secara lahiriah saja (ma’nal haqiqoh), sementara yang lain ada yang mencari-cari ma’na kinayah atau majaz. Dan ada juga yang mengadakan pendekatan dari makna isytiqoq lughowi.
Demikian pula dalam menerima hadist, mereka tidak jarang berbeda persepsi tentang validitas (keshahihan) suatu hadist. Disamping memang ada juga sebagian imam mujtahid yang belum sempat mendapatkan hadist-hadist yang dijadikan landasan hukum oleh imam mujtahid lainnya, karena kodifikasi dan klasifikasi hadist-hadist baru matang pada abad III memasuki abad IV H. Sedang para imam mujtahid rata-rata mereka hidup pada permulaan abad III hijriyah.
Ijma’ (konsensus) para ulama’ hanya diakui berlakunya bila terjadi pada zaman shahabat. Sedang qiyas jelas ditolak oleh ahli dzohir, serta sangat dikritisi oleh Imam Ahmad bin Hambal, semurut beliau: ”Mengapa mesti menggunakan qiyas bila hadist masih ada? (meskipun mursal).
Selain itu ada juga yang memakai istihsan (memandang lebih baik) kepada suatu hal sehingga menjadi pertimbangan dalam menyimpulkan hukum (Hanafi), meskipun istihsan ini lebih rendah derajatnya dibanding qiyas– karena ‘illahnya kurang jelas (hanya dirasakan adanya, namun sulit untuk diekspresikan/dirumuskan), dan sebagain ulama lainnya menolak penggunaannya, karena sama dengan membuat hukum baru dengan pertimbangan subyektifitas pribadi dan ini sangat terlarang karena merupakan hak mutlaq Allah SWT. (Syafi’I)
Contoh dari istihsan adalah: Sisa air yang diminum oleh burung elang di padang pasir tidak menjadi najis (istihsanan) . beda dengan air yang diminum oleh harimau, meskipun baik elang maupun harimau sama-sama binatang buas dan sangat mungkin di mulut masing-masing terdapat najis akibat memakan bangkai. Karena burung elang meminum air dengan paruhnya dan paruh terdiri dari tulang yang suci, sedang harimau meminum air dengan mulut dan lidahnya. Barang kali masih ada pertimbangan lain dalam menyimpulkan hukum ini, yaitu kelangkaan air di padang pasir, sehingga tidak bijak kalau kita mudah-mudah menghukumi air menjadi najis.
Seorang wanita yang nifas, atau haidh bila berkepanjangan waktunya, maka diperbolehkan membaca al-Qur’an (meskipun hukumnya sama dengan orang yang sedang berhadast besar) istihsanan. Dikhawatirkan bila terlalu lama tidak membaca al-Qur’an akan mematikan hatinya.
Madzhab Maliki mempunyai kaidah “masholihul mursalah” pertimbangan utama adalah kemashlahatan untuk semua ummat manusia. Karena itu KTP, Surat Nikah bahkan peraturan lalulintas pun wajib hukumnya karena mendatangkan kemashlahatan.
Madzhab Syafi’i selain membudayakan penggunaan hadist ahad, asalkan shohih tanpa syarat syuhroh seperti yang ditekankan oleh Hanafi, ataupun muwafaqoh biamali ahlil madinah, menurut Imam Malik, juga sangat mempertimbangkan ‘urf (adat istadat) disuatu daerah untuk menyimpulkan hukum. Akad dalam jual beli termasuk rukun, namun bila tanpa pengucapan lafadz (shighoh) akad jual beli sudah bisa diterima oleh kedua belah pihak (seperti pelebelan harga di sepermarket), maka hal itu pun sudah membuat hukum jual beli sah. Karena itu fiqih Syafi’I terkenal sangat dinamis (ada qoul qadim dan qoul jadid).
BAGAIMANA MENSIKAPI MADZHAB
Bermadzhab adalah merupakan kenyataan sosial, terutama di Indonesia pengaruh madzhab sangat besar. Karena itu masalah bermadzhab perlu disikapi dengan bijak, proporsional, jauh dari apriori, antipati maupun fanatisme buta. Jangan sampai madzhab justru menjadi sarana perpecahan ummat Islam, atau menjadi komoditi kepentingan politik dan golongan untuk mengegolkan kepentingan-kepentingan sesaat.
Sikap moderat yang tepat dalam beragama adalah dengan meneladani adab generasi salaf dari para shahabat, tabi’in dan tabi’ittabi’in yang Rasulullah SAW sendiri telah bersaksi bahwa sebaik-baik zaman adalah zaman beliau dibangkitkan (shahabah), kemudian zaman orang-orang yang menyusul (tabi’iin), dan kemudian zamanya orang-orang yang datang menyusul (tabi’tabi’iin).
Beberapa sikap yang tidak proporsional dalam bermadzhab berikut ini perlu dihindari:
a. Fanatik bertaqlid buta pada madzhab fiqih tertentu, padahal jelas bahwa para imam madzhab tersebut bukanlah orang-orang yang ma’shum (terjaga dari kesalahan).
b. Menggampangkan ayat-ayat al-qur’an dan teks-teks hadist sebagai barang mainan bagi orang-orang yang tidak mempunyai kapasitas keahlian dalam menyimpulkan hukum.
Maka sikap moderat yang bijak adalah tawassut, seperti yang difirmankan Allah SWT: “Dan demikianlah, Kami telah menjadikan kamu sebagai ummat pertengahan, agar kaumu menjadi saksi atas munusia, dan Rarulullah menjadi saksi atasmu”
Sikap moderat ini bisa dirumuskan sebagai berikut: “Bagi setiap muslim yang belum mempunyai kemampuan untuk meneliti dalil-dalil hukum fiqih, hendaknya ia mengikuti (ittiba’) kepada salah satu imam dari antara aimmah mujtahidin, dan sebaiknya ia terus berusaha untuk memahami dalil-dalil yang menjadi landaan pendapat imamnya tersebut. Dengan syarat ia harus terbuka untuk dalil-dalil yang kuat dan benar. Selanjutnya ia supaya terus meningkatkan dirinya agar menjadi orang ahli ilmu, syukur bila sampai pada derajat mujtahid”.
Ada beberapa kesalahan yang perlu dicermati dalam kajian ilmu fiqih:
- Fanatik pada madzhab tertentu, tidak melihat adanya kebenaran selain dari madzhabnya sendiri.
- Membenci fiqih dari sumber aslinya (fiqhussunnah) atau yang bersumber dari al-Qur’an.
- Menolak kajian al-Qur’an dan As-Sunnah, demi fiqih madzhabi yang diyakininya.
- Menolak mentah-mentah fiqih madzhab dengan alasan kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah saja.
Sebenarnya tidak perlu dipertentangkan antara kajian fiqih dengan kajian Al-Qur’an serta Sunnah, bahkan dengan kajian ilmu-ilmu lainnya dalam Islam. Ummat Islam sendiri telah bersepakat bahwa Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah dua sumber utama syariat Islam, sehingga setiap persoalan yang diperselisihkan harus dikembalikan kepada keduanya. Namun juga diakui bahwa pemahaman terbaik terhadap kedua sember hukum Islam tadi adalah pemahaman para aimmah mujtahidin yang kredibilitas mereka telah diakui oleh ummat Islam.
Para imam mujtahid telah berjasa besar dengan karya monumental mereka menyusun qowa’idulistimbath bahkan termasuk himpunan hukum-hukum sebagai kesimpulan ijtihad mereka. Dengan semua itu mereka telah memudahkan banyak kaum muslimin dalam memahami agamanya dengan praktis dan simple. Dan kenyataannya adalah bahwa mayoritas ummat ini adalah orang-orang awam yang sangat bergantung pada fiqih madzhab. Karena itu mereka patut mendapat penghargaan yang semestinya.
Tidak dipungkiri lagi bahwa setiap muslim berkewajiban untuk kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam memahami hukum-hukum Islam, dan dalam menyelesaikan perselisihan-perselisihan diantara mereka, hanya saja cara kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah terebut ada dua macam :
- Dengan cara langsung, cara ini berlaku bagi mereka yang telah memenuhi persyaratan ijtihad.
- Dengan cara tidak langsung (bertanyakepada ahlinya) bagi mereka yang belum mampu berijtihad. (An-Nahl : 43).
Karena itu maka ijtihad tidak perlu dipandang sebagai barang tabu, justru ijtihad merupakan salah satu keistimewaan ajaran Islam yang dinamis dan tidak pernah ketinggalan zaman. Demikian pula taqlid, tidak perlu diperangi secara apriori. Karena taqlid merupakan tangga pertama yang orang-orang awam tidak bisa berlepas diri darinya untuk memahami ajaran Islam. Dalam hal ini jelas sekali bawa dibolehkannya taqlid merupakan bentuk dari kelapangan ajaran Islam dan rahmah. Allah tidak menjadikan dalam agama ini kesulitan. Yang tercela adalah bila seseorang bertaqlid buta, fanatik, tidakmau menerima pendapat lain meskipun lebih kuat dan tidak berusaha untuk meningkatkan diri menjadi muttabi’ (mengikuti dengan memahami dalil)