<Teks Khutbah Jumat Terbagus: Hakikat Manusia dan Kemanusiaan Menurut Alquran> Dalam suasana kemajuan sains dan teknologi dewasa ini, masalah hakikat manusia dan kemanusiaan menjadi semakin aktual untuk dikaji. Urgensi kajian ini lebih terasa lagi setelah disadari bahwa pengetahuan kita sendiri tentang hakikat manusia masih sangat terbatas. Keterbatasan pengetahuan tersebut disebabkan multikompleks-nya permasalahan manusia. Selain itu, manusia adalah satu-satunya makhluk ciptaan Allah yang dihembuskan roh ciptaan Allah ke dalam dirinya. Persoalan roh adalah urusan Tuhan, sementara manusia hanya diberikan seditkit pengetahuan tentang hal itu. Kita hanya mengetahui yang bersifat lahiriah saja, tidak menjangkau hal-hal yang berisifat immaterial dan dimensi spiritual dari manusia.
Oleh karena itu, khutbah kali ini mencoba memberikan jawaban terhadap pertanyaan: Siapa manusia itu? Dan untuk apa manusia diciptakan?
Para ahli dari berbagai disiplin ilmu telah mengemukakan jawaban yang bervariasi tentang manusia. Pandangan ahli Ilmu Mantiq (Logika) menyatakan bahwa manusia adalah hewan yang berfikir (hayaw±n al-n±thiq), ahli Antropologi Budaya mengatakan bahwa manusia adalah makhluk budaya (homo sapiens), Sosiolog berpendapat; manusia adalah makhluk sosial (zoon politicon), kaum agamawan mengatakan manusia adalah makhluk yang senantiasa bergantung kepada kekuatan ‘Supranatural’ yang ada di luar dirinya, dan kaum komunis berpandangan bahwa manusia adalah makhluk biologis dan ekonomis. Menurut golongan yang terakhir ini, manusia sebagai makhluk biologis, yang diutamakan adalah unsur materi, karena itu Tuhan yang bersifat immaterial (transenden) ditolak eksistensinya dan agama adalah candu masyarakat. Adapaun manusia sebagai makhluk ekonomis (homo economicus) maka faktor kerja dan produksilah yang merupakan hakikat manusia.
Pandangan yang dikemukakan di atas hanya memberikan gambaran sebagian dari potensi dan kemampuan yang dimiliki manusia, dan belum memberikan gambaran secara utuh siapa sesungguhnya yang dimaksud manusia.
Al-Qur’an berbicara tentang manusia dimulai dari QS. al-`Alaq [96], surah yang pertama diturunkan Allah swt. kepada Nabi Muhammad saw. Dalam surah itu, Allah tiga kali menyebut kata al-Ins±n (manusia), yang mencerminkan gambaran umum tentang manusia; pertama, bahwa manusia tercipta dari `alaq (segumpal darah); kedua, bahwa hanya manusia yang dikaruniai ilmu; dan ketiga, bahwa manusia memiliki sifat sombong yang bisa menyebabkan lupa kepada sang Pencipta.
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”
Karakter umum manusia pada surah yang pertama ini diperjelas dan dirinci pada surah-surah yang turun kemudian, seperti QS. al-Muminun [23]: 12-14:
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ سُلَالَةٍ مِنْ طِينٍ(12)ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِي قَرَارٍ مَكِينٍ(13)ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا ءَاخَرَ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ(14)
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang tersimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging. Kemudia Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik”
Allah SWT sengaja berulangkali mengungkapkan bahwa manusia tercipta dari tanah, air yang memancar di antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan, dari segumpal darah, dan seterusnya, dengan tujuan untuk mengingatkan manusia atas kelemahan dan kehinaannya, dan agar manusia tidak arogan dan sombong, melebihi kemampuannya. Karena, dari asal kejadian yang bersifat material inilah manusia cenderung berprilaku dan memilki sifat-sifat rendah, antara lain:
1) Melampaui batas, QS. al-`Alaq [96]: 6-7
كلا إن الإنسان ليطغى أن رءاه استغنى
“Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampau batas, karena dia melihat dirinya serba cukup”.
2). Bersifat tergesa-gesa, QS. al-Isra [17]: 11
... وكان الإنسان عجولا
“… dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa”.
Manusia yang memiliki sifat ini tidak sabar dalam menghadapi sesuatu , ia selalu terburu-buru, ingin cepat-cepat memetik hasil, meskipun itu harus ditempuh dengan jalan yang tidak halal.
3). Suka berkeluh kesah, QS. al-Ma`±rij [70]: 19
إن الإنسان خلق هلوعا
“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh-kesah lagi kikir”.
Manusia, jika mendapat kesulitan mengeluh, tetapi jika ia mendapat keberuntungan ia bakhil.
4). Suka membantah, QS. al-Kahfi [18]: 54
... وكان الإنسان أكثر شيئ جدلا
“… dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah”.
Manusia terkadang lebih banyak memper-turutkan kehendak hawa nafsunya daripda mengikuti bimbingan wahyu Ilahi, padahal nafsu ammarah itu mendorong manusia berbuat maksiat.
5). Ingkar dan tidak berterima kasih kepada Tuhan, QS. al`Adiyat [100]: 6
إن الإنسان لربه لكنود
“Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar, tidak berterima kasih kepada Tuhannya”
Nikmat dan anugrah yang diperoleh manusia tidak pernah memberikan kepuasan pada dirinya. Ia tidak mensyukuri nikmat yang diberikan Alah kepadanya, padahal nikmat dan anugrah Ilahi itu tidak ternilai banyaknya.
Apabila manusia memperturutkan prilaku dari ayat-ayat tersebut di atas maka ia akan semakin jauh dari hakikat kemanusiaannya.
Al-Qur’an, di samping menunjukkan sifat-sifat kelemahan yang dimiliki manusia, yang dapat meruntuhkan derajat kemanusiaannya ke tempat yang rendah dan tercela, juga menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki potensi dan kemampuan untuk menempati tempat yang tertinggi dan terpuji di antara makhluk ciptaan Allah.
Al-Qur’an memberikan pujian kepada manusia, seperti pernyataan Allah dalam QS. al-T³n [95]: 4
لقد خلقنا الإنسان فى أحسن تقويم
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”.
Kemudian Allah menegaskan kemuliaan makhluk manusia dibanding makhluk-makhluk lainnya, seperti pernyataan Allah dalam QS. al-Isra±’ [17]: 70:
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي ءَادَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adan. Kami angkat mereka di daratan dan di lautan. Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”.
Apabila manusia memelihara dan mengembangkan potensi positif yang dimilikinya maka ia akan menemukan jatidirinya.
Untuk Apa Manusia Diciptakan?
Manusia diciptakan bukan untuk hidup sekehendaknya, bukan pula untuk makan, hura-hura, dan mencari kebebasan tanpa batas. Tujuan hidup manusia adalah untuk mendapatkan ridha Allah (mardhatillah), sebagaimana pernyataan Allah dalam QS. al-An`am [6]: 162
قل إن صلاتى ونسكى ومحياى ومماتى لله رب العالمين.
“Katakanlah,”Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan Semesta Alam”.
Dalam mencari ridha Allah, manusia diwajibkan untuk menghambakan diri kepada-Nya dalam segala aktivitas yang dilakukannya. Tugas suci inilah yang disebut ibadah dalam pengertian umum dan sekaligus sebagai tujuan diciptakannya manusia. QS. adz-Dzariyat [51]: 56 menyebutkan:
وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”.
Dalam mengemban tugas pengabdian, manusia diberi peran oleh Allah swt. sebagai khalifah di muka bumi ini. Peran kekhalifahan ini dalam rangka memelihara, melestarikan dan memakmurkan jagad raya ini.
وَهُوَ الَّذِي جَعَلَكُمْ خَلَائِفَ الْأَرْضِ
“Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi”. QS. al-An`±m [6]: 165,
Hakikat manusia menurut al-Qur’an adalah makhluk ciptaan Allah yang memilki 2 (dua) dimensi; dimensi meterial dan dimensi spiritual. Dengan dimensi material (tanah), manusia dipengaruhi oleh kekuatan alam seperti makhluk-makhluk lain, sehingga ia butuh makan, minum, hubungan seksual, dan sebagainya. Dimensi ini mengantar manusia ke alam kehidupan yang kurang bermakna, cenderung menjadi makhluk yang amat aniaya, ingkar nikmat, banyak membangkang, tidak sabar, dan bersifat keluh-kesah. Sebaliknya, dengan dimensi spiritual (roh), manusia diantar untuk cenderung kepada keindahan, kebenaran, pengorbanan, kesetiaan, penghambaan kepada Allah, dan sebagainya. Dimensi ini membawa manusia kepada suatu realitas mengaktualkan posisinya sebagai `abid (hamba) dan khalifah menuju kepada Yang Maha Sempurna. Dengan memenuhi kebutuhan hidup manusia berdasarkan pada kedua dimensi tersebut sesuai dengan petunjuk Ilahi, maka manusia akan menemukan hakikat kemanusiaannya.