http://aang-zaeni.blogspot.co.id/ Meruntut kebelakang sejarah munculnya ilmu kalam atau teologi dalam masyarakat Islam masa lampau, sebenarnya bukanlah karena adanya orang-orang yang secara sadar menceburkan diri dalam pemikiran tentang aspek-aspek ketuhanan baik itu dzat-Nya, azali-nya atau pun qadim dan baharunya ciptaan Tuhan, melainkan diawali oleh munculnya masalah-masalah politik (perebutan kekhalifahan) dalam masyarakat Islam waktu itu.
Peristiwa terbunuhnya Usman ra. menjadi sumbu atau titik yang jelas dari berlarut-larutnya perselisihan baik berupa pergumulan pemikiran dan pendapat masyarakat Islam kala itu sampai pada munculnya peperangan di antara kaum muslimin, karena di masa itu muncullah segolongan orang yang menilai dan menganalisa peristiwa pembunuhan terhadap khalifah Usman ra. tersebut yang kemudian dikait-kaitkan dengan perilaku beliau semasa hidup sampai pada kesimpulan bila khalifah Usman ra. itu kafir sedangkan orang yang membunhnya berada di pihak yang benar.
Sementara itu segolongan umat pula berpendapat bahwa pembunuhan atas diri Usman ra. adalah kejahatan besar dan pembunuh-pembunuhnya adalah orang-orang kafir.[1] Kedua golongan di atas masing-masing memberikan penilaian dengan berdasar pada pemahaman politik antara apakah Usman ra. bersalah atau tidak bersalah pada posisinya sebagai khalifah, sebab golongan pertama beranggapan jika Usman ra. tidak berhak memegang tampuk pemerintahan, sedangkan golongan ke dua menilai jika beliau merupakan pemimpin yang sah disamping beliau juga merupakan prajurit Islam yang setia. Mengenai makna kalam atau yang sering kita sebut teologi Islam, Sayyid Hossein Nasser menjelaskaan:
“The term kalām literally means “word,” and its use as the name for Islamic scholastic theology is said to have come from the Quran itself, which is the “Word of God” (kalām Allāh). ….., and its function was to provide rational arguments for the defense of the Islamic faith.[2]
Istilah kalam bermakna “kata”, dan ia digunakan sebagai nama untuk menunjuk pada teologi Islam masa skolastik yang di ambil dari kata dalam Qur’an sendiri yakni “kalam Allah”. ….., dan berfungsi untuk mempertahankan keyakinan dengan mempergunakan argument-argumen rasional.
Kejadian khusus ini kemudian menjadi pemicu dari timbulnya Persoalan teologi yakni mula-mula mengenai masalah dosa besar yang kemudian berangsur-angsur merebak kepersoalan umum seperti soal iman dan hakikatnya, soal imamah, serta masalah-masalah lain yang ada dalam ajaran Islam, yang kesemuanya itu menjadi sumber perdebatan di kalangan umat Islam khususnya di antara para mutakallim.
Kelanjutan dari perdebatan tersebut menjadi lebih luas lagi mana kala menyentuh persoalan-persoalan kejahatan atau sumber perbuatan di lingkungan manusia. Penentuan sumber ini menjadi dasar untuk memberikan vonis kepada pelaku kejahatan. Kalau sumbernya adalah manusia sendiri maka tentu saja vonisnya sudah jelas, tetapi bagaimana bila sumber sebenarnya adalah Tuhan sendiri sedang manusia hanyalah alat dari kehendak tertinggi, tentu saja keputusan apakah manusia itu berdosa atau tidak masih belum jelas.
Timbullah golongan Jabariyah yang menyandarkan semua perbuatan manusia pada Tuhan, yang kemudian di tentang oleh golongan Qadariyah atau Mu’tazilah yang berusaha mensucikan Tuhan dari segala campur tangan atas setiap tindakan manusia itu dengan menegaskan bahwa manusia sendirilah yang bertanggung jawab sepenuhnya atas segala perbuatannya. Kemudian timbul pula golongan-golongan lain seperti Asy’ariyah, Maturidiyah[3] dan lain sebagainya.
Dalam Pembahasan tentang Mu’tazilah bukan hanya sekedar pembahasan seputar masalah-masalah teologi semata namun juga akan bersentuhan dengan persoalan-persoalan filsafatnya, politik dan fisika atau alam. Mu’tazilah merupakan sebuah aliran teologi klasik dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam. Ia merupakan satu-satunya aliran pemikiran di masa lampau yang memiliki jasa besar dalam mempertahankan ajaran Islam dari serangan pemikiran agama lain seperti Yahudi atau pun dari matinya ajaran Islam yang di masa itu umat lebih condong pada ajaran Murjiah dan Jabariyah, di mana umat lebih memilih untuk taqlid dari pada mempergunakan rasionya.
Dalam perkembangan selanjutnya Mu’tazilah kemudian menjadi sebuah aliran yang di samping memiliki banyak pengaruh namun juga menjadi sebuah aliran yang banyak disoroti oleh ulama-ulama karena metode yang dipakai oleh penganut Mu’tazilah dalam menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan masalah-masalah ketuhanan (sifat), keadilan Tuhan, janji dan ancaman, tempat di antara dua tempat, dan amar ma’ruf nahi mungkar; yang dalam menjelaskan kesemua itu Mu’tazilah amat bersandar pada logika atau akal. Oleh karena itu pada pembahasan berikutnya atau pada bab II kita akan melihat tentang bagaimana kedudukan akal dalam setiap ajaran Mu’tazilah? serta bagaimana pengaruh pemikiran aliran ini terhadap dunia Islam?
Sejarah Kemunculan Aliran Mu'tazilah
Sebagaimana sama-sama kita mafhum jika nama Mu’tazilah bukanlah pemberian orang-orang Mu’tazilah sendiri melainkan pemberian orang-orang yang ada di luar atau yang tidak sepaham dengan ajaran aliran ini. Orang-orang Mu’tazilah sendiri lebih senang menyebut kelompok mereka sebagai “ahli keadilan dan keesaan”,[4] The divine justice and unity atau dikenal juga dengan sebutan the Qadariya and ‘Adliya[5] (sang penentu tindakan/pemuja akal dan ahli keadilan).
Mu’tazilah merupakan aliran pemikiran yang terbesar dan tertua yang bukan hanya memainkan peranan keilmuan di awal-awal masa kemunculannya, namun juga telah memberikan pengaruh terhadap kebangkitan pemikiran dunia Islam.
Ada banyak analisa yang coba dimajukan oleh para peneliti ilmu kalam mengenai pemberian nama Mu’tazilah kepada golongan ini, namun yang pasti bahwa munculnya kelompok Mu’tazilah bermula dari pertentangan atau perdebatan yang terjadi antara Abu Hudhaifa Wasil ibn ‘Ata’ al-Ghazzal[6] dan temannya ‘Amr ibn ‘Ubaid disatu sisi dengan gurunya Hasan al-Basri di pihak lain, yang kala itu datang seseorang kepangajian Hasan al-Basri di masjid Basrah yang juga selalu diikuti oleh Wasil ibn ‘Ata’ dan bertanya mengenai orang yang berdosa besar.
Selagi Hasan al-Basri mempertimbangkan pendapat antara Khawarij (kafir) dan Murji’ah (mukmin), Wasil ibn ‘Ata’ lebih dahulu mengemukakan pandangannya dengan bertkata bahwa “ saya berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi mengambil posisi di antara keduanya; tidak mukmin dan tidak kafr”.
Kemudian ia berdiri dan memisahkan diri dari pengajian Hasan al-Basri serta mencari tempat di masjid lain. Atas peristiwa ini, menurut al-Shahrastani yang dikutip oleh Harun Nasution dari al- Milal wa al-Nihal, Hasan al-Basri mengatakan bahwa “Wasil menjauhkan diri dari kita (i’tazala’anna). Dari sinilah ia dan teman-temannya disebut Mu’tazilah.[7]
Dari versi lain dijelaskan bahwa akibat dari menluasnya kekuasaan Islam, maka banyak bangsa-bangsa lain yang masuk Islam untuk hidup di bawah naungannya, akan tetapi tidak semuanya memeluk dengan segenap keikhlasan. Sikap tidak ikhlas ini muncul sejak zaman Mu’awiyah yang sekaligus memonopoli segala kekuasaan pada bangsa Arab.
Tindakan ini melahirkan sikap kebencian dan keinginan menghancurkan Islam dari dalam. Di antara musuh-musuh Islam dari dalam terdapat golongan rafidhah, yaitu golongan Syi’ah ekstrim yang memiliki unsur-unsur kepercayaan yang jauh dari ajaran pokok Islam, seperti kepercayaan tasawuf inkarnasi yang berkembang di kota Kufah dan Basrah. Dengan kondisi semacam ini maka muncullah Mu’tazilah,[8] untuk mempertahankan dan mensucikan ajaran Islam dari segala macam bentuk pemikiran-pemikiran yang banyak dipengaruhi oleh filsafat Yunani, sekali pun pada perkembang lebih lanjut kaum Mu’tazilah sendiri banyak mengadopsi pikiran-pikiran filsafat.
Tasy Kubra Zadah, menjelaskan bahwa Qatadah ibn Da’amah pada suatu hari datang ke masjid Basrah dan menuju majelis ‘Amr ibn ‘Ubaid yang disangkanya sebagai majelis Hasan al-Basri. Setelah terang baginya bila majelis yang didatanginya bukanlah majelis Hasan al-Basri ia pun lalu berdiri dan meninggalkan tempat itu sambil berkata: “ini kaum Mu’tazilah”. Sementara keterangan lain dikemukakan oleh Al-Mas’udi yang memberikan keterangan dengan tidak mempertalikan pemberian nama itu dengan peristiwa yang terjadi antar Wasil ibn ‘Ata’ dan gurunya Hasan al-Basri, melainkan kata Mu’tazilah itu dipakai sebagai penunjukan pada anggapan kelompok ini terhadap orang yang berdosa besar, yakni sebagai orang-orang yang jauh dari golongan mukmin dan kafir.[9]
Dengan kata lain bahwa kata Mu’tazilah tidak menunjuk pada keluarnya Wasil ibn ‘Ata’ dari majelis Hasan al-Basri melainkan ia bermakna menunjuk pada pandangan kelompok ini pada orang yang berdosa besar.
Aliran Mu’tazilah muncul pada permulaan abad ke dua hijriyah di kota Basrah yang merupakan pusat peradaban Islam kala itu. Namun kata Mu’tazilah sendiri sebenarnya telah ada pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, yakni ketika beliau mengutus Qais ibn Saad ke Mesir sebagai gubernur, ia menjumpai adanya pertikaian di sana, satu golongan ikut padanya sebagai pembela Ali dan satu golongan lagi memisahkan diri ke Kharbita. Dalam suratnya kepada khalifah Qais menamai mereka Mu’tazilin.[10]
Perbedaan antara Mu’tazilah masa Khalifah Ali dengan Mu’tazilah masa Wasil ibn ‘Ata adalah bahwa pada masa Khalifah Ali adalah bercorak politik sedangkan pada masa Wasil merupakan kombinasi antara masalah politik, teologi dan falsafah.
Pengaruh Aliran Mu'tazilah Terhadap Dunia Islam
Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa Mu’tazilah merupakan aliran pemikiran yang terbesar dan tertua yang lahir pada permulaan abad ke dua hijriah di Basrah, yang bukan hanya memainkan peranan keilmuan di awal-awal masa kemunculannya, namun juga telah memberikan pengaruh terhadap kebangkitan pemikiran dunia Islam.
Kebangkitan pemikiran dan keilmuan itu di masa-masa awal kemunculannya adalah karena paham Mu’tazilah telah dijadikan sebagai ideologi atau mazhab resmi negara dalam masa pemerintahan khalifah Abbasiyah khusunya pada masa khalifah Al Ma’mum pada tahun 827 M. Mu’tazilah diterima sebagai aliran yang menganjurkan kemerdekaan dan kebebasan berpikir pada manusia. Ada beberapa aktivitas ilmiah yang berlangsung di kalangan umat Islam pada masa dinasti Abbasiyah yang mengantar mereka mencapai kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, yaitu:
1. Penyusunan Buku-buku Ilmiah.
Aktivitas penyusunan buku ini, sebagaimana diutarakan oleh Syalabi berjalan melalui tiga fase. Fase pertama adalah pencatatan pemikiran atau hadis atau hal-hal lain pada kertas kemudian dirangkap. Fase kedua pembukuan pemikiran-pemikiran atau hadis-hadis Rasulullah dalam satu buku, misalnya menghimpun hukum-hukum fikih dalam buku tertentu dan sejarah dalam buku tertentu pula. Fase ketiga adalah penyusunan dan pengaturan kembali buku yang telah ada ke dalam pasal-pasal dan bab-bab tertentu.[11]
Penyusunan buku-buku ini berlangsung pada masa dinasti Abbasiyah I (132- 232 H). Pada masa sebelumnya, ulama-ulama mentransfer ilmu mereka hanya melalui hafalan atau lembaran-lembaran yang tidak teratur. Pada tahun 143 H, barulah mereka menyusun hadis, fikih, tafsir dan banyak buku dari berbagai bahasa yang meliputi segala bidang ilmu yang telah berhasil diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dalam bentuk buku yang tersusun secara sistematis.
2. Penerjemahan
Penerjemahan merupakan aktivitas yang paling besar peranannya dalam mentransfer ilmu pengetahuan yang berasal dari buku-buku bahasa asing, seperti bahasa Sansekerta, Suryani atau Yunani ke dalam bahasa Arab. Pada dasarnya, penerjemahan dari bahasa asing ke bahasa Arab telah dilakukan sejak masa Muawiyah, seperti yang dilakukan oleh Khalid bin Yazid yang memerintahkan sekelompok orang yang tinggal di Mesir untuk menerjemahkan buku-buku tentang kedokteran, falaq dan kimia yang berbahasa Yunani ke dalam bahasa Arab.
Demikian juga khalifah Umar bin Abd al-‘Aziz menyuruh menerjemahkan buku-buku kedokteran ke dalam bahasa Arab. Namun, penerjemahan ini menurut Daudy pada umumnya hanya dilakukan orang-orang yang berkepentingan serta dilakukan terhadap buku-buku yang ada kaitannya langsung dengan kehidupan praktis.[12] Setelah kekuasaan berpindah ke tangan khalifah Abbasiyah, aktivitas penerjemahan semakin berkembang dengan pesat.
Khalifah Al Mansur misalnya, sangat mencintai ilmu pengetahuan terutama ilmu bintang, sehingga ia menyuruh Muhammad bin Ibrahim al-Fazzazi (ahli falak pertama dalam Islam) untuk menerjemahkan buku Sindahind, buku ilmu falak dari India ke dalam bahasa Arab, juga beberapa buku lain tentang ilmu hitung dan angka-angka India.[13] Dari bahasa Sansekerta diterjemahkan buku Kalilah wa Dimnah ke dalam bahasa Persi, kemudian Abdullah bin Al Muqaffa menerjemahkannya ke dalam bahasa Arab. Penerjemah lainnya yang terkenal adalah Jurjis bin Bakhtisyu (771 M), dan Gibril murid Bakhtisyu.[14]
Aktivitas penerjemahan mencapai puncaknya pada masa Al Ma’mum. Khalifah ini juga seorang cendekiawan yang sangat besar perhatiannya kepada ilmu pengetahuan. Pada tahun 832 M, Al Ma’mum mendirikan Bait al Hikmah di Bagdad sebagai akademi pertama, lengkap dengan teropong bintang, perpustakaan dan lembaga penerjemahan.[15] Sementara ia sendiri telah menerjemahkan ke dalam bahasa Arab buku-buku karangan Plato, Aristoteles,dan lain-lain.[16] Pada masa ini pula telah dilakukan pensyarahan (penjelasan) terhadap hadis-hadis.
3. Kemajuan Ilmu Pengetahuan
Aktivitas ilmiah yang dilakukan oleh kaum muslimin mengantarkan mereka mencapi puncak kemajuan ilmu pengetahuan pada masa Abbasiyah. Penerjemahan yang dilakukan dengan giat menyebabkan mereka dapat menguasai warisan intelektual dari tiga jenis kebudayaan, yaitu Yunani, Persia, dan India, yang pada akhirnya kaum Muslimin mampu membangun kebudayaan ilmu, baik ilmu agama maupun filsafat dan sains.
Ilmu agama yang dimaksudkan di sini adalah ilmu-ilmu yang muncul di tengah-tengah suasana hidup keislaman berkaitan dengan agama yang direduksi ke dalam ruang lingkup akal.
Ada pun pengaruh Mu’tazilah untuk masyarakat Islam modern, Harun Nasution menilai bahwa ajaran Mu’tazilah telah mulai muncul kembali dikalangan ummat Islam, terutama dikalangan kaum terpelajar,[17] setelah sekian lama ajaran Mu’tazilah hilang sama sekali setelah peristiwa al-Mihna dan penghapusan Mu’tazilah sebagai mazhab Dinasti Abbasiyah di masa al-Mutawakkil, yang kian diperparah dengan terjadinya serangan orang-orang Mongol terhadap dunia Islam.
Namun perlu dicatat bahwa pada periode pertengahan perkembangan peradaban dan pemikiran Islam (1250-1800 M), yakni sepeninggal Al-Kindi, muncul filosof-filosof Islam kenamaan yang terus mengembangkan filsafat. Filosof-filosof itu diantaranya adalah : Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rushd, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh dan Muhamad Iqbal. Al-Farabi sangat berjasa dalam mengenalkan dan mengembangkan cara berpikir logis (logika) kepada dunia Islam. Berbagai karangan Aristoteles seperti Categories, Hermeneutics, First dan Second Analysis telah diterjemahkan Al-Farabi ke dalam Bahasa Arab.
Al-Farabi telah membicarakan berbagai sistem logika dan cara berpikir deduktif maupun induktif. Disamping itu beliau dianggap sebagai peletak dasar pertama ilmu musik dan menyempurnakan ilmu musik yang telah dikembangkan sebelumnya oleh Phytagoras. Oleh karena jasanya ini, maka Al-Farabi diberi gelar Guru Kedua, sedang gelar guru pertama diberikan kepada Aristoteles.
Kontribusi lain dari Al-Farabi yang dianggap cukup bernilai adalah usahanya mengklassifikasi ilmu pengetahuan. Al-Farabi telah memberikan definisi dan batasan setiap ilmu pengetahuan yang berkembang pada zamannya. Al-Farabi mengklasifikasi ilmu kedalam tujuh cabang yaitu: logika, percakapan, matematika, fisika, metafisika, politik dan ilmu fiqhi.[18] Namun tidak dapat disangsikan pula bahwa selain terdapat orang-orang yang menghidupkan kembali semangat Mu’tazilah melalui pemanfaatan akal secara maksimal, terdapat pula golongan atau orang-orang (Ahlussunnah wal Jamaah) yang menilai jika Mu’tazilah merupakan aliran yang harus bertanggung jawab atas segala kesesatan berpikir yang dialami manusia modern.
Kritik Terhadap Beberapa Paham Aliran Mu'tazilah
Ilmu pengetahuan atau sains kontemporer sebagai hasil kreasi manusia modern sering kali menjebak pelaku-pelakunya dalam dilema-dilema psikologis yang berkepanjangan yang dimunculkan oleh para pemikir dan saintis itu sendiri, yang kita kenal dengan istilah nestapa manusia modern, seperti stres dan penyakit kejiwaan. Hal ini disebabkan karena kekosongan spiritual.
Sains kontemporer tumbuh dan berkembang dari sebuah pemikiran yang mengukuhkan pandangan bahwa segala sesuatu muncul terwujud dari sesuatu lainnya. Segala sesuatu seperti kemajuan, perkembangan atau evolusi adalah sesuatu yang kekal dan berdiri sendiri serta berkembang menurut hukumnya sendiri. Dengan kata lain dan lebih jauh sebagai pengaruh mu'tazilah di abad modern ini bahwa (sebagian dikalangan pemuda muslim sendiri) terjadi sebuah keraguan bahkan penolakan terhadap realitas dan keberadaan Tuhan. Ini terjadi karena adanya persinggungan pemikiran rasional Islam dengan Barat.
Rasionalisme filosofis cenderung hanya bersandar pada nalar, sedangkan rasionalisme sekular disamping menerima nalar pun lebih cenderung bersandar pada pengalaman inderawi dengan menolak otoritas, intuisi, wahyu dan agama sebagai sumber ilmu yang benar. Sekiranya pun rasionalisme menerima otoritas dan intuisi sebagai sumber ilmu maka mereka tetap mereduksinya kepada nalar. Pada hal jika kita menerima bahwa pada tingkat kesadaran manusia normal saja nalar dan inderawi memiliki tingkat-tingkat yang batasnya dapat dikenali, maka tidak berdasarlah jika menganggap bahwa tidak ada tingkat-tingkat pengalaman dan kesadaran manusia yang tertinggi, yang melampaui batas-batas akal dan pengalaman normal (tingkatan kognisi intelektual dan rohaniah), yang batas-batasnya hanya diketahui oleh Tuhan.[19]
Dari segi lain, kebebasan berpikir dianggap sebagai suatu nilai mutlak. Ini merupakan logika yang keliru sekaligus sebagai “kado” kultur masa lalu yang berakar dalam masyarakat.[20] Sehingga indera atau persepi dan al-Qur’an serta sunnah ternegasikan sebagai sumber yang dapat membangun tingkat-tingkat kognisi intelektual dan ruhaniah yang lebih tinggi dan di atas pengalaman transendental yang tidak dapat disempitkan hanya pada tingkat akal dan pengalaman biasa.[21]
Tentunya menjadi tampak akan sangat luas bila kita mengkaji konsep realitas dalam pemikiran Islam yang berdasarkan al-Qur'an, di mana realitas objek yang dapat diketahui mencakup seluruh alam semesta dan penciptanya yakni Allah swt. Menurut al-Qur'an, realitas subyek yang dapat diketahui mencakup seluruh apa yang disebut sebagai miniatur alam (al- 'alam al-saghir). Di Barat ia dikenal dengan istilah mikro kosmos.
Penutup
Ilmu kalam lahir karena dorongan untuk membela Islam dengan pemikiran-pemikiran filsafat dari serangan orang-orang Kristen, Yahudi yang mempergunakan senjata filsafat, dan untuk memecahkan persoalan-persoalan agama dengan kemampuan akal dan pikiran dan ilmu pengetahuan. Orang-orang Mu’tazilah mempunyai andil besar dalam mengembangkan ilmu kalam yang pemecahannya bercorak filsafat dalam Islam. Pada masa ini muncul ulama-ulama besar di bidang ilmu kalam, baik dari kalangan Mu’tazilah maupun Ahlusunnah waljamaah. Secara umum perkembangan ilmu kalam pada masanya telah berjasa besar dalam upaya memelihara dan membentengi akidah Islam dengan menggunakan argumentasi manthiqi dan filosofis rasional.
Kaum Mu’tazilah merupakan kaum rasional, maka di kalangan mereka akal ditransformasikan sebagai salah satu sumber untuk memahami Tuhan dengan segala keunikannya, ini terbukti dengan diposisikannya akal dalam lima pokok-pokok ajarannya. Salah satu dari lima pokok ajarannya yang dinalarkan dengan argumen-argumen rasional yang demikian radikal adalah persolan “keadilan” yang memuat penciptaan praksis-praksis tindakan yang berasal dari hamba-hamba-Nya, yakni manusia, baik dan buruk yang keduanya adalah rasional. Mu’tazilah beralasan bahwa persepsi adalah kewajiban rasional yang pertama. Mereka menolak taklid terhadap orang-orang yang meninggalkan kesenangan dunia hanya untuk beribadah dan menolak taklid mayoritas (taklid mayoritas yakni keengganan orang-orang untuk meleburkan diri dalam dunia rasio). Mu’tazilah juga mengecam orang-orang yang lebih memilih untuk mengikuti kognisi-kognisi necesitas yang berlandaskan pengetahuan a priori dan intuisi belaka.[22] Lebih jauh lagi Mu’tazilah telah menetapkan kewajiban-kewajiban rasional untuk mengetahui Allah, mensyukuri nikmat, Allah Maha Baik dan tidak mungkin melakukan tindakan yang buruk, memberikan pahala atas ketaatan dan siksa atas dosa-dosa besar bagi yang tidak bertobat, tindakan yang harmonis dan terbaik.[23]
Catatan Kaki
[1]Lihat Ahmad Hanafi, Theology Islam (Ilmu Kalam), (Cet. 11. Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h. 9-10
[2] Seyyed Hossein Nasr, ISLAM; Religion, History, and Civilization, (HarperCollins e-books dalam bentuk PDF), h. 155
[3] Ibid.
[4] Ibid., h. 39.
[5] Muhammad bin ‘Abd al-Karim Shahrastani, al-Milal wa al-Nihal. Diterjemahkan oleh A. K. Kazi dan J. G. Flynn, Muslim Sects and Divisions, (London: Kegan Paul International, 1984), h. 41
[6] Ibid., h. 42
[7] Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa, Perbandingan, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986), h. 38.
[8] Ahmad Hanafi, op. cit., h. 40-41
[9] Harun Nasution, op. cit., h. 39
[10]Dikutip oleh Harun Nasution dari Ali Mustafaal Ghurabi dalam Tarikh al-Firaq al-Islamiah. Ibid., h. 40
[11]Ahmad Syalabi, Mausu’ah Tarikh al-Islami wa al-Hadharah al-Islamiyah, (cet.ke-6, Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Mishiyah, 1978), hlm. 234-235., terjemahan Aurnur Rahim Faqih dan Munthohah.
[12]Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (cet. Ke-2, Jakarta: Bulan Bintang, 1989), hlm.5.
[13] Ibid.
[14]Philip K. Hitty, History of the Arabs, (London: The Macmillan Press, 1970), hlm. 308 dan 309. Terjemahan.
[15] Ahmad Syalabi, op. cit., h .247
[16] Ibid.
[17] Http://Abadain.Com/mutazilah dan Pengaruhnnya Terhadap Dunia Islam, Lihat pula Harun Nasution, op. cit., h. 60
[18] Hujair. AH. Sanaky, Materi Mata Kuliah Pemikiran Dan Peradaban Islam Universitas Islam Indonesia, file berbentuk pdf
[19] Syed Muhammad Naquib Al-Atas, Islam and the Philosophy of Science. Diterjemahkan oleh Saiful Muzani, Islam dan Filsafat Sains, (Cet. I. Bandung: Mizan, 1995),h. 27-29
[20] Muhammad Taqi Misbah, At-Tawhid or Monotheisme. Diterjemahkan oleh M. Hashem, Monoteisme; tauhid sebagai Sistem Nilai aqidah Islam, (Cet.I. jakarta: Lentera, 1996), h. 120.
[21] Syed Muhammad Naquib Al-Atas, op. Cit., h. 40
[22] Bandingkan dengan Hassan Hanafi, Islamologi 1; Dari Teologi Statis Ke Anarkis, (Cet. II. Yogyakarta: LKIS, 2007), h. 65.
[23] Ibid., h. 83.